Tampilkan postingan dengan label Me. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Me. Tampilkan semua postingan

10 Februari 2021

Cara Membuka Rekening Valas Untuk Ibu Rumah Tangga

 



Tiada angin tiada hujan, tetiba suami tercinta mengajak untuk membuat rekening valas dengan mata uang US Dollar. Sebenarnya bingung juga buat apa karena suami sendiri sudah punya sebelumnya.

Nah saya baru tahu, kalau beliau udah closing akunnya. Karena menurutnya, dalam Islam itu harta suami dan istri harus jelas agar tidak pusing soal hukum warisan nantinya. 

Sebenarnya yang banyak kontribusi mengisi rekening itu saya, tapi karena saya tipe orang males banget ngadepin urusan birokrasi, makanya suami yang selama ini memanajerin. Sampai sekarang.

Terus pada pengen nanya itu uangnya dari mana?

Ehem… dari zaman dulu. Hihihi… Udah gak pentinglah. Yang jelas dunia itu sebenarnya sempit kalau kita bisa bahasa asing. Di manapun berada, kalau bisa menulis bahasa lain, ya bisa dapet duit dari negara bersangkutan pastinya.

Perlu diingat bahwa dalam anggapan pihak Bank, suami yang bekerja dengan gaji rutin adalah penyalur dana tabungan valas

Walaupun pada prakteknya, akun valas tersebut dipakai untuk menerima pembayaran insentif atau dana lain dari pihak lain menggunakan kurs dollar. 

Oh ya, make sure aja uang yang masuk bukan hasil pencucian uang loh. Ada aturannya kalau uang tersebut bisa dibekukan pihak Bank jika ada masalah hukum yang mengklaim. 

Sekarang kita fokus ke cara buat akun valas itu dulu deh.

Baeklah. Sekarang sebelum ke Bank yang diinginkan untuk buka, cek dulu syaratnya melalui website resmi bank bersangkutan ya. 

Saya memilih Bank M, karena di Bank ini ada rekening utama yang dipakai transaksi sehari-sehari, termasuk transaksi bisnis dan urusan lain. Jadi fluktuasi rekening lumayan aktif. Termasuk bayar belanjaan olshop, terima transferan suami, teman, sodara yang kelimpahan rezeki dan lain-lain.

Di bank ini sebenarnya bisa buka rekening melalui online. Tapi menurut suami, untuk valas syaratnya lebih banyak

Apalagi dalam data pribadi, saya memilih pekerjaan hanya sebagai Ibu Rumah Tangga, maka lebih baik langsung datang saja. Jadi kalau ada kekurangan, bisa langsung diurus.

Waktu datang, saya bawa (eh enggak deng… suami yang bawa) beberapa kartu dan surat kelengkapan berikut:

1.       KTP asli istri 

2.       KTP asli suami (Beneficial Owner* (BO

3.       Kartu NPWP asli (termasuk punya suami)

4.       Kartu Keluarga fotokopi

5.       Dan tentu saja sang penyalur dana yaitu Suami diajak serta

Setiba di bank, saya sempat ditanya-tanya oleh Satpam yang membantu agar proses lebih cepat, selama menunggu antrian. Saya pun mengisi form isian untuk membuka akun baru.

Ada dua form, yang pertama adalah pengisian data calon pemilik akun. Karena saya ibu rumah tangga yang tidak bekerja tetap, ada tambahan satu form lagi yaitu pengisian informasi orang yang menyalurkan dana (Beneficial Owner* (BO

Proses pemeriksaan form oleh petugas sedikit lebih lama jika dibandingkan saat saya membuka rekening Rupiah atau rekening anak (yang mengharuskan adanya persetujuan wali/orangtua). Jadi semua data benar-benar satu persatu diperiksa.

Setelah memastikan seluruh data benar, termasuk memeriksa informasi dari data pekerjaan suami, petugas akan menjelaskan besaran biaya administrasi, minimal jumlah setoran awal, minimal tabungan dalam rekening dan sebagainya.

Proses selanjutnya adalah pencetakan buku bank dan harus langsung disetorkan minimal $100

Oh ya untuk di Bank M, saya HANYA mendapat buku bank. Ini karena sudah punya ATM dari rekening Rupiah, maka akun Valas di-link-kan ke ATM rekening Rupiah tersebut. 

Juga karena saya punya fasilitas Internet Banking, maka secara otomatis rekening baru ini juga muncul. Munculnya satu hari sesudah transfer setoran awal.

Jadi semua transaksi setoran dengan Rupiah atau mata uang lainnya, akan langsung dikurs-kan sesuai rate berlaku hari itu sesuai jenis mata uang yang dipilih. Kalau transaksi setoran Dollar, ya tetap. 

Setelah itu, saya sempat ingin transaksi melalui internet banking, ternyata gak bisa kalau pakai aplikasi. Harus pake internet banking yang versi web. Karena itu, akhirnya saya ambil cash dan setor manual.

Satu lagi, setoran pertama ini dikenakan biaya materai 10 ribu, karena di atas 1 juta

Dan akhirnya selesai setelah 2 jam. Lamanya ngantri sekitar ½ jam.

Tapi saya ingin memberi beberapa saran agar bisa lebih mudah dalam pembuatan rekening.

·         Peliharalah hubungan baik dengan suami, agar beliau ikhlas seikhlas-ikhlasnya menemani istrinda tercinta dan cooperative saat proses pencocokan data.

·         Pastikan walaupun ibu rumah tangga, kita punya kartu NPWP sendiri

·         Anda telah memiliki rekening Rupiah pada Bank bersangkutan tempat akan membuka akun Valas. Rekening saya tidak di cabang tempat membuka rekening valas, tapi masih Bank yang sama.

·         Kalau bisa suami sebagai penyalur dana juga punya akun di bank tersebut. Tapi ini tidak terlalu penting, hanya bisa mempercepat proses. Suami saya sendiri gak punya akun di Bank M.

·         Bawa kartu nama resmi yang dikeluarkan perusahaan atas nama suami. Daripada pusing ditanya-tanya jabatan atau posisi hihihi…

·         Rekening Rupiah kita cukup aktif.

·         Jujur dalam pengisian data informasi juga sangat penting, karena salah satu angka atau info saja, bisa langsung diragukan.

·         Siapkan data keluarga dekat yang bisa dihubungi tapi tidak serumah, terutama alamat lengkapnya. Saya dan suami sempat stuck agak lama menunggu karena menunggu jawaban alamat rumah dari adik.

·         Hafalkan nama ibu dan ibu mertua tersayang dengan baik, karena akan ditanya berulang kali hahaha…

Riweuh ye kan?

Tapi demi tekad menabung dan jadi kaya, tetaplah bersemangat.


 

 

 

15 Desember 2020

It's Okay to be Lebay!

It's okay to be lebay!

Sekitar 2 minggu lalu, diundang meeting dengan salah satu calon klien. Proyeknya emang gak mungkin dibahas online. Janjian lah...

Harusnya bertemu dengan total 8 org. Tapi dua teman Emak yg bakal ngerjain bareng bilang, kalo mrk percaya aja sama Emak. Entar Emak yg bikin outline plan, mereka yg eksekusi based on it.

Sedang yang satu lgi dri pihak sebelah, terlalu sibuk jadi gak bisa dateng. Mereka ini kerja di Kementerian/Pemerintahan, jadi sering tugas daerah.

10 Januari 2020

Hidup Dengan GERD

Gerd itu kalo habis makan, jangan langsung bobo atau duduk. Tapi bergerak santai agar pencernaan bekerja dengan baik.

Gerd itu kalo makan jangan berlebihan, tapi sedikit demi sedikit dan harus dikunyah dengan baik.

Gerd itu makan dan minum yang tidak terlalu manis, tidak terlalu berminyak, tidak terlalu asam, tidak terlalu asin, dan tidak terlalu lainnya. Sedang-sedang saja.

Ini beberapa saran dokter yang lebih mengutamakan perawatan dengan gaya hidup sehat, dibanding obat. Lebih efektif memang. Kebukti setahun kemaren, visit Emak ke IGD krn GERD berkurang drastis.

07 Desember 2019

Saat Lupa Membawa Uang Tunai

Tadi Emak jalan, menggunakan taksi online. Ternyata ada accident dikit. Lupa mengecek dompet ada cash apa enggak.

Ternyata, semalam Kakak dan Abang jalan dengan temannya masing-masing dan Emak lupa mereka sempat minta izin mengambil uang di dompet Emak. Lupa yang membawa masalah.

GO-PAY dan OVO sebenarnya sudah diisi budget transport, tapiii.. . Nah tapi lagi. Emak lupa pilih jenis pembayaran yg auto Tunai (GoCar). Padahal di dompet, cash kurang.

30 November 2019

Buat Perempuan Yang Mengalami Gangguan Hormonal

 

Gangguan hormonal itu adalah penyakit yg paling sering menimpa perempuan.

Emak melawan gangguan hormonal ini dari remaja, tapi baru kedeteksi saat akan berencana punya anak. Emang gak bisa terdeteksi melalui self diagnosis. Mau gak mau harus ke ahlinya. Obat juga hanya bersifat sementara, lagi-lagi lingkungan dan orang-orang terdekat yang bisa membantu.

Ada banyak gejala beda yang ditunjukkan tubuh. Ruam kulit, perut panas, suhu tubuh naik turun, haid tak teratur dan kadang menyakitkan dsbnya.

15 Oktober 2018

Kanker Menghancurkan Segalanya, Tapi...

Bulan Oktober adalah bulan peduli kanker payudara. Saya memang bukan penderita, tapi kanker sangat akrab dalam keluarga besar saya. Salah satunya kanker payudara. Beberapa diantara orang-orang terkasih yang dekat dengan saya pergi untuk selamanya karena kanker.

Perjuangan melawan penyakit ini yang dilalui orang-orang terkasih tidak hanya dirasakan para penderita, tapi keluarga. Itu artinya termasuk saya. Saya yang tadinya heran mengapa ada instalasi khusus keluarga penderita di salah satu rumah sakit rujukan kanker nasional, kini merasakan benar arti kehadiran instalasi itu sekarang.

19 Desember 2017

Keluarga Sesungguhnya (The Real Family)

[caption id="" align="aligncenter" width="448"] The Real Family[/caption]

Pemuda itu nyaris seperti hantu. Keberadaannya kadang hanya bisa dirasakan dengan perasaan. Lewat sekedarnya, tanpa menyapa, bahkan kadang tanpa melirik sama sekali.

Awalnya, kukira ia itu tak suka padaku. Sejak mengepalai tim kreatif di kantor dua tahun lalu, pemuda itu tak pernah bercanda atau tertawa seperti umumnya anggota yang lain. Dia berbeda. Dan kukira itu semua karena faktor diriku.

Tim ini terdiri dari anak-anak muda kreatif yang berjiwa bebas dan unik. Mereka bekerja dalam ruang-ruang yang tak bisa dikatakan normal dan layak untuk sebuah ruang kerja. Semuanya bekerja dengan gayanya dan hobinya masing-masing.

Aku sempat kaget, ketika untuk pertama kalinya dalam sepanjang karir, melihat seseorang bekerja dengan bercelana pendek biasa, sambil makan, minum, ngemil, merokok bahkan tidur dalam ruangan bau dan berasap. Bahkan pernah tertangkap basah olehku sedang buka baju dengan santainya. Besoknya, aku memasang gorden dibantu para OB di seluruh ruangannya yang berdinding kaca itu, membuat seisi kantor menertawai si empunya ruang yang hanya bisa menunduk karena terus menerus kuomeli selama berada di ruang kerjanya yang bau itu.

Yang lain, justru memilih membawa treadmil di samping mejanya. Namun, malah mengisi lemari file dengan jajaran snack-snack yang kuragukan tanggal kadaluarsanya. Tapi, aku sih senang-senang aja, yang satu ini membiarkan treadmill miliknya sekali-sekali kupinjam. Sekedar membuat tubuh cukup lapar untuk memasukkan kalori lagi.

Masih ada ruangan berukuran 2x2 m lagi yang dipenuhi dengan berbagai foto pemandangan dari berbagai negara dan kota yang pernah didatangi dan target berikutnya untuk didatangi. Pemuda yang menempati ruangan itu, berasal dari keluarga pengusaha yang kaya. Dia bisa dengan bebas membangun perusahaan sendiri atau memimpin salah satu milik 'babe'nya. Entah mengapa, yang satu ini justru suka berjam-jam duduk memandangi foto-foto landscape, waterscape dan mountainscape. Pernah sekali aku bertanya, alasannya hanya satu. Because I want to escape...

Sementara di paling pojok, berturut-turut dua ruang yang ditempati dua gadis manis, yang satu manjanya setengah mati dan yang kedua lebih mirip cowok ketika ia terlambat bangun pagi dan memilih tidak mandi untuk ke kantor. Ketika tugas di luar, justru kedua gadis inilah yang paling harus kuingatkan bahkan sampai dibantu para anggota laki-laki. Jadi kalau ada yang bilang perempuan itu sudah pasti punya naluri buat ke dapur, atau bantu-bantu pekerjaan rumah tangga. Itu tak terjadi pada dua gadis ini, naluri perempuan mereka sepertinya lupa dimasukkan saat lahir.

Nah, pemuda seperti hantu adalah pemuda yang paling misterius. Aku hanya pernah dua kali  masuk ruangannya yang persis berada di sebelah kananku. Karena ruang berdinding kaca itu tak ditempeli apapun, juga tidak ada gorden, dan ruangan paling bersih dari pernak-pernik pribadi, maka aku tinggal mengetuk dinding saja untuk memanggilnya. Hanya saja, posisi pemuda itu selalu membelakangiku. Otomatis cukup dengan melirik ke samping, aku tahu apa yang ia kerjakan. Kalau tak lagi bekerja, paling-paling ia sibuk bermain Mobile Legend. Kadang-kadang, ketika aku merasa bosan, aku suka menontonnya bertarung di games itu melalui dinding kaca.

Untungnya hanya lima orang itu yang aneh, karena yang bekerja di bagian non-ruang, adalah tim yang ‘normal’. Bagian-bagian umum yang juga ada di kantor-kantor lain pada umumnya.

Shock, dan bingung. Takut juga ada. Itu kesan pertamaku saat pertama kali bekerja. Tapi kata atasanku, anak-anak itu perlu seorang bersosok seperti ibu atau kakak. Aku seorang ibu, dan bekerja sebagai ibu adalah pekerjaan yang menyenangkan. Menjadi kakak, juga sesuatu yang tak asing bagiku. Sebagai anak pertama dan istri dari anak sulung, aku tahu peran itu dengan baik.

Dua tahun bukan waktu yang sebentar. Satu demi satu, anggota utama, penghuni ruang-ruang tidak normal menjadi anak-anak baruku. Dengan peran ibu dan kakak, aku berhasil membuat empat anggota lain perlahan-lahan berubah, kecuali satu… Pemuda itu, namanya Teguh. Mungkin karena caraku memimpin yang seperti ibu-ibu inilah yang justru tak disukai Teguh.

Berulang kali aku berusaha mengambil hatinya, berharap ia menganggapku teman, atau kakak, jika ia tak bisa menganggapku ibu. Tapi ia tak pernah berubah. Tetap diam, nyaris tanpa suara di setiap meeting, apalagi bersuara di grup WhatsApp kantor. Lebaran udah empat kali lewat, ia tak pernah mengirimkan ucapan atau membalas sapaanku. Obrolan kami di WhatsApp, hanyalah berisi sederet permintaan atau perintahku, yang sekali lagi hanya dijawab ‘ya’ atau ‘baik’

Semua orang nyaris melupakan keberadaannya, kecuali ketika kami mulai stagnan dengan ide-ide grafis yang kadang-kadang mulai membosankan. Pemuda itu memang diam, tapi otaknya brilian. Jika aku meminta tolong padanya, dalam sehari ia pasti menyelesaikannya.

Karena itu, aku tak terlalu lagi memikirkan sifatnya. Toh, putraku sendiri juga seperti itu. Biasa saja. Maka, ketika beberapa kali, Teguh menemaniku saat bertugas di luar kantor, aku sudah terbiasa diam sepanjang jalan, di dalam mobil bahkan ketika kami berdiskusi ‘satu arah’ di lapangan. Paling hanya satu dua kali ia menjawab ya atau tidak, dehem-dehem dan mengangguk-angguk. Bagiku, itu saja sudah cukup.

Sampai hari ini…

Hari ini semua ceria. Begitu ceria. Aku berniat mencuri waktu istirahat untuk berbelanja ke pusat perbelanjaan kain di pusatnya Jakarta. Menumpang mobil teman kantor yang hendak bertugas di luar, karena suamiku sudah tak mengizinkanku menyetir sejak beberapa bulan lalu. Ramai pagi itu, teman-teman di departemen lain mulai menggodaku. Yah... belakangan aku sibuk dengan bisnis baru, sehingga sering minta izin keluar kantor. Tapi aku tak peduli. Semua orang tahu, aku bukan pekerja kantoran bergaji tiap bulan. Aku hanya konsultan yang dibayar dengan insentif pekerjaan. Punya usaha, bukanlah sesuatu yang terlarang.

Baru 10 menit sejak aku turun dari mobil temanku, langsung menuju atm dan mengambil uang. Tiba-tiba, seseorang dari belakang mendorongku jatuh tepat setelah mengambil kartu. Karena kaget, aku terdiam, mengira gadis muda tinggi berambut pendek dengan topi dan masker yang berdiri di belakangku jatuh pingsan dan tak sengaja mendorongku.

Tapi bukan itu, justru di saat itu, uangku keluar dari mesin atm dan langsung dirampas gadis muda itu. Ia menghilang keluar gedung sebelum aku sempat berkata apa-apa. Aku terhenyak kaget. Bingung dan panik sekaligus. Tangan dan tubuhku gemetar sampai-sampai seorang Ibu memapahku untuk duduk di kursi. Seseorang memberiku minum, tapi aku menggeleng. Beberapa orang laki-laki bertanya, satpam-satpam mendekati dan juga menghujani pertanyaan, tapi otakku nge-blank.

Seseorang berbisik, menanyai siapa yang bisa dihubungi. Tanpa kata, kusodorkan ponsel yang sempat kubuka dengan sidik jari. Lalu mereka menelpon satu demi satu nomor-nomor yang tertera di situ. Entah siapa saja. Aku tak peduli. Bahkan aku tak ingat kapan ponsel kembali ke tanganku.

Entah berapa menit berlalu, aku hanya duduk dalam diam. Tak berani berdiri, bahkan tak berani bicara. Orang-orang masih mengelilingiku. Tapi aku tak bisa bersuara. Hanya kemudian, kuberanikan tanganku mengirimkan beberapa pesan ke suami dan teman-temanku. Ketika mereka menelpon, aku tak berani menjawab apapun selain diam mendengarkan mereka bicara. Aku kuatir, emosiku pecah dan menjadi tangisan. Tapi sungguh, aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Ponselku lama-lama kehabisan tenaga, low battery. Bahkan ketika akhirnya salah satu kepala Satpam menggiringku ke dalam ruangan mereka, ponselku sudah mati total.

Tapi baru duduk sekitar dua menit memperhatikan cctv, tiba-tiba pintu ruang jaga Satpam terbuka. Teguh berdiri di situ. Mukanya merah padam, matanya melotot dan begitu melihatku, raut wajahnya berubah, ia juga menghembuskan napas panjang. Lega.

Aku juga. Aku ingin menangis saat melihatnya. Sungguh lega, melihat seseorang yang kukenal.

“Mbak, gak papa? Mbak luka?” tanyanya.

Aku menggeleng. Meski bagian bokong dan pahaku sebenarnya sakit karena terkena pinggiran tangga saat jatuh, tapi tak sebanding dengan trauma yang masih begitu jelas di ingatanku.

Entah apa yang ia bicarakan bersama para Satpam, lalu mengamati cctv sebentar dan membiarkanku duduk diam. Tapi akhirnya, aku digandeng Teguh keluar dari ruangan itu, menuju tempat parkir. Selama berjalan melalui eskalator, melewati orang-orang dan sampai ke tempat parkir, Teguh tidak melepaskan pegangan sama sekali. Meski ia kerepotan membawa plastik besar berisi kain-kain yang sudah telanjur kupesan. Entah kapan ia mengambilnya.

Sampai di mobil, setelah aku duduk, Teguh sibuk mencari ponselku, mengisi batere dan menyalakannya. Denting-denting pesan masuk berturut-turut terdengar. Lalu ia mulai menghubungi suamiku, putri-putraku, teman-teman kantor kami, bosku bahkan menjawab sms dan pesan masuk dari teman-temanku yang tidak ia kenal sama sekali, yang semua kebingungan menanyakan kepastian. Sementara di sampingnya, aku hanya bisa menangis seperti anak kecil, melepaskan semua ketakutanku. Sepanjang jalan, aku terisak-isak. Teguh hanya diam, tak bicara sama sekali.

Teguh mengantarku pulang, bertemu dengan suamiku yang juga baru sampai setelah berputar-putar mencariku di gedung yang sama. Rupanya kami berselisih jalan. Bukan hanya suamiku, tapi beberapa teman dan supir kantor juga mencariku. Teguh melaporkan beberapa hal sebelum pulang pada suamiku saat aku memilih mandi dan berganti baju. Ia tak mengatakan apapun padaku, seperti biasa. Hanya berpamitan pada suamiku setelah berpesan untuk menghubunginya kalau perlu bantuan.

Lebih dari satu jam kemudian, setelah aku lebih tenang. Suamiku bercerita,

“Setelah dapet kabar, Ayah langsung keluar kantor. Baru sampai tengah jalan, Teguh nelepon nanyain posisi Mama karena dia baca di grup kantor soal Mama. Ayah ditanyain jadi tadi ngasih alamat toko yang mau Mama datangi. Dia lagi di Sudirman, dan lagi presentasi loh tadi itu. Karena urgent, dia pamit,” kata suamiku menjelaskan.

Tentu saja aku tahu, aku yang membuat schedule-nya. Karena aku tahu semua orang sedang tidak ada di kantor, makanya aku tadi melarikan diri juga.

Lalu sambung suamiku lagi. “Dia bilang, Kakaknya sedang kena musibah. Dia harus pergi.”

Kakaknya?

Siapa?

Aku?

Pemuda seperti hantu, yang tak pernah bicara, hampir tak pernah bercanda atau tertawa seperti yang lain, selalu lewat ruanganku tanpa sapaan bahkan sekedar senyuman, yang selalu menggeleng tiap kali diajak berbincang santai di luar jam kerja, duduk selalu membelakangiku, tapi bisa menganggapku kakaknya?

“Trus tadi ini teman Mama yang dulu sering datang ke sini, tuh yang rambutnya pendek?”

“Sonya? Thessa?” tebakku bingung.

“Thessaaa… iya dia itu. Dia nelpon dan info sudah transfer ke rekening Mama. Katanya, itu uang yang dijambret adalah uang orang juga, harus diganti segera. Jadi dia bantuin. Katanya Mama gak usah pikirin soal ganti-gantiin uang orang. Yang penting Mamah jaga diri aja.”

Thessa hanya salah satu mantan teman kuliahku. Kuliah kami sudah berakhir sejak tiga tahun lalu. Dia pindah ke kota lain karena pekerjaan. Tapi kami masih sering bertemu jika ia ke Jakarta dan selalu kontak setiap kali sempat melalui WhatsApp. Siapa yang menyangka, teman sejauh itupun peduli padaku?

Airmataku mengalir lagi. Bukan karena kehilangan uang atau rasa takut yang kembali lagi. Tapi karena tahu, hari ini sebenarnya bukan musibah. Ini hari yang baik untukku. Hari aku tahu kalau aku punya adik-adik yang peduli, mereka bukan sekedar teman, tapi mereka juga keluargaku. Hari saat Allah menunjukkan bahwa ada orang-orang yang menyayangiku meski dalam keheningan.

“Teguh tadi cerita kalo dia sempat kesal sama teman-teman di kantor, kok gak ada yang nemenin. Sudah tau orangtua kayak Mama itu gampang kaget. Habis dia marahin semua cewek-cewek di kantor. Tadi aja mau anter Mama ke rumah sakit segala. Ayah bilang, Mama itu obat tenangnya ya Ayah. Eh baru deh anak itu anteng dan pulang."

Ayah, Ayah… bukan hanya dirimu yang membuatku tenang. Teman-temanku, keluargaku yang lain, juga menenangkan hatiku. Aku tahu, di manapun, kapanpun, ada mereka selain dirimu yang mengkuatirkanku.

Suamiku menoleh padaku, "Yakin tahun depan mau berhenti? Adik-adikmu itu apa rela ditinggalin?"

Aku teringat hari-hari yang kulalui saat bersama teman-temanku, segelas teh yang sering kubuat sendiri untuk teman-temanku karena aku suka minum teh sambil mengobrol, makanan-makanan kecil yang sering kubagikan karena aku tak enak makan sendirian, ucapan dan hadiah tak seberapa yang lebih tepatnya hanya seperti sesuatu untuk menjahili mereka yang ulangtahun, naluriku yang tak bisa diam melihat ruang kerja tak rapi meski itu bukan ruanganku, dan entah berapa kali, aku yang suka mencoba hal-hal baru dengan senang hati membantu pekerjaan orang selama itu menyenangkan untuk dikerjakan. Jangan tanya caraku ‘bermain’ dengan teman-teman melalui WhatsApp, saling cerita, tertawa, becanda, bahkan meski sekedar mengomentari WA-Story mereka. Aku, ibu-ibu ini, masih sangat menikmati bermain-main kata dengan teman-teman.

Cuma itu, kebaikan yang kulakukan sebenarnya bertujuan untukku sendiri. Tapi siapa sangka, hal-hal kecil itulah yang menolongku di saat musibah besar datang. Hanya hal kecil, sangat kecil, bahkan terlalu kecil. Tapi… ternyata berbekas begitu dalam. Kulakukan itu tiap hari. Benar kata petuah bijak, bahkan batu saja bisa berubah bentuk karena tetesan air.

Hari ini, aku menemukan arti keluarga sesungguhnya. Dan keluarga yang sesungguhnya, akan selalu bersama, jauh atau dekat.

02 Juni 2017

Fantasi, Genre Rating Tinggi Drama Korea

Sepanjang akhir tahun 2016 hingga awal 2017, kita disajikan dua Drama Korea dengan unsur Fantasi, yaitu Guardian : The Lonely and Great Goblin, dan The Legend of The Blue Sea.

[caption id="attachment_800" align="aligncenter" width="341"]250px-golbin_poster pic source[/caption]

Rating untuk drama Goblin menembus angka tertinggi stasiun televisi Korea Tvn, mengalahkan Reply 1988. Hal ini tidak hanya membuat seluruh pemainnya mendapatkan berbagai penawaran iklan dan pekerjaan yang melimpah, tapi juga meningkatkan penjualan merchandise pendukung film mulai dari boneka maskot,handuk, gantungan kunci, perhiasan, soundtrack hingga DVD drama tersebut.

Genre Fantasi yang ditampilkan Goblin memang luar biasa, karena didukung oleh sound effect, lighting hingga picture effect yang berkualitas tinggi. Yang lebih mengagumkan, pohon sakura dan bunga buckwheat yang hanya tumbuh di musim semi tampil segar di tengah film yang mengambil masa syuting tepat di musim dingin yang membeku. Jelas sekali bahwa usaha untuk membawa unsur fantasi menjadi nyata sangat optimal dilakukan oleh para pendukung produksi ini.

Hal yang sama juga terjadi pada My Love From The Star yang diproduksi SBS juga pada musim dingin tahun 2013-2014. Dengan bantuan efek dinamis, genre fantasi yang ditampilkan berhasil membawa jutaan penontonnya menikmati percintaan dua orang berbeda asal itu hingga episode ke-20.

[caption id="attachment_799" align="aligncenter" width="250"]250px-you_who_came_from_the_stars_cover pic source[/caption]

Namun, tak semua genre fantasi bisa berhasil meraih rating tinggi. Jika tidak didukung dengan kualitas efek yang baik, serta usaha untuk menampilkan fantasi itu senyata mungkin maka kemungkinan untuk gagal justru lebih besar. Memang sangat mudah berfantasi dalam membuat sebuah cerita drama, tapi membuat fantasi itu senyata mungkin jauh lebih penting.

26 April 2017

Manika Bisnis, Bekerja dan Bersenang-senang

Beberapa minggu terakhir, saya bergabung dengan Manika. Teman-teman di medsos mungkin bertanya-tanya apa itu Manika?
Jadi Manika itu sebenarnya singkatan. Lengkapnya sih Komunitas Wirausaha Manika Bisnis. Manika sendiri artinya Mahasiswa dan Alumni Universitas Terbuka. Maka dapat disimpulkan bahwa Manika adalah komunitas wirausaha khusus untuk kalangan Universitas Terbuka yaitu Mahasiswa dan Alumni.

18 Maret 2017

Weekend Tanpa Kerja

Sabtu ini sengaja menahan semua pekerjaan dan tugas. Setelah empat hari tanpa Ayah, rasanya belum lunas kalau tak dihabiskan dengannya. Setelah Ayah kembali, saya langsung terjun bebas tenggelam menyelesaikan pekerjaan yang banyak tertunda. Boro-boro saling bercerita, kami sama-sama sibuk. Ditambah urusan anak-anak, malam pun kami langsung tidur. akhirnya Ayah dan saya tak sempat mengobrol.
Pagi hari, kami bertiga, minus Abang dan Kakak yang sedang rutin latihan, pergi membeli bunga dan tanaman baru. Saya mulai bosan dengan tanaman yang hampir tidak ada bunganya kecuali mawar-mawar kesayangan.
Pulangnya kami tak langsung bekerja di kebun  karena ternyata ada beberapa perubahan yang harus saya approve. Terpaksalah demi karir, saya mengalah juga. Untungnya si Adek mewek minta dibelikan kue pukis. Entah kesambet apa dia tiba-tiba minta kue itu. Tapi akhirnya Ayah jalan juga...
Seperti biasa, Sabtu saya tak pernah memasak dan Ayah yang mengurus dapur. Sepuluh tusuk sate ayam dan semangkuk sop kambing menjadi menu makan siang kami bertiga.
Saya dan Ayah mulai mengobrol. Mulai dari hal remeh temeh sampai masalah serius, yang menjadi rencana masa depan anak-anak. Satu keputusan dibuat dan satu rencana dipastikan. Hanya sekitar 2 jam kami bicara, tapi berasa banget pentingnya duduk membahas semua hal bersama. Andaikan tidak dibahas, masalah bisa saja terjadi.
Kami baru berkebun menjelang sore. Ah, tepatnya Ayah yang berkebun dan saya yang memerintahnya  dimana harus ditanam atau pot mana yang harus diberesin. Ayah tak mau saya ikut turun tangan, lebih baik dia yang cape daripada istrinya. Mungkin takut saya terkena kuman. 
Saat berkebun, Ayah menegur soal pekerjaan saya yang belakangan ini meningkat tajam. Bahkan 2 minggu terakhir, weekend saya full.

19 Februari 2017

Pilkada Rasa Perang Badar


Pilkada DKI 2017 telah memberi banyak pelajaran bagi kaum awam. Sama seperti Pilkada di awal tahun 2000an, di mana saat itu orang-orang baru merasakan nikmatnya pemilihan langsung. Mereka dengan bebas berekspresi, berkampanye bahkan berorasi dengan caranya masing-masing. Informasi yang diterima ditelan bulat-bulat tanpa dicek lebih dahulu. Meski kini pelajarannya sangat berbeda.

Kekecewaan terhadap kualitas para gubernur terpilih di masa-masa berikutnya telah memberikan pelajaran cukup mahal bagi pemilih. Proyek yang terbengkalai, solusi banjir yang tak kunjung berhasil, kepemimpinan yang setengah hati dan akhirnya korupsi tetap saja terjadi. Masyarakat mulai menjadi kaum yang apatis dalam memilih, namun belajar menyikapi berita dengan beragam respon.

26 Desember 2016

Pilihan Dalam Hidup

Beberapa hari yang lalu, setelah ulangan umum berlalu, kami sedang berbenah buku-buku. Tiba-tiba anak-anak, Abang dan Adek, menemukan salah satu buku diary saya...
Mereka cekikikan membaca tulisan Emak mereka yang sarat dengan emosi. Begitulah Emak mereka zaman itu. Lebih suka pakai gambar dan puitis... Jadi mereka berdua tertawa saat Emak menggambar muka boss yang saat itu sangat menjengkelkan.
Tapi mereka menemukan salah satu tulisan menarik!

15 Mei 2016

Restoran Dan Arti Kata Kenyang

Sering saya berpikir bahwa dunia ideal itu adalah ketika si kaya mau berbagi dengan si miskin. Dalam kegilaan saya kali ini, saya justru menemukan cara yang unik. Salah satu mimpi saya lagi, Mimpi tentang berbagi sambil menjalankan usaha.
Andaikan… ini andaikan… suatu saat saya punya sebuah restoran, dimana saya memang ingin sekali punya restoran. Entah itu restoran Padang, restoran Tegal, restoran Sunda, atau bahkan restoran Kalimantan. Mana-mana waelah.
Saya ingin di restoran itu berlaku sebuah aturan yang unik. Setiap orang boleh memesan makanan dan minuman, dan membayar (tentu saja) sesuai dengan pesanannya. Uniknya, mereka juga boleh mengorder satu atau bahkan sepuluh makanan atau minuman yang TIDAK dihidangkan. Hah??
Bingung ya?

05 Januari 2015

Resolusi 2015 : Mengembalikan Sesuatu Yang Hilang

Di awal tahun, ketika bertemu teman-teman sesama Emak yang baru pulang berlibur, ada pertanyaan muncul dari mereka.
“Resolusi tahun ini khusus buatmu apa, Mbak?”
Pertanyaan itu tahun lalu terjawab dengan mudah. Saya bahkan menurunkan artikelnya dalam blog lama. Dan blog baru ini termasuk resolusi tahun lalu yang akhirnya terwujud dengan sempurna. Kalau dilihat dari daftar resolusi tahun lalu, sekitar 80% terlaksana dengan baik. Meski salah satunya yaitu ‘diet’ justru berbanding terbalik…
 
Tapi tahun kemarin, selama proses melakukan semua resolusi, saya menemukan banyak hal yang menjadi pelajaran.
Ketika saya menjawab. “Resolusi tahun ini … pengen naik angkutan umum sendirian, pengen makan apapun tanpa larangan terutama rujak sepiring, tape ketan favorit seember dan boleh makan mie campur kopi kalau lapar tengah malam. Dan terakhir pengen naik jet coaster kapanpun saya mau.”
Teman-teman tertawa geli mendengar jawaban saya. “Resolusi yang teramat sederhana banget, Mbak Iin… “
Sementara saya cuma bisa mesem-mesem..
Itulah. Sederhana, resolusi yang sangat sederhana. Buat orang lain, sangat sederhana. Tapi buat saya itu adalah sesuatu yang takkan mungkin bisa saya lakukan. Bisa sih… dengan S&K berlaku dan kemungkinan besar berakibat fatal.
Tahun lalu… semuanya bisa saya lakukan dengan mudah. Foto-foto saat mencoba wahana-wahana yang berbahaya itu pun masih sempat saya lakukan bersama anak-anak. Pengalaman yang membuat saya kepengen tiap liburan sekolah untuk melakukannya terus.
Makan apalagi… sejak bekerja, saya paling suka wisata kuliner dibandingkan memikirkan lokasi atau belanja barang. Tiap kali berlibur, yang paling utama saya buru pastilah kuliner.  Apalagi ketika konco-konco utama saya yaitu anak-anak ternyata memiliki selera makan yang mirip dengan Emaknya. Bahkan sebulan sekali, saya dan anak-anak sengaja meluangkan waktu untuk berwisata kuliner mulai dari pizza, ayam goreng, makanan Jepang, serba daging sampai sekedar mencoba es krim saja. Bahkan kami hafal mana mie ayam enak, ayam goreng renyah dan sehat, dan sup iga sapi yang mantap!
 
Itu pula yang saya lakukan tiap kali bertemu teman-teman. Makan… ayo makan! Pernah satu kali, demi bisa mencoba dua tempat yang direkomendasi teman lain, saya beserta beberapa teman rela berjalan kaki lumayan jauh untuk menghilangkan kalori yang kami dapat dari restoran pertama. Setidaknya biar pencernaan tidak sakit.
Sungguh saat-saat yang sangat menyenangkan.
Saat itu, semuanya terasa biasa saja. Kalau dapat oleh-oleh seember tape ketan dari kampung yang kebetulan tak jauh dari kampung halaman suami, sayalah yang mengkonsumsi paling banyak. Kalau tengah malam lapar, dengan langkah ringan langsung mengolah mie dan secangkir kopi susu. Kalau lagi kepingin, rujak sepiring pun ludes tanpa ragu.
Namun…
2014 adalah tahun dimana kesenangan itu berakhir tanpa disangka. Pertengahan tahun, saya dihadiahi kenyataan. Tak boleh lagi ada sembarangan makanan masuk ke dalam tubuh. Serangkaian larangan dan pantangan memanjang memenuhi diary food. Sesekali saya ngotot dan tak peduli. Nyatanya akibat langsung terjadi dalam hitungan jam. Memang begitu disuntik atau diberi obat, langsung sembuh. Tapi dokter bilang, hidup dalam ketergantungan seperti itu tidaklah baik. Dan yang terbaik adalah mengatur pola makan dan menjauhi pantangan.
Kesehatan itu mahal harganya. Sangat-sangat mahal. Itu yang saya pelajari tahun kemarin. Hal-hal yang sederhana, menyenangkan untuk dilakukan dan menjadi salah satu alasan hidup menjadi berarti diambil, tanpa saya sadari ketika berusaha meraih yang lain.
Maka itulah sebabnya tak mungkin mengembalikan sesuatu yang takkan bisa kembali. Kalaupun kembali perlu usaha sangat keras. Menyesali tentu sudah terlambat. Hanya karena usia masih muda, bukan berarti menjaga pola hidup yang sehat sebagai sesuatu yang tidak penting.
Akhirnya inilah yang menyebabkan saya tak lagi menginginkan apapun. Ya tentu ada target hidup yang ingin dipenuhi. Tapi semua adalah kewajiban yang harus dijalani. Biarlah berjalan dengan sendirinya, tak perlu dijadikan resolusi. Selama kewajiban dijalankan, maka hasilnya pasti akan terjadi dengan sendirinya. Selebihnya berusaha menikmati apa yang ada, menjaga dengan baik agar apa yang tersisa akan bertahan lama sambil berusaha mengembalikan hal-hal yang sempat hilang.
Hidup mengajarkan kita banyak hal, melalui sakit dan sehat, melalui kecewa dan gembira, melalui bahagia dan sedih, melalui benci dan cinta, melalui kemenangan dan kehilangan, melalui kepergian dan kehadiran. Tapi semua pelajaran itu takkan berarti tanpa keinginan untuk mengubah diri. Umur takkan kembali, waktu takkan terulang. Kita harus berusaha mengubah diri menjadi lebih baik, agar semua hikmah menjadi berarti.
Selamat Menyambut Tahun Baru Masehi 2015!

28 Mei 2014

Jagalah Silaturahmi Untuk Hadapi Susahmu Nanti

Suatu hari saya bertanya pada suami mengapa ia membedakan perlakuan pada beberapa orang di dekatnya, padahal mereka adalah saudara-saudarinya?
Jawaban Ayah:
Kalau dua orang berdoa pada Allah SWT, mana kira-kira yang dikabulkan? Yang sering sholat dan selalu ingat padaNya, atau yang hanya ingat padaNya ketika sedang susah?
Saya : Tentu saja yang sering sholat dan selalu ingat padaNya, dong…
Ayah : Nah, begitu pula manusia sebagai hamba Allah. Mana yang duluan ditolong? Orang yang selalu menjaga silaturahmi atau orang yang hanya datang saat perlu?
Saya : yaaaah, yang selalu menjaga silaturahmi laaah. Tapi kan mereka sering telepon.
Ayah : Mengapa gerakan sholat tak pernah berubah?
Saya : Karena gerakan sholat itu kan sudah ada aturannya sejak zaman dulu saat Islam diajarkan. Lah apa hubungannya dengan silaturahmi toh yah?
Ayah : Begitu pula silaturahmi. Silaturahmi itu aturannya mata bertemu mata, tangan bertemu tangan. Seperti sholat, silaturahmi juga diajarkan dari awal seperti itu. Kenapa? karena ada lima indera manusia, kelima mencerminkan apa yang dirasakan dan apa yang tercermin di hatinya. Sesuatu yang tak mungkin diwakili hanya dengan suara.
Jadi…. Menjaga silaturahmi untuk menjaga dirimu di saat susah nanti itu penting, Saudara-saudariku. Dan Islam mengajarkan bahwa saudara atau saudari bukan hanya mereka yang berkaitan darah, tapi mereka yang menjadi saudara seimanmu… Dunia luas, dan siapapun yang menjaga silaturahmi dengan orang-orang di sekelilingnya, tidakkan pernah hidup susah.
*****

20 Mei 2014

The Chaffeur

Besok mau jalan-jalan, para Emak berkumpul…. sibuk merencanakan the most perfect holiday for the year.
Emak A :Besok kita bawa mobil sendiri aja yuk! Gak usah ikut bis, gimana?
Emak B & C:Boleh, boleh… iya biar bebas shopping shoppingnya ya!!
Emak D:Terus siapa yang nyetir?
Emak A:Yaaah, saya cuma bisa nyediain mobilnya. Kalau nyetir, hayuu deh siapa gitu yang bisa?
Emak C:Tuuh tuh, Mama Fira kan bisa nyetir. Ya kan Mama Fira??
Saya yang tak menyimak obrolan, hanya mengangguk mendengar pertanyaan yang terakhir.
Emak A:Nah, ya udah Mama Fira aja. Selesai masalah kita. Sekarang tinggal apa yang mau dibawa aja…
Mereka berembuk, mengenai makanan dan minuman yang dibawa untuk piknik. Berbagi tugas dan sebagainya, membiarkan saya yang sibuk dengan gadget saya.
Saya:Emang lagi ngebahas apa?
Emak B:Udah… Mama fira kan tugasnya jadi supir aja.
Saya:Supir? Nyupir aja?
Emak A:Yah jadi supir kitalah… Mama kan bisa nyetir, besok tugasnya ya cuma jadi supir, urusan yang lain-lain biar kita aja.
Saya:Hah!?!! Maksudnya nyetir ke Bogor? Ke Puncak?
Empat Emak manis itu menatap saya dan mengangguk bersamaan
Saya:Saya memang bisa menyetir, tapi saya gak bilang kalau saya bisa nyetir sampai ke Bogor. Lagian… saya kan ga punya, Moms!!
Emak D:Ga punya mobil? Kan mobilnya Emak A!
Saya:Bukaaan!! Saya ga punya SIM dan juga ga punya… keberanian
Emak A, B, C & D:Apaaa!?!! Jadi? Besok siapa dong yang nyupirin kita?
Saya:Ya mana saya tau, Ma. Saya lebih suka duduk di bis, sama anak saya. Kan kita liburannya sama anak-anak, mosok malah senang-senang sendiri.
Emak A:Mama fira… yaaaaa….
Saya:Aduh, Mom, jangankan nyetir mobil ke Bogor, lah bawa scoopy ke kampus aja saya gak berani. Entar malah jurusan ke rumah sakit deeh….
Dan saya pun melenggang pulang… meninggalkan empat teman yang kecewa berat.

11 Maret 2014

3rd Resolution : Learning Hard!!

Terlambat memposting!!

Ya... bulan ketiga di tahun 2014

Saya hanya punya satu tujuan. Learning Hard!! Tidak ada yang lain. Konsentrasi tingkat dewa untuk belajar, belajar dan belajar.

Nilai A bukan keharusan, tapi target yang harus dicapai.

Tidak seperti kemarin-kemarin saat saya masih muda, otak masih kayak mesin yang dipakai menghafal apapun bisa, sekarang bertarung dengan kepikunan dini karena terlalu banyak yang harus diurus.

Beginilah seorang Emak, di antara semua pelajaran yang harus diingat, harus ditambah pula dengan mengingat jadwal anak-anak, pelajaran anak-anak, obat dan aturan kesehatan suami sampai urusan rumah tangga. Bagaimana jadi tidak sering lupa? Akhirnya otak mem-filter dengan sendirinya, cuma bisa mengingat sesuatu jika sudah diulang sepuluh kali. Jangan tanya berapa kali saya lupa sesuatu, bahkan hal-hal kecil.

22 Februari 2014

Simple Thinking!

Childish...

Kata itu sering banget diartikan sebagai sebuah kata yang bermakna negatif dalam pengertian bahasa Indonesia, yaitu kekanak-kanakan.

12 Desember 2013

Galau karena Hijab

Ketika seorang teman menegur cara berpakaian, saya pikir itu adalah caranya mengajarkan kebaikan untuk saya. Dan selalu, ketika kebaikan itu diberikan pada saya, apapun caranya, kasar atau halus, akan selalu menjadi kritikan membangun untuk saya.

“Coba kalau berpakaian muslimah itu benar-benar muslimah, mba. Jangan tomboi gitu! Gak boleh loh sebenarnya seorang muslimah pakai celana.” Begitu kira-kira teguran teman saya itu. Lalu diikuti serangkaian kritikan termasuk jilbab pendek yang saya pakai.

Saya hanya diam, mengangguk-angguk dan berusaha keras merekam bagian-bagian yang ia kritik. Justru saya senang, karena saya jadi tahu letak kesalahan saya daripada dikritik di belakang alias menjadi bahan gibahan.

Tapi mengingat cara berpakaian saya sekitar 17-15 tahun lalu, dimana rok mini dan tank top adalah pakaian kegemaran saya, maka saat ini merupakan perkembangan yang sangat besar buat saya. Begitu menikah, saya memanjangkannya menjadi celana panjang. Sebenarnya saya masih suka pakai rok walaupun harus panjang, tapi saat itu pekerjaan tidak memungkinkan. Bekerja bersama 90%  kaum Adam dengan pekerjaan yang menuntut saya untuk aktif, malah akan menjadi masalah kalau saya memaksa pakai rok.

Pekerjaan-pekerjaan selanjutnya pun tetap menuntut pakai celana karena jika pakai rok, justru menghambat kinerja di kantor. Bukannya tidak mencoba, tapi rata-rata pekerjaan yang saya ambil selalu berhubungan dengan pekerjaan yang dulunya didominasi oleh pria dan kalau saya memaksa pakai rok maka justru bisa mencelakakan saya. Tidak mungkin kan saya mengambil contoh oli atau minyak dalam trafo-trafo raksasa yang kadang berada di lantai teratas sebuah gedung yang anginnya sama seperti naik pesawat, atau berada di ground floor yang panas dan harus menunduk di antara mesin itu. Tidak mungkin juga saya mengecek schedule proyek dan naik ke atas truck atau beckholoader menggunakan rok, bukan? Atau pekerjaan terakhir yang memaksa saya untuk memanjat tangga puluhan kaki dari dasar.

Ketika memutuskan untuk diam di rumah pun, saya masih harus mengurus keperluan rumah tangga dengan keadaan yang dituntut menjadi praktis. Mengurus tiga anak sendirian dengan rumah tangga, akan jadi sangat ribet kalau sambil pakai rok. Memakai daster, atau setidaknya celana, akan memudahkan saya bergerak cepat dan menyelesaikan pekerjaan. Tidak mungkin saya mengemudi motor sambil pakai rok panjang, meskipun bisa, tapi sebenarnya cukup berbahaya.

Akhirnya setiap kali membeli pakaian saya selalu mencari pakaian-pakaian praktis seperti setelan celana dan kaos panjang. Sesekali kemeja panjang meski tetap memakai celana. Hanya saja, saya tak lagi memakai celana jins karena selain kebanyakan agak ketat, saya juga merasa kurang nyaman.

Namun, seiring pertumbuhan anak-anak, saya mulai mengganti busana dengan busana yang lebih sesuai dengan kemuslimahan saya. Meski tak bisa sekaligus. Biaya mengganti jejeran busana praktis yang biasa saya kenakan itu cukup besar kalau saya paksakan sekaligus. Satu set pakaian muslim yang paling murah saja sudah di atas 100 ribu. Itu jenis pakaian yang paling sesuai dengan kaidah loh. Bukan yang neko-neko dengan hiasan atau payet.

Untuk seorang ibu, biaya sebesar itu jelas jadi masalah lain. Membayangkan diri sendiri mengenakan pakaian baru sementara anak-anak dan suami tidak rasanya kok tidak adil banget. Sedapat mungkin saya menyiasati anggaran pakaian dengan biaya yang saya tabung dari sisa-sisa uang belanja, bukan dari anggaran khusus. Hal yang sama pun pada kerudung dan jilbab yang saya kenakan. Alasannya sama, kepraktisan.

Untuk jilbab, suami malah berpesan kalau saya tidak boleh menggunakan jilbab lebih panjang dari dada kalau sedang naik motor. Berbahaya katanya. Dan buat saya, kata-katanya lebih dari sebuah perintah.

Siapa sih yang tak mau berhijab sesuai dengan kaidah? Tapi lagi-lagi kembali pada pribadi masing-masing. Saya penyuka warna cerah, karena warna itu seperti memberi semangat tinggi kalau saya sedang beraktivitas. Saya juga suka menjulurkan kerudung menjadi macam-macam bentuk asalkan masih menutup dada dan rambut panjang saya dengan baik. Bedanya saya tak suka kalung atau hiasan berlebihan selain sebuah bros untuk melengkapi penampilan. Saya merasa nyaman dengan semua yang saya pakai, merasa percaya diri di setiap langkah yang saya jalani ketika memakai apa yang saya kenakan saat ini. Asalkan tidak transparan, menutup keseluruhan tubuh dengan baik, tidak ketat dan juga tidak berlebihan, bagi saya itulah gambaran hijab yang sesuai dengan kepribadian saya yang aktif dan sedikit ramai.

Saya justru lebih tak pede ketika harus menghiasi kepala dengan jilbab yang dihiasi dengan berbagai macam bros atau hiasan seperti yang diajarkan banyak hijabers muda. Kesannya saya malah agak alay kalau memakainya di usia saat ini. Rasanya lebih nyaman hanya dengan potongan sederhana seperti dulu saat pertama kali mengenal jilbab. Bahkan jilbab sepuluh tahun lalu masih saya gunakan dengan baik sampai hari ini.

Tahun depan, inilah revolusi hidup pertama yang saya buat. Setidaknya sebulan sekali saya akan mencari pakaian yang benar-benar sesuai dengan citra diri muslimah sesungguhnya. Tak bisa sekaligus karena itu akan ‘menggoyang’ keuangan keluarga dan jelas itu bukan saya. Sambil memperbaiki sedikit demi sedikit penampilan saya, saya juga ingin lebih berilmu memaknai setiap benang yang menutupi aurat agar menjadi muslimah tidak sekedar tertutup aurat namun juga membuka wawasan yang benar.

Makanya, terima kasih buat teman yang mengingatkan saya, dan terima kasih untuk semua teman baik pria atau wanita yang seringkali memention saat memberi potongan hadits tentang jilbab. Saya bukannya tak paham, tak mengerti apalagi tak berusaha menjalani. Hanya saja itu tak mudah bagi ibu tiga anak yang sehari-hari bisa berada di tiga atau empat tempat sekaligus dalam sehari. Bantu saya dengan doa, lebih baik kalau mau membelikan setidaknya sepotong pakaian yang benar-benar sesuai (hehe...) dengan kaidah Islam sesungguhnya tentunya.

Ada satu potongan nasihat teman yang terngiang di telinga saya. “Iringilah jilbab yang kau kenakan, dengan ilmu yang cukup agar melengkapi dirimu menjadi sebuah pribadi yang sesuai antara hati dan penampilan.” Bahwa jilbab ‘hati’ juga tak cukup jika tak menjilbabi penampilan dengan baik.


***** 

21 September 2013

Gak Selalu Tentang Rumpi

Meski sudah lumayan lama menyandang status istri, saya jarang mau ikut serta dalam pergaulan ibu-ibu. Kesibukan kerja, dilanjutkan dengan mengurus keluarga membuat saya hampir tak pernah mencoba masuk ke dalam lingkungan pergaulan itu.

  
 


Tapi ketika anak-anak mulai bisa mandiri, dan si kecil Fira pun ternyata tertular kemandirian kedua kakaknya, saya mulai punya waktu mengekspresikan diri lebih luas. Kalau dulu, sekedar menulis atau mengerjakan kerajinan tangan di rumah saja, sekarang saya mulai melangkah lebih jauh selain menulis. Mulai belajar bergabung dengan para ibu-ibu.