Ketika seorang teman menegur cara berpakaian, saya pikir itu adalah caranya
mengajarkan kebaikan untuk saya. Dan selalu, ketika kebaikan itu diberikan pada
saya, apapun caranya, kasar atau halus, akan selalu menjadi kritikan membangun
untuk saya.
“Coba kalau berpakaian muslimah itu benar-benar muslimah, mba. Jangan
tomboi gitu! Gak boleh loh sebenarnya seorang muslimah pakai celana.” Begitu
kira-kira teguran teman saya itu. Lalu diikuti serangkaian kritikan termasuk
jilbab pendek yang saya pakai.
Saya hanya diam, mengangguk-angguk dan berusaha keras merekam bagian-bagian
yang ia kritik. Justru saya senang, karena saya jadi tahu letak kesalahan saya
daripada dikritik di belakang alias menjadi bahan gibahan.
Pekerjaan-pekerjaan selanjutnya pun tetap menuntut pakai celana karena jika
pakai rok, justru menghambat kinerja di kantor. Bukannya tidak mencoba, tapi
rata-rata pekerjaan yang saya ambil selalu berhubungan dengan pekerjaan yang
dulunya didominasi oleh pria dan kalau saya memaksa pakai rok maka justru bisa
mencelakakan saya. Tidak mungkin kan saya mengambil contoh oli atau minyak
dalam trafo-trafo raksasa yang kadang berada di lantai teratas sebuah gedung
yang anginnya sama seperti naik pesawat, atau berada di ground floor yang panas
dan harus menunduk di antara mesin itu. Tidak mungkin juga saya mengecek
schedule proyek dan naik ke atas truck atau beckholoader menggunakan rok,
bukan? Atau pekerjaan terakhir yang memaksa saya untuk memanjat tangga puluhan
kaki dari dasar.
Akhirnya setiap kali membeli pakaian saya selalu mencari pakaian-pakaian
praktis seperti setelan celana dan kaos panjang. Sesekali kemeja panjang meski
tetap memakai celana. Hanya saja, saya tak lagi memakai celana jins karena
selain kebanyakan agak ketat, saya juga merasa kurang nyaman.
Namun, seiring pertumbuhan anak-anak, saya mulai mengganti busana dengan
busana yang lebih sesuai dengan kemuslimahan saya. Meski tak bisa sekaligus.
Biaya mengganti jejeran busana praktis yang biasa saya kenakan itu cukup besar
kalau saya paksakan sekaligus. Satu set pakaian muslim yang paling murah saja
sudah di atas 100 ribu. Itu jenis pakaian yang paling sesuai dengan kaidah loh.
Bukan yang neko-neko dengan hiasan atau payet.
Untuk seorang ibu, biaya sebesar itu jelas jadi masalah lain. Membayangkan
diri sendiri mengenakan pakaian baru sementara anak-anak dan suami tidak
rasanya kok tidak adil banget. Sedapat mungkin saya menyiasati anggaran pakaian
dengan biaya yang saya tabung dari sisa-sisa uang belanja, bukan dari anggaran
khusus. Hal yang sama pun pada kerudung dan jilbab yang saya kenakan. Alasannya
sama, kepraktisan.
Untuk jilbab, suami malah berpesan kalau saya tidak boleh menggunakan
jilbab lebih panjang dari dada kalau sedang naik motor. Berbahaya katanya. Dan
buat saya, kata-katanya lebih dari sebuah perintah.
Siapa sih yang tak mau berhijab sesuai dengan kaidah? Tapi lagi-lagi
kembali pada pribadi masing-masing. Saya penyuka warna cerah, karena warna itu
seperti memberi semangat tinggi kalau saya sedang beraktivitas. Saya juga suka
menjulurkan kerudung menjadi macam-macam bentuk asalkan masih menutup dada dan
rambut panjang saya dengan baik. Bedanya saya tak suka kalung atau hiasan
berlebihan selain sebuah bros untuk melengkapi penampilan. Saya merasa nyaman
dengan semua yang saya pakai, merasa percaya diri di setiap langkah yang saya
jalani ketika memakai apa yang saya kenakan saat ini. Asalkan tidak transparan,
menutup keseluruhan tubuh dengan baik, tidak ketat dan juga tidak berlebihan,
bagi saya itulah gambaran hijab yang sesuai dengan kepribadian saya yang aktif
dan sedikit ramai.
Saya justru lebih tak pede ketika harus menghiasi kepala dengan jilbab yang
dihiasi dengan berbagai macam bros atau hiasan seperti yang diajarkan banyak
hijabers muda. Kesannya saya malah agak alay kalau memakainya di usia saat ini.
Rasanya lebih nyaman hanya dengan potongan sederhana seperti dulu saat pertama
kali mengenal jilbab. Bahkan jilbab sepuluh tahun lalu masih saya gunakan
dengan baik sampai hari ini.
Tahun depan, inilah revolusi hidup pertama yang saya buat. Setidaknya
sebulan sekali saya akan mencari pakaian yang benar-benar sesuai dengan citra
diri muslimah sesungguhnya. Tak bisa sekaligus karena itu akan ‘menggoyang’
keuangan keluarga dan jelas itu bukan saya. Sambil memperbaiki sedikit demi
sedikit penampilan saya, saya juga ingin lebih berilmu memaknai setiap benang
yang menutupi aurat agar menjadi muslimah tidak sekedar tertutup aurat namun
juga membuka wawasan yang benar.
Makanya, terima kasih buat teman yang mengingatkan saya, dan terima kasih
untuk semua teman baik pria atau wanita yang seringkali memention saat memberi
potongan hadits tentang jilbab. Saya bukannya tak paham, tak mengerti apalagi
tak berusaha menjalani. Hanya saja itu tak mudah bagi ibu tiga anak yang
sehari-hari bisa berada di tiga atau empat tempat sekaligus dalam sehari. Bantu
saya dengan doa, lebih baik kalau mau membelikan setidaknya sepotong pakaian
yang benar-benar sesuai (hehe...) dengan kaidah Islam sesungguhnya tentunya.
Ada satu potongan nasihat teman yang terngiang di telinga saya. “Iringilah
jilbab yang kau kenakan, dengan ilmu yang cukup agar melengkapi dirimu menjadi
sebuah pribadi yang sesuai antara hati dan penampilan.” Bahwa jilbab ‘hati’
juga tak cukup jika tak menjilbabi penampilan dengan baik.
*****