12 Desember 2013

Galau karena Hijab

Ketika seorang teman menegur cara berpakaian, saya pikir itu adalah caranya mengajarkan kebaikan untuk saya. Dan selalu, ketika kebaikan itu diberikan pada saya, apapun caranya, kasar atau halus, akan selalu menjadi kritikan membangun untuk saya.

“Coba kalau berpakaian muslimah itu benar-benar muslimah, mba. Jangan tomboi gitu! Gak boleh loh sebenarnya seorang muslimah pakai celana.” Begitu kira-kira teguran teman saya itu. Lalu diikuti serangkaian kritikan termasuk jilbab pendek yang saya pakai.

Saya hanya diam, mengangguk-angguk dan berusaha keras merekam bagian-bagian yang ia kritik. Justru saya senang, karena saya jadi tahu letak kesalahan saya daripada dikritik di belakang alias menjadi bahan gibahan.

Tapi mengingat cara berpakaian saya sekitar 17-15 tahun lalu, dimana rok mini dan tank top adalah pakaian kegemaran saya, maka saat ini merupakan perkembangan yang sangat besar buat saya. Begitu menikah, saya memanjangkannya menjadi celana panjang. Sebenarnya saya masih suka pakai rok walaupun harus panjang, tapi saat itu pekerjaan tidak memungkinkan. Bekerja bersama 90%  kaum Adam dengan pekerjaan yang menuntut saya untuk aktif, malah akan menjadi masalah kalau saya memaksa pakai rok.

Pekerjaan-pekerjaan selanjutnya pun tetap menuntut pakai celana karena jika pakai rok, justru menghambat kinerja di kantor. Bukannya tidak mencoba, tapi rata-rata pekerjaan yang saya ambil selalu berhubungan dengan pekerjaan yang dulunya didominasi oleh pria dan kalau saya memaksa pakai rok maka justru bisa mencelakakan saya. Tidak mungkin kan saya mengambil contoh oli atau minyak dalam trafo-trafo raksasa yang kadang berada di lantai teratas sebuah gedung yang anginnya sama seperti naik pesawat, atau berada di ground floor yang panas dan harus menunduk di antara mesin itu. Tidak mungkin juga saya mengecek schedule proyek dan naik ke atas truck atau beckholoader menggunakan rok, bukan? Atau pekerjaan terakhir yang memaksa saya untuk memanjat tangga puluhan kaki dari dasar.

Ketika memutuskan untuk diam di rumah pun, saya masih harus mengurus keperluan rumah tangga dengan keadaan yang dituntut menjadi praktis. Mengurus tiga anak sendirian dengan rumah tangga, akan jadi sangat ribet kalau sambil pakai rok. Memakai daster, atau setidaknya celana, akan memudahkan saya bergerak cepat dan menyelesaikan pekerjaan. Tidak mungkin saya mengemudi motor sambil pakai rok panjang, meskipun bisa, tapi sebenarnya cukup berbahaya.

Akhirnya setiap kali membeli pakaian saya selalu mencari pakaian-pakaian praktis seperti setelan celana dan kaos panjang. Sesekali kemeja panjang meski tetap memakai celana. Hanya saja, saya tak lagi memakai celana jins karena selain kebanyakan agak ketat, saya juga merasa kurang nyaman.

Namun, seiring pertumbuhan anak-anak, saya mulai mengganti busana dengan busana yang lebih sesuai dengan kemuslimahan saya. Meski tak bisa sekaligus. Biaya mengganti jejeran busana praktis yang biasa saya kenakan itu cukup besar kalau saya paksakan sekaligus. Satu set pakaian muslim yang paling murah saja sudah di atas 100 ribu. Itu jenis pakaian yang paling sesuai dengan kaidah loh. Bukan yang neko-neko dengan hiasan atau payet.

Untuk seorang ibu, biaya sebesar itu jelas jadi masalah lain. Membayangkan diri sendiri mengenakan pakaian baru sementara anak-anak dan suami tidak rasanya kok tidak adil banget. Sedapat mungkin saya menyiasati anggaran pakaian dengan biaya yang saya tabung dari sisa-sisa uang belanja, bukan dari anggaran khusus. Hal yang sama pun pada kerudung dan jilbab yang saya kenakan. Alasannya sama, kepraktisan.

Untuk jilbab, suami malah berpesan kalau saya tidak boleh menggunakan jilbab lebih panjang dari dada kalau sedang naik motor. Berbahaya katanya. Dan buat saya, kata-katanya lebih dari sebuah perintah.

Siapa sih yang tak mau berhijab sesuai dengan kaidah? Tapi lagi-lagi kembali pada pribadi masing-masing. Saya penyuka warna cerah, karena warna itu seperti memberi semangat tinggi kalau saya sedang beraktivitas. Saya juga suka menjulurkan kerudung menjadi macam-macam bentuk asalkan masih menutup dada dan rambut panjang saya dengan baik. Bedanya saya tak suka kalung atau hiasan berlebihan selain sebuah bros untuk melengkapi penampilan. Saya merasa nyaman dengan semua yang saya pakai, merasa percaya diri di setiap langkah yang saya jalani ketika memakai apa yang saya kenakan saat ini. Asalkan tidak transparan, menutup keseluruhan tubuh dengan baik, tidak ketat dan juga tidak berlebihan, bagi saya itulah gambaran hijab yang sesuai dengan kepribadian saya yang aktif dan sedikit ramai.

Saya justru lebih tak pede ketika harus menghiasi kepala dengan jilbab yang dihiasi dengan berbagai macam bros atau hiasan seperti yang diajarkan banyak hijabers muda. Kesannya saya malah agak alay kalau memakainya di usia saat ini. Rasanya lebih nyaman hanya dengan potongan sederhana seperti dulu saat pertama kali mengenal jilbab. Bahkan jilbab sepuluh tahun lalu masih saya gunakan dengan baik sampai hari ini.

Tahun depan, inilah revolusi hidup pertama yang saya buat. Setidaknya sebulan sekali saya akan mencari pakaian yang benar-benar sesuai dengan citra diri muslimah sesungguhnya. Tak bisa sekaligus karena itu akan ‘menggoyang’ keuangan keluarga dan jelas itu bukan saya. Sambil memperbaiki sedikit demi sedikit penampilan saya, saya juga ingin lebih berilmu memaknai setiap benang yang menutupi aurat agar menjadi muslimah tidak sekedar tertutup aurat namun juga membuka wawasan yang benar.

Makanya, terima kasih buat teman yang mengingatkan saya, dan terima kasih untuk semua teman baik pria atau wanita yang seringkali memention saat memberi potongan hadits tentang jilbab. Saya bukannya tak paham, tak mengerti apalagi tak berusaha menjalani. Hanya saja itu tak mudah bagi ibu tiga anak yang sehari-hari bisa berada di tiga atau empat tempat sekaligus dalam sehari. Bantu saya dengan doa, lebih baik kalau mau membelikan setidaknya sepotong pakaian yang benar-benar sesuai (hehe...) dengan kaidah Islam sesungguhnya tentunya.

Ada satu potongan nasihat teman yang terngiang di telinga saya. “Iringilah jilbab yang kau kenakan, dengan ilmu yang cukup agar melengkapi dirimu menjadi sebuah pribadi yang sesuai antara hati dan penampilan.” Bahwa jilbab ‘hati’ juga tak cukup jika tak menjilbabi penampilan dengan baik.


*****