It's okay to be lebay!
Sekitar 2 minggu lalu, diundang meeting dengan salah satu
calon klien. Proyeknya emang gak mungkin dibahas online. Janjian lah...
Harusnya bertemu dengan total 8 org. Tapi dua teman Emak yg
bakal ngerjain bareng bilang, kalo mrk percaya aja sama Emak. Entar Emak yg
bikin outline plan, mereka yg eksekusi based on it.
Sedang yang satu lgi dri pihak sebelah, terlalu sibuk jadi gak bisa dateng. Mereka ini kerja di Kementerian/Pemerintahan, jadi sering tugas daerah.
Tiga hari sebelumnya, Emak juga meeting dgn teman tapi
sifatnya hanya urusan kampus. Di meeting itu, teman bergosip ttg kluster covid
di kantor pemerintahan Jakarta dan Kementerian, yang sedang banyak-banyaknya.
Begitu denger, sebenarnya Emak mau cancel meeting. Tapi ya
gimana... Sayang juga dilewatkan. Rezeki soale. Akhirnya Bismillah aja sambil
menyiapkan apd maksimal.
Selama meeting, Emak pake masker double sama tisu dan satu
tangan kiri pake sarung tangan. Tisu di masker itu tujuannya biar kacamata gak
berembun aja sih. Tangan kiri ya buat megang-megang.
Kami makan bersama. Tapi Emak hanya minum Thai milk Tea
dengan snack pisang goreng tanpa melepas masker. Itu pun tiap makan/minum,
masker hanya dinaikkan sedikit lalu pake lagi selama mengunyah (diselipin lewat
bawah). Minuman pake sedotan besi yg emang bawa sendiri.
2 hari setelah makan bersama dan meeting hampir 4 jam itu,
salah satu dari 4 org dikirim ke RS karena demam tinggi. Sorenya dia minta kami
semua di-swab karena ia suspect covid.
Kalau weekend, hampir gak ada klinik yang buka utk
swab/Rapidtest. Jadi Emak minta tolong adik dan dia langsung bantuin walau
hanya bisa rapid test. Hasil pertama Emak reaktif.
Saat ngabarin ke grup dadakan dri meeting itu, mereka open
kalo hasil mereka jg reaktif. Kami pun mulai waspada dan isolasi sendiri dari
keluarga.
Hari Senin, pagi-pagi Emak rapidtest lagi. Kali ini non
reaktif. Tapi Abang demam. Emak panik. Takut Abang tertular dari Emak. Kami
swab siang itu. Tapi krn biaya mahal, akhirnya hanya Emak. Kalo positif, entar
Abang di puskesmas aja.
Rumah bener² mencekam, karena duo gadis Emak larang
berinteraksi sampai hasil swab Emak keluar. Semua dalam rumah bermasker dan
tinggal dalam kamar masing-masing. Ayah aja tidur di luar.
Di hari yang sama, satu teman meeting Emak ngabarin kalo
hasil dia positif. Malah istrinya juga. Saat itu di TV lagi rame berita Pak
Gubernur positif covid. Duh makin stress dengernya.
Besokannya alhamdulillah hasil Emak negatif. Abang juga
setelah istirahat dan makan banyak, demamnya turun. Anaknya jg ceria lagi. Dia
akhirnya gak jadi swab. Nunggu swab kedua Emak aja katanya. Tapi kami tetap
isolasi. Ngobrol aja terpisah dinding.
Hari berikut, hasil swab dua teman meeting lain juga
dinyatakan positif. Emak udah dalam tahap pasrah tapi positive thinking.
Tiga hari kemudian, satu teman meeting masuk RS karena dia
sesak napas. Sementara hasil swab Emak yang kedua juga negatif.
Beberapa hari kemudian, dua lagi masuk RS. Satu teman yang
perempuan malah sampe gak bisa bangun. Katanya tenaganya berasa digerogoti. Dia
memang bertubuh kurus.
Jadi dari lima orang, Emak aja yang terhindar. Padahal saat
itu, teman² meeting sempat geleng² kepala melihat Emak yang lebay. Pake sarung
tangan sebelah dan sebisanya tangan kanan menghindari megang atau menyentuh.
Minum pake sedotan. Sambil duduk, tangan Emak sibuk 'ngepel'
meja bagian Emak dengan tisu basah beralkohol 70℅ sebelum makanan datang. Dan
hampir tiap beberapa menit, Emak pakai hand sanitizer gel di tangan kanan.
Masker juga ganti 2x, saat dibuka pun, Emak meniru cara dokter yg bisa dilihat
di tiktok/youtube. Dibalik tanpa menyentuh bagian luar.
Lebay? Yes I know. Tapi yang kebayang itu anak-anak
di rumah. Mereka udah rela dikurung, jangan sampe mamaknya bawa penyakit
pulang.
Emak cerita sekarang, buat pelajaran terutama bagi yang
harus bekerja di luar rumah. Gak papa lebay asal kita bisa melindungi keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar