19 Februari 2017

Pilkada Rasa Perang Badar


Pilkada DKI 2017 telah memberi banyak pelajaran bagi kaum awam. Sama seperti Pilkada di awal tahun 2000an, di mana saat itu orang-orang baru merasakan nikmatnya pemilihan langsung. Mereka dengan bebas berekspresi, berkampanye bahkan berorasi dengan caranya masing-masing. Informasi yang diterima ditelan bulat-bulat tanpa dicek lebih dahulu. Meski kini pelajarannya sangat berbeda.

Kekecewaan terhadap kualitas para gubernur terpilih di masa-masa berikutnya telah memberikan pelajaran cukup mahal bagi pemilih. Proyek yang terbengkalai, solusi banjir yang tak kunjung berhasil, kepemimpinan yang setengah hati dan akhirnya korupsi tetap saja terjadi. Masyarakat mulai menjadi kaum yang apatis dalam memilih, namun belajar menyikapi berita dengan beragam respon.


Peraturan dan undang-undang ITE telah memaksa masyarakat untuk semakin hati-hati dalam mengelola berita apapun yang mereka dapatkan. Bahkan ketika berita itu pro pada pilihannya. Namun begitu, tetap banyak pihak-pihak yang menarik keuntungan dengan memutarbalikkan fakta yang sebenarnya. Sayangnya, hal ini justru lebih sering ditutup-tutupi oleh pihak terkait. Tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah membuat kegiatan seperti ini menjamur setiap kali kampanye terjadi.

Pilkada DKI menjadi menarik karena adanya unsur politis dan hukum yang ikut berperan di dalamnya. Kasus hukum yang sedang mendera salah satu paslon ternyata tak mampu menjawab keresahan masyarakat mengenai penegakan hukum. Secara jelas dapat disimpulkan bahwa hukum di negeri ini bisa diubah dan disesuaikan dengan keinginan para penguasanya.

Seperti kebanyakan penduduk muslim, saya juga sempat berada dalam kegamangan. Apakah menjalani syariat Islam bermakna saya tidak pantas menjadi penduduk negeri berdasar Pancasila ini?

Untungnya, Papa saya adalah pengagum Soekarno dan ia membiarkan saya ikut membaca semua buku-buku Soekarno yang ia koleksi bahkan sebelum rezim Orde Baru runtuh sejak saya SMP. Saya mengingat setiap kejadian yang terurai dalam buku-buku itu dan paham benar bahwa Pancasila yang sebenarnya justru melindungi kegiatan syariat yang dijalankan setiap umat beragama di Indonesia.

Maka benar kiranya, bahwa ketika kita sholat, berpuasa, bersedekah, naik haji bahkan mengucapkan ‘Assalamualaikum’ itu adalah bagian dari syariat Islam. Sama halnya dengan mereka yang ke gereja, ke Pura, ke Vihara, merayakan Natal, Hari Waisak dan lain-lain. Semuanya menjalani syariat agamanya masing-masing dan itu dilindungi oleh negara. Lalu mengapa kita tak boleh memilih pemimpin berdasarkan syariat agama? Syariat agama di Indonesia, adalah syariat yang dilindungi secara konstitusional.

Inilah dilema yang melanda sebagian muslim di Indonesia. Mereka gamang antara pilihan pemimpin yang kafir dan bukan kafir, atau memilih pemimpin berdasarkan kinerjanya. Sungguh, ini sudah sangat jelas. Kita bisa melihat kesuksesan Petahana, tapi tidak memberi peluang pada calon paslon lain. Sebagian dari mereka telah yakin, bahwa hanya akan ada pemimpin muslim yang sudah pasti korupsi dan sudah pasti gagal. Mereka tak melihat kemungkinan lain kalau bisa saja pemimpin yang baru justru pemimpin yang jauh lebih baik.

Lalu ke mana lagi kita harus melihat kalau masih tidak yakin? Tentu saja kembali pada hati dan akal yang diberikan Allah SWT. Sepanjang hidup saya semua kebenaran dalam Al Qur’an telah nyata terbukti.

Dengan hijab, Allah melindungi saya dari banyak penyakit, masalah bahkan membuat saya merasa cantik. Dengan pilihan menjadi muslimah, Allah memberikan saya banyak sahabat, saudara bahkan perlindungan kasih sayang dari orang-orang yang tak pernah bisa saya hitung. Dengan kasih sayangNya, Allah memberikan saya kenikmatan dunia yang jauh lebih indah dari pekerjaan dengan gaji besar dan fasilitas mewah. Tak ada kenikmatan dunia yang lebih baik selain kasih sayang suami, mertua, anak-anak, adik-adik dan sahabat-sahabat saya. Mereka yang membuat saya semakin tegar untuk jalan sesuai kodrat sebagai muslimah.

Sebenarnya setiap orang pasti bisa melihat kebenaran itu dengan mudah. Azab itu di depan mata, hanya saja tak semua mata hati mengakuinya. Saat seseorang merasa tak diterima oleh kaumnya, saat seseorang merasa tak nyaman karena mengingat sebutan ‘munafik’ untuknya, saat merasa sendirian di tengah masalah yang tak kunjung selesai, saat dunia terasa sangat sempit karena tak ada lagi jalan keluar, saat seluruh tangisnya tak lagi dirasa akan didengar.. bahkan beberapa waktu lalu, ada yang sampai ingin pindah ke galaksi lain demi menghindari hujatan yang tak langsung untuknya…. Itulah Azab!

Belum cukup itu, sekarang ramai-ramai Ulama, Kyai dan Pengurus Mesjid mendeklarasikan diri untuk menolak mengurus seluruh keperluan yang bersangkutan dengan urusan agama bagi kaum munafik. Terdengar kejam? Hal yang paling kejam itu ketika kaum Munafik itu justru dimasukkan ke dalam api neraka sebelum para kaum kafir…

Sadarlah, saudara-saudariku. Al Qur’an adalah tuntunan hidup yang kelak akan menolong kita. Apa jawabmu jika banyak firman Allah SWT di dalamnya yang justru kau dustakan? Masihkah ada guna nikmat dunia untukmu ketika terbayang siksa akibat dustamu sendiri? 

Entah mengapa saya merasa inilah Pilkada DKI rasa Perang Badar. Yang diperangi bukanlah fisik, tapi mental bobrok kaum munafik.

Saya, hanyalah penduduk Jakarta. Siapapun yang menang, tak ada ruginya untuk saya secara langsung. Tapi saya memilih untuk tak menjadi kaum merugi dan berusaha tetap menjadi umat Allah SWT, mempercayakan semata-mata kebaikan dunia akherat pada semua yang Ia firmankan dengan jelas dalam Al Qur’an. Memilih pemimpin kafir saja sudah banyak larangannya dalam Al Qur’an, apalagi pemimpin yang tidak bisa menghormati dan justru menistakan agama masyarakat yang dipimpinnya. Wallahu A'lam Bishawab

*****