Pilkada DKI 2017 telah memberi banyak pelajaran bagi kaum
awam. Sama seperti Pilkada di awal tahun 2000an, di mana saat itu orang-orang
baru merasakan nikmatnya pemilihan langsung. Mereka dengan bebas berekspresi,
berkampanye bahkan berorasi dengan caranya masing-masing. Informasi yang
diterima ditelan bulat-bulat tanpa dicek lebih dahulu. Meski kini pelajarannya
sangat berbeda.
Kekecewaan terhadap kualitas para gubernur terpilih di
masa-masa berikutnya telah memberikan pelajaran cukup mahal bagi pemilih.
Proyek yang terbengkalai, solusi banjir yang tak kunjung berhasil, kepemimpinan
yang setengah hati dan akhirnya korupsi tetap saja terjadi. Masyarakat mulai
menjadi kaum yang apatis dalam memilih, namun belajar menyikapi berita dengan
beragam respon.
Peraturan dan undang-undang ITE telah memaksa masyarakat
untuk semakin hati-hati dalam mengelola berita apapun yang mereka dapatkan.
Bahkan ketika berita itu pro pada pilihannya. Namun begitu, tetap banyak
pihak-pihak yang menarik keuntungan dengan memutarbalikkan fakta yang
sebenarnya. Sayangnya, hal ini justru lebih sering ditutup-tutupi oleh pihak
terkait. Tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah membuat kegiatan
seperti ini menjamur setiap kali kampanye terjadi.
Pilkada DKI menjadi menarik karena adanya unsur politis dan
hukum yang ikut berperan di dalamnya. Kasus hukum yang sedang mendera salah
satu paslon ternyata tak mampu menjawab keresahan masyarakat mengenai penegakan
hukum. Secara jelas dapat disimpulkan bahwa hukum di negeri ini bisa diubah dan
disesuaikan dengan keinginan para penguasanya.
Seperti kebanyakan penduduk muslim, saya juga sempat berada
dalam kegamangan. Apakah menjalani syariat Islam bermakna saya tidak pantas
menjadi penduduk negeri berdasar Pancasila ini?
Untungnya, Papa saya adalah pengagum Soekarno dan ia membiarkan
saya ikut membaca semua buku-buku Soekarno yang ia koleksi bahkan sebelum rezim
Orde Baru runtuh sejak saya SMP. Saya mengingat setiap kejadian yang terurai
dalam buku-buku itu dan paham benar bahwa Pancasila yang sebenarnya justru
melindungi kegiatan syariat yang dijalankan setiap umat beragama di Indonesia.
Maka benar kiranya, bahwa
ketika kita sholat, berpuasa, bersedekah, naik haji bahkan mengucapkan ‘Assalamualaikum’ itu adalah bagian dari
syariat Islam. Sama halnya dengan mereka yang ke gereja, ke Pura, ke Vihara,
merayakan Natal, Hari Waisak dan lain-lain. Semuanya menjalani syariat agamanya
masing-masing dan itu dilindungi oleh negara. Lalu mengapa kita tak boleh
memilih pemimpin berdasarkan syariat agama? Syariat agama di Indonesia, adalah
syariat yang dilindungi secara konstitusional.
Inilah dilema yang melanda sebagian muslim di Indonesia.
Mereka gamang antara pilihan pemimpin yang kafir dan bukan kafir, atau memilih
pemimpin berdasarkan kinerjanya. Sungguh, ini sudah sangat jelas. Kita bisa
melihat kesuksesan Petahana, tapi tidak memberi peluang pada calon paslon lain.
Sebagian dari mereka telah yakin, bahwa hanya akan ada pemimpin muslim yang
sudah pasti korupsi dan sudah pasti gagal. Mereka tak melihat kemungkinan lain
kalau bisa saja pemimpin yang baru justru pemimpin yang jauh lebih baik.
Lalu ke mana lagi kita harus melihat kalau masih tidak
yakin? Tentu saja kembali pada hati dan akal yang diberikan Allah SWT.
Sepanjang hidup saya semua kebenaran dalam Al Qur’an telah nyata terbukti.
Dengan hijab, Allah melindungi saya dari banyak penyakit,
masalah bahkan membuat saya merasa cantik. Dengan pilihan menjadi muslimah,
Allah memberikan saya banyak sahabat, saudara bahkan perlindungan kasih sayang
dari orang-orang yang tak pernah bisa saya hitung. Dengan kasih sayangNya,
Allah memberikan saya kenikmatan dunia yang jauh lebih indah dari pekerjaan
dengan gaji besar dan fasilitas mewah. Tak ada kenikmatan dunia yang lebih baik
selain kasih sayang suami, mertua, anak-anak, adik-adik dan sahabat-sahabat
saya. Mereka yang membuat saya semakin tegar untuk jalan sesuai kodrat sebagai
muslimah.
Sebenarnya setiap orang pasti bisa melihat kebenaran itu
dengan mudah. Azab itu di depan mata, hanya saja tak semua mata hati
mengakuinya. Saat seseorang merasa tak diterima oleh kaumnya, saat seseorang merasa
tak nyaman karena mengingat sebutan ‘munafik’ untuknya, saat merasa sendirian
di tengah masalah yang tak kunjung selesai, saat dunia terasa sangat sempit
karena tak ada lagi jalan keluar, saat seluruh tangisnya tak lagi dirasa akan
didengar.. bahkan beberapa waktu lalu, ada yang sampai ingin pindah ke galaksi
lain demi menghindari hujatan yang tak langsung untuknya…. Itulah Azab!
Belum cukup itu, sekarang ramai-ramai Ulama, Kyai dan Pengurus
Mesjid mendeklarasikan diri untuk menolak mengurus seluruh keperluan yang
bersangkutan dengan urusan agama bagi kaum munafik. Terdengar kejam? Hal yang
paling kejam itu ketika kaum Munafik itu justru dimasukkan ke dalam api neraka
sebelum para kaum kafir…
Sadarlah, saudara-saudariku. Al Qur’an adalah tuntunan hidup
yang kelak akan menolong kita. Apa jawabmu jika banyak firman Allah SWT di dalamnya
yang justru kau dustakan? Masihkah ada guna nikmat dunia untukmu ketika
terbayang siksa akibat dustamu sendiri?
Entah mengapa saya merasa inilah
Pilkada DKI rasa Perang Badar. Yang diperangi bukanlah fisik, tapi mental
bobrok kaum munafik.
Saya, hanyalah penduduk Jakarta. Siapapun yang menang, tak
ada ruginya untuk saya secara langsung. Tapi saya memilih untuk tak menjadi
kaum merugi dan berusaha tetap menjadi umat Allah SWT, mempercayakan
semata-mata kebaikan dunia akherat pada semua yang Ia firmankan dengan jelas
dalam Al Qur’an. Memilih pemimpin kafir saja sudah banyak larangannya dalam Al
Qur’an, apalagi pemimpin yang tidak bisa menghormati dan justru menistakan agama
masyarakat yang dipimpinnya. Wallahu A'lam Bishawab
*****