Kata itu sering banget diartikan sebagai sebuah kata yang bermakna negatif dalam pengertian bahasa Indonesia, yaitu kekanak-kanakan.
: of a child or typical of a child; especially : having or showing the unpleasant qualities (such as silliness or lack of maturity) that children often have
Full Definition of CHILDISH
2
a : marked by or suggestive of immaturity and lack of poise<a childish spiteful remark>
b : lacking complexity : simple <it's a childish device, but it works>
c : deteriorated with age especially in mind : senile
— child·ish·ly adverb
— child·ish·ness noun
from : http://www.merriam-webster.com/
Dalam bahasa kita, childish diartikan sebagai kekanak-kanakan, bertingkah tidak dewasa, seperti anak kecil.
Memang bersikap kekanak-kanakan di saat usia seseorang sudah dewasa bisa dianggap sebagai sesuatu yang negatif dan tidak dewasa, atau bisa juga berarti menurunnya daya ingat.
Tapi...
Bersikap seperti anak-anak bukan berarti sebuah sifat yang negatif. Kadang-kadang masalah menjadi kompleks karena sikap kita yang seringkali berpikir kompleks dan terlalu rumit. Terlalu banyak memikirkan dari berbagai sudut pandang, hingga kebingungan sendiri saat harus menentukan jalan keluar. Kerumitan itu disebabkan karena kedewasaan yang dialami seseorang setelah melalui banyak pengalaman hidup.
Lingkungan memang menentukan seseorang menjadi dewasa atau kembali menjadi seperti anak-anak. Ketika bekerja, otak remaja saya dipaksa bekerja untuk menjadi dewasa dan lupa melewati periode dimana saya seharusnya berpikir selayaknya usia saya.
Ketika umur delapan belas, sebagian teman-teman masih bersibuk ria dengan belajar di kampus atau teman-teman sesama remaja yang berpikir simple. Sebagian remaja di umur yang sama, seperti saya, berkutat dengan pikiran bagaimana agar bisa diterima di lingkungan pekerjaan yang kadang-kadang merampas kesederhanaan berpikir ala remaja. Kita dituntut untuk berpikir cepat dan matang, matang artinya sudah diperhitungkan masak-masak mengenai untung dan ruginya.
Tapi ketika lingkungan berganti, menjadi periode di mana kemudian saya menjadi seorang Ibu. Perubahan pun terjadi... saya menjadi lebih banyak bergaul dengan anak-anak. Sebagai seorang ibu, tentu akhirnya yang dipelajari adalah memandang dari satu sudut pandang baru. Sudut pandang anak-anak. Yang bersih, murni dan polos.
Dan perbandingan pun terjadi karena pengalaman. Saya melihat kadang-kadang anak-anak lebih cepat menyelesaikan masalah dibandingkan orang dewasa. Mereka dengan mudah berbaikan kembali hanya dalam hitungan menit, setelah berteriak-teriak dan bertengkar tentang sesuatu yang keliatan sepele. Tapi orang dewasa, meski tangan berjabat, meski mulut sudah meminta maaf, tetap saja suatu saat persoalan yang sama bisa jadi meledak.
Lalu, salahkah ketika seseorang yang sudah dewasa menjadi childish?
Sikap anak-anak itu adalah...
Mereka selalu dipenuhi rasa ingin tahu, menyukai tantangan baru, tidak segan untuk bertanya dan tidak peduli dengan pandangan orang.
Mereka melalui hari agar bisa tertawa dan tersenyum, berusaha tidak menangis karena artinya menangis itu sedih
Mereka menganggap masalah hari ini sudah selesai seperti ketika Mama atau Papa berhenti mengomeli, ketika mata mereka sudah lelah dan tertidur, ketika matahari hari ini tenggelam dan berganti bulan.
Mereka memandang semua orang sama dan hanya sikap yang akan membedakan penilaian mereka pada orang tersebut.
Mereka berpikir sederhana, tidak kompleks dan rumit, tidak untuk dijadikan rasa galau apalagi dijadikan alasan untuk tidak makan dan tidak tidur dengan baik
Mereka tertawa tanpa beban, menangis ketika sedih sudah tak lagi sanggup ditahan, dan marah di depan orang yang membuatnya marah, bukan di belakang orang itu.
Mereka jujur, mengungkapkan isi hati dan apa yang ada di otaknya. Jika jelek, dikatakan jelek. Jika bagus, dikatakan bagus.
Jadi... saya pun memilih bersikap seperti itu. Tapi saya tahu, tak semua orang bisa menerima kritik dan saran orang dengan mudah. Maka kadang-kadang sebagai orang dewasa, sudah seharusnya kita belajar menempatkan sikap yang seperti anak-anak itu.
Beberapa pengalaman saya dapatkan setelah mencoba membedakan kedua sikap mirip tapi tak sama itu di lingkungan sosial:
Saya pernah mendengarkan kritik dengan diam, tanpa suara... mencoba meniru gaya anak-anak saat saya mengkritik (note: versi lainnya mengomeli) Awalnya memang tidak mudah... tapi justru membuat saya belajar bahwa mendengarkan itu sulit, apalagi kalau yang disampaikan itu adalah letak kesalahan kita. Ini membuat saya belajar bagaimana seharusnya mengkritik dan atau bersikap saat menerima kritik.
Saya pernah bertanya seperti anak kecil yang dipenuhi rasa ingin tahu, bertanya menyelidik tanpa peduli dengan status atau siapa orang yang saya ajak bicara. Hasilnya, tanpa sengaja saya malah bertemu seorang pengusaha terkenal yang sayangnya saat itu tidak saya kenal dan ia ingat sekali pada saya karena saya mengkritiknya dengan tajam. Dia malah memberi kartu namanya secara pribadi agar saya dan dia melanjutkan debat kami di luar pertemuan saat itu. Selanjutnya... yang jelas... it's something good for me karena akhirnya berhasil menggiring saya beserta suami mendapatkan prestise yang luar biasa.
Saya juga pernah melontarkan kemarahan pada seorang teman secara terang-terangan. Tidak dengan saling bertukar gosip atau chat, saya langsung menunjukkan kalau saya kesal dengan poin-poin yang membuat saya marah. Hasilnya... persahabatan kami putus.
Sayang sekali memang. Tapi itu setelah saya berpikir berkali-kali dan berusaha memahami selama berbulan-bulan dengan mempelajari sikapnya yang cenderung egois dan suka menceritakan kekurangan orang. Saat saya jelas-jelas menunjukkan kemarahan saat itu, sudah melalui pertimbangan dan penilaian yang mungkin tidak disadari orang itu. Saya sudah siap dengan konsekuensinya kalau dia akan pergi untuk selamanya dari hidup saya. Tapi saya tahu, perdebatan yang dilihat banyak orang itu akan membawanya pada sebuah pengalaman hidup untuk berhati-hati saat berucap atau berkata apapun itu. Intinya kalau tidak siap dikritik, jangan membuka rahasia diri.
Masih banyak pengalaman lain dalam hidup entah itu menghasilkan sesuatu yang negatif seperti kehilangan atau malah mendapatkan sesuatu, justru membuat saya berpikir logis. Berusaha bersikap seperti anak yang jujur mengekspresikan diri, tapi membatasinya dengan pemikiran dewasa adalah sikap terbaik. Kalau memang harus kehilangan, pasti kehilangan itu justru baik untuk kita. Seperti akhirnya mantan teman yang memilih pergi dari kehidupan saya, mungkin suatu hari nanti akan lebih menyakiti saya.
Ada yang mengadu pada saya, bahwa mem-block seseorang di sosmed itu adalah salah satu cerminan sikap childish. Buat saya itu hak asasi.
Ada beberapa orang yang begitu punya masalah, malah bergalau ria berusaha keras menyindir melalui status-statusnya agar 'musuh'nya yang masih jadi teman di jaringan sosmed bisa membaca dan kalau bisa tersinggung. Aneh tapi nyata, tapi itulah yang sering terjadi dan pada akhirnya membuat orang lain merasa tidak nyaman.
Saya jarang mem-block orang dalam jaringan sosmed. Tapi jujur, baru beberapa minggu lalu saya mem-block seseorang karena statusnya hanya dipakai untuk membuat orang marah. Pada siapapun yang ia tuju, buat saya itu sudah tanda-tanda tidak baik untuk dilanjutkan. Sosial Media di internet bagi orang-orang itu berbeda, buat saya adalah hiburan dan pelajaran hidup karena banyak teman-teman membagi pengalaman dan berita penting. Sungguh tidak lucu kalau saya membaca status yang membuat saya kesal. Daripada membuat saya marah, lebih baik saya menjaga hati (seperti pesan Aa Gym) untuk men-delete dan mem-block forever orang tersebut. Saya bahagia... entah orang itu.
Kekanak-kanakan atau berpikir sederhana?
Saya bilang sih berpikir Simple... Gak suka ya Block aja... ;) Selesai. Titik.
*****