Beberapa hari yang lalu, setelah ulangan umum berlalu, kami sedang berbenah buku-buku. Tiba-tiba anak-anak, Abang dan Adek, menemukan salah satu buku diary saya...
Mereka cekikikan membaca tulisan Emak mereka yang sarat dengan emosi. Begitulah Emak mereka zaman itu. Lebih suka pakai gambar dan puitis... Jadi mereka berdua tertawa saat Emak menggambar muka boss yang saat itu sangat menjengkelkan.
Tapi mereka menemukan salah satu tulisan menarik!
"Hari pertama, Sarapan di Sangatta, makan siang di Balikpapan dan makan malam di Jakarta. Hari kedua, sarapan di Jakarta, makan siang di Denpasar dan makan malam di Mataram. Dan seterusnya..."
Itu adalah kenangan saya sekitar akhir 90an, sebelum menikah ketika mengikuti beberapa interview pekerjaan sekaligus perjalanan bisnis dengan boss.
Anak-anak memandang saya dengan kagum. "Wuiih, Mak... Pasti asyik ya ya ya..."
Anak-anak memandang saya dengan kagum. "Wuiih, Mak... Pasti asyik ya ya ya..."
"Oh itu... Ya makanya kalian belajar, biar bisa merasakan jalan-jalan ke manapun kalian mau," jawab saya singkat tanpa berusaha menjelaskan panjang lebar.
Anak-anak tampak senang dan terus membaca diary itu, karena saya menempel beberapa bukti kenangan perjalanan lima hari yang melelahkan itu.
Anak-anak tampak senang dan terus membaca diary itu, karena saya menempel beberapa bukti kenangan perjalanan lima hari yang melelahkan itu.
Itu perjalanan terakhir paling panjang dalam hidup saya, sebelum akhirnya saya memilih menikah. Saya bahkan belum tahu dengan siapa, tapi saat selesai perjalanan itulah yang saya pikirkan hanya satu... Menikah.
Saat itu, boss expatriate yang seperti Ayah saya akan mengundurkan diri sementara karena faktor keamanan nasional. Ini cukup memukul hati, karena saya bekerja dengannya lebih karena senang dan bukan karena uang. Disitulah saya menyadari kalau kemewahan dan kemudahan fasilitas bukanlah option seseorang bertahan pada satu pekerjaan. Saya yang bersedih ini, akhirnya ditawari untuk menjalani beberapa interview, mencari boss baru meski sangat jauh dari kampung halaman.
Tapi perjalanan itu membuka mata saya. Yang saya butuhkan bukanlah boss baru, bukan juga pekerjaan baru. Saya membutuhkan seseorang yang bisa menjadi pemimpin, penuntun, sekaligus teman yang akan menjalani semua kesenangan itu bersama-sama.
Saat itu, saya merasa kosong selama perjalanan panjang dan padat itu. Kemewahan itu sama sekali tak terasa nikmatnya. Tidur di kamar-kamar mewah sendirian, memandangi malam yang gelap yang terasa sangat panjang. Malah di malam terakhir sebelum kembali ke Balikpapan, saya menangis kelelahan. Untungnya, saat itu orangtua masih tinggal di kota minyak itu, jadi esok paginya saya bisa sarapan bersama Mama... Mengurangi beban di hati.
Saat itu, saya merasa kosong selama perjalanan panjang dan padat itu. Kemewahan itu sama sekali tak terasa nikmatnya. Tidur di kamar-kamar mewah sendirian, memandangi malam yang gelap yang terasa sangat panjang. Malah di malam terakhir sebelum kembali ke Balikpapan, saya menangis kelelahan. Untungnya, saat itu orangtua masih tinggal di kota minyak itu, jadi esok paginya saya bisa sarapan bersama Mama... Mengurangi beban di hati.
Sejak itulah, pilihan saya tak lagi bisa diukur dengan nilai uang atau harta. Banyak yang bingung dengan perubahan itu... Tapi pengalaman perjalanan sendiri itu benar-benar membuka mata dan hati saya.
Saya memilih menikah dengan lelaki yang saya nilai berdasarkan pandangan objektif, bukan subjektif. Saya bahkan mengatakan dengan jelas konsep keluarga yang saya inginkan, tujuan dan jalan keluar kalau ternyata kami tak cocok. Trauma melihat beberapa pernikahan keluarga dekat yang tidak kondusif, membuat saya pasang perisai dulu. Untungnya, Ayah saat itu... Sejak dulu, selalu bijak menanggapi sikap kekanak-kanakan saya... Dia hanya diam dan tersenyum.
Saya memilih menikah dengan lelaki yang saya nilai berdasarkan pandangan objektif, bukan subjektif. Saya bahkan mengatakan dengan jelas konsep keluarga yang saya inginkan, tujuan dan jalan keluar kalau ternyata kami tak cocok. Trauma melihat beberapa pernikahan keluarga dekat yang tidak kondusif, membuat saya pasang perisai dulu. Untungnya, Ayah saat itu... Sejak dulu, selalu bijak menanggapi sikap kekanak-kanakan saya... Dia hanya diam dan tersenyum.
Pilihan objektif itulah yang membawa saya hari ini, memandangi diary itu dengan senyum bahagia. Pada akhirnya manusia seperti saya harus membuat pilihan. Pilihan yang membuat saya meninggalkan segala kemewahan. Jangankan perjalanan mewah menyeberangi pulau-pulau di Indonesia, untuk ke mall saja saya harus berpikir matang sebelum memutuskan. Hidup saya tak lagi semudah dan semewah dulu... Tapi saya sangat bahagia. Teman-teman kerja dulu juga banyak yang bingung melihat perubahan besar diri ini, tapi mereka sangat mengerti... Inilah yang kita sebut pilihan.
Saya memilih definisi kata 'bahagia' dengan 'keluarga, kebersamaan, anak-anak, suami, kesibukan rumah tangga.'
Akhirnya, konsep keluarga menurut saya pun berubah. Semuanya go with the flow aja, gak ada rencana kecuali persiapan masa depan. Bersama sahabat sejati, boss sepanjang hidup sekaligus suami tercinta, saya menjalani pilihan hidup terbaik ini. Saya memang kehilangan beberapa hal dalam hidup ini, tapi pilihan itu membuka kesempatan memperoleh hal-hal lain yang lebih baik...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar