[caption id="" align="aligncenter" width="560"]
Photo by mnn.com[/caption]
Kepalanya kembali menggeleng, membuat jilbab berwarna marun itu bergoyang-goyang. Tekad yang sama masih terlihat jelas di kedua matanya yang tertutup kacamata. Kuhela napas perlahan. Mulai kehabisan ide, bertanya dengan kalimat bagaimana lagi agar ia mau menjawab.
“Salahnya dia apa, Bu? Kenapa? Apa alasan Ibu tidak setuju?” tanyaku lembut.
Istriku menatapku. Tidak menjawab. Hanya bibirnya mulai bergerak, melengkung, mulai bergetar. Lesung pipinya terbentuk makin lama makin dalam, hingga isaknya mulai terdengar. Pelan tapi pasti, airmata mulai mengalir di kedua pipinya, berjatuhan membasahi jilbab marunnya.
“Looh, kok malah nangis lagi? Ayah hanya tanya, Bu… “ gumamku sambil mendekati istriku. Duduk di sisinya. Tanganku bergerak merangkulnya, membiarkan perempuan yang kucintai itu bersandar di dadaku. Membiarkan airmatanya mulai membasahi kemeja batikku.
Masih sama seperti dulu, masih seperti hampir tiga puluh tahun lalu. Ia selalu seperti ini. Ketika ia tak sanggup menjawab sesuatu, ketika ada yang ia sembunyikan di sudut hatinya, yang ia lakukan hanyalah menangis.
Sebenarnya istriku bukanlah wanita yang lemah apalagi cengeng menghadapi masalah. Bersamanya hampir tiga dekade ini membuatku mengenal baik apa yang ada di balik airmatanya. Tak seperti istri pada umumnya, istriku tak terlalu pandai bicara. Airmata hanyalah cara hati istriku berkomunikasi. Saat ia bahagia, saat ia sangat marah, saat ia sedih, saat ia terharu, bahkan saat ia merasakan emosi orang yang ia sayangi. Airmatanya cepat sekali keluar. Sampai sekarangpun, aku masih sering terkejut karenanya. Sedetik ia tersenyum, sedetik kemudian airmatanya sudah jatuh.
Tapi, berita bahagia yang dibawa putri kami, justru dirasakan bagai mimpi buruk bagi istriku. Sudah dua jam berlalu sejak kami mendengar berita itu, tapi airmata istriku hanya berhenti sesaat dan akan kembali mengalir begitu aku bertanya. Aku tahu, itu bukan airmata haru. Tapi itu karena ia sedih. Sangat… sedih.
Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya selama dua jam ini. Hanya airmata dan isaknya saja yang muncul. Matanya sudah membengkak dan wajahnya yang berdandan cantik malam ini penuh dengan garis-garis aliran airmata bercampur bedak. Lama-lama, aku jadi tak tega melihatnya. Sudah bertahun-tahun rasanya aku tak pernah melihat istriku menangis sesedih ini. Terakhir, ia menangis seperti itu, ketika mertuaku berpulang saat anak-anak masih kecil. Saat itu, istriku sampai harus dirawat karena penyakit jantungnya kambuh.
Aku jadi kuatir. Aku harus tahu alasan tangisannya kali ini. Istriku harus berhenti menangis, atau ia akan kembali seperti saat ibu mertuaku wafat dulu. Tapi, pertanyaanku terus menerus dijawab dengan tangisan.
Sungguh aku tak tahu kalau akan jadi seperti ini. Putri tertuaku sudah mengatakan bahwa malam ini ia akan mengajak seorang pria menemui kami. Aku mengizinkannya, dan sudah menduga apa yang akan ia sampaikan. Fatima, putriku tak menyangkalnya. Kukira setelah aku mengizinkannya datang, semua yang akan terjadi selanjutnya hanyalah sebuah formalitas.
Khairul, pria muda itu kukenali sebagai salah satu teman putriku. Mereka bersahabat sejak putriku masih kuliah. Pria muda itu dulu kakak seniornya di kampus. Hanya setahun mereka kuliah di kampus yang sama karena Khairul meneruskan master di Mesir, tapi persahabatan mereka berlangsung sekitar lima tahun sejak saat itu. Saat Khairul kembali, keduanya sama-sama aktif di sebuah kegiatan kepemudaan di salah satu Mesjid terbesar di Jakarta. Tepatnya, malah Khairul yang mengajak Fatima bergabung.
Setahuku, hubungan Khairul dan Fatima, putriku hanya persahabatan biasa. Fat, begitu putriku biasa dipanggil, justru berteman akrab dengan Aira, adik Khairul yang juga teman kuliah seangkatan putriku. Kalaupun bertemu, baik Fat maupun Khairul selalu bersama adik-adik mereka. Entah itu Dijah, putri bungsuku atau Aira. Mereka tak pernah berduaan, malah seringkali aku merasa kehadiran Khairul hanyalah sebagai penjaga para gadis itu saat mereka sedang jalan-jalan atau menghabiskan waktu bersama.
Justru yang aku bingungkan adalah sikap istriku. Setahuku, selama ini istriku getol bertanya pada Fat tentang Khairul. Ada saja yang ia tanyakan pada putri kami itu. Walau sebenarnya, tak hanya tentang Khairul, istriku juga rajin bertanya tentang teman-teman lelaki putri kami. Hanya saja, belakangan ini pertanyaan tentang Khairul makin sering seiring makin seringnya Aira berkunjung bersama Khairul ke rumah kami setelah Fatima menyelesaikan ikatan dinasnya. Aira di kamar bersama Fatima, dan Khairul akan duduk mengobrol bersamaku. Hanya kadang-kadang saja istriku menemani. Tapi selama ini, sikap istriku selalu ramah dan baik pada pria muda itu. Malah beberapa kali istriku bercerita tentang Fat, seakan-akan ingin memperkenalkan sosok putri kami itu lebih lengkap pada Khairul.
Lalu di malam hari, saat istriku sedang bersama Fat. Ia sering bertanya. Adakah yang Fat suka? Adakah yang sebaik dan setampan diriku dan pantas dijadikan suami? Apakah Khairul itu termasuk tipe pria pilihan Fat? Wajah istriku tak pernah tampak sedih saat bertanya. Malah seperti seorang ibu yang bahagia. Penuh senyum, nadanya sedikit menggoda bahkan matanya berbinar-binar gembira. Istriku yang periang itu tak pernah sekalipun terlihat marah, apalagi tidak setuju andaikan benar ada hubungan antara Fat dan Khairul.
Pertanyaan ibunya selalu dijawab dengan senyuman oleh Fat. Sebelum gadis muda kami itu memilih untuk berlalu. Fat, memang tak seperti Dijah yang ekspresif, yang berkarakter menurun dari ibunya. Fat lebih mirip sepertiku. Menyimpan banyak hal untuk dirinya sendiri, di balik senyuman yang manis penuh misteri. Sesekali ia menjawab, tapi jawabannya selalu tak pernah pasti.
Selama bertahun-tahun, Khairul selalu disambut dengan hangat oleh istriku. Sama seperti kehadiran teman-teman putriku yang lain. Tak pernah sekalipun aku melihat isyarat penolakan dalam sikap istriku selama ini. Karena itu, ketika Fat bercerita soal keinginan Khairul menikahinya, aku langsung menyetujuinya. Lalu Fat berkata jujur kalau selama ini ia dan Khairul benar-benar murni berteman, tapi ia tak ragu menerima lamaran Khairul jika aku dan istriku menyetujuinya karena meyakini karakter dan juga orang-orang yang ada di sekitar Khairul telah ia kenal dengan baik selama ini.
Aku kira tadinya istriku menangis karena terharu. Atau mungkin sedih karena menjadi orang terakhir yang tahu mengenai rencana putri kami itu. Tapi kemudian, aku tahu ini bukan sekedar rasa haru biasa atau tangis sedih karena marah. Ada yang lain…
Tubuh istriku mulai menegang saat Khairul mengatakan maksud kehadirannya bersama kedua Kakak, adik dan Bapaknya, satu-satunya orangtua yang ia miliki setelah ibunya berpulang beberapa tahun lalu. Senyum istriku yang mulai memudar saat melihat rombongan lengkap itu masuk ke rumah kami, benar-benar menghilang setelah Khairul selesai bicara. Aku mengira itu hanya ketegangan biasa dan menyentuh tangan istriku, menenangkannya. Tapi bibir istriku terkatup rapat membisu. Sampai beberapa kalipun aku menyentuh hingga menggenggam tangannya yang dingin, istriku terus membisu. Akhirnya, aku meminta waktu pada Khairul dan keluarganya untuk menjawab keinginan mereka. Begitu mereka pergi, istriku langsung masuk kamar, meninggalkan Fat yang kebingungan melihat sikap dingin ibunya.
Dua jam sudah aku berada di kamar. Sama bingungnya seperti Fat. Tangisan istriku justru makin lama makin menyayat hati. Tadi aku keluar sebentar mengambil air minum untuk menenangkan istriku, aku melihat Fat duduk di ruang tamu ditemani kedua adiknya. Airmatanya juga mengalir deras. Aku tahu ia juga sedih melihat ibunya menangis seperti itu. Ngilu rasanya melihat begitu banyak airmata mengalir di rumah kami justru di saat putriku mendapat berita terbaik dalam hidupnya.
“Bu, sudahlah. Jangan menangis terus! Jelaskan apa sebenarnya yang ingin Ibu bilang. Kenapa Ibu tidak setuju? Kalau memang tak setuju, kita akan bicarakan dengan Fat. Fat pasti mau dengerin Ibu,” bujukku perlahan-lahan sambil menepuk-nepuk bahu istriku.
Istriku menghapus airmata dengan punggung tangannya. Kulihat usahanya untuk menahan tangis, hingga membuat bibirnya mengatup membentuk garis lurus. Lesung pipinya makin jelas terlihat. Ia menarik isaknya lagi lalu menoleh padaku. Menatap dengan sedih.
“Ibu gak bisa, Yah. Ibu ingin tapi Ibu gak bisa…”
Aku melongo mendengar kalimat yang susah payah ia keluarkan diantara isakan tertahannya. “Maksud Ibu apa?”
“Ibu… ibu gak bisa biarin Fat ninggalin Ibu, Yah. Ibu gak sanggup ngebayangin hidup jauh dari anak ibu… “ Lagi, tangisnya pecah lagi. Kali ini malah lebih keras. Sesegukan hingga kali ini aku benar-benar memeluknya erat-erat.
“Ibu selalu tahu kalau akan seperti ini, Yah. Ibu tahu suatu hari putri-putri kita akan pergi meninggalkan kita. Ibu sudah siapin sejak dulu, dan ibu kira ibu bisa. Tapi hari ini… hari ini ibu tahu kalau ibu gak bisa. Sedih banget, Yah. Nyawa Ibu seperti dicabut denger lamaran… itu,” gumam istriku terisak-isak sambil menenggelamkan wajahnya ke dadaku.
Hatiku seperti mencelos jatuh ke tanah. Airmataku sendiri nyaris ikut jatuh usai mendengar kata-katanya. Hanya yang kulakukan kemudian, terus memeluknya. Menenangkan dirinya, sekaligus hatiku sendiri.
Fat dan istriku memang sangat dekat. Hubungan mereka tak hanya seperti ibu dan anak, tapi juga adik dan kakak bahkan kadang seperti dua orang sahabat. Fat, putri yang kami nantikan setelah menikah lebih dari tiga tahun, adalah anak yang menjadi alasan bagi setiap keputusan penting dalam hidup istriku.
Karena Fat, istriku berhenti bekerja dan memilih menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Tapi karena Fat juga, istriku memilih meneruskan kuliahnya kembali di bidang yang tidak ia minati sama sekali demi mencari tahu tentang penyebab gangguan fokus yang dialami putriku saat itu dan membuktikan diagnosis dokter tidak berlaku pada Fat. Karena Fat, istriku kemudian kembali bekerja dan kali ini ia memilih profesi mengajar. Karena Fat juga, istriku memasuki kampus lagi setahun sebelum Fat kuliah untuk mempelajari proses menjadi mahasiswa di kampus ternama itu sekaligus menjadi contoh kalau ia juga berusaha meraih mimpinya sendiri. Karena Fat, kami pun pindah dari rumah yang selama dua puluh tahun lebih menjadi tempat bernaung kami agar putri kami bisa tetap tinggal bersama kami meski sedang kuliah.
Dulu Fat dan istriku seperti tak bisa dipisahkan satu sama lain. Satu-satunya pemisah mereka justru kecintaan mereka pada Allah SWT. Istriku, seorang mualaf yang memilih menikahiku, juga karena ingin maksimal mengenal Allah. Begitu memiliki Fat, istriku juga tekun mengajarinya beribadah. Demi cintanya itu juga, istriku ikhlas melepaskan putri kami itu untuk menginap di pesantren setiap akhir pekan. Setelah itu, Fat juga sering meninggalkan istriku untuk mengikuti berbagai kegiatan keagamaan dan ibadah yang memaksanya untuk keluar kota selama beberapa hari. Tapi saat keduanya berkumpul lagi, mereka akan saling bicara, bercanda bahkan mengerjakan hal-hal sederhana berdua setiap ada kesempatan. Sesekali, mereka bolos dari semua kesibukan jika terlalu lama tidak melakukan hal-hal sederhana itu. Tidak untuk kemana-mana, hanya sekedar menikmati waktu bersama.
Tak kusangka, hubungan penuh cinta dan kasih sayang itu, yang selama ini begitu kusyukuri kini jadi alasan mengapa istriku begitu sedih seperti ini. Sungguh, aku sendiri tidak tahu harus seperti apa membujuknya.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan di pintu kamar kami membuat aku melepaskan pelukan dan melirik ke pintu. Tanpa menungguku berkata, pintu sudah terbuka. Fat berdiri di depan pintu, berusaha keras tersenyum pada kami berdua.
Istriku menatap putriku dengan mata basah, “Maafin Ibu, Fat. Ibu benar-benar… Ibu bukan… ibu bukan… Hiks, hiks… Ibu tahu… Khairul baik, Khairul… “
Fat menggelengkan kepalanya berulang kali, dan dengan langkah lebar mendekati ibunya. “Sudah, Bu. Gak papa, Bu. Gak papa, Fat ngerti. Fat ngerti banget,” ujarnya berulang kali sambil memeluk ibunya. Tangis keduanya pecah lagi. Tapi kali ini aku mengerti. Keduanya sedang berbicara, dengan airmata mereka sekali lagi. Saling memahami, saling menyampaikan isi hatinya.
Menangislah, Istriku. Menangislah malam ini bersama putri kita. Menangislah hingga seluruh kata-kata yang tersimpan di hatimu yang polos ini sampai di hati putri kita.
Sampaikan cintamu yang begitu dalam padanya, sampaikan betapa sayangnya kau pada dirinya, sampaikan betapa kebahagiaan dia jauh lebih penting dibandingkan kebahagiaanmu. Bahwa sebanyak apapun airmata yang mengalir di wajahmu, kau ingin melihatnya bahagia.
Agar putri kita tercinta selalu mengingat bahwa melepasnya adalah bagian tersulit dalam hidup kita. Agar ia mengenang bahwa membiarkannya pergi, mengikhlaskannya bersama orang lain adalah saat tersedih bagi kita. Agar ia tahu bahwa menjadi putri dari ibu yang begitu mencintainya adalah tempat terbaik di dunia baginya.
Tapi yang paling penting ia tahu… kita akan melepasnya karena ingin ia mendapat seluruh cinta dan hidup bahagia, semua itu karena kita mencintainya.
*****