Tampilkan postingan dengan label Writer. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Writer. Tampilkan semua postingan

16 Juni 2019

Demi Masa Depan Sang Anak

10 tahun yang lalu.


Aku menatap suamiku tak percaya.

"Pokoknya semua beres, yang kita perlukan sekarang hanya besarin anak-anak, ngasuh dan ngedidik mereka. Soal kampus dan masa depan mereka, Mamah gak usah kuatir lagi," kata Mas Farid terus meyakinkan.

"Tapi apa gak ada kemungkinan kebijakan itu berubah, Mas? Siapa tahu setelah direkturnya ganti, aturannya juga ganti." Tetap saja aku ragu.

28 Desember 2018

Cerpen: Let The World See! (Wisata di Daerah Bencana)


Peluhku mulai membasahi punggung, bedak dan lipstick yang kupakai sebaik mungkin tadi pagi sudah tak lagi tersisa. Luntur karena AC mobil dimatikan sepanjang jalan, demi menghemat bahan bakar. Kami kuatir kehabisan, karena jarak tempuh yang kami perkirakan ternyata jauh lebih panjang dari rencana. 

Sepanjang jalan, kami tak melihat ada SPBU buka, bahkan kios mini penjual BBM tak lagi nampak. Dua dirigen minyak yang kami bawa, tadi terpaksa kami tinggal satu demi memenuhi kebutuhan para pengungsi. 

Sudahlah, tak penting terlihat cantik lagi sekarang. Yang penting bagaimana bisa membantu mengurangi tetesan airmata dan duka mereka.

12 Desember 2017

Rumah Kami yang Berantakan

Dulu, aku tak pernah mengerti mengapa rumah tempatku dibesarkan selalu berantakan. Selalu ada mainan berserakan di sana-sini, karena dua adik kembarku bermain dimanapun mereka suka. Buku-buku bertebaran di mana-mana. Di meja tamu, di atas kursi duduk Ayah, bahkan di dapurpun ada buku masakan Ibu bertumpuk-tumpuk di salah satu sudut. Jangan tanya meja belajar atau di kamar kami, karena semuanya sudah dipenuhi sebagian besar oleh buku.

Aku tahu ada beberapa lemari buku yang dikhususkan untuk menyimpan buku-buku yang menjadi koleksi keluarga. Tapi tiap kali dibereskan, tak lama buku-buku sudah ‘berjalan’ ke mana-mana. Si pembacanya, entah itu Ayah, Kakak atau bahkan Ibu sendiri beralasan, mereka belum selesai membaca. Buku-buku nyaris keluar semua, ketika Ayah sedang menyusun sebuah karya tulis atau sedang melakukan penelitian. Tersandung buku-buku, sudah hal biasa yang terjadi olehku saat itu.

Tak hanya karena buku, ide yang muncul di tiap kepala anggota keluargaku juga turut andil menjadi penyebab rumah yang selalu berantakan itu. Ibuku sangat suka menjahit, membuat berbagai macam barang hiasan, pernak-pernik bahkan memanfaatkan barang-barang yang tidak terpakai. Hanya anehnya, sebanyak apapun barang-barang yang berhasil dibuat Ibu, secantik dan sesempurna apapun itu, karena terlalu banyak dan diletakkan sembarangan, justru makin membuat rumah kami terlihat penuh dengan barang. Untungnya, Ibu sangat royal memberikan hasil-hasil karyanya jika ada yang suka. Untungnya lagi, aku juga sering mendapat keuntungan dari hasil menjual karya-karya ibu diam-diam.

Kebiasaan Ibu ini kemudian menurun pada Kakakku, yang suka melukis, lalu menurun pada kakak keduaku yang juga suka membuat berbagai pernak-pernik dan akhirnya padaku. Aku suka menyulam dan memajang hasilnya di kamarku. Sedangkan kedua adikku... dari para pembuat berbagai mainan dari kertas, mereka akhirnya seperti Ayah, suka menulis. Jadi bisa dibayangkan bagaimana kalau kami berlima semua melakukan hobi, kan? Rumah kami mirip kapal pecah!

Aku sering ke rumah teman-temanku. Rumah mereka rapi dan bersih. Semua barang terletak sesuai tempatnya. Beberapa di antaranya bahkan pantas kalau dijadikan rumah-rumah contoh seperti di majalah-majalah interior. Aku iri pada mereka karena punya rumah yang selalu rapi dan enak dilihat, tanpa perlu berlelah-lelah membersihkannya. Sementara aku…

Memang, rata-rata di rumah teman-temanku yang rapi dan bersih itu karena ada pembantu rumah tangga yang khusus melakukannya. Untuk yang satu ini, aku juga sudah tahu. Tapi, meski berulangkali meminta pada Ibu, ia tak bergeming. Jangan tanya Ayah, karena buat Ayah, Ibu selalu benar.

Kata Ibu, jika ingin rumah bersih, kami harus membersihkannya sendiri. Rumah kami memang tak selalu berantakan. Pagi hari, saat kami ke sekolah dan orangtua bekerja, rumah selalu bersih karena kami mengerjakan tugas masing-masing. Berantakan itu baru dimulai saat penghuni rumah pulang satu persatu.

Sesekali, kami tak melakukan apa-apa dan memilih membaca atau duduk-duduk di kamar masing-masing. Tapi saat Ibu pulang, ia akan mengacaukan ketenangan itu. Ia akan mengajak kami memasak bersama, membuat prakarya yang baru atau memainkan sebuah permainan. Karena sudah terjadi sejak aku dan saudara-saudari masih kecil, aku tak pernah menolak ajakan Ibu. Apapun yang Ibu tawarkan, itu pasti sesuatu yang seru!

Tahun-tahun berlalu dengan cepat. Aku sekolah, kuliah dan pada akhirnya bekerja. Begitupun semua saudara-saudariku. Saudara tertuaku menjadi dosen namun belum menemukan jodohnya. Kakak perempuanku sudah menikah dan bekerja di rumah sebagai seorang penulis lepas. Dua adik kembarku mengambil jalan yang berbeda. Adikku yang satu memilih menjadi seorang Manajer di salah satu perusahaan konstruksi, sementara yang satunya justru memilih membuka restoran sendiri. Adikku yang termuda ini sempat berjualan sebagai pedagang nasi goreng keliling, hingga akhirnya kami berempat memilih untuk ikut berinvestasi sekaligus membantunya memiliki tempat sendiri. Keduanya juga sudah menikah. Oh ya, aku sendiri memilih mengikuti Kakak tertuaku menjadi pengajar dan juga mengikut jejak Kakak keduaku, menikah setahun setelah selesai kuliah. Bedanya aku hanya mengajar di Taman Kanak-Kanak. Pilihan yang kuambil setelah menyingkirkan berbagai tawaran untuk bekerja sebagai tenaga psikolog sesuai keahlian saat aku kuliah.

Di tempatku bekerjalah, kemudian aku mengetahui alasan rumah kami selalu berantakan dulu. Itu karena rumah kami seperti sebuah sekolah yang sedang dipenuhi dengan berbagai pelajaran. Ibu tak hanya mengajari kami mengenal buku, mencintainya bahkan memastikan kami tak bisa hidup tanpa mereka. Ibu juga selalu mengajarkan banyak hal selain pelajaran di sekolah. Dapur yang berantakan berhasil membuat kami berlima semua pandai memasak. Kamar yang dipenuhi barang-barang buatan tangan membuat kami berlima terampil mempelajari sesuatu. Yang jelas, kami jadi mandiri karena terbiasa melakukan semuanya sendiri. Satu hal yang kemudian sangat kusyukuri adalah Ibu juga membiarkan kami mengeksplorasi secara maksimal apapun yang ingin kami lakukan. Ibu hanya akan tersenyum maklum dan satu-satunya yang ia minta paling-paling, “Bereskan kalau sudah selesai, ya!”

Di balik rumah berantakan, bukan karena ibuku pemalas, juga bukan karena kami malas. Ada hal lain. Itu karena kami sedang belajar, sedang mengeksplorasi, sedang mengembangkan imajinasi menembus dinding rumah kami. Ibuku, bukanlah perempuan biasa yang ingin melayani anak-anak dan suaminya di rumah yang bersih dan selalu rapi. Ibuku, seorang perempuan pendidik yang ingin menyiapkan keluarganya menjadi sosok-sosok yang tangguh dan berkemampuan.

Ah ya, rumah ibu masih sering berantakan. Kini yang melakukannya adalah cucu-cucu Ibu. Ibu tak lagi bisa terlalu menemani mereka bermain sejak terserang stroke tahun lalu. Tapi, kamilah yang justru menemani mereka sambil membiarkan Ibu melihat kelucuan cucu-cucunya. Anakku dan sepupu-sepupunya selalu menikmati saat-saat itu, seperti kami yang kini bergantian belajar juga bermain bersama mereka. Mengeksplorasi dunia sekaligus mengenang saat-saat berharga yang pernah kami alami juga.

Maka ketika rumahmu berantakan, pikir dua kali sebelum memarahi anak-anak ya…

11 Desember 2017

Kisah Seorang Istri, Janda dan Istri Kedua

Kisah sebelumnya...

“Maaf, Ibu-ibu. Boleh saya ikut ngobrol?” sela Desy dengan ramah.

Ibu Syifa langsung mengangguk ramah, sementara Ibu Tania memandangi wanita muda di hadapannya itu dengan tatapan ragu-ragu.

“Selidiki dulu, Bu. Jangan langsung marah-marah atau menuduh. Iya kalau tuduhan itu ternyata benar. Kalau tidak bagaimana? Kan kasihan suami ibu. Apalagi dalam pernikahan itu kepercayaan adalah sesuatu yang sangat penting.”
Ibu Tania tersenyum tawar. Meski begitu ia setuju dengan kata-kata Desy. Tak seharusnya ia menuduh suaminya tanpa bukti.

“Mau konsul juga, Neng?” tanya Ibu Syifa ramah pada wanita muda itu.

“Tidak tahu, Bu. Saya ke sini karena bingung. Teman-teman saya bilang saya ini lagi sakit jiwa. Padahal saya ngerasa sehat-sehat saja. Masak jatuh cinta dianggap sakit?”

“Jatuh cinta? Loh... itu kan normal,” sergah Ibu Syifa lagi. Ibu Tania hanya mendengarkan.

Desy menunduk sebelum mengangkat wajahnya yang sedikit malu. “Saya mencintai ayahnya teman saya, Bu.”

“Haaaah?” kedua wanita yang mendengarnya sama-sama terkejut.

Dalam hati Ibu Tania pun berpikir kalau gadis ini memang sakit jiwa. Bagaimana mungkin ia menyukai ayah dari temannya sendiri. Kalau dipikir-pikir pastilah usianya sama dengan ayahnya sendiri. Itu artinya dia menyukai seseorang yang usianya dua atau mungkin tiga kali dari usianya!

“Kok bisa, sih?” selidik Ibu Tania penasaran.

“Yah bisa saja, Bu. Saya suka melihatnya begitu sayang pada teman saya itu. Saya saja tidak pernah diperhatikan sama orangtua saya. Om itu juga sibuk seperti orangtua saya, tapi tiap kali ketemu anaknya, dia selalu rajin bertanya tentang kegiatan kami di kampus. Hubungan Om dengan putrinya yang jadi teman saya itu tak hanya seperti ayah dan anak, tapi juga seperti gurunya, kadang seperti kakaknya bahkan Om sering nonton film berdua dengan teman saya itu. Teman saya bilang, dia selalu menganggap ayahnya lebih sebagai sahabat dibandingkan ayah. Karena saya sering ikut acara merekalah, maka saya jadi jatuh cinta sama Om. Dan ternyata om juga menerima cinta saya itu.”

“Jadi kalian jadian?”

Desy tersenyum malu-malu. “Saya istri keduanya, Bu.”

“Ya ampun, Neng. Itu mah namanya cinta terlarang dong! Sama suami orang kok bisa jatuh cinta. Eneng ini masih muda banget. Tentu banyak lelaki bujang lain yang bisa Neng nikahi. Kok malah jadi istri kedua sih, Neng?”

Ibu Tania langsung menoleh ke arah lain. Ia tak mampu menyembunyikan kekesalannya. Melihat wanita muda ini seperti menuang air garam ke luka hatinya. Pantas tadi Desy mengatakan kata-kata tadi.

“Saya tahu, Bu. Saya tahu saya salah. Saya juga tahu kalau lelaki belum beristri itu banyak. Tapi Bu... maaf ya Bu, maaaf banget. Saya tak berniat sama sekali memisahkan Om dengan istri pertamanya atau dengan keluarganya. Saya bersedia jadi istri keduanya pun karena semata-mata hanya ingin mencintainya sepenuh hati, tidak untuk membuatnya meninggalkan istrinya.”

Kali ini kedua wanita yang mendengarkan cerita wanita muda itu sama-sama diam. Mereka mulai menunjukkan ketidaksukaan.

“Saya kasihan sama Om, Bu. Beliau itu seperti kurang terawat dan mulai sakit-sakitan. Saya takut di usianya itu, Om tidak ada yang mengurus. Istri Om memang ada. Tapi jujur, saya merasa istrinya kurang memperhatikan Om. Bicaranya pun kasar dan selalu marah pada Om. Om itu selalu salah di mata istri tuanya. Bahkan di hadapan saya yang saat itu hanya teman putri mereka. Karena kasihan, saya bersedia menjadi istri keduanya. Saya ingin melindungi dan menjaga Om. Itu saja.”

Keheningan merebak kembali dalam ruang tunggu itu. Baik Ibu Syifa, Ibu Tania dan Desy sama-sama tercenung sesaat.

“Neng, mencintai itu memang baik untuk siapapun. Tapi mencintai seseorang dengan membuat orang lain sakit hati juga tidak benar. Apakah selama kalian menikah, ada kebahagiaan yang Eneng rasakan? Apakah masalah suami Neng terpecahkan? Apakah istri pertama dari suami Neng berhenti bersikap kasar dan berhenti bertengkar? Lalu kenapa Neng masih mau datang ke sini sekedar untuk berkonsultasi padahal Neng sudah menjadi istri dari lelaki yang Neng bilang adalah lelaki yang Eneng cintai?”

“Itulah, Bu. Saya tahu saya salah. Saya sadari itu semua setelah kami menikah. Pertanyaan ibu semua itu hanya bisa saya jawab dengan tidak, karena semua tak seperti harapan saya. Om selalu sedih dan sakitnya semakin sering. Saya tidak tega meninggalkannya, tapi juga tidak tega membiarkan ia terus menerus sedih seperti itu. Saya ingin mencari solusi terbaik untuk masalah kami ini ke sini, “ gumam Desy setengah putus asa.

Ibu Tania menatapnya tajam. “Itu sih gampang, kamu datang saja temui istri pertamanya. Katakan semua yang baru saja kamu katakan. Minta dia untuk lebih menyayangi suaminya, minta dia memberikan kasih sayang sebesar dirimu pada suaminya. Atau minta dia sekalian meninggalkan suaminya kalau memang tidak cinta. Begitu saja!”

“Tidak, tidak mungkin! Om sangat sayang pada istrinya. Mereka sudah bersama lebih dari dua puluh tahun. Om menikahi saya pun karena saya tidak berniat memisahkan mereka. Tidak, sudah pasti tidak.”

“Kalau begitu, yah temui istrinya dan selesaikan urusan kalian. Mau tidak mau, ada yang harus berani memutuskan.”
“Apakah nanti Om bisa menerima?”

“Tergantung bagaimana hasil pembicaraanmu nanti. Tapi kalau alasan cinta yang utama, meninggalkannya adalah hal terbaik.”

“Benar, Neng. Benar sekali.”

Obrolan itu pun berakhir. Si wanita muda mengangkat tubuhnya dari sofa, berpamitan pada kedua wanita yang lebih tua darinya. Dalam perjalanan pulang, ia berkata dalam hati...

Aku memang harus pergi dari kehidupanku sebagai istri kedua. Aku mencintai suamiku, tapi hidupku terlalu berharga untuk dihabiskan sebagai istri yang tidak bahagia karena suami yang tidak bahagia. Aku tak mau merebut kebahagiaan orang lain lagi kalau kemungkinan bahagia dengan seseorang yang memang milikku masih menjadi kesempatan yang besar. Aku ingin mencari seseorang yang bersedia menemaniku, bertengkar denganku, berdebat denganku tapi memiliki teman bicara sepanjang hidupku tanpa perlu kuatir ada orang lain mengganggu saat kami sedang bersama.

Begitu pula Ibu Syifa, wanita setengah baya itu memutuskan untuk membatalkan janjinya siang hari itu. Saat pamit, sekali lagi ia membisikkan kata-kata penyemangat untuk Ibu Tania agar ia sabar dan berpikir kembali. Dalam perjalanan pulang, ia berkata dalam hati...

Hidup sendiri memang berat. Tapi jauh lebih baik dari menikah dengan segudang masalah. Jauh lebih baik daripada memiliki suami namun tak bisa diajak bicara. Jauh lebih baik daripada memiliki suami tapi dipenuhi rasa bersalah. Tanpa teman hidup, aku justru lebih banyak belajar menyelesaikan masalahku sendiri dan menjadi semakin tangguh. Andaikan aku di posisi salah satu dari mereka, aku takkan perlu datang ke psikiater karena yang kuperlukan hanyalah menyelesaikannya sendiri. Aku memang janda, dan aku tak bisa mengganti sebutan itu hanya karena takut menghadapi ujian. Aku janda, tapi aku ingin tetap bahagia. Anak-anak bersamaku selama ini, sedang bersamaku atau tidak, mereka adalah teman hidupku selamanya dan yang kuperlukan hanyalah mencari cara agar bisa selalu berkomunikasi dengan mereka.

Melihat kedua wanita itu pergi, ibu Tania pun bangkit. Obrolan itu membuatnya berpikir ulang tentang rencananya. Dalam perjalanan pulang, ia berkata dalam hati...

Aku sangat bodoh jika menceraikan suami tappa berusaha menyelesaikan masalah kami. Janda dan istri kedua itu saja sampai harus berkonsultasi pada psikiater hanya karena mereka tak memiliki dan memiliki setengah dari sesuatu yang jelas-jelas kumiliki sendiri. Kalau diingat lagi, mungkin akulah yang terlalu penuntut pada suamiku. Aku tak pernah mencoba melayaninya dengan baik, aku tak pernah mencoba untuk menghargainya. Ia mungkin tak mau memberitahuku kalaupun ia merasa seperti itu. Kami memang selalu bertengkar, tapi aku tak membayangkan hidup sendiri di hari tuaku nanti. Anak-anak pasti akan pergi seperti anak-anak ibu tadi, sendirian seperti itu... tanpa teman bertengkarku, tanpa lelaki yang kadang menjadi samsak kekesalanku, aku takkan bisa hidup tanpanya. Bagaimana kalau ada perempuan lain, yang tak memandang usianya, yang tak memandang statusnya seperti istri kedua tadi? Seseorang yang mencintainya lebih dariku dan akhirnya merampas suamiku? Aku akan mengubah segalanya mulai sekarang. Akan kuisi seluruh hatinya dengan cintaku. Aku akan bersyukur apapun kekurangan dan kelebihannya.

Ruang tunggu kembali lengang. Hanya terdengar dengung AC, bunyi jarum jam dinding dan tiba-tiba... pintu ruang tunggu terbuka.

“Maaf, Ibu-ibu! Dokter sudah da... “ kata Perawat itu dari balik pintu namun kata-katanya bergantung di udara. Ia hanya bisa berdiri dengan wajah bingung menelusuri setiap sudut ruang tunggu yang kini sudah kosong melompong.

T A M A T

09 Desember 2017

Kisah Seorang Istri, Janda dan Istri Kedua (1)

Tiga orang perempuan datang ke sebuah tempat praktek seorang penasehat perkawinan.
Perempuan pertama adalah seorang perempuan berusia sekitar tigapuluh lima tahun. Wanita berpenampilan modern itu menghempaskan tubuhnya di atas sofa empuk warna hijau pupus dengan wajah tampak kesal. Matanya berkeliling menatap seantero ruangan. Tak lama keluar seorang gadis berpakaian hijau muda.

“Ibu Tania Hermawan?” tanya gadis berbaju perawat itu.

Wanita itu mengangguk.

“Mohon ditunggu ya Bu! Dokter sedang dalam perjalanan.”

Wanita hanya mengangguk. Perawat itu berlalu, sementara wanita bernama Tania mengambil majalah dari atas meja di depannya. Ia membalik-balik majalah, melihat isinya dengan setengah hati sebelum akhirnya menutup dan meletakkannya kembali ke atas meja. Tak lama seseorang juga masuk ke ruang tunggu itu. Seorang perempuan setengah baya yang berada di akhir limapuluh tahun. Mereka bertemu pandang, saling tersenyum. Dari pakaiannya, jelas sekali terlihat kalau perempuan kedua ini adalah wanita kaya raya. Pakaiannya begitu mewah dan aksesoris tubuhnya yang berlimpah memenuhi penampilannya. Sedikit norak namun tak mampu menyembunyikan rambut berwarna abu-abu putih di kepalanya. Ia duduk sambil memandang lurus. Tatapannya begitu kosong.

Hanya selang dua menit, muncul wanita lain dari balik pintu. Ia jauh lebih muda dari kedua wanita sebelumnya. Masih sangat muda. Usianya sekitar dua puluh lima tahun. Wajahnya cantik jelita, bertubuh indah dan gerakannya anggun. Pakaiannya hanya blus berwarna biru menutupi tangannya yang panjang dengan baik dan celana jins panjang biru muda ditambah sepatu kets putih berpita merah. Penampilannya paling sederhana di antara dua wanita sebelumnya namun justru berhasil menampilkan kecantikannya yang alami dengan sempurna.

Perawat berbaju hijau itu masuk lagi. Kali ini ia memandangi tamu-tamu yang duduk di ruang tunggu itu.

“Ibu Desiani dan Ibu Syifa Al Hakim?” tanya Perawat itu.

Keduanya mengangguk bersamaan, sebelum saling memandang. Perawat itu kembali mengatakan hal yang sama seperti pada wanita pertama, bahwa dokter yang mereka tunggu sedang dalam perjalanan sebelum kembali keluar dari ruang tunggu itu.

Suasana sepi ruang tunggu itu ternyata membuat ketiganya menjadi sedikit gelisah. Suara helaan napas, gesekan tubuh dengan sofa, dengung AC yang terdengar makin nyaring serta bunyi jarum jam dinding bergerak semakin membuat suasana menjadi tidak nyaman. Untuk memecahkan kebekuan itu, Ibu Syifa, wanita di akhir limapuluh tahun itu pun mulai berdehem dan menoleh pada wanita pertama, Ibu Tania.

“Konsul?” bisiknya.

Ibu Tania mengangguk.

Ibu Syifa ikut mengangguk-angguk. Lalu terdengar Ibu Tania balik bertanya, “Ibu juga mau konsul?”

“Iya, Neng. Biasalah, saya nyari teman bicara.”

“Teman bicara?”

Ibu Syifa tersenyum. “Yaah, beginilah kalau sudah tua. Punya anak sudah dewasa, sudah punya keluarga sendiri dan paling-paling datang sesekali saja. Pulang pun mereka yang sibuk mengeluh, jadi manalah berani saya ikut-ikutan mengeluh. Yah mengeluhnya di sini saja. Sama Bu dokter saja. Biar sekalian nyari solusi.”

“Waduh, Bu. Kalau saya pasti akan senang banget bisa bicara sama ibu saya. Ibu saya sudah tiada, Bu. Kalau tidak buat apa saya jauh-jauh konsul perceraian sama orang yang tidak saya kenal,” keluh Ibu Tania.

“Cerai? Kenapa bercerai?” tanya Bu Syifa kaget. Ia memandangi Ibu Tania dengan tanda tanya besar.

Ibu Tania menghela napas berat. Ia menunduk sedih. “Saya cape, Bu. Cape menghadapi suami yang kerjaannya cuma bisa menghina dan menyuruh saya. Tiap hari saya ngurusin anak-anak, ngurusin rumah, ngurusin dirinya... eh, malahan tiap hari kalau ngobrol maunya ngajak perang mulut terus. Saya sudah lelah lahir dan batin. Daripada tiap kali ada masalah keluarga, adanya hanya bertengkar dan bertengkar terus kan lebih baik pernikahan ini selesai saja. Saya konsul ke sini karena pengen tahu apa aja dampak perceraian kami nantinya. Saya sih pengennya ngobrol dengan ibu atau ayah saya. Tapi mereka berdua sudah tidak ada, jadi itulah mengapa saya di sini.”

Ibu Syifa tersenyum penuh pengertian. “Bercerai itu belum tentu menjadi solusi loh, Neng. Dampaknya bukan hanya ke anak-anak. Omong-omong, berapa anak Neng?”

Jari jemari Ibu Tania teracung empat, membuat senyum Ibu Syifa semakin melengkung. “Lumayan banyak, ya. Padahal kelihatannya Neng masih muda sekali. Cantik pula.”

Kali ini giliran Ibu Tania yang tersenyum lebar. Ia tampak senang.

“Aah... ibu yang baru ketemu saja sudah mau memuji saya begitu. Sayangnya suami saya tidak pernah, Bu. Tiap hari kami itu hanya saling menghina saja. Yah saya juga gak terima kan kalau dihina, makanya ya saya balas juga deh. Kalau setiap hari di mata suami aja saya sudah begitu jelek, ngapain saya pertahanin suami kayak begitu?”

“Tapi Neng pernah tanya tidak pada janda-janda gimana rasanya setelah bercerai?”

“Yah belum, Bu. Wong di keluarga saya, hanya saya yang akan bercerai. Maaf nih, Bu. Ibu pernah bercerai?”

“Hmm... dibilang bercerai mungkin bisa. Hanya saja cerai saya dengan suami karena dipisahkan oleh dunia. Beliau sudah meninggal karena sakit. Sudah lama meninggalnya, sejak anak-anak saya baru masuk SD.”

“Uuh, maaf banget, Bu. Jadi mengingatkan ibu pada almarhum suami.”

“Tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Saya sudah tidak sedih lagi kalau mengenang beliau. Pernikahan kami memang sangat singkat, tapi kenangan suamilah yang membuat saya bisa mengasuh anak sendirian.”

“Ibu benar-benar hebat ya. Selama itu tak pernah terpikir menikah lagi, Bu?”

“Tentu saja pernah. Berulang kali malah. Tapi bukan karena saya jatuh cinta atau suka pada pria lain. Hidup sendirian, membesarkan dua anak yang masih kecil-kecil dan tuntutan hiduplah yang membuat saya berpikir begitu. Saking beratnya cobaan hidup, saya mungkin akan menikahi siapapun lelaki yang melamar saya saat itu. Tak peduli apakah dia baik atau jahat, berpenghasilan atau tidak, bahkan apakah dia mencintai saya atau tidak. Asalkan bisa menemani saya mengurus anak-anak saya, saya mungkin akan menerimanya.”

“Ibu....”

“Menjadi istri memang sangat berat, Neng. Tapi menjadi janda jauuuuh lebih berat. Suami bukan hanya seseorang yang membantu kita, tapi kehadirannya walaupun hanya sekedar tersenyum dan berbicara dengan kita pun adalah sesuatu yang memberi kekuatan. Anak-anak itu mengalami banyak periode berbeda dalam hidup mereka, menghadapinya sendirian sangat tidak mudah dan kehadiran ayah sangat besar artinya saat kita berhadapan dengan anak. Tidak hanya saat susah, saat mereka sakit, saat mereka membutuhkan materi, saat mereka kesulitan... tapi juga saat senang. Entah sudah berapa kali saya hanya bisa menahan iri dan sedih saat anak-anak lulus, diterima bekerja bahkan menikah dan memberi cucu untuk saya. Semuanya hanya saya jalani sendirian, tidak ada teman berbagi suka dan duka itu. Akhirnya semua itu hanya bermuara pada satu hal. Bahwa hidup tanpa suami itu benar-benar berat.”

“Tapi suami saya mungkin berselingkuh, Bu. Bagaimana lagi saya bisa pertahanin?”

Tiba-tiba wanita muda yang duduk di ujung sofa lain menoleh pada Ibu Tania. Desy, wanita muda itu bergeser tempat duduk dan langsung berceloteh, “belum tentu, Bu. Ibu pernah tanya atau melihat sendiri tidak?”

Kedua wanita itu pun langsung menoleh ke arah wanita muda itu.

Bersambung

03 Desember 2017

Robin Hood Cilik

Emak baru selesai memasak. Hendak membereskan meja makan, saat melihat meja sudah bersih. Emak ingat tadi ada sisa uang belanja di atas meja itu. Tapi sekarang uang itu lenyap tak bersisa. Seingat Emak pula, jumlahnya tak sedikit.

"Siapa yang mengambil uang Emak di atas meja?" teriak Emak kesal pagi itu pada ketiga buah hatinya yang sedang asyik bermain tak jauh dari meja. Tiga pasang mata itu saling melirik satu sama lain, dengan tatapan menuduh.

Tak ada jawaban. Semua diam, ketakutan. Mungkin karena Emak memulai dengan oktaf yang tinggi saat bertanya. Emak memilih duduk namun tidak melepaskan tatapan tajam pada anak-anak. Mencuri adalah perbuatan yang termasuk dalam kategori dengan hukuman berat di rumah.

"Ayo jejer!" Dengan patuh ketiganya berjejer di depan Emak, bersiap menjawab pertanyaan Emak."Sekarang Emak tanya, siapa tadi yang membuka dompet Emak?"

"Kakak, Kakak ambil limapuluh ribu dari dompet Emak untuk membeli minuman kaleng dingin," jawab putri Emak jujur dengan nada lemah.

"Sisanya berapa?" tanya Emak dengan tegas.

"Tiga puluh lima ribu, Ma," jawab putri Emak itu dengan cepat. "Kakak taruh kembaliannya di atas meja. Emak kan lihat?" Emak mengangguk, kakak memang benar tadi Emak sempat meliriknya saat ia melaporkan kembalian uangnya. Kali ini Emak menoleh pada putra Emak.

"Abang tadi juga minta uang sama Mama kan? Waktu itu Emak lagi sholat Dhuha, sudah diambil?"

Ia mengangguk. "Iya sudah, Ma. Abang lihat ada uang di situ terus Abang ambil lima ribu. Buat beli ini!" Putra Emak itu memamerkan mainan prajurit terjun payung yang dibelinya, mainan seharga seribu rupiah. "Terus kembaliannya Abang taruh di situ lagi, karena takut terbang uangnya Abang tindih sama buku kecil. Udah deh, Abang turun ke bawah main sama Adek dan Kakak."

Emak menganalisa penjelasan anak-anak. Semua masuk akal, semuanya memang benar dan anak-anak menjawabnya dengan cepat. Mata mereka jelas menyiratkan kejujuran karena tak ada keraguan saat menjawab pertanyaan-pertanyaan Emak. Apalagi Jay, si Abang yang tak pernah berdusta.

Tinggal satu, anak Emak yang paling kecil. Emak turun dari tempat duduk. "Adek, Adek tadi jajan tidak?"

"Ndak, Adek gak jajan. Adek main, cama kakak, cama abang tadi," jawabnya lugas. Bahu Emak merosot. Adek tak mungkin berbohong. Usianya baru tiga tahun dan dia sama sekali tak tahu arti uang. Dia cuma tahu jajan, dan kalau mulut serta tangannya sudah penuh dengan makanan maka ia takkan meminta jajan.

"Adek lihat uang Emak gak?" kali ini si Kakak yang bertanya. Mungkin karena dia juga penasaran.

"Iya tadi Adek kan naik sebentar, katanya mau minum. Abang lihat loh!" ujar si Abang juga tak mau kalah.

"Sudah. sudah, percuma nanya sama Adek. Ayo kita cari lagi! Siapa tahu uangnya jatuh ke bawah kolong meja? Ayo bantu Emak!" Maka kami bertiga pun sibuk menelusuri seantero ruang makan dan dapur, kakak malah sibuk membongkar kotak mainan karena mengira uang itu dimasukkan Adek di sana. Tapi uang sisa belanja itu tak juga kami temukan.

Akhirnya meski penasaran, Emak menghentikan pencarian. Biarlah, salah Emak juga membiarkan uang tergeletak begitu saja di atas meja makan. Meskipun di rumah Emak hanya bersama anak-anak, tak seharusnya Emak begitu teledor. Emak juga percaya anak-anak takkan mungkin mencuri dari Emaknya. Maka akhirnya Emak memilih diam.

Tapi tetap saja Emak kuatir. Takut mendapatkan kenyataan anak-anak mulai berani berbohong padanya dan bahkan mencuri. Maka ia ceritakan semua itu pada Ayah, tentang uang yang hilang. Seusai sholat Magrib berjamaah, seperti biasa setelah mengaji Ayah mengajak anak-anak bicara. Pembahasannya tentu saja masih soal uang yang hilang, bedanya Ayah sama sekali tak menyinggung masalah inti. Ia hanya mengingatkan kalau mencuri, walaupun itu uang milik Ayah dan Emak tetap saja tidak boleh diambil tanpa ijin. Kalau mencuri itu termasuk perbuatan dosa dan hukumannya adalah potong tangan kalau di Arab sana. Anak-anak mengangguk mengerti dan sama sekali tak ada gurat ketakutan di wajah mereka. Jelas menunjukkan kalau anak-anak memang tak melakukannya.

Setelah anak-anak tidur malam itu, Ayah menenangkan Emak agar tak terlalu memikirkan uang yang hilang. Tapi bukan itu yang jadi masalahnya, Emak kuatir anak-anak belajar mencuri dan berbohong. Namun Ayah tetap meyakinkan kalau anak-anak pasti sudah berkata jujur. Emak hanya bisa diam dan mulai memeriksa catatan dari para guru kakak serta abang.

Dari guru kakak, semuanya tak ada masalah dan Kakak sudah meng-khatamkan Alqur'annya, berarti tugasnya menyiapkan "selamatan" kecil dan Emak mulai menandai kalendernya, mengobrol sebentar meminta pendapat Ayah. Setelah itu, Emak mengecek catatan milik Abang. Guru Abang mengingatkan untuk menyetor tabungan "peduli" milik Abang.

Tabungan itu adalah tabungan dari sebuah lembaga penyantun anak-anak yang tak mampu bersekolah. Jadi setiap bulan, setiap murid menyetorkan sisa uang jajan mereka untuk bersedekah bagi teman-teman seusia mereka agar bisa tetap bersekolah. Tabungan ini berbentuk celengan yang bagian bawahnya bisa dibuka. Pelaksanaannya diawasi oleh orangtua dan dilakukan oleh si anak setiap kali pulang sekolah.

Tapi di rumah, Celengan kecil itu tak cuma diisi oleh Abang. Kakak dan Adek juga ikut bersumbangsih setiap kali mereka punya sisa uang. Emak dan Ayah mereka juga ikut mengisinya kalau ada koin. Mereka mengajari anak-anak bahwa celengan itu bisa membantu banyak anak mengecap pendidikan seperti mereka.

Emak mulai membuka bagian bawah celengan. Saat mengeluarkannya, Emak terkejut. Bukan karena jumlah uangnya yang lebih banyak, tapi karena ada tiga buah puluhan ribu yang ada diantara timbunan koin-koin dan recehan seribuan. Ujung salah satu uang kertas itu sedikit sobek, menandakan bahwa orang yang memasukkan uang itu melakukannya dengan asal-asalan.

"Ayah!" panggil Emak. Ia menoleh dan tanpa bicara, Emak menunjukkan tiga uang kertas sepuluh ribuan itu. Lalu mereka sama-sama tertawa. Tanpa perlu dibahas, mereka sudah menemukan pelaku "pencuri" uang itu. Siapa lagi kalau bukan si Adek?

Esok paginya saat sarapan, Emak dan Ayah pun menginterogasi si kecil.

"Adek masukkan uang Emak ke sini ya?" tanya Emak sambil menunjukkan celengan itu. Adek mengangguk.

"Iya, Adek nabung. Kayak Abang. Banyak! Adek gak jajan! Pelcaya deh Emak," jawabnya meyakinkan mengikuti gaya kakaknya kemarin saat Emak menanyai soal uang. Dan Emak sekeluargapun terpingkal-pingkal melihat tingkahnya.

Aduh, Adek. Timbul rasa bersalah di hatinya. Tak disangka, anaknya yang terkecil belajar jadi robinhood cilik. Kakak dan Abang menatap Emak setengah menggoda, menunggu permintaan maaf. Meski sedikit malu, mau tak mau Emak meminta maaf pada anak-anak. Syukurlah, ternyata anak-anak masih tetap sejujur dulu. Malah akhirnya Emak harus belajar lagi hari ini bahwa mengajari anak-anak berbuat baik juga harus dibarengi dengan etika dan tata cara.

Adek mungkin belum mengerti apa arti perbuatannya. Mungkin suatu hari nanti kalau dia sudah besar, akan Emak ceritakan kisah ini. Biar dia tahu, kalau sejak kecil dia sudah belajar berbagi walaupun caranya salah.
*****

30 November 2017

Cinta Yang Kuat

Bulan bersinar sempurna malam ini, indah

Aku mengenangmu lagi....

Papa...

Sudah beberapa bulan kau pergi

Namun jejak langkah itu masih terbentuk sempurna di ingatan

Sakit kehilanganmu masih terasa

Tawa dan candamu hari itu masih terngiang hingga kini

Bahkan dada ini masih sesak setiap mengenang itulah saat terakhirmu

Kau masih kusimpan di sini, Papa. Di hati yang paling dalam..

Dan selalu selamanya kan kusimpan kenanganmu

Sampai aku mati

Sampai aku bertemu denganmu di sana...

Aku tahu

Papa pasti berada di suatu tempat di surga

Memandang rindu pada putrimu ini

Aku juga Papa, aku sangat, sangat rindu padamu...

Kadang ketika malam tiba, ketika sendiri sedang memelukku

Aku berharap langit terbelah dan Papa turun dari surga

Berkata dengan senyum lebar "Apa kabar, sayang? Papa rindu kamu"

Khayal yang selalu berakhir dengan airmata mengalir deras di kedua pipi

Aku ingin kau kembali, aku ingin Papa bersamaku lagi

Tragedi ini sulit sekali kuhadapi,

Papa, aku ingin sekali berbagi duka ini pada mama

Hanya saja kami tak bisa, terlalu menyakitkan saling mengingat

Bahwa kami kehilangan cinta dan kasih sayangmu, Papa.

Kehilangan cinta yang paling indah

Kehilangan kasih sayang yang sangat tulus

Melalui kegelapan hari tanpamu amat tak mudah

Mama, tempatku berpijak juga oleng sepertiku

Depresi yang harus kuhadapi

Bagai manusia yang terjebak labirin, tak menemukan jalan keluar

Cinta, Cinta Papa yang takkan pernah kami lupa

Yang membuat aku dan Mama bertahan

Cinta, perasaan yang dalam dan teramat kuat

Karenanya aku tetap hidup hingga kini

Karenanya aku bangkit dan menjadi tongkat penguat hati Mama

Aku belajar dari kehilangan dirimu, Papa

Aku mencintaimu melebihi pada diriku sendiri

Cinta tak bisa menghentikan kematian, cinta tak bisa menghentikan perpisahan

Tapi cinta dapat bertahan selamanya di dalam hati, dikenang selamanya sampai dunia berakhir

Cinta takkan bisa merampas kenangan indah

Cinta yang akan bertahan lebih kuat dari sebuah kematian

Dan Papa akan selalu ada dalam hatiku, selamanya...

Suatu hari kita akan bersama lagi, tunggu aku dengan sabar

Aku ingin mewarnai dunia menjadi indah

Dengan warna-warni cinta yang pernah kau ajarkan

Agar saat kita bertemu

Aku bisa berkata "I Love You, Dad. Thanks for your love... Itulah yang menyinari hidupku dan orang-orang di sekitarku"

******

Tulisan untuk seorang teman yang kehilangan Papa di hari ulang tahunnya, teman yang tak pernah berhenti menangis setiap mengenang sang Papa namun sekarang berhasil menjadi seorang guru yang paling disayang muridnya.

11 September 2017

Pesan Dalam Airmata



[caption id="" align="aligncenter" width="560"] Photo by mnn.com[/caption]

Kepalanya kembali menggeleng, membuat jilbab berwarna marun itu bergoyang-goyang. Tekad yang sama masih terlihat jelas di kedua matanya yang tertutup kacamata. Kuhela napas perlahan. Mulai kehabisan ide, bertanya dengan kalimat bagaimana lagi agar ia mau menjawab.

“Salahnya dia apa, Bu? Kenapa? Apa alasan Ibu tidak setuju?” tanyaku lembut.

Istriku menatapku. Tidak menjawab. Hanya bibirnya mulai bergerak, melengkung, mulai bergetar. Lesung pipinya terbentuk makin lama makin dalam, hingga isaknya mulai terdengar. Pelan tapi pasti, airmata mulai mengalir di kedua pipinya, berjatuhan membasahi jilbab marunnya.

“Looh, kok malah nangis lagi? Ayah hanya tanya, Bu… “ gumamku sambil mendekati istriku. Duduk di sisinya. Tanganku bergerak merangkulnya, membiarkan perempuan yang kucintai itu bersandar di dadaku. Membiarkan airmatanya mulai membasahi kemeja batikku.

Masih sama seperti dulu, masih seperti hampir tiga puluh tahun lalu. Ia selalu seperti ini. Ketika ia tak sanggup menjawab sesuatu, ketika ada yang ia sembunyikan di sudut hatinya, yang ia lakukan hanyalah menangis.

Sebenarnya istriku bukanlah wanita yang lemah apalagi cengeng menghadapi masalah. Bersamanya hampir tiga dekade ini membuatku mengenal baik apa yang ada di balik airmatanya. Tak seperti istri pada umumnya, istriku tak terlalu pandai bicara. Airmata hanyalah cara hati istriku berkomunikasi. Saat ia bahagia, saat ia sangat marah, saat ia sedih, saat ia terharu, bahkan saat ia merasakan emosi orang yang ia sayangi. Airmatanya cepat sekali keluar. Sampai sekarangpun, aku masih sering terkejut karenanya. Sedetik ia tersenyum, sedetik kemudian airmatanya sudah jatuh.

Tapi, berita bahagia yang dibawa putri kami, justru dirasakan bagai mimpi buruk bagi istriku. Sudah dua jam berlalu sejak kami mendengar berita itu, tapi airmata istriku hanya berhenti sesaat dan akan kembali mengalir begitu aku bertanya. Aku tahu, itu bukan airmata haru. Tapi itu karena ia sedih. Sangat… sedih.

Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya selama dua jam ini. Hanya airmata dan isaknya saja yang muncul. Matanya sudah membengkak dan wajahnya yang berdandan cantik malam ini penuh dengan garis-garis aliran airmata bercampur bedak. Lama-lama, aku jadi tak tega melihatnya. Sudah bertahun-tahun rasanya aku tak pernah melihat istriku menangis sesedih ini. Terakhir, ia menangis seperti itu, ketika mertuaku berpulang saat anak-anak masih kecil. Saat itu, istriku sampai harus dirawat karena penyakit jantungnya kambuh.

Aku jadi kuatir. Aku harus tahu alasan tangisannya kali ini. Istriku harus berhenti menangis, atau ia akan kembali seperti saat ibu mertuaku wafat dulu. Tapi, pertanyaanku terus menerus dijawab dengan tangisan.

Sungguh aku tak tahu kalau akan jadi seperti ini. Putri tertuaku sudah mengatakan bahwa malam ini ia akan mengajak seorang pria menemui kami. Aku mengizinkannya, dan sudah menduga apa yang akan ia sampaikan. Fatima, putriku tak menyangkalnya. Kukira setelah aku mengizinkannya datang, semua yang akan terjadi selanjutnya hanyalah sebuah formalitas.

Khairul, pria muda itu kukenali sebagai salah satu teman putriku. Mereka bersahabat sejak putriku masih kuliah. Pria muda itu dulu kakak seniornya di kampus. Hanya setahun mereka kuliah di kampus yang sama karena Khairul meneruskan master di Mesir,  tapi persahabatan mereka berlangsung sekitar lima tahun sejak saat itu. Saat Khairul kembali, keduanya sama-sama aktif di sebuah kegiatan kepemudaan di salah satu Mesjid terbesar di Jakarta. Tepatnya, malah Khairul yang mengajak Fatima bergabung.

Setahuku, hubungan Khairul dan Fatima, putriku hanya persahabatan biasa. Fat, begitu putriku biasa dipanggil, justru berteman akrab dengan Aira, adik Khairul yang juga teman kuliah seangkatan putriku. Kalaupun bertemu, baik Fat maupun Khairul selalu bersama adik-adik mereka. Entah itu Dijah, putri bungsuku atau Aira. Mereka tak pernah berduaan, malah seringkali aku merasa kehadiran Khairul hanyalah sebagai penjaga para gadis itu saat mereka sedang jalan-jalan atau menghabiskan waktu bersama.

Justru yang aku bingungkan adalah sikap istriku. Setahuku, selama ini istriku getol bertanya pada Fat tentang Khairul. Ada saja yang ia tanyakan pada putri kami itu. Walau sebenarnya, tak hanya tentang Khairul, istriku juga rajin bertanya tentang teman-teman lelaki putri kami. Hanya saja, belakangan ini pertanyaan tentang Khairul makin sering seiring makin seringnya Aira berkunjung bersama Khairul ke rumah kami setelah Fatima menyelesaikan ikatan dinasnya. Aira di kamar bersama Fatima, dan Khairul akan duduk mengobrol bersamaku. Hanya kadang-kadang saja istriku menemani. Tapi selama ini, sikap istriku selalu ramah dan baik pada pria muda itu. Malah beberapa kali istriku bercerita tentang Fat, seakan-akan ingin memperkenalkan sosok putri kami itu lebih lengkap pada Khairul.

Lalu di malam hari, saat istriku sedang bersama Fat. Ia sering bertanya. Adakah yang Fat suka? Adakah yang sebaik dan setampan diriku dan pantas dijadikan suami? Apakah Khairul itu termasuk tipe pria pilihan Fat? Wajah istriku tak pernah tampak sedih saat bertanya. Malah seperti seorang ibu yang bahagia. Penuh senyum, nadanya sedikit menggoda bahkan matanya berbinar-binar gembira. Istriku yang periang itu tak pernah sekalipun terlihat marah, apalagi tidak setuju andaikan benar ada hubungan antara Fat dan Khairul.

Pertanyaan ibunya selalu dijawab dengan senyuman oleh Fat. Sebelum gadis muda kami itu memilih untuk berlalu. Fat, memang tak seperti Dijah yang ekspresif, yang berkarakter menurun dari ibunya. Fat lebih mirip sepertiku. Menyimpan banyak hal untuk dirinya sendiri, di balik senyuman yang manis penuh misteri. Sesekali ia menjawab, tapi jawabannya selalu tak pernah pasti.

Selama bertahun-tahun, Khairul selalu disambut dengan hangat oleh istriku. Sama seperti kehadiran teman-teman putriku yang lain. Tak pernah sekalipun aku melihat isyarat penolakan dalam sikap istriku selama ini. Karena itu, ketika Fat bercerita soal keinginan Khairul menikahinya, aku langsung menyetujuinya. Lalu Fat berkata jujur kalau selama ini ia dan Khairul benar-benar murni berteman, tapi ia tak ragu menerima lamaran Khairul jika aku dan istriku menyetujuinya karena meyakini karakter dan juga orang-orang yang ada di sekitar Khairul telah ia kenal dengan baik selama ini.

Aku kira tadinya istriku menangis karena terharu. Atau mungkin sedih karena menjadi orang terakhir yang tahu mengenai rencana putri kami itu. Tapi kemudian, aku tahu ini bukan sekedar rasa haru biasa atau tangis sedih karena marah. Ada yang lain…

Tubuh istriku mulai menegang saat Khairul mengatakan maksud kehadirannya bersama kedua Kakak, adik dan Bapaknya, satu-satunya orangtua yang ia miliki setelah ibunya berpulang beberapa tahun lalu. Senyum istriku yang mulai memudar saat melihat rombongan lengkap itu masuk ke rumah kami, benar-benar menghilang setelah Khairul selesai bicara. Aku mengira itu hanya ketegangan biasa dan menyentuh tangan istriku, menenangkannya. Tapi bibir istriku terkatup rapat membisu. Sampai beberapa kalipun aku menyentuh hingga menggenggam tangannya yang dingin, istriku terus membisu. Akhirnya, aku meminta waktu pada Khairul dan keluarganya untuk menjawab keinginan mereka. Begitu mereka pergi, istriku langsung masuk kamar, meninggalkan Fat yang kebingungan melihat sikap dingin ibunya.

Dua jam sudah aku berada di kamar. Sama bingungnya seperti Fat. Tangisan istriku justru makin lama makin menyayat hati. Tadi aku keluar sebentar mengambil air minum untuk menenangkan istriku, aku melihat Fat duduk di ruang tamu ditemani kedua adiknya. Airmatanya juga mengalir deras. Aku tahu ia juga sedih melihat ibunya menangis seperti itu. Ngilu rasanya melihat begitu banyak airmata mengalir di rumah kami justru di saat putriku mendapat berita terbaik dalam hidupnya.

“Bu, sudahlah. Jangan menangis terus! Jelaskan apa sebenarnya yang ingin Ibu bilang. Kenapa Ibu tidak setuju? Kalau memang tak setuju, kita akan bicarakan dengan Fat. Fat pasti mau dengerin Ibu,” bujukku perlahan-lahan sambil menepuk-nepuk bahu istriku.

Istriku menghapus airmata dengan punggung tangannya. Kulihat usahanya untuk menahan tangis, hingga membuat bibirnya mengatup membentuk garis lurus. Lesung pipinya makin jelas terlihat. Ia menarik isaknya lagi lalu menoleh padaku. Menatap dengan sedih.

“Ibu gak bisa, Yah. Ibu ingin tapi Ibu gak bisa…”

Aku melongo mendengar kalimat yang susah payah ia keluarkan diantara isakan tertahannya. “Maksud Ibu apa?”

“Ibu… ibu gak bisa biarin Fat ninggalin Ibu, Yah. Ibu gak sanggup ngebayangin hidup jauh dari anak ibu… “ Lagi, tangisnya pecah lagi. Kali ini malah lebih keras. Sesegukan hingga kali ini aku benar-benar memeluknya erat-erat.

“Ibu selalu tahu kalau akan seperti ini, Yah. Ibu tahu suatu hari putri-putri kita akan pergi meninggalkan kita. Ibu sudah siapin sejak dulu, dan ibu kira ibu bisa. Tapi hari ini… hari ini ibu tahu kalau ibu gak bisa. Sedih banget, Yah. Nyawa Ibu seperti dicabut denger lamaran… itu,” gumam istriku terisak-isak sambil menenggelamkan wajahnya ke dadaku.

Hatiku seperti mencelos jatuh ke tanah. Airmataku sendiri nyaris ikut jatuh usai mendengar kata-katanya. Hanya yang kulakukan kemudian, terus memeluknya. Menenangkan dirinya, sekaligus hatiku sendiri.

Fat dan istriku memang sangat dekat. Hubungan mereka tak hanya seperti ibu dan anak, tapi juga adik dan kakak bahkan kadang seperti dua orang sahabat. Fat, putri yang kami nantikan setelah menikah lebih dari tiga tahun, adalah anak yang menjadi alasan bagi setiap keputusan penting dalam hidup istriku.

Karena Fat, istriku berhenti bekerja dan memilih menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Tapi karena Fat juga, istriku memilih meneruskan kuliahnya kembali di bidang yang tidak ia minati sama sekali demi mencari tahu tentang penyebab gangguan fokus yang dialami putriku saat itu dan membuktikan diagnosis dokter tidak berlaku pada Fat. Karena Fat, istriku kemudian kembali bekerja dan kali ini ia memilih profesi mengajar. Karena Fat juga, istriku memasuki kampus lagi setahun sebelum Fat kuliah untuk mempelajari proses menjadi mahasiswa di kampus ternama itu sekaligus menjadi contoh kalau ia juga berusaha meraih mimpinya sendiri. Karena Fat, kami pun pindah dari rumah yang selama dua puluh tahun lebih menjadi tempat bernaung kami agar putri kami bisa tetap tinggal bersama kami meski sedang kuliah.

Dulu Fat dan istriku seperti tak bisa dipisahkan satu sama lain. Satu-satunya pemisah mereka justru kecintaan mereka pada Allah SWT. Istriku, seorang mualaf yang memilih menikahiku, juga karena ingin maksimal mengenal Allah. Begitu memiliki Fat, istriku juga tekun mengajarinya beribadah. Demi cintanya itu juga, istriku ikhlas melepaskan putri kami itu untuk menginap di pesantren setiap akhir pekan. Setelah itu, Fat juga sering meninggalkan istriku untuk mengikuti berbagai kegiatan keagamaan dan ibadah yang memaksanya untuk keluar kota selama beberapa hari. Tapi saat keduanya berkumpul lagi, mereka akan saling bicara, bercanda bahkan mengerjakan hal-hal sederhana berdua setiap ada kesempatan. Sesekali, mereka bolos dari semua kesibukan jika terlalu lama tidak melakukan hal-hal sederhana itu. Tidak untuk kemana-mana, hanya sekedar menikmati waktu bersama.

Tak kusangka, hubungan penuh cinta dan kasih sayang itu, yang selama ini begitu kusyukuri kini jadi alasan mengapa istriku begitu sedih seperti ini. Sungguh, aku sendiri tidak tahu harus seperti apa membujuknya.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan di pintu kamar kami membuat aku melepaskan pelukan dan melirik ke pintu. Tanpa menungguku berkata, pintu sudah terbuka. Fat berdiri di depan pintu, berusaha keras tersenyum pada kami berdua.

Istriku menatap putriku dengan mata basah, “Maafin Ibu, Fat. Ibu benar-benar… Ibu bukan… ibu bukan… Hiks, hiks… Ibu tahu… Khairul baik, Khairul… “

Fat menggelengkan kepalanya berulang kali, dan dengan langkah lebar mendekati ibunya. “Sudah, Bu. Gak papa, Bu. Gak papa, Fat ngerti. Fat ngerti banget,” ujarnya berulang kali sambil memeluk ibunya. Tangis keduanya pecah lagi. Tapi kali ini aku mengerti. Keduanya sedang berbicara, dengan airmata mereka sekali lagi. Saling memahami, saling menyampaikan isi hatinya.

Menangislah, Istriku. Menangislah malam ini bersama putri kita. Menangislah hingga seluruh kata-kata yang tersimpan di hatimu yang polos ini sampai di hati putri kita.

Sampaikan cintamu yang begitu dalam padanya, sampaikan betapa sayangnya kau pada dirinya, sampaikan betapa kebahagiaan dia jauh lebih penting dibandingkan kebahagiaanmu. Bahwa sebanyak apapun airmata yang mengalir di wajahmu, kau ingin melihatnya bahagia.

Agar putri kita tercinta selalu mengingat bahwa melepasnya adalah bagian tersulit dalam hidup kita. Agar ia mengenang bahwa membiarkannya pergi, mengikhlaskannya bersama orang lain adalah saat tersedih bagi kita. Agar ia tahu bahwa menjadi putri dari ibu yang begitu mencintainya adalah tempat terbaik di dunia baginya.

Tapi yang paling penting ia tahu… kita akan melepasnya karena ingin ia mendapat seluruh cinta dan hidup bahagia, semua itu karena kita mencintainya.
*****

21 Agustus 2017

Misi Manis Untuk Chang (7)

Cerita Sebelumnya...


Hadiah Misi yang Manis


“Tahu tidak? Aku berterima kasih pada Tuhan untuk pertama kalinya karena Ia memberiku diabetes. Aku baru sadar sekarang, kalau aku memiliki kesempatan yang langka dari ribuan atau bahkan jutaan orang. Aku takkan menghargai rasa ‘manis’ atau arti ‘sehat’ kalau tak tahu diabetes. Aku takkan tahu rasanya mencintai dan dicintai begitu hebat, oleh orangtuaku, oleh sahabatku dan olehmu,” ujar Joan, beberapa hari sebelum ia menghadap Illahi.

Luthfi hanya tertawa kecil sambil mendorong kursi roda gadis itu mengitari taman.

“Chang, mungkin diantara semua orang, orang-orang sepertiku, yang tahu bahwa kesempatannya hanya sebentar lebih bahagia daripada mereka yang sehat. Hidup kami mungkin lebih singkat, tapi lebih menyenangkan dari mereka yang hidup lebih lama.”

Saat itu kaki Luthfi berhenti melangkah. Diremasnya perlahan bahu Joan.

Joan mendongak, tatapan mereka bertemu, “Makasih sudah ada di sampingku ya Mas Luthfi! Aku benar-benar senang bisa bersamamu. Jangan lupa jalankan misimu! Aku percaya kalau misi itulah yang membuat Tuhan membawamu padaku. Aku mungkin tak tahu arti manis, tapi aku selalu merasakan manisnya cinta orang-orang di sekelilingku.”

Senyum Luthfi mengembang tipis, teringat saat itu ia terdiam dan hanya bisa membelai rambut Joan. Itu saat pertama sekaligus yang terakhir kalinya ia mendengar Joan memanggil nama aslinya. Dan masih saja, tiap kali mengenang gadis itu, airmatanya masih mudah merebak.

Tapi tidak boleh. Joan tak menginginkannya. Luthfi menggeleng-geleng berkali-kali, lalu melirik ke luar jendela mobil. Lampu lalu lintas telah berubah warna. Kakinya pun menginjak pedal gas. Membawa mobil box itu menuju suatu tempat.

Mobil box yang dibawa Luthfi bergerak memasuki halaman sebuah rumah bergaya kolonial klasik itu. Dengan senyum lebar, Luthfi mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil, sementara tangannya sibuk menekan klakson berkali-kali.

“Abang Chang datang! Abang Chang datang! Hore! Hore!” pekik anak-anak bersahutan dan berlarian keluar dari dalam rumah itu. Mereka berhamburan mendekati mobil box yang dibawa Luthfi. Saat Luthfi keluar dari dalam mobil, mereka langsung mengelilinginya.

“Hayo! Semuanya bantuin yah, jangan berebut!” Luthfi menggeser pintu mobil box itu dan mulai mengeluarkan satu demi satu kotak-kotak yang bertumpuk.

“Aku, Bang!”

“Aku juga, Bang Chang!”

“Bang! Bang!!”

Anak-anak berlomba-lomba saling mengajukan diri, mengharap Luthfi memberikan bagian tugas mereka. Dengan sabar, Luthfi membagi kotak-kotak itu. Yang kecil untuk yang bertubuh kecil, yang besar untuk yang bertubuh lebih besaar.

“Ingat ya! Jangan dibuka dulu! Tunggu Ibu dan Abang, ya!” pesan Luthfi berulang kali.

Seorang wanita tua muncul dari dalam rumah, tersenyum-senyum melihat anak-anak berseliweran sambil membawa aneka kotak dengan beragam ukuran. Dua orang wanita yang lebih muda nampak sibuk membantu mengatur anak-anak tersebut. Wanita itu menatap pada Luthfi yang membawa kotak yang lebih besar.

“Makin banyak kotaknya tahun ini, Chang?” tanyanya lembut setelah Luthfi meletakkan kotak spesial yang dibawanya itu ke atas meja.

Tangan Luthfi sibuk membuka kotak itu dan terlihat sebuah kue ulang tahun berwarna merah muda putih. Luthfi tersenyum, sebelum menoleh pada si wanita tua itu lagi.

“Iya, Bu. Aku pajang foto adik-adikku di toko dan para pelanggan juga ingin ikut membelikan hadiah untuk mereka.”

“Ah, alhamdulillah… tapi itu tak mengganggu usahamu kan, Chang?”

Luthfi menggeleng, “Enggak, Bu. Justru aku mau ngabarin kalau cabang baruku dibuka lagi minggu depan. Ibu bisa datang ya? Adik-adik juga ikut ya?”

Wanita tua itu mengangguk. Luthfi benar-benar merasa lega melihat senyum lembut di wajah wanita yang sudah dianggapnya seperti ibunya sendiri itu.

Kue ulangtahun itu telah siap di tempatnya, kotak-kotak berisi aneka keperluan anak-anak panti asuhan itu telah tersusun rapi, dan seluruh penghuni panti telah duduk dengan tertib. Acara pun dimulai saat Ibu Panti, wanita tua yang tadi menyapa Luthfi, mulai mengucapkan salam pembuka. Tak ada nyanyian gembira, atau seseorang yang meniup dan memotong kue. Hanya doa yang terdengar dari bibir Ibu Panti. Begitu syahdu, terutama saat menyebutkan nama lengkap perempuan yang masih selalu dikenang Luthfi dengan penuh cinta.

Luthfi tersenyum, dan berbisik dalam hati…

Selamat ulang tahun, Jo! Aku selalu melakukan misiku dengan baik. Ini misi yang kau minta dulu, berbagi dengan orang-orang sekelilingku dan tetap mencintaimu sebanyak yang aku bisa. Kau benar,  aku merasakan manisnya hidup seperti yang kau inginkan. Terima kasih Joan, terima kasih untuk mengajariku arti manis yang sesungguhnya.

T A M A T


14 Agustus 2017

Misi Manis Untuk Chang (6)

Cerita sebelumnya...


Cinta Terindah dari Joan


“Chang...” Suara itu terdengar lelah.

“Ya, Jo?” Luthfi mendekatkan wajahnya pada wajah Joan.

“Aku mengantuk.” Mata gadis ini menutup dan terbuka berulang kali.

“Tidurlah, aku akan di sini. Aku akan temani sampai kamu tertidur.”

“Chang...”

“Hmm...”

“Maukah kau memegang tanganku? Aku ingin terus memegang tanganmu sambil tidur.”

Luthfi tersenyum. Ia bergeser mendekati tempat tidur Joan. Diraihnya tangan Joan. Menekannya dengan lembut.

Hari ini gadis itu sangat berbeda. Sepanjang hari ia tertawa terus, menggoda Kirana dan Alan, melempar tebakan aneh dan menciumi Mama Papanya berkali-kali. Ia seperti tak membiarkan sedetikpun berlalu begitu saja. Sampai akhirnya ia meminta semua orang pergi untuk beristirahat, kecuali Luthfi. Dan sekarang, bukannya mengobrol seperti yang tadi ia katakan pada keluarganya, Joan justru ingin tidur. Mungkin ia lelah, sepanjang hari gadis ini benar-benar tidak beristirahat.

Sudah beberapa hari ini, Joan benar-benar bekerja keras untuk membuat keluarga bisa tersenyum. Meski sangat sulit, semua orang termasuk Luthfi berusaha keras untuk menyembunyikan kegalauan hati. Hati siapa yang bisa tahan mendengar berita dari dokter kalau Joan hanya bisa bertahan dalam hitungan hari. Bahkan tak seorangpun mau meninggalkan kamar Joan, sampai ia memintanya. Joan hanya ingin bersama Luthfi. Tanpa bertanyapun Luthfi tahu, sebenarnya Joan ingin orangtua dan kakaknya beristirahat sebentar di rumah.

Dalam keheningan, tangan Luthfi bergerak merasakan tangan Joan. Jempol Luthfi mengelus punggung tangan gadis itu. Ia bisa merasakan tulang-tulang kecil yang terbungkus kulit berwarna putih pucat itu. Ia bahkan bisa melihat aliran darah yang mengalir di antara jemari Joan. Begitu ringkih dan mungil. Bahkan Luthfi hampir yakin, jika tangannya menekan sedikit lebih keras maka tulang-tulang itu akan remuk karenanya. Luthfi mendengus, ia tak mau itu terjadi. Ia ingin melindungi tangan ini, juga pemiliknya. Agar siapapun tak bisa melukainya.

“Chang...”

“Belum tidur?” tanya Luthfi lagi. Lembut.

“Ternyata memegang tangan sambil tidur itu seperti ini rasanya,” bisik Joan tanpa membuka matanya. “Aku tahu seseorang di sini, menemaniku. Aku merasa dingin, tapi tanganmu memberi kehangatan. Sangat menyenangkan. Terima kasih, Chang. Terima kasih untuk segalanya. Andaikan aku menemukanmu lebih cepat.”

Luthfi menggigit rahang, berusaha keras menahan lonjakan emosi sekaligus rasa sakit dalam dadanya. “Aku akan memegang tanganmu setiap hari, Jo. Kalau kamu ingin aku akan di sini.”

“Chang, aku mencintaimu.”

Tangan Luthfi menggenggam makin erat. “Aku juga, Jo. Aku sangat mencintaimu.”

Joan diam. Ia tertidur. Luthfi bergerak memperbaiki posisi duduk agar lebih dekat dan tiba-tiba tangan Joan terlepas dari genggamannya. Jatuh tanpa daya. Seperti kehilangan nyawa. Luthfi terkesiap. Ia menelan ludah, berusaha menenangkan hatinya.

Tidak mungkin, tidak mungkin Joan pergi begitu saja. Ia baru selesai bicara. Baru saja.

“Jo? Joan?” panggilnya pelan.

Tak ada jawaban. Pelan-pelan tangan Luthfi bergerak ke depan hidung Joan. Berusaha merasakan udara panas. Tapi tak ada. Dingin. Hanya wajah pucat yang terbaring diam dan dadanya tak lagi bergerak. Otomatis tubuh Luthfi terdorong mundur tanpa ia sadar. Perutnya tegang. Luthfi kembali mendekat dan mengguncang tubuh Joan. Awalnya pelan, namun makin kuat. Tapi Joan tetap tak bergeming. Gadis itu sudah meninggalkannya. Untuk selamanya.

Luthfi terduduk kembali. Ia menatap lama wajah gadis yang kini telah terbaring diam. Anehnya, Luthfi tak bisa menangis. Dengan tenang ia mengambil kembali tangan Joan. Tak lagi sehangat tadi. Tapi Luthfi ingin memegangnya lagi. Kali ini sampai ia benar-benar bisa mengingat bagaimana rasanya menggenggam tangan gadis yang dalam sekejap telah merampas seluruh hatinya. Ia takkan menangis, karena ia tahu sekarang Joan pasti sangat gembira bisa melepaskan diri dari semua rasa sakitnya.

Entah berapa jam, Luthfi masih tidak bergeming, bahkan ketika salah satu perawat masuk dan menemukannya duduk diam memandangi Joan. Perawat itu tampak terkejut dan langsung memeriksa peralatan di sisi Joan. Dengan tergesa-gesa, perawat itu keluar. Ia juga tak berkata apapun, ketika seluruh keluarga Joan datang dan menangis di sisi jenazahnya. Ia baru bergeming saat Alan ingin menarik tangan Joan. Dengan mata memohon, Luthfi meminta agar Alan membiarkannya sampai ia bisa melepaskannya. Tak ada airmata. Tak ada kesedihan. Luthfi hanya ingin beberapa menit lebih lama dan Alan membiarkannya.

***

Kedatangan Alan membuat Luthfi sedikit terkejut. Sudah tiga minggu sejak kepergian Joan dan Luthfi masih begitu sulit melupakannya. Ia memutuskan untuk menyibukkan diri di toko kuenya saja, dan itu cukup membantunya melewati hari-hari yang kembali sepi. Kehadiran Alan yang tiba-tiba ke tokonya membuat Luthfi kembali pada kenyataan.

“Kata anak buahmu, kau seperti orang gila. Membuat puluhan kue dalam sehari. Membuatnya sendiri dan memenuhi semua pesanan tanpa bantuan siapa-siapa,” kata Alan dengan nada terdengar marah.

Luthfi tak menjawab. Ia tahu, Alan tahu jawabannya. Tangannya tetap sibuk membuat hiasan di pinggiran kue yang sedang dikerjakannya.

“Kami membersihkan kamar Joan, Fi. Dan Mama menemukan kotak ini. Ada namamu di situ. Kami pikir, mungkin kau ingin menyimpannya. Atau kalau tidak, terserah kamu. Joan meninggalkan banyak sekali kenangan dan kupikir kau ingin menyimpan bagianmu sendiri. Mungkin bisa menjawab semua pertanyaanmu selama ini.”

Kotak sepatu yang tadi ada dalam pelukan Alan berpindah ke atas meja aluminium, tepat  di samping kue Luthfi. Tangan Luthfi berhenti bergerak. Ia menatap kotak bertulis ‘Chang’ itu dengan perasaan campur aduk. Tapi ekspresi wajahnya begitu datar, membuat Alan sedikit kecewa. Rupanya kepergian adiknya benar-benar menghancurkan hati sahabatnya itu.

“Aku pulang dulu, Fi. Kapan-kapan datanglah ke rumah. Mama dan Papa menanyakanmu,” ujar Alan sambil beranjak keluar, meninggalkan Luthfi yang masih memandangi kotak itu.

Luthfi melepas kantong krim dan mengelap tangannya. Lalu ia mengambil dan membuka kotak itu di atas meja kerjanya. Di dalam kotak itu, ada kotak beludru hitam kecil, selembar kertas bergambar, pisau kue kecil, sebuah buku kecil bersampul biru dan selembar surat.

Kotak beludru itu menarik perhatian Luthfi. Ia mengambil dan membukanya. Sebuah cincin berwarna putih dengan satu kilau berlian kecil. Sekali lihat Luthfi langsung tahu. Itu cincin yang ingin diberikannya untuk Joan. Cincin yang ia kira hilang. Bibir Luthfi tersenyum, miris namun lama kelamaan justru air mata mulai merebak jatuh satu demi satu. Joan telah menemukan apa yang paling ingin ia temukan.

Tangan Luthfi bergerak mengambil buku kecil itu. Di dalamnya bertulis nama Kirana, Mama, Papa dan Alan. Sepertinya itu daftar yang ingin dilakukan Joan untuk orang-orang yang dikasihinya. Luthfi ingat saat ia melihat Joan menandai buku itu. Rupanya menyatukan Kirana dan Alan adalah misi terakhir yang ingin dilakukannya untuk mereka. Luthfi terus membuka lembaran-lembaran buku itu dan berhenti ketika melihat nama ‘Chang’ di situ.



Chang

Makan Kue buatan Chang √


Mendapat Cincin Dari Chang √

Memegang tangan Chang √

Mencintai Chang selama-lamanya √

Luthfi meneliti tanggal yang ada dalam catatan itu. Tanggal yang tertera sekitar tujuh bulan lalu. Dan tanggal di sisi ‘Makan Kue Buatan Chang’ adalah tanggal pertemuannya dengan Luthfi dalam insiden pagi itu. Berarti Joan mengenal dirinya jauh sebelum ia mengenal Joan. Rasa penasaran makin menebal di hati Luthfi. Ia terus membuka buku itu. Tapi hanya ada lembaran kosong.

Dengan tak sabar, Luthfi mulai menggeledah isi kotak dan mengeluarkan isinya yang lain. Tapi yang ada hanya selembar kertas lain yang ternyata berisi gambar anak memegang balon dengan kue ulang tahun setinggi tubuh anak dalam gambar itu, selembar surat dan pisau kue. Luthfi menatap ketiga benda itu. Bingung. Ia meneliti kertas gambar itu lebih dekat dan terkejut saat melihat tulisan ‘Chang’ di pinggir kertas itu. Itu tulisannya.

Ingatan Luthfi kembali beberapa tahun silam. Saat ia berkunjung ke rumah Alan, saat ia masih sangat suka menggambar. Ia melakukannya kalau tidak di rumah, dan selalu mencoretkan nama samaran agar Ayahnya tak tahu. Ayah tak ingin Luthfi menjadi pelukis, bahkan mereka sempat bertengkar hebat saat Luthfi tetap ngotot ingin menjadi Chef.

Dulu karya-karya Luthfi menghiasi berbagai media massa. Untuk menutupi kebiasaannya mengirim gambar-gambar ke media itulah, ia selalu memakai nama samaran. Ia suka nama Chan. Diambil dari namanya sendiri, Luthfi Chandrawinata dan mungkin karena saat itu ia melukis tergesa-gesa, tanpa sengaja seperti tertulis ‘Chang’

Lukisan anak perempuan itu pun buatannya. Luthfi ingat saat itu ia mendengar tangisan seorang anak perempuan di samping rumah Alan. Untuk menghiburnya, Luthfi memberikan lukisan itu. Ia tak menyangka kalau anak kecil itu adalah Joan.

Semua kenangan itu kini menyerbu masuk. Pisau kue berbentuk segitiga itu hadiah dari Luthfi melalui Alan ketika Alan mengeluh karena adiknya suka sekali bermain pisau-pisauan. Luthfi tahu Alan tak ingin adiknya terluka karena bermain benda berujung tajam karena luka penderita diabetes akan sulit sembuh.  Luthfi pun memberikan pisau kue mainan sebagai kado ulang tahun adik Alan.

Hati Luthfi terasa seperti diiris. Kini ia mengerti…

Itulah alasan mengapa Joan memilih rumah sakit yang jauh dari rumahnya. Itu mengapa Joan sengaja datang malam-malam mencuri ke toko kuenya dan bukannya memesan. Itu sebabnya Joan memanggilnya Chang. Itu sebabnya… Joan tak pernah mengatakan kalau ia telah menemukan cincin pemberiannya.

Joan mencintainya, jauh lebih dulu, jauh lebih lama dan jauh lebih dalam daripada yang dibayangkan Luthfi. Ia menyimpannya begitu rapat dalam hatinya. Sangat rapat. Hingga Luthfi sendiri sempat merasa dirinya sudah memberikan segalanya.

Kali ini kaki Luthfi terasa lemas, ia berjongkok dan semakin lama tangisnya makin deras. Dadanya tak sanggup menahan rasa sakit kehilangan, rindu sekaligus penyesalan yang datang bersamaan.

Maafkan aku, Jo. Aku terlambat menyadari kehadiranmu.

Pertama kalinya sejak Joan pergi, akhirnya airmata pria muda itu mengalir jatuh. Menangis untuk Joan. Menangis untuk gadis yang masih menghujaninya dengan cinta.

Ketika tangisnya mulai mereda, dan mulai bisa menguasai diri, Luthfi membuka amplop surat itu. Isinya ternyata cukup singkat.



Selesaikan misimu, Chang! Jangan menangis!

I Love You!!!

Jo’


Luthfi tersenyum tipis. Joan tetaplah Joan. Gadis dengan mata bening dan tawa yang polos. Gadis yang takkan pernah bisa dilupakan sepanjang hidup Luthfi.

Selamat jalan, kekasih hatiku! Terima kasih untuk cintamu yang indah...

Bersambung...

Cerita Selanjutnya : Misi Manis untuk Chang (7) - Hadiah yang Manis (Publish Date 21 Agustus 2017)

07 Agustus 2017

Misi Manis Untuk Chang (5)

Cerita Sebelumnya...


Karena Dia Untukku


Ini harinya. Luthfi sudah memantapkan hati. Setelah beberapa minggu, akhirnya kemarin dokter membolehkan Luthfi membawa kue rendah gula lagi untuk Joan. Bukan sekedar kue. Tapi kue dengan cincin yang diinginkan Joan. Kue yang akan mewujudkan keinginan Luthfi untuk menjadi satu-satunya pria di dalam hati Joan. Selamanya.

Tapi Luthfi malah jadi gugup luar biasa.

Isi perutnya bergolak hebat sejak kakinya melangkah masuk ke rumah sakit. Jantungnya berdetak cepat seakan-akan baru selesai berlari. Bahkan keringat dingin mulai mengalir di punggungnya, saat membayangkan jawaban Joan nanti.

Pria mana yang tak kuatir permohonannya ditolak. Joan memang sering bilang kalau ia ingin mendapatkan cincin darinya. Tapi siapa yang bisa menjamin kalau kata-kata gadis itu benar-benar serius atau sekedar bercanda.  Joan benar-benar sosok gadis yang sulit ditebak. Karena itu, Luthfi sampai harus meminta Alan menjemputnya. Ia tak bisa berkonsentrasi menyetir.

“Kamu kenapa sih, Fi?” tanya Alan di lobby rumah sakit, melihat Luthfi yang tiba-tiba memejamkan mata dengan kening berkerut-kerut. “Kamu sakit ya?”

Hmpfff... perutku sakit, Lan. Aku ke toilet sebentar. Tolong bawakan ini ke kamar Joan. Jangan dibuka!!” pinta Luthfi, sambil menyerah kotak merah jambu berisi cake buatannya itu pada Alan.

Alan mengangguk. Dengan langkah terburu-buru, Luthfi pun pergi ke toilet.

Saat naik, Luthfi masih merasa gugup. Meski perutnya tak seberapa sakit lagi. Tetap saja ia masih gugup. Luthfi menghembuskan nafas kuat-kuat sebelum membuka pintu kamar perawatan Joan.

Kali ini aroma obat tercium cukup kuat saat ia masuk. Mata Luthfi menemukan beberapa perawat dan seorang dokter berdiri mengelilingi tempat tidur Joan. Mereka tampak sibuk bergerak ke sana ke mari, menempatkan selang-selang dan berbicara cepat satu sama lain. Sesuatu telah terjadi. Tiba-tiba seorang perawat menoleh dan melihat Luthfi yang berdiri bingung dekat pintu. Perawat itu mendekat, memintanya segera keluar. Luthfi semakin bingung. Di balik punggung para perawat dan dokter itu, ia bisa melihat wajah pucat Joan dengan mata tertutup rapat. Namun, belum sempat Luthfi bertanya, ia telah didorong keluar.

Alan dan Kirana nampak keluar dari lift. Senyum mereka mengembang sampai melihat wajah Luthfi. Raut wajah Luthfi yang pucat pasi dan tangannya yang gemetar menyadarkan keduanya. Setengah berlari keduanya mendekati Luthfi.

“Ada apa? Kenapa Jo?” tanya Alan cepat sambil berusaha melihat dari balik kaca yang ada di pintu.

Kepala Luthfi menggeleng-geleng, ia juga tak mengerti. “Aku baru datang dan mereka semua ada di dalam sana,” jawabnya dengan suara bergetar.

Alan tampak bingung, menatap Kirana. “Kenapa mendadak sekali? Tadi dia lagi tidur kan?”

Lalu Alan dan Kirana pun bercerita pelan. Saat Alan masuk membawa kue, Joan masih tertidur. Tidak ada siapapun di kamar. Kirana yang sedang menjaganya ternyata keluar sebentar. Alan pun mencari Kirana.

Ada rasa bersalah tersirat mendengar kata-kata Alan yang berulangkali menyesal meninggalkan adiknya. Tapi Luthfi menyabarkan. Tak ada yang bisa menjamin apapun. Walaupun mereka berusaha, Joan memang akan selalu berada dalam kondisi yang tak pernah bisa diduga.

Beberapa menit itu bagaikan berjam-jam, sebelum akhirnya semua orang di kamar itu bisa keluar dan sedikit bernapas lega. Joan telah tertidur lagi dengan kondisi yang stabil. Seorang dokter mendekati ketiganya.

“Maaf, hari ini Joan harus istirahat dulu. Mas Alan, bisa kita bicara di ruang kerja saya?” kata dokter Budi, sambil mengangguk pada Alan. Alan diam, tapi ia mengikuti langkah dokter Budi.

Kotak kue yang tadi dibawa Alan terletak di meja teh dekat sofa. Masih belum disentuh. Luthfi membuka kotak itu dengan rasa bersalah.

Sebuah kue berbentuk hati berdiri di tengah-tengah kotak. Warnanya pink, warna kesukaan Joan. Di atasnya Luthfi membuat sebuah peti harta karun kecil dari coklat. Peti yang bisa dibuka, dan di dalamnya ada cincin yang sangat diinginkan Joan. Cincin yang akan dipakai untuk mengikat hati Joan selamanya.

Jari telunjuk Luthfi bergerak, menyentuh ujung peti kecil itu. Membukanya. Tapi tak ada apapun di situ. Cincin yang ia kira ada di situ, hilang. Luthfi terkesiap.

“Ran, tadi kamu buka kue ini?”

Kirana yang sedang duduk di sebelah tempat tidur Joan, menoleh. “Kue apa? Oh kue itu, tidak. Kenapa? Aku tadi kan belum sempat masuk.”

“Tapi cincinnya hilang!” beritahu Luthfi. Tepat saat itu Alan masuk.

“Cincin apa?” tanya Kirana dan Alan bersamaan.

“Cincin untuk Joan. Aku letakkan di dalam hiasan peti ini. Tapi sekarang tidak ada.” Luthfi berdiri dengan panik. Ia mengangkat kue, memeriksa meja teh itu lagi bahkan memeriksa tempat duduknya.

Alan dan Kirana memandangi tingkahnya. Wajah mereka sarat kesedihan. Ketika akhirnya Alan bergerak mendekati Luthfi, ia hanya berkata dengan singkat. “Aku ingin bicara denganmu, Fi. Di luar.”

Luthfi menatap sahabatnya bingung. Tanpa berkata apapun, ia mengikuti Alan.

“Aku tahu, kau mencintai Joan. Itu sudah cukup, Fi. Lebih dari cukup. Tapi memberinya cincin, itu berbeda. Joan tak mungkin mengharapkannya lebih dari yang kau lakukan sampai sekarang.”

“Kamu ini bicara apa, Lan? Justru karena aku dan Joan saling mencintai, maka aku harus memberinya cincin itu. Apa lagi?  Kau kakaknya, sekaligus sahabatku. Seharusnya kamu senang karena aku, sahabat baikmu mencintai adikmu satu-satunya.”

Alan mengangguk. “Ya, sebagai kakak aku sangat bahagia melihat Joan bahagia dan bisa mencintai seseorang selain keluarganya. Sebagai kakak, aku sangat senang adikku yang sepanjang hidupnya selalu menderita bisa merasakan cinta seperti perempuan-perempuan lain di dunia. Tentu aku senang, Fi. Sangat senang.”

“Tapi aku juga sahabatmu. Sebagai seorang sahabat, aku tahu apa yang harus kau hadapi. Aku dan orangtuaku menghadapinya setiap hari. Adikku seorang penderita DM, Fi. Tidak mudah melihat orang yang paling kau sayangi dan paling kau cintai harus berjuang habis-habisan untuk hidupnya. Tidak mudah melihatnya disuntik dan kesakitan setiap hari. Kau akan memikirkan cara untuk menggantikan semua sakitnya, tapi takkan ada gunanya. Kau akan mencari ratusan cara untuk membuatnya keluar dari semua ini. Tapi yang kau dapatkan tiap hari, hanyalah berita buruk. Bahwa satu lagi komplikasi harus ia dapatkan karena penyakitnya yang tak akan pernah bisa sembuh. Setiap hari kau akan ketakutan tiap kali dokter memanggilmu dan bertanya-tanya, apakah ada kelainan baru yang mereka temukan. Berapa lama lagi? Berapa kali lagi?”

Alan tertunduk dengan wajah murung, “Apa Joan akan membiarkanmu mengalaminya, Fi? Tidak akan. Aku mengenal adikku. Dia akan tertawa meskipun seluruh tubuhnya sakit. Dia akan tersenyum meskipun sesuatu yang salah sedang terjadi. Dia akan melakukan apapun, untuk membuat orang yang dicintainya tersenyum bahagia. Jadi kalaupun cincin itu benar-benar ada, Joan takkan menerimanya, Fi. Tidak akan pernah. Perasaanmu suatu hari akan hilang. Itu hanya perasaan kasihan. Bukan cinta.”

“Jadi dia sudah melihatnya?” tanya Luthfi datar.

Alan menggeleng. “Tidak! Aku meletakkan kotak kue itu di meja saat ia tidur. Aku keluar mencari Kirana dan saat aku kembali, kondisinya sudah seperti tadi.”

“Kalau begitu, aku akan tetap mencari cincin itu. Aku mungkin lupa menaruhnya.”

“Luthfi...” Bahu Alan merosot. Ia benar-benar tak ingin membuat temannya menanggung beban.

Luthfi menunduk, memainkan ujung kakinya. “Apa kau tahu kalau Joan mengisi hidupnya dengan berbagai misi? Ia membuatku sadar, Lan. Kalau setiap detik dalam hidup seseorang, ia harus memiliki tujuan. Kalau kita tak bisa memprediksi kematian siapapun. Aku pikir aku merasa kasihan padanya. Tapi aku tak sadar aku melakukannya tiap hari. Setiap kue yang kubuat dan kujual di toko itu karena aku kasihan pada mereka yang ingin memberi kue tapi tak bisa membuatnya. Itu rasa kasihan. Aku tahu dengan baik. Tapi berbeda dengan cinta.”

“Mencintai itu artinya aku membutuhkan orang lain, bahkan meski jika itu rasa kasihan. Aku mencintai Joan. Aku takkan bisa merasa bahagia kalau aku tak bersama dengan Joan. Aku tahu, hidup Joan bisa berakhir sewaktu-waktu. Tapi aku juga tahu, makin banyak kesempatan yang aku buat bersamanya akan banyak kenangan yang bisa kukenang sepanjang hidupku. Agar aku bisa tetap berjalan hidup dan menjalankan misiku sendiri kalau memang kami harus berpisah.”

Luthfi duduk di salah satu kursi penunggu yang terletak di lorong rumah sakit itu. Pikirannya melayang-layang mengingat kejadian saat ia bertemu Joan. Akhirnya dengan senyum pahit, Luthfi kembali bicara.

“Sepanjang hidup aku membuat banyak kue yang manis, tapi tak satupun dalam hidupku terasa manis sampai Joan hadir dalam hidupku. Joan mengajariku kalau hidup itu sebenarnya sangat manis, tapi akulah yang tak pernah menyadarinya. Aku tahu, dia selalu sakit. Aku juga tahu dan memahami resikonya mendampingi seorang penderita DM. Tapi kalau aku menjauhinya, aku yang sakit. Sangat sangat sakit. Mungkin malah aku yang mati duluan. Aku hanya ingin bersamanya, walaupun sebentar. Seperti dirimu, aku ingin memberikan segala hal terbaik untuknya. Aku akan mencintainya, Lan. Selama aku mampu, selama aku bisa. Bukan aku untuk dia, tapi dialah untuk aku.”

Alan, lelaki yang selama bertahun-tahun dikenal Luthfi sebagai sosok pria yang tegar, kini menundukkan kepalanya dalam-dalam dan tubuhnya terguncang. Alan menangis. Entah karena terharu, entah karena ingin membagi kelelahannya. Luthfi tak peduli. Dia tak ingin meninggalkan Joan, tidak sedetikpun. Ia akan meyakinkan semua orang bahwa ia mencintai Joan setulus hati.

Bersambung...

Cerita selanjutnya: Misi Manis Untuk Chang (6) - Cinta Terindah Dari Joan (Publish Date 14 Agustus 2017)
***

31 Juli 2017

Misi Manis Untuk Chang (4)

Cerita Sebelumnya...


Gadis Pembawa Misi


Buku kecil itu lagi. Joan sampai tak sadar kalau Luthfi sudah ada di sebelahnya. Mata Luthfi berpendar, iseng. Ia mengendap-endap mendekat, untuk bisa mengetahui yang sedang ditulis Joan.

“Hayooo! Apa itu?”

Joan terlonjak. “Aarrggh, Chang! Bikin aku kaget saja.” Tangan Joan sibuk menyembunyikan buku itu, dan memasukkannya ke saku baju dengan gerak cepat. Luthfi jadi penasaran.

 “Apa sih itu?” tanya Luthfi penuh selidik sambil melirik ke saku baju Joan.

Joan mengangkat bahu. Dengan santai ia berpindah ke tempat tidurnya. Berbaring. “Misi dari Tuhan. Rahasia.”

Mendengar kata-kata itu, kening Luthfi berkerut. Dadanya sedikit terasa sesak. Tema seperti ini selalu mengingatkan pada hal yang paling tidak disukainya. Harapan hidup Joan.

 “Selama aku keluar masuk rumah sakit. Aku belajar sesuatu,” kata Joan ketika Luthfi masih memandanginya.

Luthfi berusaha tenang, ia duduk di kursi samping tempat tidur Joan dan bertanya lembut, “Apa yang kau pelajari, Joan manis?”

“Umur,” jawabnya singkat. “Kita tak pernah bisa menebak sampai umur berapa kita hidup. Bahkan aku yang kata dokter hanya akan hidup singkat waktu kecil, ternyata bisa berumur lebih lama dari dokter dan perawat yang merawatku. Setidaknya ada beberapa dokter dan perawat yang telah meninggal dunia sebelum aku. Ada juga keluarga dari teman-temanku sesama pasien. Dan tak satupun dari mereka yang tahu kalau umur mereka ternyata lebih singkat dari aku atau para pasien di rumah sakit ini. Hebat kan pelajaranku?” lanjut gadis itu sambil memandang ke langit-langit kamar, mata beningnya tampak menerawang jauh.

Luthfi terdiam. Benar dugaannya. Lagi-lagi Joan mengingatkannya alasan gadis itu harus selalu tinggal di rumah sakit ini. Tangan Luthfi meraba kantong celananya, mengambil ponsel dan berpura-pura sibuk. Ia sungguh tak mau memperpanjang obrolan seperti ini.

 “Tapi, aku juga belajar. Bahwa setiap orang pasti punya misi di dunia sebelum mereka mati. Bahkan termasuk aku. Setiap kali aku bangun dari koma, aku selalu mendapat satu misi baru. Misi dari Tuhan. Dan aku menulisnya dalam bukuku itu. Hanya saja karena itu dari Tuhan, misinya rahasia.” Gadis itu tersenyum penuh arti, lalu menoleh pada Luthfi.

Kali ini perhatian Luthfi kembali tertuju pada gadis bermata jernih itu.

“Misi dari Tuhan?” tanya Luthfi.

“Ya, seperti misi yang didapatkan setiap orang.”

“Aku tak punya misi.”

“Benarkah? Kalau begitu, kau harus membuat misimu, Chang!”

“Hmm... membuat kue?” Luthfi mencoba melucu. Tema seserius ini benar-benar membuat dadanya makin lama makin sesak.

Hahahaha.... itu bukan misi, itu pekerjaan. Bagaimana kalau kubuatkan misi untukmu?” Joan menegakkan punggungnya, duduk setengah berbaring, namun tubuhnya condong pada Luthfi.

“Boleh, apa misiku?” tanya Luthfi ingin tahu, tersenyum.

Bibir Joan membentuk garis lurus,“Hmm... bagaimana kalau membuat kue yang akan memberikan kebahagiaan buat semua orang termasuk orang-orang sepertiku?”

“Misi yang bagus. Aku mau. Akan kubuat itu jadi misi pertamaku. Selanjutnya?” Luthfi menatap Joan lurus. Tidak buruk. Malah misi yang bagus. Hanya saja Luthfi sudah melakukannya belakangan ini. Ia tak hanya membuatkan kue khusus untuk Joan, tapi juga menawarkannya sebagai salah satu menu khusus untuk para penderita diabetes di toko kuenya.

“Hmm... apa lagi ya?” Sorot iseng terlintas di mata Joan. “Bagaimana kalau misi mencintai Joan sebanyak-banyaknya, seluas-luasnya dan setinggi-tingginya. Hihihi...” ujar gadis itu sambil membentangkan tangannya lebar-lebar ke depan, ke samping lalu ke atas.

Luthfi menatap Joan. Menghembuskan napas kuat-kuat. “Misi mencintai Joan sebanyak-banyaknya, seluas-luasnya dan setinggi-tingginya akan dilaksanakan, Miss Misi,” ucapnya yakin seraya memberi salam seperti seorang tentara.

“Benarkah?” Mata Joan membulat dan ia tertawa terbahak-bahak.

Tawa itulah yang sedari tadi ingin Luthfi lihat. Joan yang ceria. Joan yang penuh tawa. Joan yang tampak normal dan sehat.



Bersambung ...

Cerita selanjutnya: Misi Manis untuk Chang (5) - Karena Dia Untukku (Publish date tanggal 07 Agustus 2017)

25 Juli 2017

Misi Manis Untuk Chang (3)

Cerita Sebelumnya


Cincin Untuk Joan


“Chang!! Sudah datang? Sini deh, Chang! Sini! Sini!” Tangan Joan mengibas-ngibas memanggil Luthfi saat ia masuk ke ruang perawatan Joan. Kini ia tampak semakin sehat. Ia sudah tertawa dan tersenyum lagi. Tak lagi terlihat tanda-tanda kalau beberapa minggu lalu ia masih terbaring diam di tempat tidurnya.

“Ada apa?” tanya Luthfi seraya mendekati Joan yang berdiri di depan jendela kamar yang terletak di lantai keempat gedung ini.

Joan menunjuk ke luar jendela kamar, dan Luthfi mengikuti arah telunjuk Joan. Jauh di tempat parkir di bawah sana, sosok Alan yang terlihat kecil sedang berdiri di samping mobil. Di sebelahnya ada Kirana yang berdiri dengan kepala bersandar di bahu Alan. Mereka berpegangan tangan.

“Aah, Kirana itu pacar Alan ya?” simpul Luthfi dengan senyum mengembang. Ia tak sabar untuk bertemu Alan dan menggodanya.

Joan tertawa, “Ya, pacar Kakakku. Jadi jangan coba-coba merayunya, Ok!” kata Joan. Ia beranjak dari tepi jendela, lalu duduk di sofa. Mengambil buku kecil dari saku baju katunnya. Menandai sesuatu. Luthfi mendekat untuk mengintip tapi Joan sudah menyimpan kembali buku kecil bersampul biru itu di sakunya.

“Bawa kuenya?” tanya Joan tak sabar. Luthfi mengangguk.

Luthfi mengangkat kotak kecil kue yang tadi pagi dibuatnya. Lalu menyusul Joan, duduk di sebelahnya. Sesaat gadis itu mengagumi kue berkrim putih berbentuk bulat yang dihiasi aneka bentuk not musik berwarna hitam. Anggun. Tapi cantik. Tangan Luthfi mulai sibuk memotongnya untuk Joan.

“Makasih ya Chang!” ucap Joan tulus sebelum mulai memakan potongan kue yang diberikan Luthfi.

Luthfi tak tahu mengapa Joan selalu memanggilnya Chang. Tapi ia membiarkannya. Menurut Alan, seorang penderita Diabetes sering mengalami kelupaan dan mungkin itulah sebabnya Joan selalu memanggil ‘Chang’ padanya. Luthfi pun tak peduli. Sudah lebih sebulan sejak ia kembali bersama Joan, ia sangat suka melihat gadis itu tertawa dan tersenyum seperti sekarang. Ia hanya ingin melihat Joan setiap hari, walaupun untuk itu ia harus mengubah namanya. Ia ingin membuat kue rendah gula seperti sekarang, asalkan Joan mau selalu memakannya. Ia telah melakukan banyak eksperimen, hingga berkonsultasi dengan dokter Joan hanya agar gadis itu bisa menikmati kue buatannya.

Belum pernah sepanjang kariernya sebagai pastry chef, Luthfi melihat seseorang memakan kue buatannya dengan menikmatinya begitu rupa seperti seseorang yang tak makan berhari-hari padahal hanya beberapa suapan. Gadis itu selalu memejamkan mata sambil mengunyah perlahan-lahan, menikmati setiap gigitannya sambil tersenyum bahagia. Meski terlambat, Luthfi ingin memberikan kue ulang tahun yang diimpikan gadis itu.

Tapi kali ini setelah satu suapan, tangan Joan justru sibuk menyodok  sisa kue tart yang belum dipotong dengan pisau kue berkali-kali. Mengacak-acaknya, hingga bentuk kue jadi tidak karuan. Bukan untuk dimakan, tapi malah dipelototin.

“Kamu cari apa sih, Jo?” tanya Luthfi bingung.

“Cincin!” jawab Joan, tanpa berhenti mengaduk kue.

“Cincin?” ulang Luthfi, semakin bingung.

“Iya, aku sering nonton film atau drama kalau cowok-cowok suka menyelipkan cincin untuk pacarnya di kue tart dan memberikan pada mereka sebagai tanda... mmm... “ Jo berhenti bicara dan tetap menyodok kuenya.

Luthfi tertawa terkekeh. “Kamu kebanyakan nonton drama. Aku tak mungkin melakukannya biarpun diminta. Itu berbahaya.”

Kali ini tangan Joan berhenti, ia menoleh pada Luthfi, menatapnya. “Emang kenapa? Bukankah bagus membantu orang lain untuk mendapatkan cinta?”

“Joan, mencintai itu harus tercermin dalam sikap dan perbuatan seseorang. Bukan dengan kata-kata. Memberikan cincin dalam kue itu berbahaya. Bisa membuat orang yang kita cintai tertelan cincin. Lagipula, menurutku... memberikan cincin diam-diam itu seperti sebuah tindakan pengecut,” ujar Luthfi seraya mengacak-acak rambut Joan. “Sekarang, kuenya sudah berantakan begitu, siapa yang mau makan?”

Bibir Joan membentuk rengutan. “Tapi aku maunya dikasih cincin yang ada di kue.”

“Benarkah? Dariku atau dari orang lain?” tanya Luthfi dengan nada menggoda. Ia mendekatkan wajah pada Joan.

“Tentu saja dari Chang. Tapi kalau ada cowok  lain yang mau kasih ke aku. Hmm... aku pasti terima.” Joan balas menatap Luthfi, menggoda dengan sudut bibir berkedut.

Luthfi tertawa sambil menyentuh ujung hidung Joan. Kali ini ia meluruskan tangannya, merangkul pundak Joan. Membiarkan kepala gadis itu bersandar dalam pelukannya. Aroma bunga dalam shampoo menggelitik hidung Luthfi. Sebuah perasaan hangat mengalir lembut dalam hatinya. Kehangatan yang juga mengalir dalam hati Joan.

Bersambung ...

Cerita selanjutnya : Misi Manis Untuk Chang (4) - Gadis Pembawa Misi (Publish Date : 31 Juli 2017)