Tampilkan postingan dengan label Mother. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mother. Tampilkan semua postingan

10 Februari 2021

Cara Membuka Rekening Valas Untuk Ibu Rumah Tangga

 



Tiada angin tiada hujan, tetiba suami tercinta mengajak untuk membuat rekening valas dengan mata uang US Dollar. Sebenarnya bingung juga buat apa karena suami sendiri sudah punya sebelumnya.

Nah saya baru tahu, kalau beliau udah closing akunnya. Karena menurutnya, dalam Islam itu harta suami dan istri harus jelas agar tidak pusing soal hukum warisan nantinya. 

Sebenarnya yang banyak kontribusi mengisi rekening itu saya, tapi karena saya tipe orang males banget ngadepin urusan birokrasi, makanya suami yang selama ini memanajerin. Sampai sekarang.

Terus pada pengen nanya itu uangnya dari mana?

Ehem… dari zaman dulu. Hihihi… Udah gak pentinglah. Yang jelas dunia itu sebenarnya sempit kalau kita bisa bahasa asing. Di manapun berada, kalau bisa menulis bahasa lain, ya bisa dapet duit dari negara bersangkutan pastinya.

Perlu diingat bahwa dalam anggapan pihak Bank, suami yang bekerja dengan gaji rutin adalah penyalur dana tabungan valas

Walaupun pada prakteknya, akun valas tersebut dipakai untuk menerima pembayaran insentif atau dana lain dari pihak lain menggunakan kurs dollar. 

Oh ya, make sure aja uang yang masuk bukan hasil pencucian uang loh. Ada aturannya kalau uang tersebut bisa dibekukan pihak Bank jika ada masalah hukum yang mengklaim. 

Sekarang kita fokus ke cara buat akun valas itu dulu deh.

Baeklah. Sekarang sebelum ke Bank yang diinginkan untuk buka, cek dulu syaratnya melalui website resmi bank bersangkutan ya. 

Saya memilih Bank M, karena di Bank ini ada rekening utama yang dipakai transaksi sehari-sehari, termasuk transaksi bisnis dan urusan lain. Jadi fluktuasi rekening lumayan aktif. Termasuk bayar belanjaan olshop, terima transferan suami, teman, sodara yang kelimpahan rezeki dan lain-lain.

Di bank ini sebenarnya bisa buka rekening melalui online. Tapi menurut suami, untuk valas syaratnya lebih banyak

Apalagi dalam data pribadi, saya memilih pekerjaan hanya sebagai Ibu Rumah Tangga, maka lebih baik langsung datang saja. Jadi kalau ada kekurangan, bisa langsung diurus.

Waktu datang, saya bawa (eh enggak deng… suami yang bawa) beberapa kartu dan surat kelengkapan berikut:

1.       KTP asli istri 

2.       KTP asli suami (Beneficial Owner* (BO

3.       Kartu NPWP asli (termasuk punya suami)

4.       Kartu Keluarga fotokopi

5.       Dan tentu saja sang penyalur dana yaitu Suami diajak serta

Setiba di bank, saya sempat ditanya-tanya oleh Satpam yang membantu agar proses lebih cepat, selama menunggu antrian. Saya pun mengisi form isian untuk membuka akun baru.

Ada dua form, yang pertama adalah pengisian data calon pemilik akun. Karena saya ibu rumah tangga yang tidak bekerja tetap, ada tambahan satu form lagi yaitu pengisian informasi orang yang menyalurkan dana (Beneficial Owner* (BO

Proses pemeriksaan form oleh petugas sedikit lebih lama jika dibandingkan saat saya membuka rekening Rupiah atau rekening anak (yang mengharuskan adanya persetujuan wali/orangtua). Jadi semua data benar-benar satu persatu diperiksa.

Setelah memastikan seluruh data benar, termasuk memeriksa informasi dari data pekerjaan suami, petugas akan menjelaskan besaran biaya administrasi, minimal jumlah setoran awal, minimal tabungan dalam rekening dan sebagainya.

Proses selanjutnya adalah pencetakan buku bank dan harus langsung disetorkan minimal $100

Oh ya untuk di Bank M, saya HANYA mendapat buku bank. Ini karena sudah punya ATM dari rekening Rupiah, maka akun Valas di-link-kan ke ATM rekening Rupiah tersebut. 

Juga karena saya punya fasilitas Internet Banking, maka secara otomatis rekening baru ini juga muncul. Munculnya satu hari sesudah transfer setoran awal.

Jadi semua transaksi setoran dengan Rupiah atau mata uang lainnya, akan langsung dikurs-kan sesuai rate berlaku hari itu sesuai jenis mata uang yang dipilih. Kalau transaksi setoran Dollar, ya tetap. 

Setelah itu, saya sempat ingin transaksi melalui internet banking, ternyata gak bisa kalau pakai aplikasi. Harus pake internet banking yang versi web. Karena itu, akhirnya saya ambil cash dan setor manual.

Satu lagi, setoran pertama ini dikenakan biaya materai 10 ribu, karena di atas 1 juta

Dan akhirnya selesai setelah 2 jam. Lamanya ngantri sekitar ½ jam.

Tapi saya ingin memberi beberapa saran agar bisa lebih mudah dalam pembuatan rekening.

·         Peliharalah hubungan baik dengan suami, agar beliau ikhlas seikhlas-ikhlasnya menemani istrinda tercinta dan cooperative saat proses pencocokan data.

·         Pastikan walaupun ibu rumah tangga, kita punya kartu NPWP sendiri

·         Anda telah memiliki rekening Rupiah pada Bank bersangkutan tempat akan membuka akun Valas. Rekening saya tidak di cabang tempat membuka rekening valas, tapi masih Bank yang sama.

·         Kalau bisa suami sebagai penyalur dana juga punya akun di bank tersebut. Tapi ini tidak terlalu penting, hanya bisa mempercepat proses. Suami saya sendiri gak punya akun di Bank M.

·         Bawa kartu nama resmi yang dikeluarkan perusahaan atas nama suami. Daripada pusing ditanya-tanya jabatan atau posisi hihihi…

·         Rekening Rupiah kita cukup aktif.

·         Jujur dalam pengisian data informasi juga sangat penting, karena salah satu angka atau info saja, bisa langsung diragukan.

·         Siapkan data keluarga dekat yang bisa dihubungi tapi tidak serumah, terutama alamat lengkapnya. Saya dan suami sempat stuck agak lama menunggu karena menunggu jawaban alamat rumah dari adik.

·         Hafalkan nama ibu dan ibu mertua tersayang dengan baik, karena akan ditanya berulang kali hahaha…

Riweuh ye kan?

Tapi demi tekad menabung dan jadi kaya, tetaplah bersemangat.


 

 

 

01 Februari 2020

#CeritaRetjehEmak Januari 2020

31 Januari 2020

"Abang mau dibawain oleh-oleh apa, Nak?"

"Ga ada, Mak... Pulang aja. Hati-hati di jalan, jangan lupa pake masker! Minum vitamin!"

Punya anak cowok satu-satunya gak pernah minta apapun, ke manapun Emaknya pergi. Selalu begitu.

Giliran anak cewek...

Kakak, "Beliin vnc satu, Mak! Sama tote bag yg pake resleting sama ini juga ... Bla bla bla."

Adek, "Coklat yg kayak waktu itu aja, Mak. Setoples ya sama ... Bla bla bla."

Emak 🙄🙄🙄

 

22 Januari 2020

Mengantar Anak Masuk PTN

 Persaingan ke PTN favorit itu luar biasa...

Di Korea, budaya itu juga terjadi rupanya. Peluang rekomendasi sekolah Korea yang bisa disamakan dengan SNMPTN di Indonesia, malah jauh lebih runcing.

Emak inget perdebatan dan pertengkaran antar orangtua juga antar siswa tahun lalu saat hadir di rapat sekolah Kakak. Anak diminta memilih PTN berbeda, dan kalau bisa jurusan berbeda. Karena bidang Kedokteran dan Kesehatan paling diminati, maka beberapa orangtua sampai berebut pilihan... Ujung-ujungnya tidak ada yang terpilih.

21 Januari 2020

Ketika Anak Belajar Menjelaskan Perasaannya

Di antara anak-anak Emak, Adek yang paling peka. Sometimes too much. Mungkin karena dia seorang deep imaginer juga.

Walaupun tidak berbakat cengeng seperti Kakak saat masih balita, Adek bisa menangis hanya karena orang yang disayanginya sedang menangis tanpa tahu alasan.

Jadi jangan heran, ketika Emak dan Kakak ikut menitikkan air karena terbawa kesedihan saat menonton drama, Adek yang cuma kebetulan duduk dekat kami ikut menangis tanpa tahu sebabnya 😅

Kemarin dia cerita ada sekelompok anak laki-laki di kelasnya yang melontarkan ejekan ke anak-anak perempuan, termasuk ke Adek.

16 Januari 2020

My (Not) Little Princess

My (not) Little Princess

Semalam dalam perjalanan, ngobrol dengan putri tersayang. Tentang perubahan hidup dia tahun terakhir, tentang orang-orang lama yang belakangan kami jumpai. Banyak yang bilang, Kakak berubah banyak.

Kakak, "Iya sih, Mak. Kakak ngerasa sekarang itu lebih nyantai. Udah gak kayak dulu. Soal dapet atau gak dapet, soal menang atau enggak, Kakak gak pernah peduli lagi."

"Maksudnya Kak?"

Kakak, "misalnya dulu kalo dapet nilai jelek, Kakak itu kecewa banget. Kek ngerasa ada yang salah. Kakak gak suka gagal dan kadang ngerasa down gitu."

01 Januari 2020

#CeritaRetjehEmak Desember 2019

 

29 Desember 2019

Alhamdulillah masuk 5 besar, daaan tim Abang mendapat Juara 2 Best Brass.

Tapi saat baru selesai tampil...

Abang, "Gimana, Mak?"

Emak, "Duuuh, cewek yg manggil namamu banyak banget sih!? 4 penjuru stadion. Siapa mrk?"

Abang, "Mak, Abang nanya performnya Abang gimana?"

Emak, "Gak tau, tanya Kakak! Emak sibuk julidin cewek yg panggil2 kamu. Hanya Emak yg boleh, huh!"

Abang 😐😐😐

27 Desember 2019

Rasa Kuatir Orangtua

Padahal Emak dari kecil sudah biasa ikut lomba, aneka pertandingan, kompetisi dan lain sebagainya. Tapi perasaan dulu itu biasa aja. Gak ada perasaan tegang, selalu santai dan bodo amat dengan hasil akhirnya. 

Tapi jadi orangtua ternyata berbeda sekali. Anak yang bertanding, kita yang deg-degan. Bukan karena menanti hasilnya, takut dan kuatir justru saat prosesnya. 

15 November 2019

Saat Anak Didiagnosis Berbeda Dari Yang Lain

"Anakku kurus!!!"
"Gimana cara ngatasin Speech-Delay ya?"
"Kasih ide cara bikin anak anteng dong! Anak gue tantrum melulu!"
Begitu banyak sumber kegalauan para ibu, sampai harus saya akui, kadang responnya terlalu berlebihan. Tapi tetap saja tak bisa kita pandang sebelah mata, masih ada banyak sekali ibu yang punya perasaan lebih peka daripada yang lain.

30 April 2019

Anakku Bukan Anak Bilingual

"Fira kok gak diajarin bilingual, Mbak?"

Pertanyaan sederhana itu sering ditanyakan ke saya. Tidak hanya pada putri bungsu saya, tapi juga ketika kakak-kakaknya masih kecil dulu. Hanya sekarang saya dan Abang memang sering bercakap-cakap dengan bahasa Inggris sederhana, jadi pertanyaan tentang dirinya berkurang. Sementara pada Kakak, si sulung, rata-rata teman-teman saya sudah tahu bahwa putri saya yang satu itu punya kebutuhan khusus yang berbeda dengan kedua adiknya.

Kembali pada Adek, panggilan sayang saya pada si bungsu Fira. Seperti yang pernah saya beritahu bahwa ia telah berulang kali menjadi objek praktek psikologi anak, sehingga saya tahu kalau Adek punya kecerdasan linguistik yang bagus. Setidaknya saat ini ia sudah mengembangkan bakat menulis dan berbicaranya dengan mulai menulis cerita-cerita pendek ala anak-anak.

15 April 2019

Tips & Strategi Menuju Kampus Terbaik (1)


Tidak ada yang mudah dalam membentuk masa depan.

Bahkan Thomas Edison sendiri
pernah bilang bahwa keberhasilan itu membutuhkan 1 persen inspirasi dan 99
persen adalah keringat alias usaha.

Banyak yang bilang bahwa putri
saya sangat beruntung bisa lolos seleksi beberapa kampus ternama dengan jurusan
yang bagus, tanpa tes atau ujian yang memusingkan. Peluang kecil di antara
jutaan anak-anak Indonesia yang mencoba peluang ini.

Dalam artikel ini, saya dan Kakak
akan menceritakan proses panjang hingga akhirnya Kakak mendapat begitu banyak
peluang bagus untuk memilih salah satu dari kampus-kampus terbaik itu.

23 Februari 2019

Learning Without Stress

Saya agak sedih ketika tahu konsep belajar di pikiran para orangtua mulai disalahartikan.
Ternyata masih banyak yang mengindentikkan antara belajar dengan dunia penuh tekanan dan penyebab utama stress pada anak.

Saya tak mau memakai bahasa psikologi yang rumit, tapi bercerita tentang anak saja ya.

Putri saya 'belajar' menjadi bilingual. Tepatnya usia 10 tahun baru mulai. Ia punya kecerdasan linguistik yang sudah saya deteksi sejak balita, tapi baru mulai di usia ketika saya anggap takkan menimbulkan sindrom bingung bahasa. Kemampuannya menyerap bahasa asing sudah terlihat sejak balita, bukan hanya bahasa Inggris, tapi juga dua bahasa lain Korea dan Mandarin bahkan Spanish. Hanya kesininya, saya minta dia fokus dua bahasa dulu.

21 April 2018

Anak Tak Pernah Mendengar, Mereka Meniru!

"Mak, Kakak boleh ambil teknik pertambangan gak?"

Benak saya langsung dipenuhi  sosok-sosok wanita perkasa yang pernah saya kenal saat bekerja di daerah tambang dulu. Meski job description kami berbeda, tapi melihat para pekerja tambang adalah hal yang biasa, termasuk para wanita yang saat saya bekerja di sana dulu masih bisa dihitung jari.

Tapi ada salah satu perempuan berkulit gelap yang saya kenal baik. Lulusan teknik pertambangan. Kami cukup akrab, saling kenal dan sering curhat satu sama lain ketika masih sama-sama belum menikah. Jelas saya tahu sedikit soal pekerjaannya.

Jadi ketika Kakak meminta izin seperti itu, hati saya langsung berdebum jatuh ke bawah. Hanya satu kata menggambarkan jurusan yang ia inginkan itu. Pekerjaan itu berat bagi seorang perempuan.

08 Februari 2018

5 Permainan Mengajari Keselamatan dan Keamanan pada Anak

[caption id="" align="aligncenter" width="344"] Koleksi Pribadi / iinajid.com[/caption]

Pernahkah Anda mengalami saat paling menakutkan di dunia ketika anak-anak menghilang begitu saja?

Saya pernah…

Dan itu terjadi ketika Kakak, putri pertama saya, baru berusia dua tahun. Ketika itu kami berdua sedang mengunjungi Arion Mall, di Matahari. Saya tengah memilih baju untuknya dan melepaskan tangannya begitu saja. Tak sampai sepuluh menit, putri saya menghilang dari samping saya.

Sudahlah, jangan tanya seberapa paniknya saya. Semua orang di sekitar saya tanyai satu persatu. Bukannya membantu, mereka malah menyalahkan. Okelah, saya teledor, okelah saya lengah. Tapi please, bantu dulu!

Para satpam berdatangan dan berbekal foto di dompet, mereka mencari putri saya dengan ciri-ciri pakaian yang ia kenakan. Saya berlari ke sana ke mari, tak lagi peduli pada diri sendiri yang seperti orang gila. Sampai akhirnya menyerah dan kembali ke tempat asal saat terakhir Kakak menghilang. Menangis setengah berteriak dengan sedih sekali.

Campur aduk perasaan saya saat itu, merasa bersalah, kesal, kecewa pada diri sendiri dan sekaligus takut. Apa yang harus saya katakan pada suami saya? Putri kesayangannya yang ditunggu-tunggu hampir empat tahun dan harus melalui program terapi yang panjang, menghilang karena keteledoran istrinya.

Tiba-tiba saja… putri saya itu muncul di bawah meja tempat baju-baju yang diobral. Kebingungan. Karena saya menutup wajah saat menangis, makanya tidak melihat dia. Salah satu SPG menegurnya, “Dek, jangan main di bawah situ! Nanti kamu hilang juga. Mama kamu mana?” dan putri saya itu kujuk kujuk… langsung memeluk leher saya. Semua orang berseru Alhamdulillah. Rupanya, putri saya mengantuk dan tidur di bawah meja baju obralan.

Sungguh itu pengalaman yang paling menakutkan dalam hidup saya. Beberapa tahun kemudian, saya juga memutuskan untuk mempelajari psikologi anak. Itu karena saya tak lagi mau merasakan ketakutan luar biasa itu.

Pengalaman, sekaligus ditambah berbagai teori keamanan dan keselamatan serta belajar dari kejadian-kejadian di sekitar saya serta contoh-contoh kasus yang terjadi itulah yang kemudian membuat saya menyusun sebuah program permainan pada anak ketiga. Adik dari Kakak dan Abang, yang biasa saya sebut Adek di semua tulisan saya.

Adek, adalah putri ketiga yang terlahir dengan jarak usia cukup jauh dari kedua kakaknya, 8 tahun dari kakak, dan 5 tahun dari Abang. Ia lahir ketika saya sedang kuliah psikologi. Jadi secara otomatis, berbagai terapan teori psikologi terutama untuk anak saya aplikasikan ke Adek. Adek juga sudah mendapat beragam jenis pemeriksaan psikologi sejak bayi mulai yang biasa hingga yang finger print, sebagai objek penelitian dari teman-teman. Kelihatannya kejam ya… tenang saja, pemeriksaan psikologi itu ternyata bermanfaat sekali kok dan saya bukanlah tipe orangtua kebanyakan yang percaya dengan hasilnya begitu saja.

Tapi saya memang menggunakan hasilnya untuk menerapkan teori psikologi secara tepat, yang memang baru terlihat setelah beberapa tahun. Banyak sekali manfaat yang saya dapatkan dan mungkin nanti kita bahas dalam tulisan yang lain seperti sapih ASI Adek tepat waktu 2 tahun persis tanpa rasa sakit pada saya atau tanpa kerewelannya sama sekali. Toilet training ala Adek yang membuatnya tak pernah ngompol satu kalipun di manapun sejak lepas diaper. Makan sendiri, pengenalan benda-benda tajam hingga kesehatannya yang stabil dan sensitifitas EQ yang luar biasa, termasuk pelatihan keamanan diri dengan program permainan.

Meski sederhana, ternyata program-program tersebut sangat bermanfaat hingga usia Adek mencapai 9 tahun. Bahkan kedua kakaknya juga ikut memainkan permainan ini.

Kali ini saya membagi lima permainan yang berguna saat berada di keramaian. Permainan ini untuk keamanan diri saat menggunakan fasilitas umum, mencegah penculikan, agar anak tidak hilang dan jikapun ia terpisah maka ia tahu harus memberi informasi apa.

Permainan tersebut antara lain:


  1. Tuk Tuk Lima Kali


Sering kan melihat anak-anak mengalami kecelakaan atau jatuh di eskalator? Nah, saya mengajari ini begitu Adek bisa berjalan sendiri, umurnya sekitar 1,5 tahun.

Setiap kali kami naik eskalator atau lift, saya memegang tangannya. Lalu saya bilang warna kuning/merah (warna di bagian tepi eskalator) tidak boleh diinjak. Adek juga tidak boleh melepas tangan saya sama sekali. Kalau lepas atau menginjak warna, dia kalah.

Lalu sebelum naik, saya mengetukkan jempol atau memencet tangannya yang saya pegang sebanyak lima kali saat naik dan tiga kali saat turun. Tandanya, Adek harus waspada karena ada bahaya di depan.

Saat mengajarinya, Adek tidak tahu siapa ‘bahaya’ itu. Tapi karena melihat ekspresi saya, maka dia (mungkin) menganggapnya sebagai sesuatu yang mengerikan.

Demi konsistensi ‘latihan’, saya sering meminta suami untuk sengaja menurunkan Adek dari gendongannya saat kami akan naik eskalator.

[caption id="" align="aligncenter" width="589"] bgr.in[/caption]



SEKARANG : Adek sudah tahu apa itu bahaya, dan berkali-kali malah dia yang secara otomatis memegang tangan saya dan mengetuk-ngetuk atau memencet tangan saya dengan jari mungilnya. Sekarang yang lebih dulu mengetuk/memencet, maka dia yang menang. Dia melakukannya juga ketika bersama kakak-kakak, ayahnya atau orang-orang yang kebetulan mengajaknya jalan.

Saya pernah benar-benar tidak sadar sudah berada di depan eskalator dan hampir terjatuh, andaikan Adek tidak melakukan itu!




  1. Tanya Jawab


Tak semua anak punya ingatan yang bagus. Tapi jika kita mengulang-ulangnya, insya Allah mereka pasti bisa menghafal nomor telepon dan identitas orangtuanya. Adek mulai menghafal identitas dan nomor telepon keluarga sejak ia TK.

Saya memainkan permainan ini sebelum ia masuk sekolah, dengan mengajukan pertanyaan dan ia harus menjawab cepat. Kalau ia berhasil, ia boleh bertanya pada saya.

Saya mengawali dengan pertanyaan standar, lucu dan yang saya tahu dia pasti suka. Diselingi dengan pertanyaan tentang identitas. Harus cepat.

  • Nama kakaknya Anna Frozen?

  • Hewan yang bisa terbang?

  • Nama asli kakak?

  • Tanggal lahir Adek?

  • Boneka salju Frozen?

  • Nomor telepon Mama?

  • Yang boleh diberitahu nomor telepon Mama?

  • dstnya

Tapi ingat satu hal! Mainkan permainan ini ketika berdua atau di sekitar keluarga inti saja! Jangan di tempat keramaian atau saat ada orang lain, karena mungkin ada informasi pribadi dan rahasia yang diketahui orang lain dengan niat buruk.

SEKARANG : karena mengandung rahasia keluarga maka kemampuan Adek sampai di mana biarlah kami yang saja yang tahu, yang jelas ini sangat efektif.

[caption id="" align="aligncenter" width="684"] Koleksi Pribadi / iinajid.com[/caption]


  1. Cari Lima Jalan Keluar


Menunggu adalah sesuatu paling membosankan bagi anak. Saya sering melihat teman-teman yang punya batita dan balita kesulitan menyuruh anak-anaknya duduk diam dengan manis, menunggu. Terutama jika berada di restoran. Nah saya membuat permainan ini terinspirasi oleh pelatihan safety yang saya ikuti saat masih bekerja sekaligus untuk membuat anak-anak saya tenang.

Permainan ini, akan membuat anak-anak duduk (tapi kadang berdiri juga sih) dengan lebih tenang. Mereka akan diam dan memperhatikan sekitarnya.

Setiap kali kami berada di tempat tertutup, saya meminta anak-anak mencari lima jalan keluar dari tempat tersebut. Itu termasuk pintu, jendela dan apapun yang harus diyakini bisa membuat ia berada di luar, termasuk lubang angin.

Kalau mereka bisa mendapatkan lima jalan keluar, mereka boleh berlama-lama di tempat itu, tapi jika kurang dari itu, mereka harus menyegerakan apapun urusannya. Saya membatasi jam kunjungan (maksimal 2-3 jam) jika mereka tak berhasil.

[caption id="" align="aligncenter" width="507"] flickr.com[/caption]

Tujuannya, mengetahui jalan keluar ini penting sekali jika terjadi situasi darurat. Terlepas dari kepentingannya, tanpa sadar anak-anak akan terbiasa mencari jalan keluar saat berada di suatu tempat. Dan ingatan tentang jalan keluar itu akan termemori dengan baik meski dalam kondisi darurat.

Masalahnya, anak-anak sering malas mencari dan dengan santainya bertanya pada petugas atau pelayan di tempat itu. Pernah satu kali, Abang yang saat itu masih SD bertanya dengan gamblang kenapa hanya ada 2 jalan keluar, dengan diikuti pernyataan lain, “entar kalo kebakaran, keluarnya lewat mana, Om? Bahaya loh! Entar om mati jadi ayam bakar!” dan semua orang yang sedang berada di sekitar kami kontan menoleh dengan bermacam-macam ekspresi.




  1. Jaga Penjahat!


Permainan ini terinspirasi oleh hilangnya Kakak saat masih kecil dulu. Jadi saya mengajarkan Adek, dan akhirnya diikuti oleh kedua kakaknya.

Permainannya : Saya adalah penjahat dan Adek polisi yang sedang menjaga penjahat. Pegangan tangan adalah borgolnya.

Saya memancing rasa tanggung jawab Adek agar dia waspada. Karena itu di tempat keramaian, Adek akan terus memperhatikan saya. Dia kuatir ‘penjahatnya’ lepas. Awalnya saya sering berpura-pura menghilang darinya, dan sengaja bersembunyi dari jauh. Biasanya, saat itu kami berjalan bersama ayah atau kakaknya. Jadi walaupun saya bersembunyi, ada orang yang menjaganya.

Saya membiarkan ia menemukan saya setelah beberapa menit. Jadi dia akan selalu berusaha waspada melihat ke saya.

Lalu setelah usia Adek lebih dari lima tahun, saya menambahnya dengan bertanya perasaannya ketika saya menghilang. Jawabannya itu pasti ‘takut atau bingung atau sedih’ dan saya meminta ia mengingat hal itu karena yang saya rasakan akan seratus kali lipat lebih daripada itu kalau tidak menemukannya.

SEKARANG : Kami sudah jarang melakukannya karena memang sekarang Adek lebih perhatian dan sudah merasa bertanggung jawab. Adek melakukan permainan ini justru dengan kakak-kakaknya. Karena sekarang mereka yang lebih sering suka asyik sendiri saat di keramaian. Adek menjadi polisi yang menyeret-nyeret kedua kakaknya agar mengikuti saya atau ayahnya.


  1. Wefie!


Nah, ini permainan terbaru dengan teknologi. Kalau yang ini, saya juga mengajari kedua kakaknya. Adek belum punya ponsel Android atau yang ada kameranya sendiri. Jadi dia boleh menggunakan milik saya atau ayahnya saat kami berada di mal atau restoran. Permainan ini juga untuk menenangkan anak-anak agar mau duduk diam, sementara untuk anak-anak remaja agar mereka bisa memuaskan kesukaannya berselfie.

Permainannya :  Saya menentukan seseorang di sekitar kami. Entah itu pelayan, tamu di restoran, atau seseorang yang sedang berdiri tak jauh dari kami. Anak-anak harus berselfie tapi memasukkan orang tersebut dalam hasil foto mereka, semi wefie. Yang paling lengkap memperlihatkan seluruh tubuh bahkan wajah orang itu akan memenangkan permainan. Tapi syaratnya, orang tersebut tidak boleh tahu saat difoto. Foto tersebut harus langsung diposting ke grup keluarga kami.

Tujuannya, agar ketika mereka merasa diikuti seseorang atau merasakan sesuatu yang tak beres pada seseorang, mereka akan terbiasa mengambil sudut untuk berfoto tanpa menimbulkan kecurigaan pada orang yang mereka curigai. Setelah saya aplikasikan, ternyata tidak mudah loh mengambil foto dengan background manusia itu. Jadi memang perlu dilatih.

Baru beberapa kali saya lakukan, hasilnya sungguh luar biasa. Anak-anak remaja saya bahkan bisa mengambil foto seseorang yang sedang melihat ke arah mereka dengan pas. Lalu agar tak dicurigai, mereka langsung berkata, ‘yaaah kefoto nih, hapus hapus deh! Yuk ulang!’ lalu bukannya menghapus, Kakak malah mengirimnya ke grup keluarga dengan caption, ‘Ganteng ya Mak!?’



Lima permainan yang saya dan anak-anak mainkan ini tadinya berhadiah. Tergantung dengan kondisi dan situasinya. Kalau kami sedang berada di restoran, maka pemenangnya boleh memesan makanan mahal atau menambah porsi. Kalau di mal, biasanya saya beri tambahan uang atau boleh membeli sesuatu yang mereka mau, tentu dengan batasan. Kalau untuk permainan ke-2, saya lebih sering menghadiahi Adek pelukan atau ciuman saja. Begitupun sebaliknya.

Lama kelamaan permainan di atas jadi kebiasaan, hingga Adek atau kakak-kakaknya tak merasa perlu mendapat hadiah. Jangan lupa, permainan juga bisa mendekatkan hubungan anak dan orangtua, berapapun usia mereka. Itulah sebabnya, mereka tak lagi merasa perlu 'dibayar' dengan hadiah.

Inilah yang bisa saya bagi kali ini. Ayah dan emak lain bisa mengambilnya sebagai inspirasi dan mungkin menciptakan permainan yang lebih sesuai dan lebih baik untuk anak sendiri. Yang penting, selalu pikirkan tujuan utama permainan itu. Selamat bermain!

05 Februari 2018

Surat Untuk Putriku - Sahabat Yang Baik

Nak,

Hari ini mata Ibu menatapmu dari kejauhan. Kau tertawa, tergelak di antara teman-temanmu. Bukan mereka yang sama sepertimu saja, tapi ada gadis berambut hitam bermata sipit merangkulmu, ada anak laki-laki berambut keriting tinggi besar tertawa tepat di depanmu dan beberapa temanmu yang lain duduk di sekitarmu. Di antara mereka ada yang tertawa terbahak-bahak, tapi ada yang tampak berusaha keras menahan geli dengan tersenyum-senyum.

Ibu terheran melihat mereka. Tapi senyum itu juga membayang di wajah Ibu ketika melihat polahmu. Mimik wajahmu, gerak gerik tangan dan tubuhmu cukup memberitahu Ibumu, kau sedang melucu. Apapun itu, Ibu tahu kau sedang menghibur teman-temanmu dengan sejuta humor yang entah dari mana selalu bermunculan di kepalamu.

Lalu Ibu duduk di ruang guru bersama ibu lainmu di sekolah. Dengan ramah, ia bertanya kabar dan kami berbasa-basi saling bertukar berita. Ada sedikit gelegak kuatir saat ibu diminta bertemu ibu gurumu ini. Mungkinkah ada masalah pelajaran? Atau ada masalah dengan sekolahmu? Entahlah, ibu berusaha mencari berbagai alternatif jawaban apapun nanti yang akan disampaikan olehnya.

Ibu hanya ingat satu pesan Ayah, “jika anak kita salah, mintalah pengertian pihak sekolah dan nanti akan kita bicarakan dengan anak kita. Jika perlu mintalah bantuan mereka untuk memberi nasihat untuk kita sebagai orangtua.”

Tapi, ibu gurumu mengabarkan hal lain... Ada sesuatu yang terjadi di sekolah.

Bagai petir rasanya Ibu mendengar, tapi sudah terlambat utk mencarimu dan bertanya. Ribuan kali Ibu bertanya dalam hati, kenapa anakku yang begitu dekat tak pernah cerita tentang ini. Setiap hari kita duduk bersama, berbicara dan membahas berbagai macam hal. Tapi mengapa hal sepenting ini kau simpan sendiri, putriku?

[caption id="" align="aligncenter" width="562"] @ rootpsychology.com[/caption]

Satu demi satu kata-kata gurumu meluncur keluar bercerita tentang kejadian yang diawali sekitar satu bulan silam, kau bukan tokoh utamanya tapi salah satu sahabatmu, yang menyebut dirimu 'sahabat terdekat' di dalam buku hariannya. Lalu buku harian itu terbaca oleh ibu sahabatmu, yang tak sengaja menemukan fakta lain yang mengerikan. Ternyata, beberapa minggu terakhir, sahabatmu menyimpan kegalauan hati yang begitu berat. Perpisahan kedua orangtuanya hampir saja membuat sahabatmu mengakhiri hidupnya.

Tapi kau di sana, menawarkan canda yang mengundang tawa dengan mengirimkan meme lucu saat ia mencurahkan isi hatinya, mengajaknya bermain games bersama secara online sambil bercanda ketika ia mengaku habis menangis karena sedih.

[caption id="" align="aligncenter" width="630"] @ shutterstock.com[/caption]

Kau selalu di sisinya, Nak. Ketika ia merasa ke sekolah hanyalah pelarian dari pertengkaran tak kunjung habis di rumahnya, kau mengajaknya mencuri waktu di sela jam pelajaran untuk jajan dibandingkan membiarkan dirinya tenggelam dalam pikiran kosong.

Kau memilih mengajaknya bermain di rumah berkali-kali, daripada terus mendengar keluhnya. Kau ajak ia makan, main dan mengobrol bersama adik-adikmu, bersama ibu dan ayahmu, membuatnya merasakan makna keluarga yang sesungguhnya.

Dan ketika kau terlalu sibuk untuk menemaninya, kau memintanya datang melihatmu latihan. Untuk mengenalkannya pada dunia persahabatan yang lebih luas, pada persaudaraan yang jauh lebih banyak. Itu membuat sahabatmu kini menjadi sahabat dari teman-temanmu yang lain.

Saat itulah, ibu langsung tahu. Kau memang putriku… Kita tak pandai memberi nasehat, kita juga tak tahan menyembunyikan emosi. Kau hanya tahu, berada di sisi sahabatmu adalah cara terbaik memberitahunya kalau ia tak sendiri.

Malam itu ketika ibu bertanya, kaupun mengakui. Lebih baik menghindari membahas masalah sahabatmu itu, karena tiap kali sahabatmu menangis, kau juga menangis bersamanya. Tak menyelesaikan masalah, apalagi memberi nasihat.

Dan ibu gurumu tahu sehari sebelumnya Ibu dipanggil ke sekolah, ibu sahabatmu itu datang, menangis di depan ibu lainmu di sekolah, memberikan banyak bukti alasan ia bersyukur ada anak sepertimu. Bukan psikiater, bukan psikolog apalagi dokter jiwa. Tapi hadirmu, mengobati jiwa anak lain.

Ibu juga menangis, Nak. Bersyukur karena hadirmu, tak hanya mengobati rinduku menjadi ibu, tapi juga kini bangga menjadi ibumu.

Kau masih di sana, bersama teman-temanmu. Begitu melihatku, kau memeluk tanpa malu dan merengek tambahan uang jajan seperti biasa. Kau tak bertanya alasan Ibu datang, tapi senyum di bibir Ibu membuatmu paham. Tak ada yang perlu dikuatirkan. Ibu tahu itu sudah jawaban yang cukup untukmu. Selama tak ada kerut emosi di wajah Ibu selain senyuman, duniamu akan berputar seperti biasa.

Kau hanya mengedipkan mata sebagai balasan dan berteriak gembira spontan saat dompet Ibu terbuka. Berlari kembali memamerkan lembaran uang yang didapat pada teman-temanmu. Itulah putriku, kau hanyalah remaja biasa dan akan selalu seperti itu.

Putriku, kau hanyalah anak biasa... Manja sesekali, bandel seringkali, tak selalu pintar dan tak selalu menang, tak selalu menuruti keinginan orangtua dan masih sering membantah... Tapi di antara itu, Ibu kini tahu, kau sahabat yang baik untuk teman-temanmu. Dengan caramu, dengan gayamu sendiri, dengan pilihanmu sendiri.

Ibu juga mengerti alasan kau tak cerita, karena memang tak ada yang perlu diceritakan. Kau hanya menjadi seorang sahabat dan teman yang baik, seperti yang selama ini ibu minta darimu.

Ibu yakin satu hal, akan ada sahabat dan teman di sisimu, yang akan menemanimu, menjagamu dan membantumu ketika kesulitan datang kala kami, ayah dan ibumu, tak lagi ada di sisimu...

[caption id="" align="aligncenter" width="412"]oppimateriaalit.jamk.fi @ oppimateriaalit.jamk.fi[/caption]

Inspirasi dari status Februari 2018

04 Januari 2018

Serial Emak: Seorang Pemuda Dan Makanan Sisa



Saat itu, Emak dan Ayah duduk menggelosor di lantai depan perpustakaan umum Mesjid Istiqlal. Kami menanti dua putra putri yang masih apel. Mereka sedang berada dalam masa karantina, dan usai apel adalah jadwal mereka bertemu kami.

Adek, sudahlah.. jangan tanya! Si aktif ini sibuk berlari-larian, bermain-main dengan kucing-kucing yang memang banyak berseliweran di lantai terbawah mesjid itu.

Hanya, karena suasana pengunjung sedang ramai, biasanya Adek akan berlari mendekati kami kembali kalau ada orang-orang asing lalu lalang dekat situ. Bukan apa-apa, ini sekedar tindakan pengamanan yang sudah Emak tanamkan sejak kecil pada anak-anak. Jadi kebiasaan saja.

Saat itu, seorang pemuda melewati pintu pembatas lorong umum dengan ruang-ruang tempat kegiatan mesjid, seperti hendak mendekati Adek. Adek pun buru-buru berlari kembali menyongsong kami dan setengah terpeleset saat menjatuhkan diri dalam pelukan Emak yang sedang duduk sambil mengobrol ringan dengan Ayah. Kami sedang berdebat kecil, bercampur sedikit canda. Saling sodor pilihan, masuk ke perpustakaan atau tetap 'melantai' di situ. Hanya saja, kedatangan pemuda itu membuat Emak waspada dan terdiam. Apalagi ketika Adek memeluk Emak. Ayah yang sedang bicarapun ikut berhenti melihat ekspresi wajah Emak yang kaku menatap aneh pada pemuda yang mendekati kami itu. Ditambah lagi, pemuda itu terus berjalan ke arah kami, meski matanya sibuk memandang ke kiri dan ke kanan berpindah-pindah. Seperti orang yang takut ketahuan melakukan sesuatu. Kami semakin curiga.

Bagaimana tidak? Tak seperti pemuda-pemuda lain yang masuk ke mesjid, wajahnya begitu kusam, tak ada atribut muslim menempel di tubuhnya. Yang ada, anting-anting di telinga, rambut gondrong kusut masai, jaket bergambar aneh yang sedikit robek, jins kumal dan robek di sana-sini. Emak tahu, ada jins yang memang sengaja disobek karena fashion, tapi entah mengapa intuisi mengatakan ada yang aneh padanya. Padahal, sebagai mesjid terbesar, sudah biasa sekali Emak melihat para wisatawan dari berbagai penjuru dunia berkunjung. Tak semua dari mereka itu muslim, bahkan mengenakan pakaian lebih terbuka dibanding itu. Hanya saja, sekali lagi... semua karena feeling yang tak biasa.

Kami terdiam, memperhatikan pemuda itu mendekat. Ayah bahkan berganti posisi duduk, posisi siap menyerang. Emak juga, memeluk Adek dan mulai merencanakan segala hal yang diperlukan untuk melindungi si kecil. Pengalaman buruk berkali-kali memang telah membuat kami seperti ini. Everyone knows, Jakarta is one of the dangerous city in the world, even though we are in a mosque.

Namun, pemuda itu berhenti di dekat tempat sampah besar setinggi Adek yang berada tepat di dinding depan kami. Lalu tangannya sibuk membuka satu demi satu bekas kotak makan yang tergeletak di atas tempat sampah besar itu, memindahkan potongan-potongan makanan yang masih ada ke dalam salah satu kotak yang paling banyak tersisa. Emak dan Ayah saling pandang. Kami bisa menduga apa yang akan terjadi, tapi tetap saja... ketika pemuda itu melenggang menjauh membawa kotak berisi sisa-sisa makanan itu sambil memakan salah satunya, kami shock.

Begitu ia berlalu, Emak berdiri melihat-lihat kotak-kotak makanan sisa di atas tempat sampah itu, sementara Ayah mengikuti pemuda tadi.

Emak ingin berbagi fotonya, tapi sungguh... isinya menjijikkan dan akhirnya Emak men-delete foto itu. Tapi sebagai gambaran, isinya tak hanya makanan sisa yang campur aduk tak karuan, ada kulit pisang, genangan air minum yang sengaja ditumpahkan dan gelas plastik air mineral yang sudah diremuk di dalamnya. Yang lainnya malah tampak lebih parah dari itu. Dan pemuda tadi... mengambil serta memakannya tanpa ragu!

Adek, juga melihat kejadian itu, mendongak menatap Emak, "Kok dia gak jijik ya Mak?"

Emak tak bisa menjawab pertanyaan Adek. Emak juga bingung sekaligus miris.

Pemuda itu cukup kuat untuk bekerja dan menafkahi hidupnya sendiri. Tapi mengapa ia memilih menjadi gelandangan? Berbagai sangkaan muncul di kepala Emak, mungkinkah ia sudah terjangkit candu narkoba, atau ia terlalu malas untuk bekerja? Atau karena dunia kerja tak bisa menerima dirinya? Apapun alasannya, Emak hanya tahu... ia masih muda dan kuat.
Batin Emak pun saling beradu, pantaskah pemuda seperti itu kami bantu jika nanti bertemu lagi?

Ini adalah kenyataan. Banyak pemuda kini seperti itu. Menjadi gelandangan di usia produktif mereka. Ini belum apa-apa dibandingkan jumlah anak-anak muda dan remaja yang memilih nongkrong menghabiskan waktu berjam-jam untuk duduk-duduk tak jelas. Padahal di sisi lain, ada banyak kegiatan remaja dan kalangan muda yang justru sepi peminat padahal gratis dan hanya butuh komitmen. Di Jakarta, menemukan berbagai kegiatan seni dan olahraga yang gratis ditawarkan cukup banyak, kalaupun berbayar masih tak sebanding dengan jumlah pulsa dan uang serta waktu yang dihabiskan para remaja untuk sesuatu yang tak berguna.

Kita berada di zaman generasi yang 'mundur' dari sisi akhlak. Bahkan anak-anak remaja Emak mengakui, mereka sempat merahasiakan kegiatan mereka yang positif itu dari teman-temannya. Kalau saja tak ada support orangtua dan para coaches, anak-anak juga sudah lama berhenti dari 'kegiatan yang dianggap sia-sia' oleh teman-temannya. Hingga saat inipun, hanya beberapa teman Kakak yang tahu tentang kegiatannya ini. Ia malas menghadapi komentar sarkas tiap kali ada temannya yang tahu. Bahkan ketika ia bilang masih mengaji, ada salah satu temannya berkata, "Loh bukannya lo udah khatam waktu SD?"

Buat Adek, peristiwa pemuda dan makanan sisa itu akan menjadi pelajaran nyata untuknya. Akan jadi peringatan tiap kali ia merasa malas belajar atau berusaha nantinya. Ia takkan lupa betapa menjijikkannya makanan sisa yang diambil pemuda itu. Saat ia menceritakannya pada kedua kakaknya, mereka pun tak percaya. Tapi Adek dengan cerdas, mengutip penjelasan Emak saat itu, 'Kata Emak, kita gak cuma belajar di sekolah, tapi belajar jadi pinter yang lain juga. Supaya bisa cari uang sendiri, gak ngais-ngais sampah kayak gitu karena gak punya skill.'

Ini sekedar cerita, yang Emak sempat tanyakan dulu ke Ayah. Ayah, punya cerita lain yang jauh lebih dalam setelah berlari menyusul pemuda itu. Tapi kata Ayah, sama seperti yang Emak pikirkan, orangtua adalah awal dari cerita kelam perjalanan hidupnya sampai seperti itu.

Sekarang pilihan itu ada pada orangtua... mau dibawa kemana anak-anaknya? Anak-anak itu, kanvas putih yang menunggu para orangtua, para pelukis untuk menghasilkan sesuatu dalam ruang putihnya. Akankah jadi lukisan yang indah atau sekedar lukisan yang amburadul tak karuan?

09 Agustus 2017

Tatapan Yang Merindukan


Mal tak terlalu ramai hari Minggu itu. Mungkin karena kami datang saat masih pagi. Aku tak terlalu suka keramaian, jadi kupilih pagi hari setiap kali berkunjung ke Mal. Di pagi hari seperti ini, hanya ada para penjual di counter-counter yang sibuk menyiapkan dagangannya. Satu dua orang yang berlalu lalang, hanya sedikit yang benar-benar pengunjung. Sisanya adalah karyawan atau karyawati dari jajaran toko dan restoran yang memenuhi mal itu.

“Ma, kita makan dulu atau langsung nonton?” tanya putriku.

Telunjukku menunjuk ke atas, “Nonton aja dulu. Kan baru sarapan. Kita beli milkshake aja gimana?”

Putriku mengangguk setuju. Seperti biasa, tangannya menyelip menggenggam tanganku. Di rumah, kami jarang melakukan seperti itu. Kebiasaan saja. Tadinya untuk keamanan dirinya, tapi belakangan itu seperti sebuah kebutuhan.

Tangan Putriku mengayun-ayun saat kami berjalan menuju restoran pastry untuk membeli milkshake. Otomatis itu membuat tanganku juga ikut bergoyang. Tak sadar, bibirnya juga mendendangkan nada lagu boyband favoritnya. Aku hanya bisa tersenyum. Apalagi kepalanya sampai bergoyang-goyang sendiri.

“Shin!” seseorang memanggil nama putriku dari belakang. Kami sama-sama menoleh.

Dua orang gadis seumur putriku mendekati kami. Yang satu berambut pendek dan yang lainnya menggulung rambut panjangnya membentuk gelungan di belakang. Begitu berada di depan kami, keduanya tampak terkejut.

“Eh, Tante?” gumam gadis berambut pendek begitu melihatku. Aku mengenalnya. Itu salah satu teman sekelas putriku. Nola. Dengan santun, gadis itu menyalami tanganku. Begitu juga temannya. Kalau yang satu ini, aku baru pertama melihatnya.

“Kirain tadi siapa manggil-manggil. Ternyata kalian toh!” kata putriku menepuk bahu Nola.

“Ho oh. Tadinya gak yakin itu kamu, Shin. Kamu kan jarang ngemal.”

Putriku hanya tertawa kecil, “Iya nih, Mamaku yang maksa ngajak nonton nih.”

Mataku mendelik, “Iih enak aja, kan tadi Kakak janji mau bantuin Mama nyuci seminggu demi nonton.”

"Aaagh, Mamaaa… jangan buka kartu dong!” rengek putriku manja, sambil merangkulku tanpa malu.

Aku tersenyum puas dan mengelus puncak kepala putriku itu. Tiba-tiba aku sadar, ada dua orang yang sedang berdiri di depan kami. Maka dengan cepat aku menoleh. Tak sengaja mataku menangkap tatapan berbeda dari kedua gadis remaja di hadapan kami. Sekilas, sebelum mereka kembali bicara dengan putriku.

Karena tadi aku berniat membeli milkshake, maka kutinggalkan mereka sejenak. Entah apa yang mereka bicarakan karena ketiganya tampak asyik dan sesekali tertawa.

Tepat saat aku berbalik setelah mengambil pesanan, putriku sudah berada di belakangku. Teman-temannya sudah tidak terlihat lagi.

“Loh kemana mereka?” tanyaku sambil menyodorkan milkshake ke putriku.

“Mereka mau jalan sendiri, Ma. Pengen beli baju katanya,” jawab Putriku santai. Lalu kami berdua pun melanjutkan rencana kami. Kencan.

***

Dua hari kemudian, saat putriku baru pulang sekolah, ia mendekatiku saat aku sedang menyiapkan makan siang untuknya. Tiba-tiba ia memelukku dari belakang. Aku membiarkannya. Dia selalu seperti itu kalau terjadi sesuatu di luar sana.

“Kenapaaa? Ada masalah di sekolah?” tanyaku santai sambil terus meletakkan piring di atas meja makan.

I am so lucky having you, Mom!” bisiknya.

I am so lucky having you too, Kid!” balasku langsung. Satu kebiasaan lain. Ketika salah satu anggota keluarga mengucapkan kalimat indah, harus segera dijawab dengan kalimat indah yang sama. Bahkan suamiku yang dulunya tak pandai berekspresi, meruntuhkan semua kekakuan itu dengan melakukan hal yang sama.

Putriku melepaskan pelukannya dan langsung duduk. Sambil menyendok nasi ke piringnya, ia pun mulai bercerita. Aku juga ikut duduk.

“Tadi pagi aku ngobrol sama Nola, Mak. Dia nanya aku kok jalan sama Mama kayak gitu.” Mulutnya yang penuh tak membuatnya berhenti bicara.

“Kayak gitu? Maksudnya?” tanyaku heran. Tanganku yang memegang sumpit, mengambil sepotong daging paling besar dari  tumis daging dan memindahkannya ke piring putriku.

Putriku mengangguk, “Itu dia, Ma. Aku juga nanya gitu. Trus dia nanya, kok bisa sih jalan sama Mama romantis banget gitu? Pake gandengan, pake becandaan kayak temen. Lah akunya malah bingung denger dia ngomong gitu, Ma. Kok bisa? Emangnya Mamanya gak pernah gitu? Eh, dia bilang gak pernah loh, Ma. Kalopun jalan, ya masing-masing aja. Gak sedekat apalagi seromantis kita.”

“Teruss?”

“Ya aku shock lah. Aku gak ngebayangin jalan sama mama sendiri, tapi kayak jalan sama orang lain. Iiih… mendingan gak usah. Kemarin itu kan kita cuma pegangan tangan doang. Gimane kalo dia ngeliat kita kalo di rumah? Becandaan sampe gulang guling atau peluk-pelukan kalau lagi sedih. Tapi ya aku diem aja. Mungkin emang hubungan dia sama mamanya gak deket dari sononya.”

“Ooh, itu sebabnya tadi bilang gitu sama Mama ya? Baru ngerasa beruntungnya sekarang? Kalo Mama suruh nyetrika setelah makan, kira-kira masih ngerasa begitu gak yaaa?” godaku.

Mulut putriku yang sedang penuh makanan, menyembur keluar karena ia tak sanggup menyembunyikan tawanya. Sebagian melompat padaku, membuatku berdiri menghindar. Setelah itu, kami tertawa berderai-derai.

***

Feeling lucky?

Aku teringat tatapan mata kedua gadis remaja itu lagi. Tatapan itu bukanlah rasa iri. Itu tatapan yang merindukan. Tatapan seorang anak yang terselubung di balik dinding ketidaktahuan. Mereka merindukan sosok mama yang mau bersikap selayaknya kekasih dan sahabat bagi mereka. Putriku mungkin takkan pernah tahu rasa di hati mereka. Tapi ia tahu, ia beruntung memiliki hal-hal yang tidak dimiliki teman-temannya.

Ibu dari Nola juga kukenal. Ia ibu yang baik. Ia juga bekerja sepertiku. Ia juga selalu memperhatikan kebutuhan putrinya, bahkan selalu hadir setiap kali ada acara di sekolah yang melibatkan orangtua. Aku sendiri justru jarang ke sekolah. Hanya sesekali aku hadir, bergantian dengan ayahnya. Lalu mengapa kualitas hubungan kami berbeda?

Lama kemudian baru aku tahu, cara kami menjadi ibulah yang berbeda. Nola, menceritakan pada putriku bagaimana ia dan ibunya saat berada di rumah. Ia ingin tahu, bagaimana agar ia juga bisa merasakan hal yang sama dengan putriku.

Di rumah, meski sesaat aku berusaha mengajak putriku duduk bersama untuk bicara. Tak ada ponsel, tak ada televisi. Hanya duduk, sambil mengunyah makanan ringan dan secangkir teh, kami bisa mengobrol tentang banyak hal. Begitu pula dengan kedua adiknya, dan juga ayahnya. Atau, setelah sholat berjamaah, kupeluk satu persatu putra-putriku sekedar untuk mengingatkan mereka bahwa seluruh beban hari itu akan hilang kalau mereka membaginya bersama kami. Itu juga untuk menghilangkan rasa lelahku bekerja. Memeluk anak-anak seperti mengembalikan semangat dan tenagaku.

Di rumah Nola, semua tersedia lengkap. Malah lebih baik, lebih banyak dan lebih bagus dibandingkan apa yang didapatkan putriku. Tapi, semua itu hanya kebutuhan materi dan fisik saja. Tidak dengan hatinya. Karena terbiasa dicuekin sejak kecil selama kebutuhan luarnya terpenuhi, saat remaja, Nola juga terbiasa cuek pada keadaan rumah. Usai pulang sekolah, ia lebih suka mengurung diri di kamar. Kalau keluarpun, paling-paling untuk memenuhi kebutuhan perutnya yang lapar atau sekedar ingin menonton televisi saja. Tak ada waktu khusus untuk bersama orangtuanya. Sambungan internet adalah pintu keluar satu-satunya bagi hatinya yang sepi.

Aku masih melihat banyak sekali tatapan yang merindukan itu dari anak-anak lain. Anak-anak dari teman-temanku, teman-teman putriku yang lain, bahkan para remaja yang pernah menjadi objek penelitianku. Gerak-gerik kaku karena hubungan yang terbiasa kaku terlihat jelas di mataku. Mereka tak berani bicara, hanya bisa menatap diam-diam. Itu bukan rasa iri. Itu hanya tatapan yang merindukan perhatian, kasih sayang dan cinta yang tulus.

Aku ingin bilang, tapi aku tahu tak semua orangtua bersedia menerima kritik. Aku ingin memberi mereka contoh melalui cerita, tapi lebih sering mereka menganggapnya sebagai sikap sok tau. Padahal yang aku inginkan hanya satu, membuat anak-anak lain bahagia seperti putriku. Karena anak-anak yang bahagia akan membawa keberuntungan bagi orang-orang di sekitarnya.

Andai bisa kugambarkan rasa yang tergambar dari para pemilik tatapan yang merindukan. Rindu cinta yang tulus, rindu kasih sayang, rindu kebersamaan. Aku tahu. Aku ingat. Dulu sekali, tatapan yang merindukan itu pernah jadi milikku saat seusia putriku. Isak diam-diam yang hanya bisa terdengar oleh telingaku sendiri, sepi yang hanya dirasakan sendiri, sedih yang hanya ditelan sendiri. Itu sungguh bukan rasa iri, jika kami hanya bisa menatap pada sepasang ibu dan anak yang sedang bertukar kasih sayang. Itu hanya tatapan yang merindukan kasih sayang.

*****

22 Juli 2017

Sabtu Bersama Teman dan Keluarga

Hal terbaik menjadi ibu dan istri adalah bersama keluarga, tapi bagaimana menghabiskan waktu yang semakin anak-anak bertambah usia, justru semakin sulit disatukan.

Bekerja sebagai konsultan bukanlah pekerjaan yang mengenal waktu teratur. Sepenuhnya tergantung proyek yang dikerjakan. Gak nyangka sebenarnya... Bisa mendapat pekerjaan yang dulunya justru saya layani. Benar kata mantan-mantan Boss dulu, this job is never ending...

Tapi, bukan berarti saya meninggalkan anak-anak yang selalu jadi agenda nomor satu dalam jadwal.

Termasuk hari ini... Sabtu pertama sejak Kakak benar-benar sehat dan mulai beraktivitas lagi.

Saya memulai pagi yang rusuh di kantor, yang ternyata kosong melompong. Ternyata oh ternyata, karena ada kegiatan cuci AC di kantor, rapat koordinasi dipindah ke Sunter dan saya pun terlambat. Riweuh nya, udah janjian sama anak-anak ke Pasar Baru dan teman-teman untuk ikut rapat event komunitas bisnis di Cipayung.

Oke, bingung deh... Potong saya jadi 3 kan gak mungkin ya? Dan jadilah permainan skala prioritas, memilih yang paling penting.

Pekerjaan, ini menyangkut satu tim, 8 orang yang akan bekerja di negara lain. Mereka telah menyiapkan segalanya, termasuk izin kerja, flight booking dan semua rencana kerja yang dipadatkan demi budget.

Karena alasan budget, posisi non teknis tidak ikut sampai di 7 hari terakhir. Itu artinya saya dan beberapa anggota tim yang bisa bekerja secara online akan tetap di Indo, sampai pekerjaan selesai shooting di sana. Kami baru menyusul kalau pekerjaan teknis selesai dan memasuki tahapan finishing.

Tapi, mengatur sebuah proyek dengan tim 20 ini tidak mudah. Kami harus benar-benar saling memahami agar pekerjaan tidak masalah karena miskomunikasi akibat jarak dan waktu. Itu sebabnya semuanya dikoordinasi selama hampir 2 minggu. Kalaupun nanti masih ada perubahan, kami sudah menyiapkan plan B sampai Z (ahaay... Lebay!)

Sedangkan anak-anak, sudah menunggu hampir 2 minggu. Tas Kakak sudah dijahit beberapa kali dan sepatu Abang semuanya sudah terserabut bahkan jebol alasnya. Kakak juga harus mencari peralatan untuk tugas prakarya hari Senin. Jelas kebutuhan mereka juga penting.

Untuk komunitas, setelah mempertimbangkan bisa melakukan briefing singkat dan jaraknya sekitar 1.5 jam dari rumah, maka saya memilih untuk meminta maaf tak bisa hadir.

Dan entah bagaimana, saya berhasil mengatur rakor yang biasa molor jadi on time selesai pukul 13.00. Teman2 di tim saja kaget melihat efisiensi 'keras' yang mendadak saya jalani.

"Storyboard gimana? Siap?"
"Belum, Bunin. Kita stuck di sini... "
"Stop! Kamu sudah bikin report kan? Nanti saya baca dan kirim by email. Oke lanjut ke Media..."

Pokoknya tadi hectic banget, dan alhamdulillah selesai meski tetap aja tambalan kasus masih banyak.

Begitu selesai, langsung meluncur ke Pasar Baru dengan pakaian resmi dan high heels hitam. Sampai di sana, anak-anak sudah asyik memilih sepatu di toko pertama.

Ketika Emaknya tampil bak wanita karier di televisi, anak-anak malah bertampang gembel banget. 😰

Beginilah anak-anak kalau dibiarkan jalan dari rumah tanpa arahan emaknya. Mereka pasti pake kaos oblong aneh bin ajaib, jins gembel yang wis berapa kali sudah saya coba selipin masih bisa ketemu dan... Sandal jepit Swallow!!! Kakak pake yang orange, Abang yang biru dan Adek biru juga. Ayahnya dengan santai berkata, "Bagus kan? Akur!" 😥😥

Satu beli sepatu, yang lain sibuk bantuin milih. Itupun pake acara maksa lagi... 😑😑

Adek, si pencinta sepatu itu juga gak mau kalah. Dia memang suka lihat2 dan masih bisa menahan diri kalau kami bilang tidak boleh beli. Tapi, kalau dia menemukan yang dia benar-benar suka, game over... Hari ini gak berhasil, besok dan besoknya lagi kami pasti diteror dengan mata memelas, pujian yang berujung permintaan dsbnya.

Siapa sangka sepatu warna ungu polos yang kelihatan sederhana justru membuat anak kecil umur 8 tahun itu jatuh cinta? Ampun deh... Dia sampe lompat-lompat di etalase menunjuk-nunjuk sepatu yang dia sukai itu. Bahkan berani meminta ke Mbak Sales untuk mengambil sepatu berukuran 32 atau 33. Ternyata justru no. 32 itulah yang ada di etalase dan cocok di kakinya. Begitu dipake, sudahlah... Sandal swallow langsung pindah ke dus. 😂😀

Saat Kakaknya memilih tas dengan warna dan gambar kartun, Adek justru memilih tas berwarna pink dan tak mau ada gambar karakternya. Kepribadian keduanya memang sangat berbeda. Kakak tomboy dan sangat mirip dengan saya, tak pandai memilih barang-barang cantik. Kami malah selalu menemukan sesuatu yang disukai seperti kaos atau jaket di counter khusus laki-laki.

Sedangkan Adek malah feminim dan modis. Warna pilihannya selalu lembut dan modelnya selalu cantik, membuat anak kecil itu terkadang lebih dewasa dari umurnya. Kadang-kadang, tas pilihannya pun dipakai si Kakak dan... Saya. 😅

Setelah membayar semua yang dibeli. Saya mengajak anak-anak makan siang prasmanan. Tak menyangka, ternyata Abang sudah sering makan di sana bersama teman-temannya di Tim MB, Ayah juga kalau lagi sendirian atau hanya berdua Adek. Dunia anak-anak ternyata sudah lebih luas dari dugaan saya.

Anak-anak ternyata lapar banget, sampai nambah 2x 😄 dan kami mengaso sebentar. Apalagi kaki saya sudah mulai menjerit karena sepatu.

Time to enjoy my family time...
So, pake sepatu tinggi itu bikin kaki seperti dijepit... Jadi saya pun mendadak beli sandal jepit. Sama seperti anak-anak. This is not fashion time, it's my family time. Anak-anak dan Ayah semua tertawa. Sabodo deh! Udah gak tahan sakitnya.

Saya merengek minta dibelikan manisan jambu, 20rb... Gila deh ah, mahal bingits! Tapi ya udah telanjur dipegang dan dicomot pula. Maklum, saya memang suka jambu bangkok. Ayah ngeledek, jambunya benar-benar beli di Bangkok. 😅 😅

Saat itu, Adek juga minta es potong. Udah jarang loh orang jualan es beginian di Jakarta dan tiap kali ke PasBar, kami selalu beli. Adek sangat hafal, karena saya pernah cerita ini es pertama emaknya saat masih kecil dulu. Curi kesempatan makan es di sekolah.

Oh ya, saya baru bisa makan es krim itu pas kelas 3 SD. Selama itu saya tak bisa makan es karena gampang sakit.

Ternyata penampilan keluarga kami yang ala gembel itu gak sendirian loh. Banyak yang jalan-jalan berbelanja memakai sendal jepit loh. Masih mending lah kita, saya masih pake kaos kaki meski bersendal dan ada Adek yang tetap memilih bersepatu cantik ungu itu.

Semakin ke sini, saya belajar menikmati setiap detik bersama anak-anak. Apapun polah mereka, kalau itu hanya soal penampilan maka biarlah... Selama Kakak masih terus belajar berhijab dan aurat mereka tertutup. Toh, kami menikmati waktu bersama dengan nyaman, bukan untuk memuaskan mata orang lain.

Sabtu bersama teman-teman dan keluarga...
Itulah harta berharga...
Itu mengapa kita ada...
Untuk mereka yang kita sayangi...

06 Juli 2017

Pamer Pekerjaan Anak Saat Lebaran

Aku lelah...

Sepanjang hari sejak Subuh, aku sudah beraktifitas menyambut hari kemenangan bagi umat Islam yang berpuasa ini.

Sholat Idul Fitri berjamaah bersama warga di kampung halaman suamiku, lalu saling bermaaf-maafan dengan ibu mertua, suami, adik-adik ipar serta suami atau istri mereka, putra-putriku dan keponakan-keponakanku. Tak sampai setengah jam, kami juga diajak Ibu berziarah ke makam Ayah mertua yang baru berpulang kurang setahun yang lalu.

Tak sampai di situ, kami masih harus menyambut para tamu yang berdatangan, bersilaturahmi. Ketika seluruh anggota keluarga yang lain beristirahat, suamiku malah mengajakku mengunjungi keluarganya yang lain di desa-desa sebelah.

Maka, saat malam datang, aku lebih suka berbaring di kamar sembari membalas ucapan selamat dan permohonan maaf dari teman-teman di ponselku, meski para tamu masih terus datang. It's me time... 

Tapi, sayup-sayup dari kamar, aku masih bisa mendengar obrolan Ibu mertua dengan tamu-tamu yang datang.

Ah, aku hafal jenis obrolan ala mereka yang putra-putrinya berada di kota. Cerita pamer tentang anaknya yang sekolah atau universitas bergengsi, bekerja di perusahaan ternama atau properti terbaru yang anaknya beli.

Seperti biasa, seperti sebelumnya, seperti tahun-tahun sebelumnya, Ibu hanya diam mendengarkan dan sesekali memuji atau berkomentar. Tak sedikitpun informasi yang sama keluar dari bibir perempuan yang melahirkan suamiku itu. Satu-satunya informasi tentang putra-putrinya, terutama suamiku, hanya kota tempat mereka bekerja. Itu saja. Tidak lebih dari itu.

Aku ingin tertawa mendengar cerita bernada sombong yang kudengar dari tamu itu.

Gaji anaknya sekian, aaah... Itu hanya setengah gaji suamiku. Perusahaannya memberi fasilitas ini dan itu, aku langsung ingin bilang bahwa suamiku memegang deretan kunci mobil dinas yang bisa dipilihnya, atau saat kami berobat hingga ke luar negeri dan semuanya ditanggung perusahaan, atau saat suami berkeliling bertugas ke daerah bahkan keluar negara dan semuanya disediakan perusahaan, termasuk fasilitas untuk keluarga. Ibu tahu semua itu... Tapi dia diam tak membalas.

Aku ingin sekali keluar dan mengakhiri kesombongan itu saat tamu ibu menawarkan ibu untuk ikut menggunakan keuntungan dari pekerjaan putra sang tamu. Tidak perlu! Kalau ibu mau, suamiku memiliki keuntungan yang jauh lebih banyak untuk itu semua. Tapi justru tawa ibu yang terdengar diiringi ucapan terima kasih dan malah bertanya kabar tamunya yang ia dengar sekarang sakit-sakitan.

Lalu, sebelum kakiku benar-benar melangkah keluar, aku kembali mendengar. Sang tamu juga bercerita tentang anaknya yang susah sekali dihubungi saat ia sedang sakit. Ibu dengan bijak berkata mungkin karena kesibukan saja.

Aku meringis. Itu juga dialami Ibu, karena suamiku bukanlah tipe anak yang suka bicara apalagi di telpon. Setiap waktu, selalu Ibu yang menelpon suamiku. Meski selalu direspon dengan baik.

Kembali Ibu mengatakan bahwa begitulah setiap putra-putri saat mereka punya tanggung jawab tak hanya pada orangtua mereka, tapi juga pada istri atau suami dan anak-anak mereka. Seorang ibu harus memahami situasi itu meski ia juga punya situasi yang buruk.

Tamu Ibu menjawab, ibu bisa berkata seperti itu karena semua putra-putrinya selalu menghormati dan menghargai ibu meski semua telah berkeluarga. Saat Ibu sakit, semua anaknya mengambil peran masing-masing. Yang mampu, dengan materi. Yang punya waktu, dengan merawatnya. Sementara itu berbeda padanya... Sampai harus menunggu lama hanya agar bisa dirawat di rumah sakit... Itupun oleh orang lain.

Obrolan itu membuatku merenung. Mungkin itu sebabnya Ibu diam tentang pekerjaan anaknya. Ibu tak perlu memamerkan hal-hal yang tak penting seperti itu.

Ibu sudah punya hal-hal yang membanggakannya setiap waktu. Anak-anak yang berbakti padanya. Anak-anak yang selalu menyayanginya, sebanyak apapun cinta yang mereka berikan untuk yang lain. Bahkan permintaan Ibu seperti perintah Tuhan yang lain bagi suamiku.

Aku tersenyum, memutuskan kembali berbaring. Aku tak perlu membalas kesombongan tamu Ibu. Ibu sudah melakukannya dengan pelajaran penting. Tanpa Ibu sadari, ia juga mengajariku bagaimana seharusnya aku bersikap saat menjadi dirinya nanti.

Aku bahkan melupakan satu hal penting. Hal yang tak bisa dibeli dimanapun. Hal yang tak bisa diberikan perusahaan sebesar apapun. Hal yang tak bisa diperoleh dari pekerjaan sebaik manapun. . Yaitu kasih sayang dan perhatian seorang anak.
*****

20 Juni 2017

Pentingkah Kata Cinta Untuk Anak?


Ada seorang teman bertanya, sampai kapan seorang Mama mengucapkan kata cinta dan sayang pada anak-anaknya. Dan saya menjawabnya, selamanya! Bahkan ketika maut memisahkan.

Teman itu sangat heran. Bagaimana caranya? Maut memisahkan bukannya akhir dari sebuah hubungan?

Lalu saya bilang, saya sedang menulis 1000 surat cinta untuk anak-anak saya di masa mendatang. Saat mereka sedang bersedih, saat mereka selesai wisuda, saat mereka menikah, semua sudah saya siapkan, bahkan ketika saya tiada nanti. Bukan tentang warisan harta atau pesan yang aneh. Hanya ungkapan bahwa saat saya membayangkan hal-hal itu semua terjadi, saya ingin berada di sisi mereka dan berkata bahwa saya sangat menyayangi, mencintai dan selamanya menjaga anak-anak dengan doa yang tiada habis sampai kapanpun. Sama seperti saat ini, meskipun tiap kali saya bilang saya cinta anak-anak, mereka akan tertawa.

Saat itu, teman saya langsung meminta saya mengadopsinya. Bahwa kata ‘cinta’ buatnya adalah sesuatu yang langka diperoleh dari ibu kandungnya sendiri. Bahwa kata ‘cinta’ adalah kekuatan untuknya menghadapi semua masalah dalam hidupnya, seandainya saja sang Ibu sedikit romantis. Tak seperti yang saya lihat, seorang gadis cantik yang nampak kesepian.

Mungkin tak semua ibu seromantis saya, yang memikirkan ratusan cara agar tetap bisa melindungi hati anak-anak agar tetap merasakan cinta dan kasih sayang ibu selamanya, ada atau tidak ada secara fisik. Tapi setiap ibu sudah seharusnya mengungkapkan kata ‘sayang’ untuk putra-putri mereka.

Saya pernah membaca dalam sebuah literatur asing tentang pendidikan anak bahwa satu bentuk kasih sayang yang ditunjukkan langsung baik dengan ucapan dan perbuatan pada anak bisa meninggalkan efek luar biasa lima tahun ke depan bahkan sepanjang hidupnya. Efek itu akan membuat anak mengasihi orang-orang di sekitarnya, berusaha selalu berpikir positif dan empatinya tinggi. Sebuah pengetahuan yang membuat saya tak ingin meninggalkan anak-anak kekurangan kasih sayang walaupun maut sudah memisahkan kami nanti.

Jangan berpikir remaja kita tak lagi memerlukan kata penyemangat atau kata-kata rayuan gombal dari orangtuanya. Mulut mereka mungkin mengelak dengan berbagai alasan, tapi hatinya siapa yang tahu.

Setidaknya ratusan kali saya mencoba pada 2 remaja di rumah ketika melihat wajah-wajah lelah itu merengut di kamar. Tanpa bertanya masalah mereka, saya langsung bilang. Apapun yang terjadi di luar sana, apapun masalah mereka, saya tetap cinta mereka. Dan khas remaja, mereka langsung pasang muka mau muntah, atau meleletkan lidah. Tapi anak-anak itu punya satu kesamaan, wajah mereka menjadi berseri. Tersenyum dan apapun masalahnya, kini mereka punya kekuatan untuk menyelesaikannya.

Mereka yang mengenal cinta dan kasih sayang yang seimbang dan wajar, tak hanya dari ungkapan tapi juga perbuatan, tidak hanya akan menjadi anak-anak yang tangguh menghadapi masalah, tapi juga peka terhadap orang lain. Anak-anak remaja yang tidak pernah kekurangan kasih sayang, takkan mencari kasih sayang dari ‘pacar atau kekasih’ atau bahkan orang lain yang tak diinginkan orangtua.

Jadi jangan pelit berucap cinta pada buah hati di rumah. Kalau mereka masih balita, itu kesempatan emas karena Anda memulainya dengan lebih cepat. Kalau mereka sudah anak-anak, itu kesempatan untuk membuat mereka kembali menjadi semakin dekat. Kalau mereka sudah remaja, tidak ada kata terlambat karena bentuk cinta dan kasih sayang adalah sebuah hadiah berharga yang takkan pernah lekang oleh waktu.

Ungkapan dan perbuatan yang menunjukkan kasih sayang dan cinta, tak hanya berguna untuk anak-anak itu, tapi untuk menambah tebal cinta kasih di hati orangtua. Orangtua yang mencintai anak-anaknya, menyayangi dengan setulus hatinya, akan menikmati perannya sebagai orangtua hingga bersedia melakukan hal terbaik untuk mereka. Mereka akan bersedia memahami dan mengerti kondisi anak, mendengarkan dan akhirnya bisa membawa kemudahan menghadapi mereka saat anak-anak berubah menjadi remaja yang biasanya dipenuhi dengan emosi yang sulit dikendalikan.

Itulah mengapa saya menyebutkan tema bulan Mei... Do not ever stop to say love, especially for your children!

*****

Foto oleh : momtrepreneur.com

12 Juni 2017

Diary Masa Lalu Untuk Masa Depan Anak


Sejarah mengajarkan kita untuk belajar dari pengalaman hidup. Mereka yang suka menulis diary atau buku harian, pasti akan mengerti bahwa kenangan yang tersimpan dalam catatan itu akan menjadi sejarah dalam hidup yang akan selalu bisa diingat kembali di suatu masa nanti. Kenangan di masa lalu, entah itu sedih, senang, pahit, manis dan lain sebagainya, semua akan menjadi pengalaman berharga yang akan menjadi pelajaran penting dalam hidup.

Sebagai orangtua tentu ingin mendampingi putra-putrinya selama. Setiap orangtua pasti ingin memastikan bahwa anak-anak yang mereka sayangi, selamanya mengingat pesan-pesannya dan menjalani kehidupan yang jauh lebih baik dari mereka. Mereka pasti ingin anak-anaknya belajar dari kegagalan yang mungkin pernah dialami orangtuanya, agar tidak terulang dalam kehidupan anak-anak. Karena itulah, seringkali orangtua memberikan contoh pengalaman pribadinya saat menasehati anaknya.

Tapi, waktu setiap orang tak bisa diduga. Berapa lama kita masih bisa mendampingi anak-anak? Sempatkah kita meninggalkan pesan untuk mereka? Sempatkah kita bercerita tentang kesalahan, kegagalan dan kebodohan yang kita lakukan agar jangan pernah mereka lakukan di masa depan nanti?

Bahkan pasti hampir setiap orang akan membayangkan seandainya sepuluh tahun atau dua puluh tahun lagi, ketika ia sudah tiada, adakah anak-anak akan mengenangnya? Apakah mereka akan mengingat pesan-pesannya? Apakah mereka mengingat hari-hari yang mereka lewati bersama? Setiap momen yang mungkin kelak menjadikan mereka saat itu...

Teknologi memungkinkan kita bisa meninggalkan sebuah diary untuk anak-anak di masa depan. Berbagai pilihan telah tersedia dan disesuaikan dengan keadaan saat ini, namun bisa dihadirkan untuk masa depan nanti.

Mulailah dengan membuat Diary bertema Parentbook, atau buku pengasuhan online.

Pertama, buatlah catatan-catatan penting yang ingin Anda lakukan mengenai kehidupan anak. Setiap anak unik, dan banyak yang ingin Anda ceritakan tentang perasaan Anda saat anak mulai hadir dalam kehidupan.

Kedua, kumpulkan dan foto semua benda-benda yang akan mengingatkan peristiwa-peristiwa penting dalam hidup anak. Sepatu pertama saat ia melangkah, baju pertama saat ia baru dilahirkan, gigi pertamanya yang tanggal, atau topi kesayangannya waktu bayi adalah beberapa benda yang bisa Anda foto dan masukkan dalam buku kenangan itu nantinya. Cara ini jauh lebih efektif dibandingkan menyimpan dan menumpuk benda-benda tersebut dalam gudang. Anda bisa memberikan benda-benda itu untuk digunakan kembali oleh anggota keluarga yang lain atau orang tidak mampu setelah memotretnya.

Ketiga, susun foto-foto sesuai periode kehidupan anak, tulis perasaan Anda dan kenangan yang terjadi saat itu. Jangan lupa selipkan pesan-pesan khusus sebaris atau dua baris untuk mereka, yang berkaitan dengan kejadian saat itu. Misalkan saat gigi mereka tumbuh, ingatkan bahwa saat itu anak sempat rewel, atau mungkin demam. Tulislah pesan agar saat anak mereka mengalaminya, mereka harus jauh lebih sabar dan lain-lain.

Keempat, masukkan semua tulisan itu ke dalam blog. Pilih saja blog gratisan kalau tak yakin Anda mampu membayar blog berbayar sampai anak dewasa. Sebelum Anda menyimpannya, buat jadwal penerbitan di tahun atau waktu yang Anda inginkan. Tentukan saat anak berusia remaja atau dewasa atau saat yang menurut Anda paling tepat untuk membacanya. Buatlah setidaknya 2 blog yang kontennya sama, namun berbeda provider untuk memastikan konten terbit. Setidaknya jika provider yang satu tiba-tiba close, maka ada provider cadangan lain yang masih bisa diharapkan. Simpan juga semua tulisan Anda di tempat penyimpanan data yang aman dan berpassword jika perlu.

Kelima, Agar yakin blog itu terbaca oleh anak, pastikan mereka mengetahui alamatnya. Anda bisa memberitahu mereka ketika mereka sudah cukup umur, toh konten hanya akan terbit sesuai dengan waktu yang Anda tentukan. Jangan lupa memberitahu pasangan tentang blog diary ini, kalau perlu mengisinya berdua.

Akhirnya, kita hanya bisa berdoa, semoga seluruh kenangan yang kita buatkan itu berguna untuk mereka. Setiap anak yang melihat dan mengetahui bahwa kehidupannya telah mengubah hidup orangtuanya, pasti akan merasa sangat bahagia. Hal-hal kecil, konyol dan mungkin akan hilang begitu saja bisa menjadi sesuatu yang akan membuat mereka merindukan kehadiran orangtua dan berharap dengan mengingatkan masa lalu, pesan orangtua mereka akan kembali diingat oleh anak-anaknya. Dan tak ada orangtua yang ingin dilupakan oleh anak-anak bahkan ketika kematian memisahkan, karena doa anak-anak soleh dan soleha yang akan melapangkan kubur orangtuanya.

(iin/2017)

*****

Foto oleh: Kellehamptom.com