15 November 2019

Saat Anak Didiagnosis Berbeda Dari Yang Lain

"Anakku kurus!!!"
"Gimana cara ngatasin Speech-Delay ya?"
"Kasih ide cara bikin anak anteng dong! Anak gue tantrum melulu!"
Begitu banyak sumber kegalauan para ibu, sampai harus saya akui, kadang responnya terlalu berlebihan. Tapi tetap saja tak bisa kita pandang sebelah mata, masih ada banyak sekali ibu yang punya perasaan lebih peka daripada yang lain.

Bukannya saya tak pernah berada dalam situasi yang sama. Tapi mungkin karena saya belajar dari orang-orang tua dahulu.
Bapak saya pernah merasa seakan kehilangan seluruh jiwa raganya ketika saya, putri pertamanya justru dinyatakan berumur pendek.
"Kalau begini biasanya dia bisa bertahan sampai usia 11-12 tahun aja, Pak!" kata dokter saat itu.
Saya tertawa saat mendengar cerita Bapak saat itu. Tapi muka Bapak saya malah super serius. Beliau malah mengibaratkan botol-botol obat di rumah saya selama tahun-tahun berat itu kalau dijajarkan akan memenuhi seluruh dinding rumah demi menyelamatkan nyawa putrinya ini. Bapak saya pindah dari satu kota ke kota lain, hanya agar putrinya ini bisa memperoleh fasilitas kesehatan yang baik.
Nyatanya, usaha Bapak tak sia-sia. Sampai saya mengetik tulisan ini, usia saya sudah mencapai 41 tahun. Tak terbayangkan kalau Bapak saya mempercayai kalimat dokter dan berdiam pasrah tanpa usaha.
Lalu ketika bersama Nenek yang mengidap Parkinson. Dokter meramal Nenek hanya akan bertahan paling lama 5 tahun. Saat ia didiagnosis pertama kali saya masih SD kelas 5, tapi sampai saya mengajak suami menemui Nenek, beliau masih bisa tertawa dan bicara pada kami.
Karena itulah, tak ada kata menyerah dalam kamus saya. Sesuatu yang ingin saya tebarkan pada setiap perempuan di manapun berada.Saya ingin sekali mengetuk hati para ibu yang gundah gulana karena putra-putrinya yang sedikit berbeda.
Anak kita hanya berbeda sedikit dari anak-anak yang lain. Tapi bukan berarti hidupnya atau hidup kita akan berbeda dengan yang lain. Malah mungkin lebih baik daripada anak-anak yang lain.
Untuk anak yang tantrum misalnya. Saya mengamati beberapa anak-anak yang memiliki sifat ini. Emosi yang gampang meledak, suka melempar benda, menangis berjam-jam. Tapi saya menemukan sebuah kesamaan. Anak-anak dengan karakter ini justru memiliki tingkat kecerdasan lebih tinggi dari anak yang lain.
Saya mendasari ini setelah mengamati tiga subjek. Satu keponakan kandung, satu lagi putra tetangga sebelah dan satu lagi putra teman yang juga mempelajari psikologi. 
Saya tidak ingin membahas masalah penyebabnya karena saya yakin penyebab masalah ini akan banyak ditemukan di artikel lain. Tapi begini... menyikapi kecerdasan anak tantrum inilah yang harusnya diperhatikan sang ibu. 
Suatu kali putra tetangga sebelah tantrum dan oleh ibunya, ia dihukum dikunci dari luar. Ini terpaksa karena menurut sang ibu, di dalam rumah ia suka melempari benda-benda. Berbahaya. Saat itu, saya sengaja keluar. Tidak untuk menegur. Tidak juga berupaya untuk mendiamkan dirinya. Saya hanya mengajak ketiga kucing saya keluar rumah.
Di halaman, saya sengaja menggunakan dua bahasa asing saat berbicara dengan kucing-kucing saya. Melepaskan ketiganya lalu saya menyapu dan menyiram tanaman.
"Don't go too far ya, Cats!"
"Guolai! Guolai!"
"Come on, Cing Cing! Don't go there!"
Anak itu perlahan menghentikan tangisnya, mengamati saya. Dengan sengaja, saya melemparkan bola ke arah anak itu juga, membuat ketiga kucing saya berlari ke arahnya. Saya memanggil dengan bahasa asing lagi. Ketiga kucing pun kembali pada saya. Kontan anak itu tertawa. Ia meminta saya melempar bola kembali padanya menggunakan kata-kata asing yang sama, ia pun mulai bermain bersama tiga kucing gila bola itu.
Padahal ya... mau pakai bahasa apapun, ya kucing-kucing saya pasti tetap kembali. Mereka kan mengendus aroma tuna blender yang saya gosok di bola sebelumnya. 
Lama-lama anak itu pun tertarik untuk bertanya. Macam-macam yang ia tanya. Untuk anak usia 4 tahun, pertanyaannya luar biasa banyak. Di ujung percakapan yang hanya berlangsung sekitar 30 menit, saya berhasil mengajarinya angka 1 sampai dengan 10 dalam bahasa Mandarin dan Bahasa Inggris. Ibunya takjub. Ternyata menurutnya, putranya sendiri jarang sekali menunjukkan tantrum kalau sedang berada di sekolah. 
Keponakan saya jangan ditanya. Oleh orangtuanya, ia diajari hafalan Al Qur'an dan berhitung cepat. Demikian juga dengan putra teman saya. 
Saya pun berkesimpulan, andai semua ibu yang memiliki anak-anak berkarakter keras seperti ini bisa meluangkan waktu mereka mencarikan sesuatu yang membuat 'otak' anak-anak ini sibuk, mungkin tantrum mereka akan berkurang drastis. Tentu diimbangi dengan mengatasi penyebabnya. Karena di saat saya mengamati mereka, saya menemukan kesamaan dari ketiganya. Ibu atau bapaknya ada yang suka bicara ke anak seakan-akan pakai toak.
Tapi saya tak ingin menyalahkan ibu yang lain loh ya. Siapa tahu ada faktor penyebab yang berbeda. Kembali lagi ke topik awal. Kita hanya mencari sesuatu yang positif di balik masalah yang satu ini. 
Lain lagi dengan anak yang mengalami masalah keterlambatan bicara atau speech-delay. Kasus yang satu ini sebenarnya hanya salah satu gejala dari akibat masalah otak. Kalau yang satu ini, juga dialami putri saya.
Pertama kali menerima diagnosis ini, putri saya baru berusia sekitar 2,5 tahun. Saat itu psikolog bilang putri saya akan mengalami masalah gangguan fokus sepanjang hidupnya dan mungkin harus disekolahkan di sekolah khusus atau sekolah luar biasa.
Saya seperti dijatuhi bom atom. Bagaimana bisa? Saya salahnya di mana? Kenapa anak yang saya nanti nyaris lima tahun malah seperti ini? 
Lalu teringat saat hamil, saya memang bekerja di laboratorium minyak dan gas. Selama tiga bulan, saya keluar masuk dan kadang berada dalam lab hingga berjam-jam. Baru setelah ada pemeriksaan kesehatan rutin per tiga bulan, saya diberitahu kalau sedang hamil dan tak diperbolehkan lagi masuk lab. 
Kalau sudah begini, apa saya diam dan pasrah? Tentu tidak. Nenek bilang, hanya orang bodoh yang putus asa. Saya tak ingin jadi orang bodoh, dan mulai mencari beragam buku tentang psikologi anak. Suami saya akhirnya menyuruh saya kembali kuliah. Sekalian mencari ilmu, jangan setengah-setengah. 
Ada rencana Allah di balik semua keputusanNya. Itu yang kemudian saya rasakan. 
Anak speech-delay dihadapi dengan metode khusus. Saat berbicara dengannya, kita harus berbicara dengan suara jelas, singkat dan tidak bertele-tele. Muka harus sejajar, gerakan mulut pembicara juga harus jelas. Teknik pengenalan kata pun harus dilakukan dengan beragam, apalagi kalau ternyata ia juga anak bertipe kinestetik. 
Yang terjadi setelah saya menerapkan metode khusus itu pada anak adalah hubungan saya dan putri saya menjadi sangat dekat. Tanpa saya sadari, saat bernyanyi atau bermain bersamanya, memandang wajahnya saat berbicara, mengelus kepala, tangan atau punggung untuk membuatnya fokus pada saya, memeluknya sebagai hadiah tanpa kata yang paling mudah dipahami anak speech-delay, menunjukkan emosi dengan jelas melalui kata adalah langkah awal menjadi kedekatan hubungan yang hingga mencapai batas batin. Berkali-kali kedekatan kami diuji saat berjauhan beberapa bulan terakhir dan saya bersyukur Allah merencanakan kehidupan yang berbeda ini untuk kami berdua. 
Kalau dibilang sembuh, tentu tidak sepenuhnya. Yang terjadi adalah putri saya mengetahui kekurangannya dan tahu cara mengatasinya. Yang paling penting, ia tahu ada saya dan seluruh keluarga yang akan membantu setiap kesulitannya. Sampai sekarang, gadis saya itu juga menyampaikan keunikannya itu pada teman-teman dekatnya, agar mereka tak salah paham padanya. 
Terakhir soal kurus. Ini terjadi pada putra kedua saya. Kurus, kecil mungil dan penyakitan. Ia mewarisi tubuh tak sehat saya. Sempat ada rasa bersalah seperti kakaknya, karena saat hamil, saya tak menjaga kesehatan dengan baik. 
Beribu cara sudah saya coba. Mulai dari membujuk, mengajak makan di luar, menyetelkan televisi, sampai akhirnya memaksa. Pokoknya segala cara sudah saya coba agar ia sedikit bertambah berat, kecuali satu... mengajaknya berolahraga.
Karena badannya yang kurus, saya tak berani mengikutsertakan dirinya dalam olahraga. Takutnya kalau dia main bola, malah tertendang oleh temannya. Atau saat ia bertanding bela diri, nanti malah jadi bulan-bulanan tinju atau tendangan anak lain. 
Sampai akhirnya lulus SD, ia bergabung dengan kegiatan yang tak hanya mengasah fisik, juga mental dan kemampuan bermain alat musik. Alat musiknya terompet lagi. Padahal putra saya punya penyakit asma yang nyaris tiap bulan kambuh.
Saya masih keberatan, tapi Ayahnya sudah bersabda. Daripada kami bertengkar, saya memutuskan tidak akan mau melihatnya latihan. Apalagi di minggu-minggu awal, saya mendengar Ayah dan kakaknya mengobrol sambil berbisik, "Yah, tadi adek sampe nangis disuruh push-up sama couch."
Anehnya, berat badan putra saya malah bertambah drastis. Tubuhnya juga jadi tegap dan berotot. Tingginya juga makin naik. Asmanya yang tadinya datang sebulan sekali, makin jarang datang. Kalau makan, saya suka sekali melihatnya. Walaupun masih pilih-pilih, sekarang porsinya normal bahkan kadang minta tambah.
Dari ketiga hal ini saja, saya belajar banyak. Di balik semua masalah yang kita hadapi sebagai ibu, 
jika berpikir positif, jika mencoba sedikit saja mencari benih-benih positif di balik setiap masalah, akan selalu ada hikmah yang bisa diambil. Kuncinya hanya konsistensi menjalankan terapi atau cara mengurangi dampak buruknya.
Sekarang ini media begitu luas, seperti buku-buku dalam perpustakaan yang tinggal pilih. 

Kalau dibilang tak ada kesulitan, ya tidak mungkin. Menangis sambil menyuapi anak. Menangis sambil berpikir pakai cara apa lagi mengajari anak pelajaran. Menangis saat mendengar mereka mengadu soal perlakuan guru atau teman yang tak memahami kondisi mereka. Menangis saat diri ini dianggap sebagai ibu yang gagal oleh anggota keluarga sendiri. Mungkin airmata saya bisa jadi kolam renang kalau dikumpulkan. Hanya saja, saya memang tak pernah menyerah.

Putri saya mengakui ia masih kesulitan memahami materi saat berada di ruangan yang ramai, tapi ia tak berhenti belajar di malam hari atau duduk di bawah pohon. Ia bahkan sering memakai headset tanpa musik atau suara apapun, hanya agar bisa fokus dan tak diganggu temannya.
Putra saya  juga masih sangat pilih-pilih makanan. Tapi sekarang karena ia harus mengatur asupan gizi untuk kinerja pernapasan dan kesehatan fisiknya. 
Nanti, di balik setiap kerja keras seorang ibu akan ada bonus. Saya sudah merasakannya beberapa tahun terakhir ini dan setiap kali bonus itu hadir melalui ketiga anak, saya selalu berbagi berita. Bukan dengan tujuan pamer saja, tapi juga untuk memberitahu dunia, betapa indahnya rencana Allah menitipkan tiga karunia berbeda untuk saya. 
Never give up! Be positive!

Tidak ada komentar: