"Fira kok gak diajarin bilingual, Mbak?"
Pertanyaan sederhana itu sering ditanyakan ke saya. Tidak hanya pada putri bungsu saya, tapi juga ketika kakak-kakaknya masih kecil dulu. Hanya sekarang saya dan Abang memang sering bercakap-cakap dengan bahasa Inggris sederhana, jadi pertanyaan tentang dirinya berkurang. Sementara pada Kakak, si sulung, rata-rata teman-teman saya sudah tahu bahwa putri saya yang satu itu punya kebutuhan khusus yang berbeda dengan kedua adiknya.
Kembali pada Adek, panggilan sayang saya pada si bungsu Fira. Seperti yang pernah saya beritahu bahwa ia telah berulang kali menjadi objek praktek psikologi anak, sehingga saya tahu kalau Adek punya kecerdasan linguistik yang bagus. Setidaknya saat ini ia sudah mengembangkan bakat menulis dan berbicaranya dengan mulai menulis cerita-cerita pendek ala anak-anak.
Seperti umumnya mereka yang memiliki kecerdasan linguistik, sebenarnya potensi Adek untuk berbahasa lebih dari satu sangat besar. Ini terbukti dengan beberapa keunikan Adek yang tidak bisa saya bendung.
Contohnya, ia bisa menirukan dengan sempurna saat menirukan kata-kata dalam bahasa Mandarin dan Korea. Meski hanya dengan mendengarkan. Beberapa kata-kata asing dalam kedua bahasa tersebut, ia gunakan tanpa ada yang mengajari. Bahkan tiga kali saja ia mendengar saya menghitung 1 sampai 10 dalam bahasa Mandarin, ia sudah mengikutinya dengan fasih.
Mungkin karena di televisi sekarang ada program pelajaran bahasa Mandarin untuk anak juga. Tapi yang terbaru adalah dia mampu meniru dan memahami bahasa Korea, setelah beberapa kali ikut menonton drama atau reality show Korea bersama saya. Saya memang mengizinkannya menonton drama atau reality show tersebut jika bergenre komedi dengan catatan ia menonton bersama saya.
Lalu, mengenai bahasa Inggris, mau tidak mau, suka atau tidak suka, anak-anak di rumah memang terpapar bahasa yang satu ini sama kuatnya dengan bahasa Indonesia karena pekerjaan dan pengaruh saya. Beberapa artikel atau tulisan yang tengah saya terjemahkan cukup menarik untuk dibaca, termasuk untuk anak-anak. Belum lagi kalau mendengar saya mengomel atau marah karena saya selalu menggunakan bahasa asing. Awalnya kebiasaan ini karena saya kuatir mungkin saja ada sumpah serapah tak sengaja keluar yang bisa ditiru anak-anak, tapi lama-lama jadi kebiasaan. Juga beberapa kenalan orang asing yang mereka jumpai, serta teman-teman saya yang banyak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa percakapan.
Selain itu, tontonan televisi yang saya batasi dan lebih banyak channel ilmu pengetahuan seperti Discovery, NatGeo dalam berbagai versi dan kartun yang didominasi bahasa Inggris semakin menambah kedekatan anak-anak pada bahasa Inggris.
Tapi saya memilih untuk membuat kemampuan berbahasa Adek sebatas bahasa asing, bukan bahasa kedua atau bilingual child. Lawan bicara Adek hanya saya, dan Abang. Sedangkan Kakak dan Ayah sangat terbatas. Jadi daripada menimbulkan kebingungan padanya atau menggunakan bahasa asing bercampur dengan bahasa ibunya, saya memilih hal itu. Tidak membuat Adek menjadi anak bilingual.
Membuat anak menguasai dua bahasa itu tidak mudah, tapi juga harus berhati-hati. Banyak diantara teman-teman saya yang mencoba melakukannya, justru membuat anak menggunakan bahasa campuran yang salah. Dikuatirkan, saat anak nanti tumbuh dewasa, ia takkan mampu menggunakan bahasa yang sesuai dengan lingkungan atau kebutuhannya. Hal ini terutama menyangkut penggunaan bahasa resmi atau tulisan untuk keperluan resmi termasuk penyusunan karya ilmiah, tesis, skripsi dan lain-lain.
Teknik mengajar bahasa yang saya ketahui dari teori adalah menggunakan bahasa percakapan full bahasa tersebut (mis. Inggris), walaupun tata bahasanya mungkin saja masih salah. Tapi tidak boleh dicampur dengan bahasa Indonesia. Begitupun lawan bicaranya, kecuali saat menanyakan arti atau makna yang dipadankan.
Ini karena anak-anak belum terlalu bisa membedakan mana bahasa Indonesia dan mana bahasa Inggris.
Contohnya:
“Sekarang, what do you want?”
“Mak, aku mau milk! But jangan dibuatin yang hot ya, Mak. Buatin yang cold.”
Nah, seperti contoh inilah yang tidak saya inginkan dari anak-anak. Kalau mereka memang tak bisa menggunakan secara full, sekalian saja tidak usah atau begitu mendengarnya, saya langsung memperbaiki dengan bahasa Inggris atau bahasa Indonesia secara keseluruhan.
Orangtua mana sih yang tidak ingin anaknya pintar berbahasa Inggris? Saya juga ingin. Tapi saya lebih ingin, anak-anak bisa menyampaikan pikirannya dengan cara yang benar. Tak apa dalam bahasa Indonesia, selama bahasa itu juga baik dan benar.
Tapi, demi menghadapi era globalisasi yang melaju kencang, saya juga tetap melatih Adek dan juga kakak-kakaknya berbahasa asing. Secukupnya saja. Setidaknya, kami bisa bercakap-cakap sederhana dalam bahasa Inggris jika diperlukan. Tahun ajaran depan, Adek bahkan juga sudah meminta untuk dikursuskan bahasa Inggris karena dia ingin kursus bahasa Mandarin di tahun berikutnya. Dua hal ini sudah dimintanya sejak ia masih kelas 1 SD.
Sejujurnya, saya tidak terlalu yakin dengan keinginan tersebut. Tapi karena ia yang meminta, maka saya pun mengiyakan saja. Tidak ada target khusus. Selama ia suka, maka saya sanggupi.
Anak-anak itu terkadang punya kemampuan yang mencengangkan, bahkan mengherankan. Saya belum habis pikir mengapa Abang yang tadinya selalu mendapat nilai jelek dalam Matematika ketika masih SD, kini selalu meraih nilai sempurna di mapel tersebut setelah SMP. Juga Kakak, yang didiagnosa mengalami kesulitan fokus tapi menjadi peraih beasiswa rutin sejak kelas 1 SD hingga kelas 11 SMA karena selalu masuk dalam jajaran anak-anak berprestasi di sekolahnya. Kembali lagi ke pemikiran itu, anak-anak bisa sangat mengherankan.
Buat saya, anak-anak menikmati proses belajar jauh lebih penting dibandingkan meminta mereka memiliki keahlian khusus termasuk berbahasa asing. Apalagi, ketiga anak saya memiliki sepupu-sepupu yang semuanya menguasai bahasa Sunda. Sebuah bahasa yang sekarang hanya dikuasai suami, yang justru jarang menggunakannya dan menjadi tantangan untuk saya. Padahal mempertahankan budaya dan bahasa daerah sebenarnya jauh lebih penting demi menjaga kultur asli suku Sunda, suku yang diturunkan suami pada anak-anak kami.
Bahasa adalah pelajaran paling penting bagi anak, untuk menyampaikan apa yang ia pikirkan dan inginkan. Tapi jika disampaikan dengan cara yang salah, atau tidak sesuai maka akan menimbulkan kesalahan persepsi yang bisa berakibat fatal. Membiasakan penggunaan bahasa yang benar, apapun bahasanya, akan membuat anak terbiasa menggunakan bahasa yang baik, penyampaian yang tepat dengan situasinya yang sesuai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar