Mal tak terlalu ramai hari Minggu itu. Mungkin karena kami datang saat masih pagi. Aku tak terlalu suka keramaian, jadi kupilih pagi hari setiap kali berkunjung ke Mal. Di pagi hari seperti ini, hanya ada para penjual di counter-counter yang sibuk menyiapkan dagangannya. Satu dua orang yang berlalu lalang, hanya sedikit yang benar-benar pengunjung. Sisanya adalah karyawan atau karyawati dari jajaran toko dan restoran yang memenuhi mal itu.
“Ma, kita makan dulu atau langsung nonton?” tanya putriku.
Telunjukku menunjuk ke atas, “Nonton aja dulu. Kan baru sarapan. Kita beli milkshake aja gimana?”
Putriku mengangguk setuju. Seperti biasa, tangannya menyelip menggenggam tanganku. Di rumah, kami jarang melakukan seperti itu. Kebiasaan saja. Tadinya untuk keamanan dirinya, tapi belakangan itu seperti sebuah kebutuhan.
Tangan Putriku mengayun-ayun saat kami berjalan menuju restoran pastry untuk membeli milkshake. Otomatis itu membuat tanganku juga ikut bergoyang. Tak sadar, bibirnya juga mendendangkan nada lagu boyband favoritnya. Aku hanya bisa tersenyum. Apalagi kepalanya sampai bergoyang-goyang sendiri.
“Shin!” seseorang memanggil nama putriku dari belakang. Kami sama-sama menoleh.
Dua orang gadis seumur putriku mendekati kami. Yang satu berambut pendek dan yang lainnya menggulung rambut panjangnya membentuk gelungan di belakang. Begitu berada di depan kami, keduanya tampak terkejut.
“Eh, Tante?” gumam gadis berambut pendek begitu melihatku. Aku mengenalnya. Itu salah satu teman sekelas putriku. Nola. Dengan santun, gadis itu menyalami tanganku. Begitu juga temannya. Kalau yang satu ini, aku baru pertama melihatnya.
“Kirain tadi siapa manggil-manggil. Ternyata kalian toh!” kata putriku menepuk bahu Nola.
“Ho oh. Tadinya gak yakin itu kamu, Shin. Kamu kan jarang ngemal.”
Putriku hanya tertawa kecil, “Iya nih, Mamaku yang maksa ngajak nonton nih.”
Mataku mendelik, “Iih enak aja, kan tadi Kakak janji mau bantuin Mama nyuci seminggu demi nonton.”
"Aaagh, Mamaaa… jangan buka kartu dong!” rengek putriku manja, sambil merangkulku tanpa malu.
Aku tersenyum puas dan mengelus puncak kepala putriku itu. Tiba-tiba aku sadar, ada dua orang yang sedang berdiri di depan kami. Maka dengan cepat aku menoleh. Tak sengaja mataku menangkap tatapan berbeda dari kedua gadis remaja di hadapan kami. Sekilas, sebelum mereka kembali bicara dengan putriku.
Karena tadi aku berniat membeli milkshake, maka kutinggalkan mereka sejenak. Entah apa yang mereka bicarakan karena ketiganya tampak asyik dan sesekali tertawa.
Tepat saat aku berbalik setelah mengambil pesanan, putriku sudah berada di belakangku. Teman-temannya sudah tidak terlihat lagi.
“Loh kemana mereka?” tanyaku sambil menyodorkan milkshake ke putriku.
“Mereka mau jalan sendiri, Ma. Pengen beli baju katanya,” jawab Putriku santai. Lalu kami berdua pun melanjutkan rencana kami. Kencan.
***
Dua hari kemudian, saat putriku baru pulang sekolah, ia mendekatiku saat aku sedang menyiapkan makan siang untuknya. Tiba-tiba ia memelukku dari belakang. Aku membiarkannya. Dia selalu seperti itu kalau terjadi sesuatu di luar sana.
“Kenapaaa? Ada masalah di sekolah?” tanyaku santai sambil terus meletakkan piring di atas meja makan.
“I am so lucky having you, Mom!” bisiknya.
“I am so lucky having you too, Kid!” balasku langsung. Satu kebiasaan lain. Ketika salah satu anggota keluarga mengucapkan kalimat indah, harus segera dijawab dengan kalimat indah yang sama. Bahkan suamiku yang dulunya tak pandai berekspresi, meruntuhkan semua kekakuan itu dengan melakukan hal yang sama.
Putriku melepaskan pelukannya dan langsung duduk. Sambil menyendok nasi ke piringnya, ia pun mulai bercerita. Aku juga ikut duduk.
“Tadi pagi aku ngobrol sama Nola, Mak. Dia nanya aku kok jalan sama Mama kayak gitu.” Mulutnya yang penuh tak membuatnya berhenti bicara.
“Kayak gitu? Maksudnya?” tanyaku heran. Tanganku yang memegang sumpit, mengambil sepotong daging paling besar dari tumis daging dan memindahkannya ke piring putriku.
Putriku mengangguk, “Itu dia, Ma. Aku juga nanya gitu. Trus dia nanya, kok bisa sih jalan sama Mama romantis banget gitu? Pake gandengan, pake becandaan kayak temen. Lah akunya malah bingung denger dia ngomong gitu, Ma. Kok bisa? Emangnya Mamanya gak pernah gitu? Eh, dia bilang gak pernah loh, Ma. Kalopun jalan, ya masing-masing aja. Gak sedekat apalagi seromantis kita.”
“Teruss?”
“Ya aku shock lah. Aku gak ngebayangin jalan sama mama sendiri, tapi kayak jalan sama orang lain. Iiih… mendingan gak usah. Kemarin itu kan kita cuma pegangan tangan doang. Gimane kalo dia ngeliat kita kalo di rumah? Becandaan sampe gulang guling atau peluk-pelukan kalau lagi sedih. Tapi ya aku diem aja. Mungkin emang hubungan dia sama mamanya gak deket dari sononya.”
“Ooh, itu sebabnya tadi bilang gitu sama Mama ya? Baru ngerasa beruntungnya sekarang? Kalo Mama suruh nyetrika setelah makan, kira-kira masih ngerasa begitu gak yaaa?” godaku.
Mulut putriku yang sedang penuh makanan, menyembur keluar karena ia tak sanggup menyembunyikan tawanya. Sebagian melompat padaku, membuatku berdiri menghindar. Setelah itu, kami tertawa berderai-derai.
***
Feeling lucky?
Aku teringat tatapan mata kedua gadis remaja itu lagi. Tatapan itu bukanlah rasa iri. Itu tatapan yang merindukan. Tatapan seorang anak yang terselubung di balik dinding ketidaktahuan. Mereka merindukan sosok mama yang mau bersikap selayaknya kekasih dan sahabat bagi mereka. Putriku mungkin takkan pernah tahu rasa di hati mereka. Tapi ia tahu, ia beruntung memiliki hal-hal yang tidak dimiliki teman-temannya.
Ibu dari Nola juga kukenal. Ia ibu yang baik. Ia juga bekerja sepertiku. Ia juga selalu memperhatikan kebutuhan putrinya, bahkan selalu hadir setiap kali ada acara di sekolah yang melibatkan orangtua. Aku sendiri justru jarang ke sekolah. Hanya sesekali aku hadir, bergantian dengan ayahnya. Lalu mengapa kualitas hubungan kami berbeda?
Lama kemudian baru aku tahu, cara kami menjadi ibulah yang berbeda. Nola, menceritakan pada putriku bagaimana ia dan ibunya saat berada di rumah. Ia ingin tahu, bagaimana agar ia juga bisa merasakan hal yang sama dengan putriku.
Di rumah, meski sesaat aku berusaha mengajak putriku duduk bersama untuk bicara. Tak ada ponsel, tak ada televisi. Hanya duduk, sambil mengunyah makanan ringan dan secangkir teh, kami bisa mengobrol tentang banyak hal. Begitu pula dengan kedua adiknya, dan juga ayahnya. Atau, setelah sholat berjamaah, kupeluk satu persatu putra-putriku sekedar untuk mengingatkan mereka bahwa seluruh beban hari itu akan hilang kalau mereka membaginya bersama kami. Itu juga untuk menghilangkan rasa lelahku bekerja. Memeluk anak-anak seperti mengembalikan semangat dan tenagaku.
Di rumah Nola, semua tersedia lengkap. Malah lebih baik, lebih banyak dan lebih bagus dibandingkan apa yang didapatkan putriku. Tapi, semua itu hanya kebutuhan materi dan fisik saja. Tidak dengan hatinya. Karena terbiasa dicuekin sejak kecil selama kebutuhan luarnya terpenuhi, saat remaja, Nola juga terbiasa cuek pada keadaan rumah. Usai pulang sekolah, ia lebih suka mengurung diri di kamar. Kalau keluarpun, paling-paling untuk memenuhi kebutuhan perutnya yang lapar atau sekedar ingin menonton televisi saja. Tak ada waktu khusus untuk bersama orangtuanya. Sambungan internet adalah pintu keluar satu-satunya bagi hatinya yang sepi.
Aku masih melihat banyak sekali tatapan yang merindukan itu dari anak-anak lain. Anak-anak dari teman-temanku, teman-teman putriku yang lain, bahkan para remaja yang pernah menjadi objek penelitianku. Gerak-gerik kaku karena hubungan yang terbiasa kaku terlihat jelas di mataku. Mereka tak berani bicara, hanya bisa menatap diam-diam. Itu bukan rasa iri. Itu hanya tatapan yang merindukan perhatian, kasih sayang dan cinta yang tulus.
Aku ingin bilang, tapi aku tahu tak semua orangtua bersedia menerima kritik. Aku ingin memberi mereka contoh melalui cerita, tapi lebih sering mereka menganggapnya sebagai sikap sok tau. Padahal yang aku inginkan hanya satu, membuat anak-anak lain bahagia seperti putriku. Karena anak-anak yang bahagia akan membawa keberuntungan bagi orang-orang di sekitarnya.
Andai bisa kugambarkan rasa yang tergambar dari para pemilik tatapan yang merindukan. Rindu cinta yang tulus, rindu kasih sayang, rindu kebersamaan. Aku tahu. Aku ingat. Dulu sekali, tatapan yang merindukan itu pernah jadi milikku saat seusia putriku. Isak diam-diam yang hanya bisa terdengar oleh telingaku sendiri, sepi yang hanya dirasakan sendiri, sedih yang hanya ditelan sendiri. Itu sungguh bukan rasa iri, jika kami hanya bisa menatap pada sepasang ibu dan anak yang sedang bertukar kasih sayang. Itu hanya tatapan yang merindukan kasih sayang.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar