21 April 2018

Anak Tak Pernah Mendengar, Mereka Meniru!

"Mak, Kakak boleh ambil teknik pertambangan gak?"

Benak saya langsung dipenuhi  sosok-sosok wanita perkasa yang pernah saya kenal saat bekerja di daerah tambang dulu. Meski job description kami berbeda, tapi melihat para pekerja tambang adalah hal yang biasa, termasuk para wanita yang saat saya bekerja di sana dulu masih bisa dihitung jari.

Tapi ada salah satu perempuan berkulit gelap yang saya kenal baik. Lulusan teknik pertambangan. Kami cukup akrab, saling kenal dan sering curhat satu sama lain ketika masih sama-sama belum menikah. Jelas saya tahu sedikit soal pekerjaannya.

Jadi ketika Kakak meminta izin seperti itu, hati saya langsung berdebum jatuh ke bawah. Hanya satu kata menggambarkan jurusan yang ia inginkan itu. Pekerjaan itu berat bagi seorang perempuan.

Hanya saja, Kakak sempat mengalami kesulitan menemukan jurusan yang ia benar-benar inginkan. Aneh kedengarannya, tapi itulah yang terjadi. Meski sejak ia bersekolah, ia selalu masuk dalam jajaran siswa berprestasi, Kakak justru bingung memilih.

Semua pelajaran sama di matanya kecuali dua mata pelajaran saja, Bahasa Inggris dan Sejarah. Hanya itu. Namun seburuk-buruknya nilai atas dua pelajaran itu, ia masih bisa berbicara dan memahami saya yang bilingual.

Di hampir semua mata pelajaran itu pula, ia pernah meraih nilai sempurna beberapa kali. Kalaupun terjadi perubahan, penyebab utamanya justru pada pengajarnya.

 
Koleksi pribadi iinajid.com

Kakak memang termasuk anak yang rajin. Bahkan buku catatannya selalu jadi incaran teman-temannya di sekolah sebagai bahan fotokopian. Tulisannya rapi dan hampir tak pernah melupakan tugas serta PRnya. Malah saya yang kadang sering membujuknya untuk sesekali menjadi murid yang 'melenceng'.

Saya sudah beberapa kali memberi bayangan tentang beberapa pekerjaan yang saya atau ayahnya pernah jalani. Kami berharap, mendengarnya akan membuka pandangan Kakak tentang pilihan karir yang dimulai dari memilih jurusan saat ia kuliah nanti. Tapi semakin ia tahu, justru yang kami lihat Kakak semakin bingung.

Sebenarnya Kakak sudah tahu kalau ia membuat kesalahan. Saat SMP, saya dan ayahnya sudah mendesaknya untuk mengambil jurusan IPS. Alasannya karena semua hasil psikotes dengan para psikiater dan psikolog yang beberapa kali kami lakukan pada Kakak sejak ia usia balita, menunjukkan kecenderungannya pada pekerjaan-pekerjaan di bidang ekonomi, psikologi dan sosial masyarakat. Keyakinan kami bertambah juga ketika melihat caranya berinteraksi selama ini. Sebagai orangtuanya, jelas kami tahu benar sifat dan karakter putri kami yang satu ini.

Kakak itu humoris, penghidup suasana yang gampang sekali akrab dengan orang lain. Tapi di sisi lain, meski bercanda, semua omongan Kakak ada benarnya dari sudut pandang yang serius sekalipun. Ia pandai mengenal kepribadian seseorang, termasuk teman-temannya hingga bisa menyesuaikan diri dengan baik meski dengan teman yang memiliki masalah kepribadian (introvert, pemarah dsbnya)

Tapi karena Kakak termasuk juara kelas di SMPnya, dan guru-guru banyak yang menyarankan memilih IPA, ia memilih jurusan IPA. Ini yang sangat saya sayangkan dari guru-guru Kakak, termasuk salah satunya sangat dihormati Kakak. Guru itu sampai setengah memaksa. Saya sempat kecewa, tapi akhirnya membiarkan karena kami kuatir, jika memaksa justru akan menimbulkan masalah lain.

Meski begitu, nilai-nilai Kakak tetap cemerlang. Untuk anak yang memilih tidak ikut les tambahan apapun, bahkan sibuk dengan hobi dan kegiatan di luar sekolahnya, Kakak tetap berhasil mempertahankan prestasi yang bagus.

Hanya, ia selalu mengalami kebimbangan.

Ketika nilai-nilai Matematika, Fisika dan Biologinya meningkat tajam dan bertahan di posisi nilai yang sangat bagus, saya sempat memberi beberapa opsi jurusan dan salah satu sekolah tinggi kedinasan. Tapi Kakak menolak. Saat mendengar daftar pekerjaan yang memungkinkan dari jurusan-jurusan tersebut, Kakak langsung menggeleng.

Makanya, ketika ia akhirnya menyebutkan satu jurusan, saya sangat bersyukur. Akhirnya.... ia bisa menentukan pilihan. Meski buat saya itu bukan bidang pekerjaan yang saya bayangkan.

Tapi, saya tak mengatakan tidak. Tidak akan pernah.

Sama seperti dulu saat ia memilih jurusan IPA dan akhirnya kami membiarkan, kali ini jawaban saya pun sama...

"Yakinkan Emak, Nak! Alasan yang membuatmu memilih jurusan itu. Kalau Kakak bisa jelasin semua itu, Insha Allah Emak izinkan dan akan bicara dengan Ayah."

Kakak menjelaskan panjang lebar, membuat saya terdiam. Ternyata saya dan suamilah yang menjadi penyebab Kakak memilih jurusan itu.

Iya, saya. Juga Ayahnya. Kami berdua.

Sejak kecil, saya sering bercerita pada anak-anak saat masih bekerja dulu. Pengalaman-pengalaman menarik dalam hidup saya, yang sebagian besar mengubah karakter saya. Pengalaman tercebur di water intake project saat survey. Naik ke gedung-gedung tinggi demi melihat progress project, menjadi saksi peristiwa penting di perusahaan, berurusan dengan  pejabat pemerintah, naik pesawat kecil hingga helikopter berpenumpang 2 orang, menyeberangi berbagai lautan hingga ke luar negeri. Lalu setengah pamer, saya pernah memperlihatkan beberapa tempat saya bekerja yang memiliki pantai pribadi, kolam renang dan pemandian air panas, beserta berbagai fasilitas lain yang hanya bisa dinikmati oleh orang-orang kaya.
Koleksi Pribadi iinajid.com[/caption]

Tak hanya dari sisi menyenangkan saya ceritakan. Saya juga cerita bagaimana sulitnya masuk ke daerah tambang. Perjalanan belasan jam hingga terpaksa menginap di tengah hutan, menunggu jalan agak kering setelah berubah jadi rawa lumpur karena hujan deras. Termasuk juga tatapan remeh kaum lelaki yang menjadi rekan kerja. Ayahnya pun sama. Ia menceritakan bagaimana perasaannya saat pertama kali mendarat di rimba Kalimantan dulu, juga pengalaman hampir mati ketika pesawat yang ia tumpangi harus mendarat darurat di Banjarmasin karena mesin mati. Bahkan termasuk pengalaman saat melihat sekumpulan ular besar memenuhi pipa air di salah satu resort, tempat saya bekerja hanya dalam hitungan bulan.

Ternyata, itu semua menarik minat Kakak. Hidup penuh tantangan yang pernah dijalani Emak dan Ayahnya dianggapnya sebagai sesuatu yang juga seharusnya ia lewati. Meski tak persis sama, karena ia tak mau menjadi sekretaris atau aspri seperti saya. Tapi ia suka mendengar cerita kami tentang dunia pertambangan.

Saya memutuskan untuk menerima keputusan Kakak. Meski masih berharap ia mengubahnya. Tak ada orangtua manapun yang ingin putrinya hidup dalam keadaan kesulitan, walaupun mungkin itu akan mengubahnya menjadi lebih baik. Andai ada jalan yang lebih baik, kami sangat berharap Kakak menjalani yang lain saja.

Perjalanan Kakak masih panjang, tahun depan adalah masa ia menentukan perjalanan hidup selanjutnya. Apapun pilihan Kakak nanti, sebagai emaknya, saya berharap ia memilih yang terbaik dan Allah SWT memberi berkah dunia akhirat atas pekerjaan itu.

Saya hanya sedikit senang. Hari ini kembali bisa mendengarkan putri saya, tidak berusaha untuk menentang apalagi menjelekkan pilihannya. Kadang sama anak ya seperti itu. Kita hanya bisa mendengarkan. Kita mungkin sudah terlalu banyak berbicara, dan lupa bahwa mungkin justru karena apa yang kita katakan, anak-anak pun akhirnya melakukan seperti yang kita katakan.
"Children have never been very good at listening to their elders, but they have never failed to imitate them." — James Baldwin, novelist and social critic

Tidak ada komentar: