Hadiah Misi yang Manis
“Tahu tidak? Aku berterima kasih pada Tuhan untuk pertama kalinya karena Ia memberiku diabetes. Aku baru sadar sekarang, kalau aku memiliki kesempatan yang langka dari ribuan atau bahkan jutaan orang. Aku takkan menghargai rasa ‘manis’ atau arti ‘sehat’ kalau tak tahu diabetes. Aku takkan tahu rasanya mencintai dan dicintai begitu hebat, oleh orangtuaku, oleh sahabatku dan olehmu,” ujar Joan, beberapa hari sebelum ia menghadap Illahi.
Luthfi hanya tertawa kecil sambil mendorong kursi roda gadis itu mengitari taman.
“Chang, mungkin diantara semua orang, orang-orang sepertiku, yang tahu bahwa kesempatannya hanya sebentar lebih bahagia daripada mereka yang sehat. Hidup kami mungkin lebih singkat, tapi lebih menyenangkan dari mereka yang hidup lebih lama.”
Saat itu kaki Luthfi berhenti melangkah. Diremasnya perlahan bahu Joan.
Joan mendongak, tatapan mereka bertemu, “Makasih sudah ada di sampingku ya Mas Luthfi! Aku benar-benar senang bisa bersamamu. Jangan lupa jalankan misimu! Aku percaya kalau misi itulah yang membuat Tuhan membawamu padaku. Aku mungkin tak tahu arti manis, tapi aku selalu merasakan manisnya cinta orang-orang di sekelilingku.”
Senyum Luthfi mengembang tipis, teringat saat itu ia terdiam dan hanya bisa membelai rambut Joan. Itu saat pertama sekaligus yang terakhir kalinya ia mendengar Joan memanggil nama aslinya. Dan masih saja, tiap kali mengenang gadis itu, airmatanya masih mudah merebak.
Tapi tidak boleh. Joan tak menginginkannya. Luthfi menggeleng-geleng berkali-kali, lalu melirik ke luar jendela mobil. Lampu lalu lintas telah berubah warna. Kakinya pun menginjak pedal gas. Membawa mobil box itu menuju suatu tempat.
Mobil box yang dibawa Luthfi bergerak memasuki halaman sebuah rumah bergaya kolonial klasik itu. Dengan senyum lebar, Luthfi mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil, sementara tangannya sibuk menekan klakson berkali-kali.
“Abang Chang datang! Abang Chang datang! Hore! Hore!” pekik anak-anak bersahutan dan berlarian keluar dari dalam rumah itu. Mereka berhamburan mendekati mobil box yang dibawa Luthfi. Saat Luthfi keluar dari dalam mobil, mereka langsung mengelilinginya.
“Hayo! Semuanya bantuin yah, jangan berebut!” Luthfi menggeser pintu mobil box itu dan mulai mengeluarkan satu demi satu kotak-kotak yang bertumpuk.
“Aku, Bang!”
“Aku juga, Bang Chang!”
“Bang! Bang!!”
Anak-anak berlomba-lomba saling mengajukan diri, mengharap Luthfi memberikan bagian tugas mereka. Dengan sabar, Luthfi membagi kotak-kotak itu. Yang kecil untuk yang bertubuh kecil, yang besar untuk yang bertubuh lebih besaar.
“Ingat ya! Jangan dibuka dulu! Tunggu Ibu dan Abang, ya!” pesan Luthfi berulang kali.
Seorang wanita tua muncul dari dalam rumah, tersenyum-senyum melihat anak-anak berseliweran sambil membawa aneka kotak dengan beragam ukuran. Dua orang wanita yang lebih muda nampak sibuk membantu mengatur anak-anak tersebut. Wanita itu menatap pada Luthfi yang membawa kotak yang lebih besar.
“Makin banyak kotaknya tahun ini, Chang?” tanyanya lembut setelah Luthfi meletakkan kotak spesial yang dibawanya itu ke atas meja.
Tangan Luthfi sibuk membuka kotak itu dan terlihat sebuah kue ulang tahun berwarna merah muda putih. Luthfi tersenyum, sebelum menoleh pada si wanita tua itu lagi.
“Iya, Bu. Aku pajang foto adik-adikku di toko dan para pelanggan juga ingin ikut membelikan hadiah untuk mereka.”
“Ah, alhamdulillah… tapi itu tak mengganggu usahamu kan, Chang?”
Luthfi menggeleng, “Enggak, Bu. Justru aku mau ngabarin kalau cabang baruku dibuka lagi minggu depan. Ibu bisa datang ya? Adik-adik juga ikut ya?”
Wanita tua itu mengangguk. Luthfi benar-benar merasa lega melihat senyum lembut di wajah wanita yang sudah dianggapnya seperti ibunya sendiri itu.
Kue ulangtahun itu telah siap di tempatnya, kotak-kotak berisi aneka keperluan anak-anak panti asuhan itu telah tersusun rapi, dan seluruh penghuni panti telah duduk dengan tertib. Acara pun dimulai saat Ibu Panti, wanita tua yang tadi menyapa Luthfi, mulai mengucapkan salam pembuka. Tak ada nyanyian gembira, atau seseorang yang meniup dan memotong kue. Hanya doa yang terdengar dari bibir Ibu Panti. Begitu syahdu, terutama saat menyebutkan nama lengkap perempuan yang masih selalu dikenang Luthfi dengan penuh cinta.
Luthfi tersenyum, dan berbisik dalam hati…
Selamat ulang tahun, Jo! Aku selalu melakukan misiku dengan baik. Ini misi yang kau minta dulu, berbagi dengan orang-orang sekelilingku dan tetap mencintaimu sebanyak yang aku bisa. Kau benar, aku merasakan manisnya hidup seperti yang kau inginkan. Terima kasih Joan, terima kasih untuk mengajariku arti manis yang sesungguhnya.
T A M A T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar