Cinta Terindah dari Joan
“Chang...” Suara itu terdengar lelah.
“Ya, Jo?” Luthfi mendekatkan wajahnya pada wajah Joan.
“Aku mengantuk.” Mata gadis ini menutup dan terbuka berulang kali.
“Tidurlah, aku akan di sini. Aku akan temani sampai kamu tertidur.”
“Chang...”
“Hmm...”
“Maukah kau memegang tanganku? Aku ingin terus memegang tanganmu sambil tidur.”
Luthfi tersenyum. Ia bergeser mendekati tempat tidur Joan. Diraihnya tangan Joan. Menekannya dengan lembut.
Hari ini gadis itu sangat berbeda. Sepanjang hari ia tertawa terus, menggoda Kirana dan Alan, melempar tebakan aneh dan menciumi Mama Papanya berkali-kali. Ia seperti tak membiarkan sedetikpun berlalu begitu saja. Sampai akhirnya ia meminta semua orang pergi untuk beristirahat, kecuali Luthfi. Dan sekarang, bukannya mengobrol seperti yang tadi ia katakan pada keluarganya, Joan justru ingin tidur. Mungkin ia lelah, sepanjang hari gadis ini benar-benar tidak beristirahat.
Sudah beberapa hari ini, Joan benar-benar bekerja keras untuk membuat keluarga bisa tersenyum. Meski sangat sulit, semua orang termasuk Luthfi berusaha keras untuk menyembunyikan kegalauan hati. Hati siapa yang bisa tahan mendengar berita dari dokter kalau Joan hanya bisa bertahan dalam hitungan hari. Bahkan tak seorangpun mau meninggalkan kamar Joan, sampai ia memintanya. Joan hanya ingin bersama Luthfi. Tanpa bertanyapun Luthfi tahu, sebenarnya Joan ingin orangtua dan kakaknya beristirahat sebentar di rumah.
Dalam keheningan, tangan Luthfi bergerak merasakan tangan Joan. Jempol Luthfi mengelus punggung tangan gadis itu. Ia bisa merasakan tulang-tulang kecil yang terbungkus kulit berwarna putih pucat itu. Ia bahkan bisa melihat aliran darah yang mengalir di antara jemari Joan. Begitu ringkih dan mungil. Bahkan Luthfi hampir yakin, jika tangannya menekan sedikit lebih keras maka tulang-tulang itu akan remuk karenanya. Luthfi mendengus, ia tak mau itu terjadi. Ia ingin melindungi tangan ini, juga pemiliknya. Agar siapapun tak bisa melukainya.
“Chang...”
“Belum tidur?” tanya Luthfi lagi. Lembut.
“Ternyata memegang tangan sambil tidur itu seperti ini rasanya,” bisik Joan tanpa membuka matanya. “Aku tahu seseorang di sini, menemaniku. Aku merasa dingin, tapi tanganmu memberi kehangatan. Sangat menyenangkan. Terima kasih, Chang. Terima kasih untuk segalanya. Andaikan aku menemukanmu lebih cepat.”
Luthfi menggigit rahang, berusaha keras menahan lonjakan emosi sekaligus rasa sakit dalam dadanya. “Aku akan memegang tanganmu setiap hari, Jo. Kalau kamu ingin aku akan di sini.”
“Chang, aku mencintaimu.”
Tangan Luthfi menggenggam makin erat. “Aku juga, Jo. Aku sangat mencintaimu.”
Joan diam. Ia tertidur. Luthfi bergerak memperbaiki posisi duduk agar lebih dekat dan tiba-tiba tangan Joan terlepas dari genggamannya. Jatuh tanpa daya. Seperti kehilangan nyawa. Luthfi terkesiap. Ia menelan ludah, berusaha menenangkan hatinya.
Tidak mungkin, tidak mungkin Joan pergi begitu saja. Ia baru selesai bicara. Baru saja.
“Jo? Joan?” panggilnya pelan.
Tak ada jawaban. Pelan-pelan tangan Luthfi bergerak ke depan hidung Joan. Berusaha merasakan udara panas. Tapi tak ada. Dingin. Hanya wajah pucat yang terbaring diam dan dadanya tak lagi bergerak. Otomatis tubuh Luthfi terdorong mundur tanpa ia sadar. Perutnya tegang. Luthfi kembali mendekat dan mengguncang tubuh Joan. Awalnya pelan, namun makin kuat. Tapi Joan tetap tak bergeming. Gadis itu sudah meninggalkannya. Untuk selamanya.
Luthfi terduduk kembali. Ia menatap lama wajah gadis yang kini telah terbaring diam. Anehnya, Luthfi tak bisa menangis. Dengan tenang ia mengambil kembali tangan Joan. Tak lagi sehangat tadi. Tapi Luthfi ingin memegangnya lagi. Kali ini sampai ia benar-benar bisa mengingat bagaimana rasanya menggenggam tangan gadis yang dalam sekejap telah merampas seluruh hatinya. Ia takkan menangis, karena ia tahu sekarang Joan pasti sangat gembira bisa melepaskan diri dari semua rasa sakitnya.
Entah berapa jam, Luthfi masih tidak bergeming, bahkan ketika salah satu perawat masuk dan menemukannya duduk diam memandangi Joan. Perawat itu tampak terkejut dan langsung memeriksa peralatan di sisi Joan. Dengan tergesa-gesa, perawat itu keluar. Ia juga tak berkata apapun, ketika seluruh keluarga Joan datang dan menangis di sisi jenazahnya. Ia baru bergeming saat Alan ingin menarik tangan Joan. Dengan mata memohon, Luthfi meminta agar Alan membiarkannya sampai ia bisa melepaskannya. Tak ada airmata. Tak ada kesedihan. Luthfi hanya ingin beberapa menit lebih lama dan Alan membiarkannya.
***
Kedatangan Alan membuat Luthfi sedikit terkejut. Sudah tiga minggu sejak kepergian Joan dan Luthfi masih begitu sulit melupakannya. Ia memutuskan untuk menyibukkan diri di toko kuenya saja, dan itu cukup membantunya melewati hari-hari yang kembali sepi. Kehadiran Alan yang tiba-tiba ke tokonya membuat Luthfi kembali pada kenyataan.
“Kata anak buahmu, kau seperti orang gila. Membuat puluhan kue dalam sehari. Membuatnya sendiri dan memenuhi semua pesanan tanpa bantuan siapa-siapa,” kata Alan dengan nada terdengar marah.
Luthfi tak menjawab. Ia tahu, Alan tahu jawabannya. Tangannya tetap sibuk membuat hiasan di pinggiran kue yang sedang dikerjakannya.
“Kami membersihkan kamar Joan, Fi. Dan Mama menemukan kotak ini. Ada namamu di situ. Kami pikir, mungkin kau ingin menyimpannya. Atau kalau tidak, terserah kamu. Joan meninggalkan banyak sekali kenangan dan kupikir kau ingin menyimpan bagianmu sendiri. Mungkin bisa menjawab semua pertanyaanmu selama ini.”
Kotak sepatu yang tadi ada dalam pelukan Alan berpindah ke atas meja aluminium, tepat di samping kue Luthfi. Tangan Luthfi berhenti bergerak. Ia menatap kotak bertulis ‘Chang’ itu dengan perasaan campur aduk. Tapi ekspresi wajahnya begitu datar, membuat Alan sedikit kecewa. Rupanya kepergian adiknya benar-benar menghancurkan hati sahabatnya itu.
“Aku pulang dulu, Fi. Kapan-kapan datanglah ke rumah. Mama dan Papa menanyakanmu,” ujar Alan sambil beranjak keluar, meninggalkan Luthfi yang masih memandangi kotak itu.
Luthfi melepas kantong krim dan mengelap tangannya. Lalu ia mengambil dan membuka kotak itu di atas meja kerjanya. Di dalam kotak itu, ada kotak beludru hitam kecil, selembar kertas bergambar, pisau kue kecil, sebuah buku kecil bersampul biru dan selembar surat.
Kotak beludru itu menarik perhatian Luthfi. Ia mengambil dan membukanya. Sebuah cincin berwarna putih dengan satu kilau berlian kecil. Sekali lihat Luthfi langsung tahu. Itu cincin yang ingin diberikannya untuk Joan. Cincin yang ia kira hilang. Bibir Luthfi tersenyum, miris namun lama kelamaan justru air mata mulai merebak jatuh satu demi satu. Joan telah menemukan apa yang paling ingin ia temukan.
Tangan Luthfi bergerak mengambil buku kecil itu. Di dalamnya bertulis nama Kirana, Mama, Papa dan Alan. Sepertinya itu daftar yang ingin dilakukan Joan untuk orang-orang yang dikasihinya. Luthfi ingat saat ia melihat Joan menandai buku itu. Rupanya menyatukan Kirana dan Alan adalah misi terakhir yang ingin dilakukannya untuk mereka. Luthfi terus membuka lembaran-lembaran buku itu dan berhenti ketika melihat nama ‘Chang’ di situ.
Chang
Makan Kue buatan Chang √
Mendapat Cincin Dari Chang √
Memegang tangan Chang √
Mencintai Chang selama-lamanya √
Luthfi meneliti tanggal yang ada dalam catatan itu. Tanggal yang tertera sekitar tujuh bulan lalu. Dan tanggal di sisi ‘Makan Kue Buatan Chang’ adalah tanggal pertemuannya dengan Luthfi dalam insiden pagi itu. Berarti Joan mengenal dirinya jauh sebelum ia mengenal Joan. Rasa penasaran makin menebal di hati Luthfi. Ia terus membuka buku itu. Tapi hanya ada lembaran kosong.
Dengan tak sabar, Luthfi mulai menggeledah isi kotak dan mengeluarkan isinya yang lain. Tapi yang ada hanya selembar kertas lain yang ternyata berisi gambar anak memegang balon dengan kue ulang tahun setinggi tubuh anak dalam gambar itu, selembar surat dan pisau kue. Luthfi menatap ketiga benda itu. Bingung. Ia meneliti kertas gambar itu lebih dekat dan terkejut saat melihat tulisan ‘Chang’ di pinggir kertas itu. Itu tulisannya.
Ingatan Luthfi kembali beberapa tahun silam. Saat ia berkunjung ke rumah Alan, saat ia masih sangat suka menggambar. Ia melakukannya kalau tidak di rumah, dan selalu mencoretkan nama samaran agar Ayahnya tak tahu. Ayah tak ingin Luthfi menjadi pelukis, bahkan mereka sempat bertengkar hebat saat Luthfi tetap ngotot ingin menjadi Chef.
Dulu karya-karya Luthfi menghiasi berbagai media massa. Untuk menutupi kebiasaannya mengirim gambar-gambar ke media itulah, ia selalu memakai nama samaran. Ia suka nama Chan. Diambil dari namanya sendiri, Luthfi Chandrawinata dan mungkin karena saat itu ia melukis tergesa-gesa, tanpa sengaja seperti tertulis ‘Chang’
Lukisan anak perempuan itu pun buatannya. Luthfi ingat saat itu ia mendengar tangisan seorang anak perempuan di samping rumah Alan. Untuk menghiburnya, Luthfi memberikan lukisan itu. Ia tak menyangka kalau anak kecil itu adalah Joan.
Semua kenangan itu kini menyerbu masuk. Pisau kue berbentuk segitiga itu hadiah dari Luthfi melalui Alan ketika Alan mengeluh karena adiknya suka sekali bermain pisau-pisauan. Luthfi tahu Alan tak ingin adiknya terluka karena bermain benda berujung tajam karena luka penderita diabetes akan sulit sembuh. Luthfi pun memberikan pisau kue mainan sebagai kado ulang tahun adik Alan.
Hati Luthfi terasa seperti diiris. Kini ia mengerti…
Itulah alasan mengapa Joan memilih rumah sakit yang jauh dari rumahnya. Itu mengapa Joan sengaja datang malam-malam mencuri ke toko kuenya dan bukannya memesan. Itu sebabnya Joan memanggilnya Chang. Itu sebabnya… Joan tak pernah mengatakan kalau ia telah menemukan cincin pemberiannya.
Joan mencintainya, jauh lebih dulu, jauh lebih lama dan jauh lebih dalam daripada yang dibayangkan Luthfi. Ia menyimpannya begitu rapat dalam hatinya. Sangat rapat. Hingga Luthfi sendiri sempat merasa dirinya sudah memberikan segalanya.
Kali ini kaki Luthfi terasa lemas, ia berjongkok dan semakin lama tangisnya makin deras. Dadanya tak sanggup menahan rasa sakit kehilangan, rindu sekaligus penyesalan yang datang bersamaan.
Maafkan aku, Jo. Aku terlambat menyadari kehadiranmu.
Pertama kalinya sejak Joan pergi, akhirnya airmata pria muda itu mengalir jatuh. Menangis untuk Joan. Menangis untuk gadis yang masih menghujaninya dengan cinta.
Ketika tangisnya mulai mereda, dan mulai bisa menguasai diri, Luthfi membuka amplop surat itu. Isinya ternyata cukup singkat.
Selesaikan misimu, Chang! Jangan menangis!
I Love You!!!
Jo’
Luthfi tersenyum tipis. Joan tetaplah Joan. Gadis dengan mata bening dan tawa yang polos. Gadis yang takkan pernah bisa dilupakan sepanjang hidup Luthfi.
Selamat jalan, kekasih hatiku! Terima kasih untuk cintamu yang indah...
Bersambung...
Cerita Selanjutnya : Misi Manis untuk Chang (7) - Hadiah yang Manis (Publish Date 21 Agustus 2017)
1 komentar:
[…] Cerita Sebelumnya… […]
Posting Komentar