"Siapa yang mengambil uang Emak di atas meja?" teriak Emak kesal pagi itu pada ketiga buah hatinya yang sedang asyik bermain tak jauh dari meja. Tiga pasang mata itu saling melirik satu sama lain, dengan tatapan menuduh.
Tak ada jawaban. Semua diam, ketakutan. Mungkin karena Emak memulai dengan oktaf yang tinggi saat bertanya. Emak memilih duduk namun tidak melepaskan tatapan tajam pada anak-anak. Mencuri adalah perbuatan yang termasuk dalam kategori dengan hukuman berat di rumah.
"Ayo jejer!" Dengan patuh ketiganya berjejer di depan Emak, bersiap menjawab pertanyaan Emak."Sekarang Emak tanya, siapa tadi yang membuka dompet Emak?"
"Kakak, Kakak ambil limapuluh ribu dari dompet Emak untuk membeli minuman kaleng dingin," jawab putri Emak jujur dengan nada lemah.
"Sisanya berapa?" tanya Emak dengan tegas.
"Tiga puluh lima ribu, Ma," jawab putri Emak itu dengan cepat. "Kakak taruh kembaliannya di atas meja. Emak kan lihat?" Emak mengangguk, kakak memang benar tadi Emak sempat meliriknya saat ia melaporkan kembalian uangnya. Kali ini Emak menoleh pada putra Emak.
"Abang tadi juga minta uang sama Mama kan? Waktu itu Emak lagi sholat Dhuha, sudah diambil?"
Ia mengangguk. "Iya sudah, Ma. Abang lihat ada uang di situ terus Abang ambil lima ribu. Buat beli ini!" Putra Emak itu memamerkan mainan prajurit terjun payung yang dibelinya, mainan seharga seribu rupiah. "Terus kembaliannya Abang taruh di situ lagi, karena takut terbang uangnya Abang tindih sama buku kecil. Udah deh, Abang turun ke bawah main sama Adek dan Kakak."
Emak menganalisa penjelasan anak-anak. Semua masuk akal, semuanya memang benar dan anak-anak menjawabnya dengan cepat. Mata mereka jelas menyiratkan kejujuran karena tak ada keraguan saat menjawab pertanyaan-pertanyaan Emak. Apalagi Jay, si Abang yang tak pernah berdusta.
Tinggal satu, anak Emak yang paling kecil. Emak turun dari tempat duduk. "Adek, Adek tadi jajan tidak?"
"Ndak, Adek gak jajan. Adek main, cama kakak, cama abang tadi," jawabnya lugas. Bahu Emak merosot. Adek tak mungkin berbohong. Usianya baru tiga tahun dan dia sama sekali tak tahu arti uang. Dia cuma tahu jajan, dan kalau mulut serta tangannya sudah penuh dengan makanan maka ia takkan meminta jajan.
"Adek lihat uang Emak gak?" kali ini si Kakak yang bertanya. Mungkin karena dia juga penasaran.
"Iya tadi Adek kan naik sebentar, katanya mau minum. Abang lihat loh!" ujar si Abang juga tak mau kalah.
"Sudah. sudah, percuma nanya sama Adek. Ayo kita cari lagi! Siapa tahu uangnya jatuh ke bawah kolong meja? Ayo bantu Emak!" Maka kami bertiga pun sibuk menelusuri seantero ruang makan dan dapur, kakak malah sibuk membongkar kotak mainan karena mengira uang itu dimasukkan Adek di sana. Tapi uang sisa belanja itu tak juga kami temukan.
Akhirnya meski penasaran, Emak menghentikan pencarian. Biarlah, salah Emak juga membiarkan uang tergeletak begitu saja di atas meja makan. Meskipun di rumah Emak hanya bersama anak-anak, tak seharusnya Emak begitu teledor. Emak juga percaya anak-anak takkan mungkin mencuri dari Emaknya. Maka akhirnya Emak memilih diam.
Tapi tetap saja Emak kuatir. Takut mendapatkan kenyataan anak-anak mulai berani berbohong padanya dan bahkan mencuri. Maka ia ceritakan semua itu pada Ayah, tentang uang yang hilang. Seusai sholat Magrib berjamaah, seperti biasa setelah mengaji Ayah mengajak anak-anak bicara. Pembahasannya tentu saja masih soal uang yang hilang, bedanya Ayah sama sekali tak menyinggung masalah inti. Ia hanya mengingatkan kalau mencuri, walaupun itu uang milik Ayah dan Emak tetap saja tidak boleh diambil tanpa ijin. Kalau mencuri itu termasuk perbuatan dosa dan hukumannya adalah potong tangan kalau di Arab sana. Anak-anak mengangguk mengerti dan sama sekali tak ada gurat ketakutan di wajah mereka. Jelas menunjukkan kalau anak-anak memang tak melakukannya.
Setelah anak-anak tidur malam itu, Ayah menenangkan Emak agar tak terlalu memikirkan uang yang hilang. Tapi bukan itu yang jadi masalahnya, Emak kuatir anak-anak belajar mencuri dan berbohong. Namun Ayah tetap meyakinkan kalau anak-anak pasti sudah berkata jujur. Emak hanya bisa diam dan mulai memeriksa catatan dari para guru kakak serta abang.
Dari guru kakak, semuanya tak ada masalah dan Kakak sudah meng-khatamkan Alqur'annya, berarti tugasnya menyiapkan "selamatan" kecil dan Emak mulai menandai kalendernya, mengobrol sebentar meminta pendapat Ayah. Setelah itu, Emak mengecek catatan milik Abang. Guru Abang mengingatkan untuk menyetor tabungan "peduli" milik Abang.
Tabungan itu adalah tabungan dari sebuah lembaga penyantun anak-anak yang tak mampu bersekolah. Jadi setiap bulan, setiap murid menyetorkan sisa uang jajan mereka untuk bersedekah bagi teman-teman seusia mereka agar bisa tetap bersekolah. Tabungan ini berbentuk celengan yang bagian bawahnya bisa dibuka. Pelaksanaannya diawasi oleh orangtua dan dilakukan oleh si anak setiap kali pulang sekolah.
Tapi di rumah, Celengan kecil itu tak cuma diisi oleh Abang. Kakak dan Adek juga ikut bersumbangsih setiap kali mereka punya sisa uang. Emak dan Ayah mereka juga ikut mengisinya kalau ada koin. Mereka mengajari anak-anak bahwa celengan itu bisa membantu banyak anak mengecap pendidikan seperti mereka.
Emak mulai membuka bagian bawah celengan. Saat mengeluarkannya, Emak terkejut. Bukan karena jumlah uangnya yang lebih banyak, tapi karena ada tiga buah puluhan ribu yang ada diantara timbunan koin-koin dan recehan seribuan. Ujung salah satu uang kertas itu sedikit sobek, menandakan bahwa orang yang memasukkan uang itu melakukannya dengan asal-asalan.
"Ayah!" panggil Emak. Ia menoleh dan tanpa bicara, Emak menunjukkan tiga uang kertas sepuluh ribuan itu. Lalu mereka sama-sama tertawa. Tanpa perlu dibahas, mereka sudah menemukan pelaku "pencuri" uang itu. Siapa lagi kalau bukan si Adek?
Esok paginya saat sarapan, Emak dan Ayah pun menginterogasi si kecil.
"Adek masukkan uang Emak ke sini ya?" tanya Emak sambil menunjukkan celengan itu. Adek mengangguk.
"Iya, Adek nabung. Kayak Abang. Banyak! Adek gak jajan! Pelcaya deh Emak," jawabnya meyakinkan mengikuti gaya kakaknya kemarin saat Emak menanyai soal uang. Dan Emak sekeluargapun terpingkal-pingkal melihat tingkahnya.
Aduh, Adek. Timbul rasa bersalah di hatinya. Tak disangka, anaknya yang terkecil belajar jadi robinhood cilik. Kakak dan Abang menatap Emak setengah menggoda, menunggu permintaan maaf. Meski sedikit malu, mau tak mau Emak meminta maaf pada anak-anak. Syukurlah, ternyata anak-anak masih tetap sejujur dulu. Malah akhirnya Emak harus belajar lagi hari ini bahwa mengajari anak-anak berbuat baik juga harus dibarengi dengan etika dan tata cara.
Adek mungkin belum mengerti apa arti perbuatannya. Mungkin suatu hari nanti kalau dia sudah besar, akan Emak ceritakan kisah ini. Biar dia tahu, kalau sejak kecil dia sudah belajar berbagi walaupun caranya salah.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar