11 Desember 2017

Kisah Seorang Istri, Janda dan Istri Kedua

Kisah sebelumnya...

“Maaf, Ibu-ibu. Boleh saya ikut ngobrol?” sela Desy dengan ramah.

Ibu Syifa langsung mengangguk ramah, sementara Ibu Tania memandangi wanita muda di hadapannya itu dengan tatapan ragu-ragu.

“Selidiki dulu, Bu. Jangan langsung marah-marah atau menuduh. Iya kalau tuduhan itu ternyata benar. Kalau tidak bagaimana? Kan kasihan suami ibu. Apalagi dalam pernikahan itu kepercayaan adalah sesuatu yang sangat penting.”
Ibu Tania tersenyum tawar. Meski begitu ia setuju dengan kata-kata Desy. Tak seharusnya ia menuduh suaminya tanpa bukti.

“Mau konsul juga, Neng?” tanya Ibu Syifa ramah pada wanita muda itu.

“Tidak tahu, Bu. Saya ke sini karena bingung. Teman-teman saya bilang saya ini lagi sakit jiwa. Padahal saya ngerasa sehat-sehat saja. Masak jatuh cinta dianggap sakit?”

“Jatuh cinta? Loh... itu kan normal,” sergah Ibu Syifa lagi. Ibu Tania hanya mendengarkan.

Desy menunduk sebelum mengangkat wajahnya yang sedikit malu. “Saya mencintai ayahnya teman saya, Bu.”

“Haaaah?” kedua wanita yang mendengarnya sama-sama terkejut.

Dalam hati Ibu Tania pun berpikir kalau gadis ini memang sakit jiwa. Bagaimana mungkin ia menyukai ayah dari temannya sendiri. Kalau dipikir-pikir pastilah usianya sama dengan ayahnya sendiri. Itu artinya dia menyukai seseorang yang usianya dua atau mungkin tiga kali dari usianya!

“Kok bisa, sih?” selidik Ibu Tania penasaran.

“Yah bisa saja, Bu. Saya suka melihatnya begitu sayang pada teman saya itu. Saya saja tidak pernah diperhatikan sama orangtua saya. Om itu juga sibuk seperti orangtua saya, tapi tiap kali ketemu anaknya, dia selalu rajin bertanya tentang kegiatan kami di kampus. Hubungan Om dengan putrinya yang jadi teman saya itu tak hanya seperti ayah dan anak, tapi juga seperti gurunya, kadang seperti kakaknya bahkan Om sering nonton film berdua dengan teman saya itu. Teman saya bilang, dia selalu menganggap ayahnya lebih sebagai sahabat dibandingkan ayah. Karena saya sering ikut acara merekalah, maka saya jadi jatuh cinta sama Om. Dan ternyata om juga menerima cinta saya itu.”

“Jadi kalian jadian?”

Desy tersenyum malu-malu. “Saya istri keduanya, Bu.”

“Ya ampun, Neng. Itu mah namanya cinta terlarang dong! Sama suami orang kok bisa jatuh cinta. Eneng ini masih muda banget. Tentu banyak lelaki bujang lain yang bisa Neng nikahi. Kok malah jadi istri kedua sih, Neng?”

Ibu Tania langsung menoleh ke arah lain. Ia tak mampu menyembunyikan kekesalannya. Melihat wanita muda ini seperti menuang air garam ke luka hatinya. Pantas tadi Desy mengatakan kata-kata tadi.

“Saya tahu, Bu. Saya tahu saya salah. Saya juga tahu kalau lelaki belum beristri itu banyak. Tapi Bu... maaf ya Bu, maaaf banget. Saya tak berniat sama sekali memisahkan Om dengan istri pertamanya atau dengan keluarganya. Saya bersedia jadi istri keduanya pun karena semata-mata hanya ingin mencintainya sepenuh hati, tidak untuk membuatnya meninggalkan istrinya.”

Kali ini kedua wanita yang mendengarkan cerita wanita muda itu sama-sama diam. Mereka mulai menunjukkan ketidaksukaan.

“Saya kasihan sama Om, Bu. Beliau itu seperti kurang terawat dan mulai sakit-sakitan. Saya takut di usianya itu, Om tidak ada yang mengurus. Istri Om memang ada. Tapi jujur, saya merasa istrinya kurang memperhatikan Om. Bicaranya pun kasar dan selalu marah pada Om. Om itu selalu salah di mata istri tuanya. Bahkan di hadapan saya yang saat itu hanya teman putri mereka. Karena kasihan, saya bersedia menjadi istri keduanya. Saya ingin melindungi dan menjaga Om. Itu saja.”

Keheningan merebak kembali dalam ruang tunggu itu. Baik Ibu Syifa, Ibu Tania dan Desy sama-sama tercenung sesaat.

“Neng, mencintai itu memang baik untuk siapapun. Tapi mencintai seseorang dengan membuat orang lain sakit hati juga tidak benar. Apakah selama kalian menikah, ada kebahagiaan yang Eneng rasakan? Apakah masalah suami Neng terpecahkan? Apakah istri pertama dari suami Neng berhenti bersikap kasar dan berhenti bertengkar? Lalu kenapa Neng masih mau datang ke sini sekedar untuk berkonsultasi padahal Neng sudah menjadi istri dari lelaki yang Neng bilang adalah lelaki yang Eneng cintai?”

“Itulah, Bu. Saya tahu saya salah. Saya sadari itu semua setelah kami menikah. Pertanyaan ibu semua itu hanya bisa saya jawab dengan tidak, karena semua tak seperti harapan saya. Om selalu sedih dan sakitnya semakin sering. Saya tidak tega meninggalkannya, tapi juga tidak tega membiarkan ia terus menerus sedih seperti itu. Saya ingin mencari solusi terbaik untuk masalah kami ini ke sini, “ gumam Desy setengah putus asa.

Ibu Tania menatapnya tajam. “Itu sih gampang, kamu datang saja temui istri pertamanya. Katakan semua yang baru saja kamu katakan. Minta dia untuk lebih menyayangi suaminya, minta dia memberikan kasih sayang sebesar dirimu pada suaminya. Atau minta dia sekalian meninggalkan suaminya kalau memang tidak cinta. Begitu saja!”

“Tidak, tidak mungkin! Om sangat sayang pada istrinya. Mereka sudah bersama lebih dari dua puluh tahun. Om menikahi saya pun karena saya tidak berniat memisahkan mereka. Tidak, sudah pasti tidak.”

“Kalau begitu, yah temui istrinya dan selesaikan urusan kalian. Mau tidak mau, ada yang harus berani memutuskan.”
“Apakah nanti Om bisa menerima?”

“Tergantung bagaimana hasil pembicaraanmu nanti. Tapi kalau alasan cinta yang utama, meninggalkannya adalah hal terbaik.”

“Benar, Neng. Benar sekali.”

Obrolan itu pun berakhir. Si wanita muda mengangkat tubuhnya dari sofa, berpamitan pada kedua wanita yang lebih tua darinya. Dalam perjalanan pulang, ia berkata dalam hati...

Aku memang harus pergi dari kehidupanku sebagai istri kedua. Aku mencintai suamiku, tapi hidupku terlalu berharga untuk dihabiskan sebagai istri yang tidak bahagia karena suami yang tidak bahagia. Aku tak mau merebut kebahagiaan orang lain lagi kalau kemungkinan bahagia dengan seseorang yang memang milikku masih menjadi kesempatan yang besar. Aku ingin mencari seseorang yang bersedia menemaniku, bertengkar denganku, berdebat denganku tapi memiliki teman bicara sepanjang hidupku tanpa perlu kuatir ada orang lain mengganggu saat kami sedang bersama.

Begitu pula Ibu Syifa, wanita setengah baya itu memutuskan untuk membatalkan janjinya siang hari itu. Saat pamit, sekali lagi ia membisikkan kata-kata penyemangat untuk Ibu Tania agar ia sabar dan berpikir kembali. Dalam perjalanan pulang, ia berkata dalam hati...

Hidup sendiri memang berat. Tapi jauh lebih baik dari menikah dengan segudang masalah. Jauh lebih baik daripada memiliki suami namun tak bisa diajak bicara. Jauh lebih baik daripada memiliki suami tapi dipenuhi rasa bersalah. Tanpa teman hidup, aku justru lebih banyak belajar menyelesaikan masalahku sendiri dan menjadi semakin tangguh. Andaikan aku di posisi salah satu dari mereka, aku takkan perlu datang ke psikiater karena yang kuperlukan hanyalah menyelesaikannya sendiri. Aku memang janda, dan aku tak bisa mengganti sebutan itu hanya karena takut menghadapi ujian. Aku janda, tapi aku ingin tetap bahagia. Anak-anak bersamaku selama ini, sedang bersamaku atau tidak, mereka adalah teman hidupku selamanya dan yang kuperlukan hanyalah mencari cara agar bisa selalu berkomunikasi dengan mereka.

Melihat kedua wanita itu pergi, ibu Tania pun bangkit. Obrolan itu membuatnya berpikir ulang tentang rencananya. Dalam perjalanan pulang, ia berkata dalam hati...

Aku sangat bodoh jika menceraikan suami tappa berusaha menyelesaikan masalah kami. Janda dan istri kedua itu saja sampai harus berkonsultasi pada psikiater hanya karena mereka tak memiliki dan memiliki setengah dari sesuatu yang jelas-jelas kumiliki sendiri. Kalau diingat lagi, mungkin akulah yang terlalu penuntut pada suamiku. Aku tak pernah mencoba melayaninya dengan baik, aku tak pernah mencoba untuk menghargainya. Ia mungkin tak mau memberitahuku kalaupun ia merasa seperti itu. Kami memang selalu bertengkar, tapi aku tak membayangkan hidup sendiri di hari tuaku nanti. Anak-anak pasti akan pergi seperti anak-anak ibu tadi, sendirian seperti itu... tanpa teman bertengkarku, tanpa lelaki yang kadang menjadi samsak kekesalanku, aku takkan bisa hidup tanpanya. Bagaimana kalau ada perempuan lain, yang tak memandang usianya, yang tak memandang statusnya seperti istri kedua tadi? Seseorang yang mencintainya lebih dariku dan akhirnya merampas suamiku? Aku akan mengubah segalanya mulai sekarang. Akan kuisi seluruh hatinya dengan cintaku. Aku akan bersyukur apapun kekurangan dan kelebihannya.

Ruang tunggu kembali lengang. Hanya terdengar dengung AC, bunyi jarum jam dinding dan tiba-tiba... pintu ruang tunggu terbuka.

“Maaf, Ibu-ibu! Dokter sudah da... “ kata Perawat itu dari balik pintu namun kata-katanya bergantung di udara. Ia hanya bisa berdiri dengan wajah bingung menelusuri setiap sudut ruang tunggu yang kini sudah kosong melompong.

T A M A T

Tidak ada komentar: