Perempuan pertama adalah seorang perempuan berusia sekitar tigapuluh lima tahun. Wanita berpenampilan modern itu menghempaskan tubuhnya di atas sofa empuk warna hijau pupus dengan wajah tampak kesal. Matanya berkeliling menatap seantero ruangan. Tak lama keluar seorang gadis berpakaian hijau muda.
“Ibu Tania Hermawan?” tanya gadis berbaju perawat itu.
Wanita itu mengangguk.
“Mohon ditunggu ya Bu! Dokter sedang dalam perjalanan.”
Wanita hanya mengangguk. Perawat itu berlalu, sementara wanita bernama Tania mengambil majalah dari atas meja di depannya. Ia membalik-balik majalah, melihat isinya dengan setengah hati sebelum akhirnya menutup dan meletakkannya kembali ke atas meja. Tak lama seseorang juga masuk ke ruang tunggu itu. Seorang perempuan setengah baya yang berada di akhir limapuluh tahun. Mereka bertemu pandang, saling tersenyum. Dari pakaiannya, jelas sekali terlihat kalau perempuan kedua ini adalah wanita kaya raya. Pakaiannya begitu mewah dan aksesoris tubuhnya yang berlimpah memenuhi penampilannya. Sedikit norak namun tak mampu menyembunyikan rambut berwarna abu-abu putih di kepalanya. Ia duduk sambil memandang lurus. Tatapannya begitu kosong.
Hanya selang dua menit, muncul wanita lain dari balik pintu. Ia jauh lebih muda dari kedua wanita sebelumnya. Masih sangat muda. Usianya sekitar dua puluh lima tahun. Wajahnya cantik jelita, bertubuh indah dan gerakannya anggun. Pakaiannya hanya blus berwarna biru menutupi tangannya yang panjang dengan baik dan celana jins panjang biru muda ditambah sepatu kets putih berpita merah. Penampilannya paling sederhana di antara dua wanita sebelumnya namun justru berhasil menampilkan kecantikannya yang alami dengan sempurna.
Perawat berbaju hijau itu masuk lagi. Kali ini ia memandangi tamu-tamu yang duduk di ruang tunggu itu.
“Ibu Desiani dan Ibu Syifa Al Hakim?” tanya Perawat itu.
Keduanya mengangguk bersamaan, sebelum saling memandang. Perawat itu kembali mengatakan hal yang sama seperti pada wanita pertama, bahwa dokter yang mereka tunggu sedang dalam perjalanan sebelum kembali keluar dari ruang tunggu itu.
Suasana sepi ruang tunggu itu ternyata membuat ketiganya menjadi sedikit gelisah. Suara helaan napas, gesekan tubuh dengan sofa, dengung AC yang terdengar makin nyaring serta bunyi jarum jam dinding bergerak semakin membuat suasana menjadi tidak nyaman. Untuk memecahkan kebekuan itu, Ibu Syifa, wanita di akhir limapuluh tahun itu pun mulai berdehem dan menoleh pada wanita pertama, Ibu Tania.
“Konsul?” bisiknya.
Ibu Tania mengangguk.
Ibu Syifa ikut mengangguk-angguk. Lalu terdengar Ibu Tania balik bertanya, “Ibu juga mau konsul?”
“Iya, Neng. Biasalah, saya nyari teman bicara.”
“Teman bicara?”
Ibu Syifa tersenyum. “Yaah, beginilah kalau sudah tua. Punya anak sudah dewasa, sudah punya keluarga sendiri dan paling-paling datang sesekali saja. Pulang pun mereka yang sibuk mengeluh, jadi manalah berani saya ikut-ikutan mengeluh. Yah mengeluhnya di sini saja. Sama Bu dokter saja. Biar sekalian nyari solusi.”
“Waduh, Bu. Kalau saya pasti akan senang banget bisa bicara sama ibu saya. Ibu saya sudah tiada, Bu. Kalau tidak buat apa saya jauh-jauh konsul perceraian sama orang yang tidak saya kenal,” keluh Ibu Tania.
“Cerai? Kenapa bercerai?” tanya Bu Syifa kaget. Ia memandangi Ibu Tania dengan tanda tanya besar.
Ibu Tania menghela napas berat. Ia menunduk sedih. “Saya cape, Bu. Cape menghadapi suami yang kerjaannya cuma bisa menghina dan menyuruh saya. Tiap hari saya ngurusin anak-anak, ngurusin rumah, ngurusin dirinya... eh, malahan tiap hari kalau ngobrol maunya ngajak perang mulut terus. Saya sudah lelah lahir dan batin. Daripada tiap kali ada masalah keluarga, adanya hanya bertengkar dan bertengkar terus kan lebih baik pernikahan ini selesai saja. Saya konsul ke sini karena pengen tahu apa aja dampak perceraian kami nantinya. Saya sih pengennya ngobrol dengan ibu atau ayah saya. Tapi mereka berdua sudah tidak ada, jadi itulah mengapa saya di sini.”
Ibu Syifa tersenyum penuh pengertian. “Bercerai itu belum tentu menjadi solusi loh, Neng. Dampaknya bukan hanya ke anak-anak. Omong-omong, berapa anak Neng?”
Jari jemari Ibu Tania teracung empat, membuat senyum Ibu Syifa semakin melengkung. “Lumayan banyak, ya. Padahal kelihatannya Neng masih muda sekali. Cantik pula.”
Kali ini giliran Ibu Tania yang tersenyum lebar. Ia tampak senang.
“Aah... ibu yang baru ketemu saja sudah mau memuji saya begitu. Sayangnya suami saya tidak pernah, Bu. Tiap hari kami itu hanya saling menghina saja. Yah saya juga gak terima kan kalau dihina, makanya ya saya balas juga deh. Kalau setiap hari di mata suami aja saya sudah begitu jelek, ngapain saya pertahanin suami kayak begitu?”
“Tapi Neng pernah tanya tidak pada janda-janda gimana rasanya setelah bercerai?”
“Yah belum, Bu. Wong di keluarga saya, hanya saya yang akan bercerai. Maaf nih, Bu. Ibu pernah bercerai?”
“Hmm... dibilang bercerai mungkin bisa. Hanya saja cerai saya dengan suami karena dipisahkan oleh dunia. Beliau sudah meninggal karena sakit. Sudah lama meninggalnya, sejak anak-anak saya baru masuk SD.”
“Uuh, maaf banget, Bu. Jadi mengingatkan ibu pada almarhum suami.”
“Tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Saya sudah tidak sedih lagi kalau mengenang beliau. Pernikahan kami memang sangat singkat, tapi kenangan suamilah yang membuat saya bisa mengasuh anak sendirian.”
“Ibu benar-benar hebat ya. Selama itu tak pernah terpikir menikah lagi, Bu?”
“Tentu saja pernah. Berulang kali malah. Tapi bukan karena saya jatuh cinta atau suka pada pria lain. Hidup sendirian, membesarkan dua anak yang masih kecil-kecil dan tuntutan hiduplah yang membuat saya berpikir begitu. Saking beratnya cobaan hidup, saya mungkin akan menikahi siapapun lelaki yang melamar saya saat itu. Tak peduli apakah dia baik atau jahat, berpenghasilan atau tidak, bahkan apakah dia mencintai saya atau tidak. Asalkan bisa menemani saya mengurus anak-anak saya, saya mungkin akan menerimanya.”
“Ibu....”
“Menjadi istri memang sangat berat, Neng. Tapi menjadi janda jauuuuh lebih berat. Suami bukan hanya seseorang yang membantu kita, tapi kehadirannya walaupun hanya sekedar tersenyum dan berbicara dengan kita pun adalah sesuatu yang memberi kekuatan. Anak-anak itu mengalami banyak periode berbeda dalam hidup mereka, menghadapinya sendirian sangat tidak mudah dan kehadiran ayah sangat besar artinya saat kita berhadapan dengan anak. Tidak hanya saat susah, saat mereka sakit, saat mereka membutuhkan materi, saat mereka kesulitan... tapi juga saat senang. Entah sudah berapa kali saya hanya bisa menahan iri dan sedih saat anak-anak lulus, diterima bekerja bahkan menikah dan memberi cucu untuk saya. Semuanya hanya saya jalani sendirian, tidak ada teman berbagi suka dan duka itu. Akhirnya semua itu hanya bermuara pada satu hal. Bahwa hidup tanpa suami itu benar-benar berat.”
“Tapi suami saya mungkin berselingkuh, Bu. Bagaimana lagi saya bisa pertahanin?”
Tiba-tiba wanita muda yang duduk di ujung sofa lain menoleh pada Ibu Tania. Desy, wanita muda itu bergeser tempat duduk dan langsung berceloteh, “belum tentu, Bu. Ibu pernah tanya atau melihat sendiri tidak?”
Kedua wanita itu pun langsung menoleh ke arah wanita muda itu.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar