Karena Dia Untukku
Ini harinya. Luthfi sudah memantapkan hati. Setelah beberapa minggu, akhirnya kemarin dokter membolehkan Luthfi membawa kue rendah gula lagi untuk Joan. Bukan sekedar kue. Tapi kue dengan cincin yang diinginkan Joan. Kue yang akan mewujudkan keinginan Luthfi untuk menjadi satu-satunya pria di dalam hati Joan. Selamanya.
Tapi Luthfi malah jadi gugup luar biasa.
Isi perutnya bergolak hebat sejak kakinya melangkah masuk ke rumah sakit. Jantungnya berdetak cepat seakan-akan baru selesai berlari. Bahkan keringat dingin mulai mengalir di punggungnya, saat membayangkan jawaban Joan nanti.
Pria mana yang tak kuatir permohonannya ditolak. Joan memang sering bilang kalau ia ingin mendapatkan cincin darinya. Tapi siapa yang bisa menjamin kalau kata-kata gadis itu benar-benar serius atau sekedar bercanda. Joan benar-benar sosok gadis yang sulit ditebak. Karena itu, Luthfi sampai harus meminta Alan menjemputnya. Ia tak bisa berkonsentrasi menyetir.
“Kamu kenapa sih, Fi?” tanya Alan di lobby rumah sakit, melihat Luthfi yang tiba-tiba memejamkan mata dengan kening berkerut-kerut. “Kamu sakit ya?”
“Hmpfff... perutku sakit, Lan. Aku ke toilet sebentar. Tolong bawakan ini ke kamar Joan. Jangan dibuka!!” pinta Luthfi, sambil menyerah kotak merah jambu berisi cake buatannya itu pada Alan.
Alan mengangguk. Dengan langkah terburu-buru, Luthfi pun pergi ke toilet.
Saat naik, Luthfi masih merasa gugup. Meski perutnya tak seberapa sakit lagi. Tetap saja ia masih gugup. Luthfi menghembuskan nafas kuat-kuat sebelum membuka pintu kamar perawatan Joan.
Kali ini aroma obat tercium cukup kuat saat ia masuk. Mata Luthfi menemukan beberapa perawat dan seorang dokter berdiri mengelilingi tempat tidur Joan. Mereka tampak sibuk bergerak ke sana ke mari, menempatkan selang-selang dan berbicara cepat satu sama lain. Sesuatu telah terjadi. Tiba-tiba seorang perawat menoleh dan melihat Luthfi yang berdiri bingung dekat pintu. Perawat itu mendekat, memintanya segera keluar. Luthfi semakin bingung. Di balik punggung para perawat dan dokter itu, ia bisa melihat wajah pucat Joan dengan mata tertutup rapat. Namun, belum sempat Luthfi bertanya, ia telah didorong keluar.
Alan dan Kirana nampak keluar dari lift. Senyum mereka mengembang sampai melihat wajah Luthfi. Raut wajah Luthfi yang pucat pasi dan tangannya yang gemetar menyadarkan keduanya. Setengah berlari keduanya mendekati Luthfi.
“Ada apa? Kenapa Jo?” tanya Alan cepat sambil berusaha melihat dari balik kaca yang ada di pintu.
Kepala Luthfi menggeleng-geleng, ia juga tak mengerti. “Aku baru datang dan mereka semua ada di dalam sana,” jawabnya dengan suara bergetar.
Alan tampak bingung, menatap Kirana. “Kenapa mendadak sekali? Tadi dia lagi tidur kan?”
Lalu Alan dan Kirana pun bercerita pelan. Saat Alan masuk membawa kue, Joan masih tertidur. Tidak ada siapapun di kamar. Kirana yang sedang menjaganya ternyata keluar sebentar. Alan pun mencari Kirana.
Ada rasa bersalah tersirat mendengar kata-kata Alan yang berulangkali menyesal meninggalkan adiknya. Tapi Luthfi menyabarkan. Tak ada yang bisa menjamin apapun. Walaupun mereka berusaha, Joan memang akan selalu berada dalam kondisi yang tak pernah bisa diduga.
Beberapa menit itu bagaikan berjam-jam, sebelum akhirnya semua orang di kamar itu bisa keluar dan sedikit bernapas lega. Joan telah tertidur lagi dengan kondisi yang stabil. Seorang dokter mendekati ketiganya.
“Maaf, hari ini Joan harus istirahat dulu. Mas Alan, bisa kita bicara di ruang kerja saya?” kata dokter Budi, sambil mengangguk pada Alan. Alan diam, tapi ia mengikuti langkah dokter Budi.
Kotak kue yang tadi dibawa Alan terletak di meja teh dekat sofa. Masih belum disentuh. Luthfi membuka kotak itu dengan rasa bersalah.
Sebuah kue berbentuk hati berdiri di tengah-tengah kotak. Warnanya pink, warna kesukaan Joan. Di atasnya Luthfi membuat sebuah peti harta karun kecil dari coklat. Peti yang bisa dibuka, dan di dalamnya ada cincin yang sangat diinginkan Joan. Cincin yang akan dipakai untuk mengikat hati Joan selamanya.
Jari telunjuk Luthfi bergerak, menyentuh ujung peti kecil itu. Membukanya. Tapi tak ada apapun di situ. Cincin yang ia kira ada di situ, hilang. Luthfi terkesiap.
“Ran, tadi kamu buka kue ini?”
Kirana yang sedang duduk di sebelah tempat tidur Joan, menoleh. “Kue apa? Oh kue itu, tidak. Kenapa? Aku tadi kan belum sempat masuk.”
“Tapi cincinnya hilang!” beritahu Luthfi. Tepat saat itu Alan masuk.
“Cincin apa?” tanya Kirana dan Alan bersamaan.
“Cincin untuk Joan. Aku letakkan di dalam hiasan peti ini. Tapi sekarang tidak ada.” Luthfi berdiri dengan panik. Ia mengangkat kue, memeriksa meja teh itu lagi bahkan memeriksa tempat duduknya.
Alan dan Kirana memandangi tingkahnya. Wajah mereka sarat kesedihan. Ketika akhirnya Alan bergerak mendekati Luthfi, ia hanya berkata dengan singkat. “Aku ingin bicara denganmu, Fi. Di luar.”
Luthfi menatap sahabatnya bingung. Tanpa berkata apapun, ia mengikuti Alan.
“Aku tahu, kau mencintai Joan. Itu sudah cukup, Fi. Lebih dari cukup. Tapi memberinya cincin, itu berbeda. Joan tak mungkin mengharapkannya lebih dari yang kau lakukan sampai sekarang.”
“Kamu ini bicara apa, Lan? Justru karena aku dan Joan saling mencintai, maka aku harus memberinya cincin itu. Apa lagi? Kau kakaknya, sekaligus sahabatku. Seharusnya kamu senang karena aku, sahabat baikmu mencintai adikmu satu-satunya.”
Alan mengangguk. “Ya, sebagai kakak aku sangat bahagia melihat Joan bahagia dan bisa mencintai seseorang selain keluarganya. Sebagai kakak, aku sangat senang adikku yang sepanjang hidupnya selalu menderita bisa merasakan cinta seperti perempuan-perempuan lain di dunia. Tentu aku senang, Fi. Sangat senang.”
“Tapi aku juga sahabatmu. Sebagai seorang sahabat, aku tahu apa yang harus kau hadapi. Aku dan orangtuaku menghadapinya setiap hari. Adikku seorang penderita DM, Fi. Tidak mudah melihat orang yang paling kau sayangi dan paling kau cintai harus berjuang habis-habisan untuk hidupnya. Tidak mudah melihatnya disuntik dan kesakitan setiap hari. Kau akan memikirkan cara untuk menggantikan semua sakitnya, tapi takkan ada gunanya. Kau akan mencari ratusan cara untuk membuatnya keluar dari semua ini. Tapi yang kau dapatkan tiap hari, hanyalah berita buruk. Bahwa satu lagi komplikasi harus ia dapatkan karena penyakitnya yang tak akan pernah bisa sembuh. Setiap hari kau akan ketakutan tiap kali dokter memanggilmu dan bertanya-tanya, apakah ada kelainan baru yang mereka temukan. Berapa lama lagi? Berapa kali lagi?”
Alan tertunduk dengan wajah murung, “Apa Joan akan membiarkanmu mengalaminya, Fi? Tidak akan. Aku mengenal adikku. Dia akan tertawa meskipun seluruh tubuhnya sakit. Dia akan tersenyum meskipun sesuatu yang salah sedang terjadi. Dia akan melakukan apapun, untuk membuat orang yang dicintainya tersenyum bahagia. Jadi kalaupun cincin itu benar-benar ada, Joan takkan menerimanya, Fi. Tidak akan pernah. Perasaanmu suatu hari akan hilang. Itu hanya perasaan kasihan. Bukan cinta.”
“Jadi dia sudah melihatnya?” tanya Luthfi datar.
Alan menggeleng. “Tidak! Aku meletakkan kotak kue itu di meja saat ia tidur. Aku keluar mencari Kirana dan saat aku kembali, kondisinya sudah seperti tadi.”
“Kalau begitu, aku akan tetap mencari cincin itu. Aku mungkin lupa menaruhnya.”
“Luthfi...” Bahu Alan merosot. Ia benar-benar tak ingin membuat temannya menanggung beban.
Luthfi menunduk, memainkan ujung kakinya. “Apa kau tahu kalau Joan mengisi hidupnya dengan berbagai misi? Ia membuatku sadar, Lan. Kalau setiap detik dalam hidup seseorang, ia harus memiliki tujuan. Kalau kita tak bisa memprediksi kematian siapapun. Aku pikir aku merasa kasihan padanya. Tapi aku tak sadar aku melakukannya tiap hari. Setiap kue yang kubuat dan kujual di toko itu karena aku kasihan pada mereka yang ingin memberi kue tapi tak bisa membuatnya. Itu rasa kasihan. Aku tahu dengan baik. Tapi berbeda dengan cinta.”
“Mencintai itu artinya aku membutuhkan orang lain, bahkan meski jika itu rasa kasihan. Aku mencintai Joan. Aku takkan bisa merasa bahagia kalau aku tak bersama dengan Joan. Aku tahu, hidup Joan bisa berakhir sewaktu-waktu. Tapi aku juga tahu, makin banyak kesempatan yang aku buat bersamanya akan banyak kenangan yang bisa kukenang sepanjang hidupku. Agar aku bisa tetap berjalan hidup dan menjalankan misiku sendiri kalau memang kami harus berpisah.”
Luthfi duduk di salah satu kursi penunggu yang terletak di lorong rumah sakit itu. Pikirannya melayang-layang mengingat kejadian saat ia bertemu Joan. Akhirnya dengan senyum pahit, Luthfi kembali bicara.
“Sepanjang hidup aku membuat banyak kue yang manis, tapi tak satupun dalam hidupku terasa manis sampai Joan hadir dalam hidupku. Joan mengajariku kalau hidup itu sebenarnya sangat manis, tapi akulah yang tak pernah menyadarinya. Aku tahu, dia selalu sakit. Aku juga tahu dan memahami resikonya mendampingi seorang penderita DM. Tapi kalau aku menjauhinya, aku yang sakit. Sangat sangat sakit. Mungkin malah aku yang mati duluan. Aku hanya ingin bersamanya, walaupun sebentar. Seperti dirimu, aku ingin memberikan segala hal terbaik untuknya. Aku akan mencintainya, Lan. Selama aku mampu, selama aku bisa. Bukan aku untuk dia, tapi dialah untuk aku.”
Alan, lelaki yang selama bertahun-tahun dikenal Luthfi sebagai sosok pria yang tegar, kini menundukkan kepalanya dalam-dalam dan tubuhnya terguncang. Alan menangis. Entah karena terharu, entah karena ingin membagi kelelahannya. Luthfi tak peduli. Dia tak ingin meninggalkan Joan, tidak sedetikpun. Ia akan meyakinkan semua orang bahwa ia mencintai Joan setulus hati.
Bersambung...
Cerita selanjutnya: Misi Manis Untuk Chang (6) - Cinta Terindah Dari Joan (Publish Date 14 Agustus 2017)
***
1 komentar:
[…] Cerita sebelumnya… […]
Posting Komentar