Lutfi bergegas masuk ke dalam gedung yang didominasi warna hitam, sambil menekan salah satu tombol di kunci mobil otomatisnya. Suara denyut dua kali bertepatan dengan bantingan pintu yang terbuka dan tertutup lagi. Aroma vanila bercampur madu menyerbu hidungnya. Dua karyawati di belakang etalase menunduk hormat padanya. Tapi Luthfi hanya menganggukkan kepala dan langsung masuk ke area dapur. Makin masuk ke dalam, wajahnya semakin merah padam tapi bukan akibat udara dapur yang panas karena beberapa oven kue sedang beroperasi, ada hal lain yang mengganggunya.
“Siapa yang berani masuk ke dapur semalam?” tanyanya marah, begitu melihat beberapa karyawan berdiri di sudut dapur.
Mata Luthfi menyapu sudut dapur. Karyawan-karyawannya yang tadi berdiri di sekitar sudut itu, mulai membuka jalan untuknya. Luthfi mulai melihat apa yang sedang mereka lihat. Ada dua gadis duduk meringkuk di situ. Gadis-gadis itu tampak kaget melihat kehadirannya. Gadis pertama yang ia lihat berambut panjang hitam, matanya tertutup kacamata dan menatap Luthfi dengan berani. Gadis yang lain, rambutnya lebih pendek dan mengenakan topi menutupi kepalanya. Gadis ini bersembunyi di balik tubuh gadis berambut hitam panjang itu.
“Kalian siapa? Apa yang kalian mau?” tanya Luthfi sambil berkacak pinggang.
“Ooh, Anda bossnya?” Gadis berambut hitam itu berdiri. Temannya ikut berdiri, meski masih berusaha menutupi wajahnya. “Ini hanya salah paham, aku hanya ingin membeli satu,” jelas gadis itu lagi sambil mengangkat dagunya.
Luthfi tersenyum sinis. “Benarkah? Lalu mengapa kalian ada di sini? Di jam lima pagi?”
Gadis itu terlihat tenang. “Tentu saja untuk beli kue. Tapi kalian masih tutup. Karena itu aku membuka pintu dapur dan bukan salahku kalau pintu itu tidak terkunci.”
“Itu artinya kalian bebas masuk dan mengambil kue seenaknya?” Luthfi menahan geram.
“Aku tidak mengambilnya, aku meninggalkan uang. Apa uangnya kurang? Bukankah lima ratus ribu terlalu banyak untuk sepotong kue?”
Uggh, gadis ini! Benar-benar pandai berkelit. Luthfi melirik kue bertingkat tiga yang semalam dibuatnya dengan sepenuh hati. Kue itu sudah tak utuh lagi. Untaian mutiara dari coklat yang mengelilingi kue itu sudah tercerai berai di atas meja, lubang berbentuk segitiga terbentuk di salah satu lingkaran di kue yang berada di tingkat kedua. Pita di kue ketiga, yang ia buat dari coklat putih kini tinggal separuh. Sementara bagian teratas kue sekaligus bagian tersulit yang membuat Luthfi terpaksa bekerja semalaman, kini sudah tak lagi membentuk rangkaian mawar-mawar indah yang cantik tapi berubah menjadi gumpalan-gumpalan krim tak karuan. Sekarang, takkan mungkin baginya untuk mengikuti perlombaan wedding cake tahunan yang selama dua tahun berturut-turut selalu ia menangkan.
“Jo... Jo... kamu kenapa?” Suara itu membuat Luthfi menoleh cepat. Gadis yang berambut hitam panjang yang dipanggil Jo itu kini berlutut di sudut, berjuang keras menutupi mulutnya, ia sedang menahan muntah. Tapi sedetik gadis itu mendongak menatap Luthfi, sendu dan sedih, sebelum akhirnya mata itu tertutup perlahan dan tubuhnya mulai limbung. Dua karyawan Luthfi yang berada di dekatnya menangkap tubuh gadis itu sebelum benar-benar terjatuh ke lantai dapur. Luthfi terkesiap.
“Kenapa dia?” Luthfi ikut berjongkok, memeriksa gadis bernama Jo itu dengan seksama. Sisa-sisa krim berwarna putih masih terlihat di sudut bibirnya. Apa gadis ini keracunan?
“Jo... Jo.. Bangun!” Gadis berambut pendek itu tampak panik. Lalu dengan tergesa-gesa ia memeriksa tas bawaan mereka. Dengan gugup ia mengambil handphone dan menekan tombol angka 1. “Kak, Jo pingsan.... Ya... ya... Ini.. Ini toko kue dekat rumah sakit... iya aku tunggu!”
Gadis berambut pendek itu menatap Luthfi. “Maaf, Mas... teman saya harus ke rumah sakit sekarang, sebentar lagi ambulan datang. Soal kerugian Mas, nanti saya akan urus. Tapi saya mohon, tolong biarkan saya bawa teman saya dulu.”
Lidah Luthfi mendadak kelu. Ia tak tahu harus berkata atau melakukan apa. Melihat gadis yang beberapa menit lalu menatapnya dengan mata marah, sekarang terbaring dengan wajah pucat dalam pelukan sahabatnya membuatnya mulai merasa bersalah. Tak lama kemudian, terdengar suara ambulan datang. Saat gadis yang pingsan itu dibawa keluar meninggalkan dapur dibantu karyawan-karyawannya, Luthfi hanya berdiri di dapur. Bingung bercampur kaget.
Tak sampai sepuluh menit kemudian, ambulan telah membawa kedua gadis itu pergi, Luthfi masih memandangi kue pernikahan yang sudah tak berbentuk itu. Hatinya penuh tanda tanya. Dari sudut mata karyawan-karyawannya yang mulai bekerja pagi itu, ada pertanyaan yang sama. Luthfi kuatir, ada campuran yang salah saat ia membuat kue. Dengan ragu, ia mengambil sendok dan menyendok potongan kue itu, sebelum memakannya pelan. Hal itu membuat semua karyawan menatapnya kuatir. Luthfi tak peduli. Kalaupun ia ikut keracunan, ia tahu apa yang harus dilakukan.
Satu kunyahan, dua kunyahan sampai Luthfi menelan semuanya. Tak ada yang salah. Rasa kue itu sesuai yang ia bayangkan. Vanila yang terasa lembut di lidah dengan wangi semerbak memancing selera melalui hidungnya. Untuk sesaat Luthfi menunggu. Barangkali respon yang seperti dialami gadis itu akan dialaminya juga. Tapi Luthfi tak merasakan apapun. Ia kembali mengambil potongan lain, mulai mengunyahnya lagi.
Hingga separuh kue itu ia habiskan, tak ada yang terjadi. Luthfi duduk di meja besar tempat ia biasa menjejerkan kue-kue buatannya. Menunggu. Tetap saja tak ada reaksi berarti. Luthfi makin bingung. Jawabannya hanya satu. Ia harus ke rumah sakit dan bertanya pada dokter atau siapapun yang bisa memberitahunya. Mengapa gadis yang tadinya baik-baik saja bisa jatuh pingsan setelah makan kue buatannya?
Bersambung: Misi Manis Untuk Chang 2 - Sahabat yang Kembali
1 komentar:
[…] Cerita Sebelumnya […]
Posting Komentar