Setelah sekian tahun tak pulang, tahun ini kami menikmati lima hari di masa liburan ke desa orangtua suami. Tempat di mana suami saya pernah menikmati masa kecilnya, yang sering diceritakannya pada anak-anak dan saya. Tempat di mana ia selalu mengenang sebagai sebuah desa yang indah, udara yang menyegarkan, orang-orang yang ramah dan kesederhanaan yang menyenangkan.
Anak-anak memang pernah datang ke desa kakek dan neneknya beberapa tahun silam, sebelum kelahiran anak ketigaku. Tapi saat itu mereka belum bisa mengingat apapun. Masih terlalu kecil.
Kali ini, ketiganya sudah memasuki usia anak-anak dan bahkan remaja. Mereka sama-sama penyuka teknologi. Tapi saat berada di desa, mereka lupa semuanya.
Setiap hari, berbagai tempat kami datangi.
Selanjutnya, sambil berlebaran ke rumah keluarga. Kami mendatangi sanak keluarga di gunung. Walaupun sesaat kami bisa merasakan keindahan panorama pegunungan. Walaupun terik matahari membakar, suasana sejuk tetap dirasakan. Saat kami singgah sebentar di sebuah mesjid dan merasakan kesegaran air gunung yang dingin namun bersih, benar-benar bersih. Setelah itu kami singgah ke rumah almarhum Kakek buyut, untuk menengok Nenek yang kini hidup seorang diri.
Ada sungai kecil di sebelah rumah almarhum kakek buyut, airnya sangat segar, mengalir cukup deras dan jernih. Mereka tak ragu langsung terjun dan berenang dengan pakaian seadanya. Bahkan kakak berpakaian lengkap sebelum saya datang dan berteriak menyuruhnya naik.
Toh, kegembiraan itu juga menular pada saya dan ayahnya. Kami juga ikut menikmati segarnya air pegunungan yang mengalir lancar tanpa hambatan. Ada kesedihan melihat ada sedikit sampah menggenang dan ikut terbawa arus air. Tapi itu tak menghambat kami tetap menikmati keindahan alam sekitarnya yang masih benar-benar terjaga.
Esok harinya, karena masih dalam suasana Lebaran, kami hanya mengizinkan anak-anak berlompatan di bendungan desa yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumah. Karena berada di ujung desa, saat mengantar anak-anak, kami malah jadi berjalan-jalan keliling desa. Sambil berjalan, Ayah bercerita tentang berbagai hal yang berbeda dari masa kecilnya. Kolam yang dulu kecil kini sudah bertambah besar, rumah-rumah yang kini menghiasi hutan semak tempatnya dulu bermain, orang-orang yang pernah berjasa padanya dan kini telah tiada. Ia bernostalgia.
Sebelum itu, anak-anak sempat memancing di kolam ikan kakek mereka. Karena mereka anak-anak kota yang belum berpengalaman, maka si Ayah meminta adik-adiknya bergantian mengawasi anak-anak sementara kami mendatangi beberapa keluarga yang lebih dekat untuk bersilaturahmi sekaligus beristirahat.
Dan di hari keempat, kami menikmati kesegaran kolam renang di daerah pegunungan tak jauh dari desa suami. Kawasan wisata itu ternyata sangat ramai dan pengunjungnya membludak karena masa liburan. Tapi tiket masuknya hanya 15ribu, cukup murah untuk sebuah tempat wisata keluarga. Seperti biasa, anak-anak sudah melupakan segalanya dan berenang. Saya sempat kebingungan mencari anak-anak yang berlarian ke sana ke mari menuruti keinginan mereka masing-masing sampai harus berbagi tugas dengan Ayah dan Paman mereka.
Saat pulang, saya hampir tak berhenti berbelanja melihat murahnya barang-barang yang dijual. Gantungan kunci yang menjadi koleksi saya di situ dijual murah sekali. Di bawah IDR 5.000 dengan kualitas yang bagus, standar mal di Jakarta. Kalau Kakak tak datang untuk menghentikannya, mungkin koper saya bertambah satu saat pulang ke Jakarta. Bahkan ketika berada di mobil, saya masih membeli buah-buahan yang juga sangat murah. Bayangkan hanya dengan IDR. 10,000, sebuah durian masak sudah bisa kita nikmati.
Kalau saja saya membawa kamera professional, mungkin foto-foto yang dicapture akan lebih baik dibandingkan kamera ponsel. Tapi tetap saja, banyak hal menarik yang bisa dilewati meski tak semua terekam dalam gambar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar