26 Juni 2017

Tiket Pesawat Terakhir

“Sudah dipesan, Mas?” tanya Anisa tepat setelah ia melihat suaminya selesai makan. Reno melirik dan menggeleng tak peduli.

“Kok belum? Nanti kehabisan. Harus dibooking dari sekarang,” dengan nada sabar, Anisa kembali mengingatkan.

Tapi Reno tak bergeming. Terlihat jelas keengganan di matanya.

“Mas gak mau pulang ya?” tebak Anisa lagi.

“Hmm… Entahlah, aku malas menjawab pertanyaan-pertanyaan saudara-saudaraku, Neng.” Anita terdiam. Ia paham maksud suaminya. Bahkan kalau dipikir-pikir, dialah yang paling sedih tiap kali mendengar pertanyaan itu. Meski dilempar dengan candaan, pertanyaan itu justru semakin mengingatkan mereka pada sesuatu yang sampai sekarang belum didapatkan.

“Aku udah bilang ke Ibu kalau kita belum tentu pulang tahun ini. Sudahlah, di sini saja kita lebaran. Tak perlu pulang.”

“Tapi Mas… tahun ini sudah empat kali ibu keluar masuk rumah sakit. Apa Mas gak kuatir kalau tahun depan kita tak bertemu ibu lagi?” Reno menatap Anisa. Sorot mata perempuan yang telah mendampinginya lebih dari lima tahun itu sungguh memelas. Hatinya melunak. Sorot mata itulah yang membuat Reno ragu memesan tiket pesawat untuk pulang ke kampung halamannya yang berbeda pulau. Pertanyaan khas Lebaran yang menanyakan soal anak yang belum mereka miliki, dibarengi oleh sorot mata sedih Anisa yang membuatnya melakukan itu. Tapi, Ibu juga sangat penting.

“Apa kau tidak apa-apa kalau mereka tanya-tanya nanti?”

Anisa tersenyum kecil. “Gak papa, Mas. Aku sudah biasa. Biarin saja. Yang penting kita bisa berlebaran dengan Ibu.”

Tapi mungkin Allah mendengar keinginan kecil Reno yang tak ingin pulang. Setelah mencari secara online, memesan pada agen travel langganan bahkan langsung datang ke kantornya, tiket pesawat yang ingin mereka pesan telah habis. Semuanya. Seluruh flight yang terbang ke kota kelahiran Reno.

Anisa termangu di meja makan usai berbuka puasa saat mendengar berita itu. “Jadi… kita batal pulang? Ibu sudah tahu?” tanya Anisa. Ada nada kecewa dalam suaranya yang lirih.

Reno mengangguk. “Aku sih sudah mesen agar mereka info ke kita kalau ada tiket pesawat. Berapapun harganya, aku akan beli selama aku mampu. Tapi kata mereka semua sudah habis dipesan, karena setelah Lebaran ada acara tradisional di sana.”

“Lalu Kakak-kakakmu gimana? Mereka sudah pasti pulang?”

Reno menggeleng. “Hanya Kak Rena dan Reni yang sudah pasti bisa pulang. Kak Rena dan keluarganya memesan tiket kereta ke Surabaya dan dari sana mereka langsung pakai kapal feri. Kalau Kak Reni terpaksa memesan tiket pesawat yang berbeda supaya bisa memboyong semua anak-anaknya. Aku belum tahu gimana Kak Roni dan Rino.”

“Berarti Ibu hanya bersama anak-anak perempuannya, Mas. Kalau begitu, kita ikuti saja cara Kak Rena. Siapa tahu berhasil.” Terdengar suara helaan napas panjang Reno. Ia tahu Anisa telah bertekad. Apapun itu, mereka harus menemukan cara agar bisa pulang.

“Atau begini saja, aku mengajukan cuti lebih cepat ke kantor, Neng?”

Mata Anisa melebar. “Bisa? Ya sudah, lakukanlah!”

“Tapi itu artinya kau akan menghadapi pertanyaan itu lebih la… “

“Sudah, Mas. Jangan pikirkan itu lagi! Yang penting Ibu!” kata Anisa dengan yakin. Lalu, tak sampai sepuluh menit kemudian, Reno sudah sibuk dengan ponselnya. Tiket pesawat yang mereka inginkan akhirnya didapatkan.

***

Reno benar-benar tak mengira kalau kepulangannya justru membuka semua rahasia yang dipendam sang Ibu. Lima hari menjelang Lebaran, Reno menemukan rumah Ibu yang kosong tak ada siapapun.

“Nyari Bu Retno ya Mas?” tanya seorang pria muda dari sebelah rumah Ibu. Reno mengangguk cepat.

“Bu Retno di rumah sakit daerah, Mas. Udah tiga hari dirawat di sana!” kata pria muda itu lagi.

Wajah Reno memucat. “Rumah sakit? Memangnya Ibu saya sakit apa Mas?”

Pria muda itu tampak terkejut. “Ooh, Mas ini putranya Bu Retno ya? Oalaaa, udah kita tungguin loh Mas! Ini Mas Roni ya?”

Reno menggeleng, “Bukan! Saya Reno, Mas! Sakit jantung Ibu kambuh lagi?”

Pria muda itu mendekati Reno, menyalaminya dan lalu dengan penjelasan singkat ia memberikan informasi tentang Ibu mereka. Ibu sudah sering masuk rumah sakit, Reno pun tahu soal ini. Ia selalu pulang tiap kali mendengar berita sakitnya sang Ibu. Tapi kali ini Bu Retno meminta semua orang, pembantu setianya dan tetangga-tetangga yang ikut mengurusnya, untuk tidak menyampaikan informasi apapun pada putra-putri mereka. Alasannya, mereka sibuk dengan keluarganya, kasihan kalau kalau ditambahi urusan ibu mereka.

Hati Reno benar-benar remuk mendengar pesan Ibu itu. Padahal, ia tak pernah mengatakan apapun soal beratnya mengurus Ibu. Tidak pernah. Tidak satu kalipun. Apalah yang diberatkan. Ia tak punya siapapun yang harus diurus selain Ibu dan istrinya. Kakak-kakaknya mungkin memang sibuk karena urusan anak, tapi ia tidak.

Reno dan Anisa langsung berangkat ke rumah sakit bersama pria muda tadi. Anisa terus bertanya mengenai kondisi Ibu dan pria itu menjelaskan dengan sabar sepanjang perjalanan.

Intinya, Ibu mereka sudah tak ingin melalui operasi lagi dan memilih untuk menunggu kedatangan putra-putrinya di lebaran ini.

Minggu itu terasa bergerak sangat cepat bagi Reno dan Anisa. Sekedip mata baru kemarin mereka melihat Ibu berada di ruang ICU, dengan semua selang kehidupan menyambung napasnya. Namun di hari terakhir Ramadan, Ibu berpulang ke pangkuan Ilahi. Hanya ada Reno dan Anisa yang memeluknya saat itu. Meski dengan penuh senyuman, dari kelima putra-putrinya, Ibu hanya bisa memandang sayang pada satu anaknya. Hanya pada Reno.

Usai memakamkan Ibu, ketika seluruh keluarganya telah berkumpul di rumah Ibu, ketika seluruh saudara dan saudari Reno  d datang dan menangis menyesali kepergian Ibu tanpa kehadiran mereka, Reno Anisa memilih duduk di dalam kamar Ibu. Mereka membereskan barang-barang sesuai pesan terakhirnya sebelum berpulang.

“Itu tiket pesawat terakhir yang kupesan hari itu,” bisik Reno pelan. Tangan Anisa yang sedang melipat pakaian-pakaian Ibu berhenti. Ia mendongak menatap suaminya.

“Aku membelinya dua kali lipat harga biasa. Tapi aku tetap membelinya,” kata Reno lagi. Kening Anisa berkerut. Ia tak mengerti maksud suaminya.

“Kalau kita punya anak, aku belum tentu mampu membeli tiket semahal itu untuk kita berdua. Kalau kita punya anak, mungkin aku akan seperti kakak-kakakku yang hanya bisa datang setelah Ibu dimakamkan. Kalau kita punya anak, aku tak yakin akan bisa menomorsatukan kepentingan ibu seperti saat ini.”

Mendengar itu, airmata Anisa kembali merebak di pelupuk matanya. Ia mengangguk-angguk dengan senyum di bibirnya. Yah, mungkin inilah rencana Allah SWT menunda memberikan keturunan pada mereka.

Anisa tak tahu harus tetap bersyukur atau justru sedih. Ia sedih tak bisa memperlihatkan cucu pada almarhumah Ibu mertuanya, tapi ia bersyukur bisa bersama Ibu di saat-saat terakhirnya. Nanti saja. Nanti ketika semua sudah kembali tersenyum. Nanti ketika suaminya sudah bisa menerima kepergian Ibu. Nanti…

Tangan Anisa meraba perutnya. Masih rata. Janin kecil dalam rahimnya belum terlihat. Masih lama. Tapi Anisa tahu, almarhumah Ibu telah memberinya restu. Malam sebelum Ibu pergi, Anisa sudah berbisik memberitahukannya soal kehadiran janin kecil itu. Bibir Ibu tersenyum dan setitik airmata mengalir di pipinya saat itu.

*****

Tidak ada komentar: