22 Desember 2016

Ikhlaskah Aku Jadi Ibu?

Anak-anak pasti akan bertanya bagaimana mereka dulu dilahirkan, begitu pula anak-anak saya.
Tapi selama ini tiap mereka tanya, saya selalu berkelit... "Nggak!! Nggak sakit! Kan dibius, cuma masuk ruang operasi dan tahu-tahu pas bangun udah ada kalian."
Bahkan jawaban itu pun dipercaya oleh anggota keluarga yang lain... Disangka benar-benar gak sakit.
Padahal, kalau yang pernah ngalamin denger, saya bisa disambit pake batu deh... Hehehehe. Namanya juga operasi, pasti efek sampingnya abadi deh.
Hanya saja percuma juga kok, semakin anak-anak bertambah usia, mereka mendengar banyak cerita dari para anggota keluarga kami yang juga mengalaminya dan beberapa artikel tulisan saya di blog. Saya sebenarnya kurang suka mengumbar cerita 'susah' kalau tak ada manfaatnya, tapi memang pengetahuan tentang dunia obygin selalu menarik untuk diikuti dan berguna bagi calon ibu lain. Itupun berusaha menghilangkan unsur-unsur perasaan yang berhubungan dengan rasa sakit, sedih ataupun beratnya melahirkan. Dua putri saya kelak akan berada di posisi yang sama dan saya tak mau mereka trauma.
Sejujurnya... Memiliki tiga anak cantik, tampan dan baik ini tidak semudah mengatakan atau menuliskan pengalaman itu sendiri. Saya memulainya  sejak menikah, baru berhasil setelah hampir 4 tahun, terapi, suntik hormon, kista, blooding, diabetes, ops. Caesar, laparoskopi dan itu belum termasuk pengalaman saat mengandung mereka.
Tapi, tadi saat kami mengobrol ketika makan siang bersama, anak-anak bertanya (lagi) alasan mengapa saya selalu menghindari topik itu ...
"Kenapa, Mak?"
Dan saya hanya bilang, "karena Emak sayang kalian. That's it!"
Anak-anak langsung 'cie-cieee' aja dan berakhirlah obrolan serius itu...
Sebenarnya, berkisah tentang kelahiran anak adalah hal biasa. Hanya saja, kadang-kadang saya sering membaca beberapa cerita yang 'sedikit' berlebihan. Kalau kata keren ala Kakak nih... cerita yang terlalu baper...
Melahirkan dan menjadi Ibu adalah kodrat perempuan, mereka memilih dan dipilih untuk bisa mengalami. Tak semua menginginkan, tapi banyak sekali yang justru hanya bisa mendambakan. Karenanya ketika pilihan itu jatuh pada diri kita, dan kita juga sudah memilihnya, maka apapun konsekuensinya harus dijalani dengan ikhlas. Sebagai ibu sejati, tak ada embel-embel apapun selain atas nama kasih sayang dan cinta seorang ibu.
Saya tak ingin disayang karena alasan lain, saya hanya ingin dicintai dan disayangi karena mereka memang sayang pada saya. Biarpun dengan segala kekurangan ibunya, mereka akan menyayangi saya apa adanya, bukan karena hutang budi. Dan untuk itu, saya harus berusaha dengan menanamkan kasih sayang di hati mereka, meninggalkan jejak yang mereka benar-benar lihat, alami dan rasakan... Bukan karena cerita 'berlebihan' yang mereka tak ingat pernah menjadi bagiannya.
Zaman sekarang, anak-anak jauh lebih pandai mengekspresikan diri. Mereka takkan malu-malu menyatakan isi hatinya. Mereka juga tak suka kalau ibunya terlalu 'baper'... Simple aja, hidup itu terlalu indah buat mikirin masa lalu... Move-on dong, Mak... Itu salah satu jargon mereka.
Itu sebabnya, jadikan peringatan Hari Ibu sebagai pengingat kembali tujuan dari kodrat suci ini sebagai ibu mereka, jangan nodai pengalaman indah melahirkan itu dengan niat untuk bisa 'menekan' mereka kalau kita sudah mulai tak bisa memenangkan hati anak, apalagi digunakan saat mengumbar kemarahan.
Contohnya, saya suka denger ada Mak yg ngomel "Nyesel Mak lahirin kamu!! Sudah susah lahirinnya, taunya bikin Mak susah aja tiap hari!!"
Jadi, mungkin saat inilah tepat bagi kita untuk kembali memeriksa isi hati...
Ikhlaskah aku menjadi Ibu?


Tidak ada komentar: