Duduk dalam diam seperti ini sering mengingatkanku padanya. Tak pernah sekalipun ia biarkan aku merenung sepi sendirian seperti ini, kalau ia melihatnya. Setiap kali aku duduk dalam diam, ia akan mendekatiku dan memelukku tiba-tiba sambil tertawa lebar. “Vitamin sepi,” katanya tiap kali melakukan itu padaku.
Dia, memang seseorang yang tak pernah berhenti untuk membuatku tertawa. Memang, beberapa kali ia marah padaku. Tapi itu tak membuatnya berhenti membuatku tertawa. Tiap kali ia marah, ia akan langsung meluapkan dan aku hanya bisa diam. Karena ia tampak mengerikan seakan-akan seperti bom yang meledak. Hanya saja, itu semua akan berlalu dengan cepat. Begitu ia selesai menyemprotkan api kemarahan di dadanya, maka semuanya akan lenyap seketika dan sisi menyenangkannya akan kembali.
Hidupku diisi penuh oleh kehadirannya. Hampir di setiap momen, ia selalu ada. Dan momen-momen itu selalu menjadi bagian dari kenangan yang tak bisa hilang begitu saja. Ia begitu hebat karena bisa meninggalkan berbagai kenangan yang sangat sulit untuk dilupakan. Bahkan bagian terburuk saat ia memarahiku, justru kadang-kadang menjadi bagian dari kenangan yang ingin kuulangi demi membayar kehadirannya lagi.
Aku meraba lembaran yang tertempel struk tiket nonton. Empat lembar tiket bertanggal di bulan April sepuluh tahun yang lalu itu telah digunakan, berjajar dan menempel pada salah satu lembaran diary berwarna pink. Aku memang sempat lupa tentang kenangan nonton bersama itu. Tapi dengan pandainya, ia membuatku mengingat dengan baik apa yang terjadi hari itu walaupun ia tak lagi bersamaku.
Aku bisa merasakan kembali asinnya popcorn yang kami makan beramai-ramai di dalam gedung bioskop saat itu. Tawa gelak penonton bercampur dengan tawa kami berempat seakan masih terngiang-ngiang dengan jelas di telingaku. Airmatanya yang menetes diam-diam saat adegan sedih ditayangkan masih bisa kuingat seperti adegan yang baru terjadi kemarin. Dan aku bahkan masih bisa merasakan pegalnya seluruh tubuhku setelah terpaksa duduk lama di atas motor butut Ayah. Tapi film yang kami tonton saat itu, menjadi trending topic di antara kami selama bertahun-tahun kemudian. Beberapa bagian lucu ataupun sedih seringkali menjadi bahan kami untuk membuka obrolan atau candaan.
Tanganku bergerak membalik lembaran ketika mataku mengerjap basah. Tak tahan, aku mencari tahu hal lain. Nanti saja… nanti ketika aku bisa membaca bagian itu tanpa menangis. Kenangan itu terlalu indah. Aku melewatkan beberapa lembar sekaligus, berharap lembaran selanjutnya tak membuatku secengeng ini. Aku ingin tertawa… sekali ini aku benar-benar merindukan tawa yang dulu selalu mudah kulakukan saat bersamanya.
Dan mataku berhenti pada lembaran struk lain. Struk sebuah restoran. Tulisannya hampir pudar dan bahkan sudah tak terlihat, tapi ia menandai tanggal dengan warna pink stabilo. Anehnya, saat melihat itu samar tercium aroma bawang di atas pizza dan sup krim ayam kesukaanku. Kuraba perlahan kertas kekuningan itu. Licin, dan bersih. Tapi sekali lagi, aku bisa merasakan panasnya lelehan keju di dalam mulutku ketika menyuap potongan pizza terlebar yang selalu dipilihkannya untukku. Bayangannya yang tersenyum sambil terus menggodaku saat memperhatikanku makan masih sangat jelas duduk di hadapanku saat ini.
Kini aku sadari satu hal… Tiap kali kami makan bersama, ia selalu makan sangat sedikit dan lebih banyak duduk, bicara atau memperhatikanku saja. Ia seperti kenyang karena melahap pemandangan saat aku sedang makan dan melihat wajahku yang gembira. Ia memang aneh, sangat aneh. Aku tahu, aku tertular kesukaannya makan pizza. Hanya saja, aku baru tahu sekarang kalau pizza bahkan takkan terlihat kalau ia sedang melihatku. Ia merelakan seluruh bagiannya untukku. Aku tak terpikir saat itu, karena aku lebih suka menikmati apa yang bisa kunikmati mumpung masih ada kesempatan.
Tak sanggup lagi… aku benar-benar tak bisa tertawa saat ini. Tak ada yang bisa membuatku tertawa, kalau tiap kali membuka lembaran diary yang ditinggalkannya begitu saja, sanggup mengembalikan semua bagian terindah yang sempat kulupakan. Aku tertawa saat mengalami semua itu, tapi saat itu aku justru mengenangnya dengan airmata.
Aku rindu padanya. Sangat sangat rindu. Aku rindu menonton film, dan aku rela menonton drama cengeng yang ia sukai asalkan ia masih di sini. Aku rela berhenti memakan bagiannya, asal bisa melihatnya tersenyum lebar lagi. Aku akan dengarkan kemarahan yang ia tumpahkan dengan ikhlas asal bisa melihatnya lagi.
Aku rindu padamu… Sangat merindukanmu. Kau menulis semua hal terbaik dalam hidupmu, yang ternyata juga menjadi bagian terbaik dalam hidupku. Aku tahu bahwa kau melakukannya agar dirimu memiliki kenangan yang tak pernah kau lakukan bersama ibumu sendiri. Alasan itu kau tulis di bagian akhir diarimu. Tapi kau tahu? Kenangan-kenangan itu kini ingin kuulangi lagi bersama putra-putriku nanti. Aku hnya tak memahami mengapa kini hal-hal sederhana yang kau lakukan, bisa meninggalkan goresan paling dalam di hatiku. Aku benar-benar tak paham, Mama… Kenapa saat ini bahkan untuk memanggilku membuatku sadar, kalau aku sangat merindukanmu?
Mama, kau bagian terbaik… pelajaran terbaik… dan malaikat terbaik yang pernah hadir dalam hidupku.
Maaf, karena tak sempat membalas semua kebaikanmu.
Terima kasih untuk menjadikan diriku sebagai putri paling beruntung di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar