08 Desember 2012

My Boy, My Bodyguard

Bercerita tentang satu-satunya lelaki lain yang sering saya ciumi selain Suami dan Papa ini selalu mengundang senyum dikulum. Abang memang berbeda dengan Kakak dan Adiknya yang ceria. Abang kalem persis seperti Ayah.

Abang lahir tiga tahun lebih satu hari dengan Kakak. Dia lahir persis setelah hari ulang tahun Kakak yang ke-3, lebih cepat satu bulan dari perkiraan para dokter. Para dokter karena saya memang menggunakan banyak dokter saat itu. Rencana untuk tidak dioperasi akhirnya meleset karena lagi-lagi saya terpaksa melahirkan dengan caesar. Bukaan yang terlalu lambat, saya yang kelelahan dan mengalami pendarahan membuat dokter memutuskan operasi lagi.
Jenis kelamin Abang sebenarnya kejutan buat kami sekeluarga. Dua dokter mengira Abang perempuan, sedangkan yang satu lagi tak bisa memprediksi karena saat itu tak terlihat. Ketika ia berhasil dikeluarkan dari rahim saya dan dokter mengumumkan jenis kelaminnya, saya sempat tak percaya. Tapi kelahiran Abang benar-benar melengkapi kebahagiaan saya saat itu. Komplit sudah, satu anak perempuan dan satu anak laki-laki. I have all... 

Sayang, Abang tidak menyusui secara maksimal dengan ASI murni. Usai melahirkan, kondisi saya terus menurun karena dibarengi dengan gula darah yang tidak stabil. Naik turun. Sekalinya naik, tinggi banget, pas turun, saya sering jatuh pingsan. Bahkan ketika hamil Abang pun, saya sempat jatuh dua kali.  Karena itulah, demi mencukupi asupan gizi bayi, Abang diberi dua jenis susu. Susu formula dan ASI. 

Kelahiran Abang yang lebih cepat, campuran dua jenis susu dan kelahiran yang tidak ditangani dokter yang biasa melakukan perawatan, ternyata kombinasi sempurna untuk membuat tubuh Abang menjadi rentan terhadap penyakit. Meskipun dokter yang menanganinya adalah dokter berkebangsaan Korea, tetap saja ada proses kelahiran yang mengakibatkan ada flek di paru-paru Abang. Abang akhirnya mengenal ruang perawatan rumah sakit di usia yang baru menginjak dua bulan dan dokter memvonisnya dengan penyakit keturunan keluarga yang diturunkan oleh Papa ke saya yaitu asma.

Melewati masa balita Abang, saya dan suami ditempa oleh berbagai situasi saat Abang sakit. Berkali-kali Abang masuk rumah sakit, dirawat, diinfus, diuap sampai diterapi. Kontrol sana-sini, sampai akhirnya saya meminta bantuan Kakek dan Neneknya. Abang benar-benar seperti hidup di ujung tanduk. 

Semua putra-putri saya tergolong kurus, mengikuti bentuk tubuh saya dan suami ketika kecil meski banyak makan. Tapi Abanglah yang paling kurus. Apalagi dia tergolong picky eater, tidak seperti Kakak atau Adiknya yang makan dengan normal malahan berlebihan. Saya jadi sedikit protektif padanya dibandingkan pada Kakak dan Adik. Seringkali saya membiarkan Kakak dan Adiknya makan es krim ketika Abang masih di sekolah. Namun meski tahu, Abang tak pernah mempermasalahkannya. Dia tahu, kalau es bisa membuat asmanya kambuh. Sesekali saya merasa kasihan, dan memberinya kelonggaran. Hasilnya seringkali berakhir tidak menyenangkan. Sekarang pun masih saya kontrol, kecuali hari sedang cerah dan kondisinya cukup baik.

Di balik tubuhnya yang ringkih, Abang adalah pemberani yang tangguh. Dia menyukai pesawat dan mengenal seluruh seluk beluk pesawat sejak masih bayi. Buatnya pesawat dan semua yang ada di langit adalah sesuatu yang menarik untuk dieksplore. Cita-citanya selalu berganti, dari pilot yang jualan bubur ayam, lalu pilot pesaawat komersil, teknisi pesawat, creator plane dan terakhir pengen jadi pilot tentara yang gagah. Tapi semua sama... semua tentang pesawat. 

Sampai-sampai, suatu ketika saat kami naik pesawat, salah satu pilot menawarkan Abang melihat-lihat kokpit setelah melihat Abang membawa-bawa buku tentang ensiklopedia pesawat dan bertanya terus pada pramugara. Dia dihadiahi sebuah buku timbul dari sang pilot, buku yang sampai sekarang menjadi kesayangannya karena berisi gambar-gambar detil berbagai macam jenis pesawat. Abang bahkan sempat berlangganan majalah Angkasa ketika usianya baru dua tahun. Sekarang pun dia masih sering merengek minta dibelikan, meski hanya untuk mendapat informasi tentang jenis pesawat baru. Abang lebih hafal merek pesawat lengkap dengan fungsinya dibandingkan hafalan hadits atau perkaliannya.

Jadi jangan heran, Abang tak takut ketinggian sama sekali. Di usianya yang baru tiga tahun, Abang merengek minta naik flying fox membuat saya dan Ayah harus berupaya keras menghindar. Ketika saya mengajaknya naik sesuatu yang 'terbang' di Dufan, Abang malah tertawa lebar saat dijepret oleh kamera otomatis padahal Kakeknya saja harus komat kamit berdoa. Satu-satunya yang menghentikan langkahnya hanyalah larangan tinggi badan, kalau tidak mungkin semua wahana 'terbang' itu akan dicobanya.

Sekarang Abang sudah 8 tahun. Kini dia yang cenderung protektif pada saya. Manjanya memudar ketika melihat saya pernah jatuh pingsan di hadapannya dan ketika melihat saya dirawat. Ketika saya terlihat kepayahan kerja, Abang memilih membantu tanpa banyak suara. Dia yang memilih kendaraan umum yang kami akan naiki kalau Ayah tak bisa mengantar, memastikan kami naik kendaraan yang aman dan bahkan terkadang menuntun si supir yang akan mengantar kami sampai ke rumah karena dia memang paling sering diajak berkeliling oleh Ayah. Dia akan berusaha mengangkat semua belanjaan meski kerepotan kalau saya tak mengambil darinya. Dia juga tak pernah meminta apapun kecuali saya menawarkan. Bahkan mungkin ini sedikit aneh. Abang tahu kapan waktunya main PS dan berapa lama dia main. Ketika diajak main PS pun, dia akan memastikan tak ada ulangan besok atau dia akan menggeleng. Dia akan berhenti bermain, akan tidur siang atau melakukan kewajiban hanya dengan kedipan mata atau kode-kode yang saya dan dia sepakati bersama. Tak ada kemarahan atau ancaman. Semua dia lakukan dengan kesadaran. Bahkan dibandingkan anak-anak perempuan saya, dialah yang paling disiplin menjalankan kewajibannya. 

Abang itu dikenal sebagai anak yang paling cuek di keluarga. Tapi ketika saya sakit atau mengeluhkan sesuatu, dialah yang paling cepat merespon. Dia hilangkan semua rasa takutnya terhadap gelap hanya untuk mengambilkan saya obat atau selimut. 

Ada satu kejadian kecil. Ketika itu Ayah lembur kerja dan motor yang biasa dipakai antar jemput terparkir di luar pagar. Biasanya Ayah yang memasukkan. Tapi hari itu saya berkata kalau saya akan mencoba memindahkannya sendiri dan mungkin nanti akan meminta bantuan Kakak yang paling besar untuk mendorongnya naik. Eh si abang malah menyahut. "Loh ngapain nungguin Kakak, Mom. Kan ada Abang. Biar Abang aja yang bantuin."
Duh, terharu hati ini mendengarnya. Padahal Abang kan kurus banget. Saat kami benar-benar mengerjakannya, saya membiarkan putra saya itu memamerkan dengan bangga pada adiknya meski saat itu saya malah memastikan tidak membebankan sedikitpun padanya. Toh ternyata tidak sesulit seperti bayangan saya.

Fisik Abang semakin hari memang semakin baik. Apalagi sejak mengikuti kelas pelatihan bela diri. Dia latihan push-up, berlari cepat, menendang, bahkan meninju. Dan tangkisannya sekarang sudah diprotes oleh Kakak juga Adik. Abang memang tak salah, tapi karena sudah terlatih tangan Abang otomatis menangkis kalau Kakak atau Adik mengerjainya. Tangkisannya ternyata mengandung kekuatan dan malah yang mau ngerjain yang kesakitan. Kalau sudah begitu, saya hanya bisa menasehati Kakak dan Adik yang memang sedikit jahil. 

Hanya satu... Abang tak suka dipeluk di hadapan orang, terutama Kakaknya yang suka menggodanya anak mami. Kalau sudah begitu, saya biasanya meminta izin dulu sebelum memeluknya atau menciumnya sayang. Kadang-kadang, saat kedua Kakak dan Adiknya bergelayutan pada saya atau Ayah, Abang hanya mencibir dan mendecap geli menertawakan saudari-saudarinya. Sepintas seperti anak tiri saja, tapi begitulah Abang. Dia lebih suka diajak main bola, atau sesuatu yang menantang dibandingkan duduk-duduk berpelukan sekedar untuk menunjukkan kasih sayang. Satu hal yang tak pernah ditolak Abang adalah, ciuman sebelum tidur. Dia paling bangga kalau mendapat ciuman terbanyak dari saya, karena katanya... kalau dicium Mom biasanya Abang mimpinya naik pesawat jet. Tapi giliran Ayahnya yang mau mencium, Abang cepat-cepat menutup kepalanya dengan selimut. "Emangnya Abang anak bayi".


He is not a baby,
But always be my baby...
He never say i love you...
But made me feel his love and fallen in love
He is smaller than me...
But his power touched and make me strong
That's My Boy, My Bodyguard...
I Love You, My Sky King... Reza Fauzan Zulkarnaen.