Lembaran kertas berukuran A4 di hadapanku sudah selesai kubaca. Sahabatku Dion tampak harap-harap cemas menunggu pendapatku. Kuangkat wajah dan mengangguk. “Sudah, sudah bagus. Bagus banget malah.”
“Ah, syukurlah, Mi. Gue gak peduli menang atau engga, yang penting ga malu-maluin Enyak gue,” ujar Dion seraya mengambil lembaran itu dan memasukkannya dalam map.
“Tulisan lo keren kok, Yon. Enyak lo pasti bangga anak badungnya bisa nulis sekeren itu,” godaku.
Dion terkekeh-kekeh. “Lo juga suka gue kan? Badung tapi keren.”
“Jijaaay!!!” Bola kertas yang tadi berada di atas mejaku melayang terbang menuju Dion. Sayang, orang yang kutuju itu sudah lari ke luar kelas. Hanya suara tawanya yang masih terdengar membahana di teras kelas.
Menjelang pembagian raport semester ini, ada lomba menulis pendek yang wajib diikuti semua murid di sekolahku. Lomba ini diadakan tahunan dan biasanya enam tulisan yang menjadi pemenang akan dibacakan di hadapan orangtua sebelum mereka mengambil raport. Temanya selalu berganti-ganti tiap semester dan tahun ini temanya tentang pekerjaan salah satu orangtua, boleh Ayah atau Ibu. Sejak aku kelas 7, aku selalu mendapat juara dalam lomba ini. Kadang juara kedua, juara harapan bahkan dua kali juara satu. Karena itulah, teman-temanku sering meminta pendapatku tentang tulisan mereka. Mereka tak berharap menang, tapi setidaknya bukan hasil yang asal-asalan.
Biasanya aku sangat senang menyambut lomba ini, tapi tidak tahun ini. Andaikan ibuku bukan seorang janda yang membesarkanku sendirian, dan profesinya bukan guru, maka aku takkan sepesimis ini.
Barusan aku membaca tulisan Dion tentang ibunya yang seorang dokter bedah. Aku tak pernah tahu ibunya seorang dokter, sampai tadi membaca tulisannya. Dari tulisannya, aku tahu Dion sangat memahami mengapa Ibunya jarang bersama dan menemaninya, dan Dion tetap bangga memiliki Ibu yang bisa membantu menyelamatkan nyawa banyak orang.
Sebelumnya aku juga mengoreksi tulisan Karina. Ayahnya seorang pengusaha yang sukses. Usaha retail yang dijalankan ayahnya telah berhasil merekrut ratusan karyawan dan mengangkat derajat hidup keluarga mereka. Sementara aku sendiri bahkan tak sempat merasakan kasih sayang seorang ayah.
Syalekha, sahabat yang duduk di sebelahku juga memperlihatkan tulisannya padaku kemarin. Tulisannya tentang Ibunya, seorang pengacara yang lebih sering membela orang-orang yang tak mampu. Ibunya juga aktif di salah satu LSM yang memperjuangkan pendidikan gratis untuk anak-anak jalanan. Tak heran Lekha, begitu aku biasa memanggilnya, aktif dalam kegiatan MPK di sekolah kami.
Sebenarnya Ibuku sendiri tidak memiliki pekerjaan yang membuat malu. Ia seorang guru. Aku seharusnya bangga akan hal itu. Tapi ada sesuatu yang menggangguku sejak awal masuk sekolah.
Awalnya aku ingin jujur pada teman-teman kalau ibuku bekerja sebagai guru, dan ia menjadi guru Bahasa Inggris di sekolah kami. Tapi melihat perlakuan teman-temanku pada guru-guru di sekolah, aku mengurungkan niat itu dan menyembunyikan identitas ibu dari awal. Ibuku setuju-setuju saja, karena ia juga tak ingin hubungan kami menjadi alasan perlakuan pilih kasih dari guru-guru di sekolah yang menjadi rekan kerjanya. Guru-guru di sekolah, rekan-rekan kerja Ibu, juga tak banyak yang tahu. Hanya beberapa orang saja.
Ada tradisi sejak dulu di sekolah. Hampir semua guru di sekolah kami diberi julukan yang aneh-aneh oleh teman-temanku atau dari kakak-kakak kelas. Nenek Tua, Kakek Cerewet, Penyihir Jahat, Hantu Galak dan lain-lain. Kadang-kadang nama mereka pun diubah sebagai julukan baru yang aneh. Tiap kali guru-guru itu memberi tugas, ulangan atau PR, mereka selalu tampak kesal dan marah, lalu mulai mengejek dengan sebutan aneh itu. Dalam grup medsos kelas kami, aku sering melihat teman-teman memotret guru diam-diam dan memberi caption yang tidak sopan saat membagi foto itu dalam grup. Teman-teman yang lain, bukannya memperingatkan, malah ikut-ikutan membalas dengan candaan yang berisi ejekan. Memang, ibuku tak pernah mendapat perlakuan seperti itu. Tapi untuk mengakuinya sebagai ibuku, aku kuatir nanti teman-teman tak lagi memperlakukanku sama seperti mereka.
Semalam aku meminta pada Ibu, untuk mengizinkanku berbohong tentang pekerjaannya. Tapi Ibu malah tercenung lama sekali. Tangannya yang sedang melipat pakaian, berhenti dan menatapku sedih.
“Segitu malunya kamu sama pekerjaan Ibu, Neng?” tanya Ibu masygul. Aku terdiam. Ibu hanya menghembuskan napas, lalu masuk ke dalam kamarnya. Esok paginya saat kami sedang sarapan, mata Ibu terlihat sembab.
Tapi saat aku hendak beranjak usai menghabiskan rotiku, Ibu berkata pelan. “Pilih saja pekerjaan yang menurutmu membanggakan, Neng. Nanti Ibu beritahu guru Bahasa Indonesiamu supaya ia paham kalau kamu sudah minta izin agar kita tidak ketahuan.”
Setelah itu, Ibu terus saja membisu. Aku selalu pergi ke sekolah lebih dulu, namun tak seperti biasa, Ibu tak berkata apa-apa saat aku pamit dan mencium tangannya. Kebisuan Ibu membuatku merasa benar-benar tak enak.
Besok hari terakhir tulisan kami dikumpulkan. Hampir seluruh murid di kelasku sudah mengumpulkannya pada guru Bahasa Indonesia. Biasanya malah aku yang paling duluan. Tapi kali ini, aku bahkan belum membuat draft apapun. Guru Bahasa Indonesia yang datang ke kelas-kelas untuk memberi peringatan terakhir tentang masa pengumpulan, tampak heran saat melihat namaku tercantum sebagai murid yang belum mengumpulkan tulisan.
Malam itu, karena hatiku yang bingung antara perasaan takut dan tak enak, aku memilih untuk menulis isi hatiku saja. Terserahlah, menang atau tidak tak masalah. Apapun yang terjadi, aku sudah siap menghadapi.
Beberapa hari kemudian, papan pengumuman sekolah dipenuhi dengan murid-murid yang berkumpul untuk mengetahui siapa pemenangnya. Teriakan dan pekikan senang terdengar sesekali. Tapi, tak seperti dugaanku, kali ini aku kembali jadi juara satu. Meski tak menyangka, aku mulai benar-benar kuatir.
Dalam papan pengumuman, hanya urutan juara dan nama pemenang yang disebutkan. Judul dan isi tulisan tidak disebutkan sebagai kejutan di hari pembacaan keesokan harinya. Pulang ke rumah, Ibu hanya mengucap selamat dengan wajah sangat datar. Tak ada kegembiraan seperti biasanya tiap kali aku memenangkan sesuatu.
Esok harinya, saat aku duduk menanti giliran membacakan tulisanku, guru Bahasa Indonesiaku berbisik dan menunjuk ke arah pintu. Aku melihat Ibu berdiri di situ sambil tersenyum tipis. Matanya masih tampak sedih tapi setidaknya kini ia tersenyum. Aku menghela napas dan berharap, Bu, tunggulah sebentar! Aku ingin memberitahumu sesuatu. Tunggulah!
“Dan berikutnya yang akan membacakan tulisannya adalah pemenang pertama, Ramira Kanaya, dengan judul ‘Ibuku hanya seorang guru’. Ayo Ramira!” Panggilan guru Bahasa Indonesiaku itu membuatku berdiri dengan mantap, meski dengung bisik-bisik teman-temanku yang duduk di bagian belakang aula besar itu terdengar.
Ibuku hanya seorang guru, yang setiap hari mengajar dan mendidik murid-muridnya. Ia memberitahu yang tidak mereka tahu, dan memperbaiki hal-hal yang mereka kerjakan dengan salah. Ia menularkan ilmu yang ia dapatkan dengan susah payah, dan membagi pengetahuan sebanyak-banyaknya pada mereka. Buat ibu, menjadi guru adalah pekerjaan terbaik dalam hidupnya.
Ibuku hanya seorang guru, yang setiap hari bekerja dengan ikhlas dan setulus hati. Pekerjaan ibu adalah awal langkah sebuah profesi. Di tangan guru seperti Ibu, kelak terlahir para dokter, pengacara, pengusaha, polisi, tentara, insinyur, menteri bahkan presiden. Meski tak semua akan menghargai, guru adalah profesi mulia dan sudah seharusnya sebagai putrinya aku bangga padanya.
Ibuku hanya seorang guru, yang selalu berusaha melakukan tugasnya sebaik mungkin. Ia tak peduli apapun cita-cita muridnya. Ia juga tak memandang status mereka. Ia tak melihat asal usul mereka. Di mata Ibu, semua muridnya adalah sama. Mereka, anak-anak berharga yang setiap saat bisa menjadi apa pun yang mereka inginkan, selama ia mengajar dengan baik dan mereka belajar dengan baik.
Ibuku hanya seorang guru, ia juga seorang janda. Ibuku bekerja menjadi guru bukan sekedar untuk membuatku bangga. Ibuku bekerja menjadi guru untuk menghidupiku, membiayai pendidikanku dan mengantarku menuju cita-citaku. Ibuku tak pernah lelah, meski pekerjaannya tak mudah. Ibu tak pernah mengeluh, meski pekerjaan sering membuatnya jenuh. Ibu tak pernah marah, meski semua murid mengejeknya. Untuk Ibu, menjadi guru bukanlah pekerjaan. Menjadi guru adalah panggilan hati, penuh hikmah dan berkah.
Ibuku hanya seorang guru, tapi aku tak lagi malu. Dulu aku tak paham alasan Ibu selalu tersenyum dengan bahagia saat bekerja, meski pekerjaannya tak selalu menyenangkan. Aku juga tak mengerti, mengapa ibu tetap bertahan meski pekerjaannya lebih sering menyulitkan. Sampai suatu ketika, aku melihat mantan murid-muridnya dulu datang dan mencium tangannya penuh terima kasih. Kini aku paham, bahwa pekerjaan Ibu bukan tentang saat ini atau sekarang, tapi tentang sesuatu yang akan datang.
Ibuku hanya seorang guru, tapi Ibu adalah alasan mengapa aku ingin menjadi guru sepertinya. Aku ingin mengajar, menuntun dan mengiringi langkah murid-muridku kelak untuk menyongsong masa depan yang cerah. Aku ingin seperti ibu, tersenyum bahagia melihat murid-muridnya berhasil. Aku ingin seperti Ibu, tetap tersenyum meski tugasnya terkadang sangat sulit. Aku ingin seperti Ibu, menjadi guru bukan karena tak ada pilihan, tapi karena ini profesi mulia yang membanggakan.
Ibuku hanya seorang guru, tapi aku akan selalu bangga padanya karena Ibu adalah malaikatku, pahlawanku dan seluruh duniaku. Bu, maafkan Ramira. Hari ini, besok atau nanti, tetaplah menjadi guru, tetaplah menjadi perempuan mulia dengan pekerjaan paling mulia. Aku akan selalu bangga padamu.
Kepalaku terangkat perlahan dengan mata berkaca-kaca. Kini, aku tak peduli pada tatapan teman-teman, aku juga tak peduli bagaimana mereka akan memperlakukanku setelah lomba ini. Aku hanya peduli pada satu-satunya orang yang selalu peduli padaku, dia adalah ibuku.
Aku menatap sekelilingku, mencari Ibu di antara kerumunan. Ibu sudah tak lagi berada di dekat pintu aula. Tatapanku berhenti ketika melihat Ibu berdiri tak jauh dari guru Bahasa Indonesiaku. Tapi tak seperti yang kuinginkan, Ibu sedang menangis. Aku tahu, tangis itu bukan tangis sedih lagi, karena saat Ibu menatapku, ada senyuman di bibirnya dengan sorot mata bahagia. Ibuku hanya seorang guru, tapi selamanya aku akan selalu menyayanginya.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar