Hari masih sangat pagi ketika aku berjalan menuju gedung itu dengan tubuh gemetar. Tiga lapis pakaian ditambah jaket panjang berwarna pink pastel yang kemarin dibelikan Nona Lee tetap tak cukup membuat tubuhku berhenti gemetar, terutama di bagian lutut. Sepagi ini memang belum banyak orang-orang yang datang ataupun berlalu lalang di jalanan kota yang beku. Musim dingin adalah musimnya orang malas kemana-mana, begitu kata temanku yang bekerja di kota ini hampir lima tahun.
Aku menaikkan krah jaket menutupi leherku. Menyesal juga tadi tak kuterima saja syal pinjaman dari Heru. Aku kuatir tubuhku akan terlihat makin gemuk, dan menolak penghangat leher itu begitu saja. Sekarang akibatnya udara dingin itu menusuk-nusuk masuk melalui leherku. Begitu melihat pintu berputar tempatku bekerja, aku berjalan lebih cepat dan menghela napas lega saat merasakan udara hangat menyambutku. Akhirnya…
“Sunbae! Ka Ina-nim!” Aku menoleh cepat. Tampak Nona Lee datang berlari kecil membawa tas koper hitam tersenyum lebar menyongsongku.
Panggilanku sebenarnya hanya Ina. Tapi Nona Lee dan semua orang di sini memanggilku seperti itu. Penyebabnya adalah anggota tim kerja yang berasal dari Indonesia. Mereka memanggilku dengan Kak Ina. Panggilan biasa yang ditujukan untuk seorang perempuan yang dianggap seperti kakak. Tapi karena ini negara yang juga menomorsatukan elderly alias orang-orang yang lebih tua, maka mereka juga menambahkan nim di belakang panggilanku. Anehnya, seluruh anggota tim yang berkebangsaan sama denganku pun jadi ikut-ikutan memanggilku seperti. Setelah hampir satu bulan, akhirnya semua orang selalu memanggilku seperti itu. Aku cepat terkenal di gedung ini, karena hanya 2 perempuan yang berhijab bekerja di gedung ini.
Karena hijabku sempat dipandang sebagai ‘pelengkap’ pakaian yang aneh, aku sempat merasa takut. Tapi suamiku, dari kejauhan, mengajariku sesuatu. Sikap ramah adalah kunci ke hati semua orang, bangsa manapun, negeri manapun. Ingat bahwa setiap langkah muslimah adalah langkah untuk dakwah. Ingat bahwa kemanapun aku pergi, ada Allah SWT yang melindungi.
Aku mulai memberanikan diri, menyapa ramah petugas front office setiap pagi, tersenyum pada semua orang yang menatapku dengan tatapan aneh, bahkan jika beruntung, aku bisa mengajak mereka mengobrol dalam bahasa Inggris.
Pernah satu kali aku masuk ke dalam lift bersama dua orang gadis dan satu pemuda. Dari tanda pengenal yang terjepit di baju mereka, aku tahu kalau mereka juga bekerja di gedung ini. Saat aku masuk, mereka langsung menatapku dengan kaget dan penuh tanda tanya. Aku tersenyum, tapi mereka membalasnya dengan senyuman terpaksa. Dan saat pintu lift tertutup, mereka bergeser menjauh.
“Sarangeo…” ujarku sambil mengangguk pada pemuda di sebelahku. Mulutnya terbuka kaget. Begitu juga dua gadis muda itu, mereka menatapku bingung.
“Sorry, I just know that word. I really want to greet you all but I don’t know how to say,” sambungku lagi dengan wajah penuh senyum.
Tapi aku beruntung, pemuda itu ternyata bisa berbahasa Inggris dengan baik. Begitu juga dengan kedua gadis muda itu walaupun tidak terlalu fasih. Kami saling berkenalan dan aku baru tahu kalau salah satu gadis itu ternyata bekerja di departemen yang sama denganku. Aku mencandai mereka dengan beberapa kalimat dalam bahasa mereka yang kudapat dari berbagai drama yang pernah kutonton, membuat mereka dengan cepat menerimaku sebagai teman.
Perkenalan dengan tiga orang itu membuatku mengenal yang lain, mengalir begitu saja. Saat makan di Cafetaria, saat akan pulang, saat meminjam peralatan kantor, saat berada di tempat parkir, bahkan ketika aku sedang mencoba mie dingin buatan Nona Lee. Teman-temanku bertambah dengan cepat, bahkan aku sempat dianggap melupakan kehadiran teman-teman dari Indonesia yang datang bersamaku.
“Are you ok?” pertanyaan itu membuatku kembali ke dunia nyata. Nona Lee sudah di depanku. Terengah-engah sedikit. Aku menjawab dengan anggukan. Ia menyodorkan kotak berisi dua buah gelas kopi. “Take one for you, cappuccino with double cream.”
Aku berterima kasih, sambil mengambil salah satu gelas kopi yang dibawanya. Nona Lee berjalan bersamaku memasuki lift.
Nona Lee adalah kepala bagian dari tim yang bekerja sama dengan perusahaan tempatku bekerja di Indonesia. Sepintas orang lain akan mengira, ah… bukan orang lain saja, aku juga sempat mengira dia masih berumuran sekitar 25-27 tahun. Tapi ternyata usianya hanya terpaut beberapa tahun di bawahku. Mungkin tampangnya yang muda karena ia belum menikah dan punya anak. Sesuatu yang akan dianggap aneh di negeriku, kalau ada seorang gadis berusia 32 tahun yang belum menikah.
“Cold, Ka Ina-nim?” tanya Nona Lee. Aku menggeleng.
“Your face… very white,” katanya lagi. Kali ini ada kernyit kuatir di wajahnya.
Semalam aku memang mengebut menyelesaikan beberapa perubahan dalam sketsa rencana. Timku memang diberi tenggang waktu lebih dari dua minggu, tapi baru tiga hari aku memaksa ‘anak-anak’, sapaanku untuk anggota tim agar menyelesaikan sketsa itu segera. Mereka mungkin betah berlama-lama di kota ini, tapi aku tidak. Aku rindu anak-anakku jadi aku ingin segera menyelesaikan planning sketchnya.
“That’s ok, Miss. I worked last night, finishing the sketch. I hope we can discuss it today.”
Nona Lee kelihatan lega. Ia mungkin masih trauma dengan kejadian itu. Saat aku baru tiga hari di kota ini. Kami harus terbang ke lokasi tempat proyek tersebut, yang ternyata sedang mengalami badai hawa dingin. Tubuhku yang belum terbiasa dengan perubahan suhu secara drastis, menunjukkan reaksi yang sedikit berlebihan. Saat kami sedang membicarakan proyek, darah mengucur deras dari hidungku tanpa henti. Karena aku memang lelah, masih jetlag dan langsung bekerja begitu tiba, aku tak mampu menahan sakit. Aku pingsan dan dilarikan ke rumah sakit. Sejak itu, semua orang selalu kuatir pada kesehatanku.
Memang ada untungnya, aku dibelikan dua jaket panjang cantik oleh Nona Lee. Kata Kanaya, salah satu anggota timku, jaket itu merek yang disukai di Indonesia. Aku sih suka saja karena warnanya adalah warna favoritku. Lalu setiap pagi, gadis sekretaris berambut coklat selalu mengantarkan teh hijau untukku.
“My boyfriend is an Indonesian, he wanted to know you. Today how about if we lunch together. Itaewon. Do you want?” ajak Nona Lee.
“Boyfriend? Do you have a boyfriend?” tanyaku heran. Nona Lee tersenyum mengangguk.
“We lived together… three years plus… ups, it’s… maybe, your culture… but here…” Nona Lee teringat sesuatu dan buru-buru menjelaskan dengan gugup. Aku memahami, sangat memahaminya. Di negara ini, hidup bersama tanpa ikatan pernikahan adalah hal biasa.
“Here, you didn’t need a piece of paper to prove your love, did you?” kataku menegaskan.
Kali ini gantian Nona Lee yang mengangguk. Lalu ia mulai menceritakan tentang kekasihnya yang ternyata pernah bekerja di gedung ini juga.
“He has resigned. Because of me. Now she works at other company. Publishing company. As editor. It is quiet far from our house, but he loves it so much,” kata Nona Lee. Pintu lift terbuka, kami sudah sampai. Lalu kami mulai berjalan menyusuri lorong menuju departemen kami.
Kami melanjutkan obrolan. Obrolan kami mulai berputar seputar kehidupan pribadi Nona Lee. Ia ingin menikah, tapi tak berani. Ia ingin memiliki anak-anak sepertiku, tapi takut tak mampu menghidupi mereka. Kehidupan di Korea jauh lebih keras dibandingkan di Indonesia. Ia tak ingin hidup keturunannya berakhir di jalanan. Meski kekasihnya berulang kali melamar, tapi ia selalu menolak dengan berbagai alasan. Seperti kataku, menurutnya cinta tak perlu dibuktikan dengan pernikahan.
Aku tersenyum. Ah, masih nyaman tinggal di Indonesia. Dulu aku tak pernah kuatir menikah muda, tak pernah takut tak mampu membesarkan anak-anakku. Karena aku tahu, di negeriku mudah sekali mencari rezeki, selama kemauan itu ada. Apalagi sejak kecil, aku selalu diajari agar jangan mudah menyerah. Sama seperti kebanyakan mereka yang terlahir di negeriku.
“For me, my world is my children. Everything is for them. Nothing in this world can compare how priceless they are for me. But… I left them. Do you know why, Miss?”
“Because you love them, then you want to give them the best education. And the best education needs money. Much. You said it to me before,”
“Right, even I hurt my own heart. I did it.” Aku menghela napas, “love is really strange, isn’t it? It can make us doing everything, even something out of our imagination. You know, I don’t even imagine that I will leave them for a day after they born, but I did it. Because their needs are the most important thing for me.”
Nona Lee menatapku. “So, you mean, if we love something, we will do everything. Even it’s hard and difficult for us?”
Aku mengangguk. “That’s the meaning of love for me. I know the paper can’t prove your love anyway. But, that paper is a prove that you have his promise to stay with you, to take care each other and at least… in front of the law, you have the right as a wife. You get everything. Security, affection, happiness and of course… love,”
“But… “ mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu.
“But you afraid that you can’t give all of it to your family?” potongku. “Family… will make you strong. More than enough to face every problem.”
Tepat saat aku menyelesaikan kalimatku, tiba-tiba terdengar namaku dan Nona Lee dipanggil. Kami menoleh dan melihat anggota timku bergerombol tak jauh di belakang kami. Nona Lee mengangguk padaku, melemparkan tatapan terimakasih-untuk-obrolan-ini. Kami menunggu anggota tim yang terburu-buru menyusul dan saling menyapa satu sama lain.
Aku membiarkan semuanya berjalan lebih dulu. Tiba-tiba aku rindu putra-putriku. Aku ingin menemui mereka secepatnya, dan entah mengapa tiba-tiba aku merasa sangat sehat. Tak boleh sakit kalau aku ingin segera pulang memeluk mereka.
Kakiku menderap, langkahku menjadi cepat. Satu demi satu aku melewati rombongan kecil itu lalu menoleh ke belakang saat aku sudah berada paling depan.
“What’d you all waiting for? Let’s work!” Dan mereka tergopoh-gopoh mengikuti langkahku.
Untuk bukti cintaku, aku akan menghadapi semuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar