Tujuh belas tahun lalu…
Dua gadis kecil berambut pirang itu berlarian di atas rumput mengejar kupu-kupu berwarna jingga hitam sambil tertawa-tawa. Di belakangnya, seorang perempuan lebih tua dariku, yang juga berambut pirang mengikuti mereka dengan langkah tenang. Saat ia menoleh, tatapan kami bertemu. Aku mengangguk padanya, melemparkan senyum. Ia juga membalas dengan anggukan dan senyuman.
“Look it that, Mommy!!” pekik salah satu gadis berambut pirang itu seraya menunjuk-nunjuk ke tanaman bunga sepatu. Perempuan yang ia panggil ‘Mommy’ itu menoleh padanya. Ah, rupanya dia ibu mereka. Pantas saja, kedua putrinya memang sangat mirip dengannya.
Aku tersenyum melihat mereka. Jarang banget ada bule bermain di sini. Aku memang sering Mr. Graeme bermain dengan paramotornya di bandara kecil ini, tapi baru ini menyaksikan keluarga bule bermain-main di taman kecil yang ada di dekat tempat parkir itu. Sambil menunggu kiriman paket dari Balikpapan, aku memilih duduk di bangku kecil yang disediakan untuk para penunggu.
Dari kejauhan, aku menyaksikan anak-anak dan Mommynya itu bermain. Si Mommy nampak menjelaskan sesuatu, lalu mereka tertawa lagi. Aku tak bisa mendengar apapun. Tapi dari wajahnya, mereka tampak senang sekali. Tapi, mataku mulai memperhatikan sesuatu yang aneh. Kaki mereka! Kaki-kaki mereka yang putih bersih itu sama sekali tidak menggunakan sepatu atau sandal!
Rupanya sengat matahari membuat aspal tempat parkir terasa panas, mereka menghindarinya dengan berjalan di atas rumput. Tak heran kalau dua gadis kecil itu melompat-lompat di situ, rupanya mereka sedang menikmati rasanya menginjak rumput. Aku terkekeh sendiri. Aneh nih orang bule, jangan-jangan karena ini Indonesia makanya mereka seenaknya saja menginjak rumput. Toh tidak ada larangan dan di sini rumput tumbuh sepanjang tahun tanpa masalah.
Ketika pesawat yang kutunggu tiba, aku langsung berbalik dan sibuk mengurusnya. Sejenak aku lupa pada dua anak dan Mommy berambut pirang itu. Setelah selesai, aku hendak kembali ke mobil ketika Mommy yang tadi tersenyum padaku tiba-tiba sudah berada di dekatku.
“Hi! How are you?” sapanya.
“Hi! I am find, and how about you, Mrs…” Aku berusaha mengaduk seluruh isi kepala mengingat wanita secantik boneka ini.
“Caroline, In! I am sure very good. Do you forget me? I am Bob’s wife. Last week, we played golf with you and your boss,” ujarnya dengan riang. Aha! Aku ingat sekarang. Ehem… main golf? Aku? Aku tertawa miris. Lebih tepatnya, aku hanya berjalan ke sana ke mari, memunguti bola yang hampir tak pernah bisa kupukul kecuali sangat dan sangat pelan. Tapi si Boss, malah senang. Lumayan bawa aku katanya… bisa bantu-bantu menghabiskan makanan agar tidak terbuang. Maklumlah, istri si boss sudah wanti-wanti agar aku tak membiarkan melupakan diet ketatnya.
“Hi, Mrs. Caroline! I just saw you playing with your kids. Is it fun?” tanyaku.
Ia mengangguk. Lalu ia bertanya apa yang sedang kulakukan. Kuperlihatkan paket dokumen yang kubawa dan ia mengangguk-angguk mengerti. Kami mengobrol sejenak, sebelum akhirnya putri Mrs. Caroline berteriak memanggil Mommynya. Ia memegang tanganku dan berkata, “It’s so nice talking with you, In. Come to my house if you aren’t so busy, ok?” Yang langsung kujawab dengan anggukan.
“Wait!” kataku lagi menahan langkahnya. “Why don’t you use shoes or sandals? Isn’t it hurt?” tanyaku dengan kening berkerut.
Caroline hanya menggeleng sambil tersenyum padaku sebelum berlari mendatangi kedua putrinya.
Beberapa hari kemudian sesuai janji kami, aku bertemu dengannya lagi dan kali ini ia menjamuku di rumahnya. Saat itu, kedua putrinya tidak ada di rumah. Mereka sudah kembali ke negerinya di Australia, ikut neneknya. Saat itulah, Caroline menceritakan alasannya.
Caroline hanya ingin memberikan kebebasan pada mereka. Kebebasan dalam arti merasakan berbagai hal di luar batasan yang kadang-kadang dibuat oleh orangtuanya sendiri. Merasakan menginjak rumput, aspal, pasir dan bahkan batu adalah cara Caroline memperkenalkan arti kebebasan untuk putri-putrinya. Dari situ, mereka akan belajar bahwa berjalan di atas aspal akan panas, di atas batu akan sangat sakit, di atas pasir akan terasa geli namun hangat dan berjalan di atas rumput akan terasa basah. Ketika mereka merasakan itu semua, mereka tidak akan takut mencoba segala sesuatu.
Ia tak hanya membebaskan mereka dalam soal alas kaki, tapi juga pakaian hingga apapun yang ingin mereka jalani. Buat Caroline, itu adalah hak anak-anak menentukan hidup mereka karena mereka hanya titipan Tuhan. Caroline ingin mereka terbebas dari batasan yang kadang-kadang justru berujung bahaya. Biarkan mereka berimajinasi, biarkan mereka merasakan semuanya, termasuk sensasi sakit atau ngilu, perasaan senang atau sedih, segar atau panas bahkan membiarkan mereka mengungkapkan perasaannya. Semua itu adalah proses belajar untuk mereka. Kelak mereka akan paham sendiri mengapa ada batasan itu, mengapa sepatu atau sandal harus dipakai dan lain-lain.
Saat itu, aku tak benar-benar paham maksud Caroline. Tapi tujuh belas tahun kemudian, ketika seseorang bertanya mengapa aku membiarkan putriku membuka sepatunya di jalan saat ia ingin, memakai dress mahal seperti seorang putri di rumah hanya untuk bermain, membiarkan mereka berteman dengan siapapun, membiarkan anak-anak mencoba sesuatu yang membuat dadaku sendiri sesak menahan rasa takut tapi sama-sama tertawa dengan gembira setelah melewatinya, aku justru mengatakan hal yang sama.
Bebas, mengeksplorasi dunia. Bebas, memahami segalanya dengan sudut pandang mereka. Bebas, mengekspresikan diri sebagai diri mereka. Karena anakku bukanlah aku, mereka pantas untuk memilih.
Jadi, ketika hari ini aku membuka sepatu bersama putri terkecilku, berjalan menyusuri jalan basah dan bermain di genangan air… itu karena aku ingin memberitahunya…
Nak, suatu hari hujan akan mengingatkanmu, betapa menyenangkannya bermain dengan bebas, merasakan air dingin di kaki dan tertawa bersama ibumu. Tetaplah belajar dengan bebas, eksplorasi segalanya, karena pilihan itu milikmu sendiri.
‘September 2016
A lovely raining day
Tidak ada komentar:
Posting Komentar