27 Agustus 2016

I Am Her Everything

Lembaran kertas terakhir keluar dari mesin cetak. Aku memeriksanya sebentar sebelum menghembuskan napas lega. Akhirnya selesai sudah tugasku. Setelah merapikannya, aku hanya tinggal menyerahkan pada Pak Darma dan voila… tinggal menunggu hasil kerjaku ditransfer akhir bulan ini.

Senang rasanya membayangkan wajah putriku nanti saat menerima tablet baru yang kubelikan nanti. Dia takkan kesulitan lagi memandangi layar ponselnya yang kecil mungil hanya untuk mencari informasi atau belajar secara online. Anakku memang tak pernah mengeluh, tapi melihat ia menunduk dan mendekatkan matanya sampai hampir menempel, aku tak tega.

Cring Cring Cring

Suara bbm masuk mengalihkan fokusku. Aku meraih ponsel dan mengeceknya.

Mah, Lgi dmn?

Ah dari putriku. Bahasa planet begitu pasti dari dia. Aku mengetik jawaban.

Di kantor, knp?

Cring Cring Cring. Aku membukanya cepat.

Jemput donk, Mah! Kita maksi d atrium yuk. Aku mo ngomong sm Ma2h

Pasti ada sesuatu yang terjadi. Aku mengiyakan permintaannya.

Ya, tunggu ya. Mama prepare dulu.10 mins.

Setelah itu aku meraih dokumen yang baru saja selesai dicetak itu dan membawanya ke ruangan Pak Darma yang sudah menungguku. Melihatku masuk, ia tersenyum lebar. “Sudah?” aku menjawab dengan anggukan dan tanganku menyodorkan dokumen itu. Ia memeriksanya sejenak dan mengangguk puas.

“Saya pamit ya, Pak! Info aja kalo ada kerjaan lagi ya Pak,” kataku sambil meraih tas yang tadi kuletakkan di sofa ruang kerja Pak Darma.

“Tunggu, Rin!” ucap Pak Darma, kakiku berhenti melangkah dan kembali menengok ke arahnya. “Pikirkan tawaran itu tadi ya! Kami sangat berharap kau menerimanya.”

Aku tidak menjawab. Hanya tersenyum dan mengangguk. Yah… aku akan memikirkannya dan mempertimbangkannya. Untuk beberapa hari.

Kantor tempatku tadi bekerja tak jauh dari sekolah putriku. Salah satu alasan yang membuatku menerima pekerjaan sebagai freelance. Maka tak sampai sepuluh menit, setelah melewati dua ruas jalan yang macet, aku sudah tiba. Putriku sudah berdiri menunggu dengan wajah ditekuk.

“Ada apa sih? Sampai begitu wajahnya,” tanyaku begitu kami sudah sampai di sebuah restoran kuliner Indonesia.

Dan dua detik kemudian, putriku mengadukan masalahnya. Ia sedang marahan dengan temannya. Penyebabnya super sepele. Temannya meminjam buku PR tanpa sepengetahuannya. Temannya itu mengambil dari dalam tasnya ketika putriku sedang sholat tanpa izin dan ia tak suka. Sebaik apapun seorang teman, buat putriku ada batasannya. Jangankan orang lain, adiknya saja tidak boleh mengambil barang-barang miliknya tanpa sepengetahuannya. Tapi begitulah caraku mengajarkan, yang menyebabkan putra-putriku sangat tahu pentingnya menghargai milik orang lain.

Kami mengobrol panjang lebar. Aku bertanya, putriku menjawab. Kunasihati putriku untuk menerima maaf temannya dan menjelaskan mengapa ia marah pada temannya itu. Wajah putriku perlahan-lahan semakin cerah apalagi saat kuselipkan lelucon di sela-sela nasihat. Ia mudah marah, tapi mudah memaafkan juga.

“Mah, tadi waktu aku bbm Mamah, ada yang aneh deh,” kata putriku setelah ia selesai curhat.

“Apa?” tanyaku sambil mengaduk nasi goreng di depanku.

“Tadi temanku yang lain nanya kok Mamah gampang banget ngiyain bbmku nyuruh Mamah datang. Trus dia heran juga kok aku curhatnya ke Mamah sih? Waktu aku bilang aku kan anak Mamah, lah terus mesti curhat ke siapa dong? Eh dianya heran.”

“Heran? Maksudmu apa sih, Neng? Mamah jadi gak ngerti,” keningku berkerut bingung.

“Ya dia ketemu Mamahnya aja jarang, apalagi sempet mo curhat-curhatan. Katanya kalo dia minta Mamahnya ngejemput, yang datang kalo gak ojek online ya supir. Kalo di rumahpun, dia malu mo curhat sama Mamahnya, entar malah diledekin masih manja gitu.”

“Loh, namanya manusia, mau yang manja atau tidak pasti suatu hari dapet masalah. Nah siapa dong yang bantuin dia kalo ada masalah selain orangtuanya?”

“Katanya ya nyelesein sendiri, Mah! Aku ya justru bingung dengernya. Gak kebayang gimana aku bisa selesein masalah-masalahku sendiri. Bisa nangis, bete dan puyeng tiap hari deh. Sekarang aja kalo Mamah lagi tugas keluar kota, aku suka pengen nyusul. Kalo gak ada Mamah yang bantuin aku milih apa yang penting dulu aja, aku pasti keteter ngatur waktu ngerjain tugas sekolah yang seabrek itu. Aku juga gak kebayang curhat sama orang lain selain Mamah. Iya kalo orang yang kucurhati bisa kupercaya, kalo enggak? Bukannya tambah masalah aja ya Mah?”

Aku diam mendengarkan putriku yang asyik bicara sambil sesekali menyuapkan mie dan bakso ke mulutnya. Ia diam sejenak, mulutnya sibuk mengunyah bakso lalu kembali berkata, “Makanya tadi dia heran, Mamah kerja kok mau datang hanya buat dengerin aku curhat. Katanya aku benar-benar beruntung. Yah… aku cerita kalo kerjaan Mamah cuma nyetor tulisan doang, dan lebih banyak di rumah. Ngurus rumah sama keluarga. Gitu…”

“Tapi kan temanmu enak, Neng. Bisa minta apapun yang dia mau,” selaku. Telur mata sapi yang tadi kupinggirkan, segera kupindahkan ke dalam mangkok bakso putriku. Ia sangat suka telur mata sapi.

“Iya sih, Mah. Tapi… aku sih mending kayak sekarang aja. Biasa-biasa aja. Gak perlu harus punya segalanya. Mamah itu udah segalanya buatku,” ujarnya tanpa melihatku. Ia sibuk memotong-motong telur mata sapinya dengan garpu dan sendok.

Hatiku terasa penuh. Aku segalanya buatnya. Aku segalanya… buat putriku!

Aku mengambil ponselku, mengetik pesan.

Pak Darma, terimakasih untuk apresiasi dan tawarannya ya Pak. Setelah saya pikirkan lagi, saya mohon maaf tidak bisa menerimanya. Saya akan selalu berusaha bantu apapun yang saya bisa lakukan untuk perusahaan. Tapi untuk bekerja sebagai Manajer, rasanya saya masih belum bisa membagi waktunya, Pak. Saya mohon maaf ya, Pak. Besok pagi saya akan datang dan saya akan jelaskan alasannya. Sekali lagi terima kasih dan mohon maaf.

Dadaku terasa ringan setelah menekan tombol send. Putriku menatap tajam.

“Kenapa, Mah? Ada tugas keluar kota ya?” tanyanya penuh curiga. Ada binar kesal terlihat di bola matanya yang besar itu.

Aku menatapnya, tersenyum lebar. “Tidak, sayangku. Mamah sedang membuat keputusan.”
“Keputusan?”

Aku mengangguk. “Keputusan yang membuatmu kehilangan kesempatan mendapatkan segalanya… kecuali Mamah.”

Putriku melongok, “Mamah nolak tugas ya?” tebaknya. Dengan santai ia mengangkat bahu, “Baguslah, aku lagi banyak tugas dan PR. Aku butuh Mamah banget minggu ini.”

“Memangnya kamu mau Mamah yang ngerjain PR?” tanyaku setengah menggoda.

“Emangnya Mamah bisa?” ejeknya dengan mata jenaka. “Enggaklah, Mah. Aku hanya perlu omelan Mamah supaya ngingetin aku kalo aku harus belajar dan aku perlu pijatan Mamah kalau aku capek mandangin ponsel imut-imutku. Aku juga perlu Mamah buat kupandangin, supaya aku semangat ngerjain tugasku. Yah kalo aku cape ato bete ngerjain tugasku, kan ada Mamah juga buat kubully, hahaha…”

Kami tertawa terbahak-bahak, membuat tatapan orang-orang berpindah pada kami berdua. Ah, peduli amat, aku sedang berkencan dengan putriku tercinta dan aku ingin dunia tahu, it is our world, the happy world!

Tidak ada komentar: