20 Januari 2015

Mengenali Karakter Anak Melalui Proses Menggambar

Beberapa hari lalu, Kakak meminjam meja kerja saya saat mengerjakan tugas. Tanpa sengaja kakinya menendang sebuah odner di bawah meja dan rasa ingin tahu memancingnya untuk membuka-buka isinya.
Kakak : Ya Allah, Ma… gambar-gambar Ade jelek begini pake disimpan segala. Buang aja nape, pake dikumpulin, distreples dan dicatat tanggalnya pula…
Mama : Gambar-gambar karya Kakak waktu TK juga masih Mama simpan sampe sekarang. Malah udah dijilidin sama Ayah. Kalo sekarang gambar Ade malah Mama share di Insta.
Kakak : iiih,  buat apaaan?
Mama : Buat ngasih lihat sama kamu, sama ade-ademu nanti bahwa kalian itu gak langsung bisa segala-galanya. Tapi semua melalui proses yang panjang. Dan gambar-gambar yang menurutmu jelek itu adalah proses awal yang mengawali semuanya. Mama menghargai semuanya, dari awal sampai nanti pun. Lagian… Ade itu hebat loh Kak, seumur itu sudah bisa menggambar komik.
Kakak : Aaah, aneh ah. Kakak gak ngerti!
Dan percakapan kami berakhir saat itu, Kakak meletakkan kembali filling odner ke tempatnya dan mengerjakan tugasnya sampai selesai.
Tapi di hari-hari selanjutnya, Kakak malah membantu saya mengumpulkan gambar-gambar dari kedua adiknya. Malah meminta saya menambahkan plastik odner yang baru. Untuk meletakkan gambar-gambar poster yang sekarang lagi senang-senangnya ia buat.
Entah apa Kakak kini paham maksud saya. Tapi secara sederhana, saya mengembalikan pada apa yang saya rasakan dulu saat menjadi anak. Bukan main senangnya apapun yang saya hasilkan dihargai orangtua, apalagi orang lain. Walaupun tak sempurna, keinginan untuk terus menghasilkan segala sesuatu yang lebih baik akan semakin besar setiap kali perasaan dihargai itu muncul.
Mengumpulkan hasil karya anak-anak juga mengingatkan saya, betapa cepatnya waktu berlalu. Kemarin jangankan membuatkan gambar Elsa atau Anna dengan baik, membedakan warna saja Ade belum bisa. Sekarang, Ade bahkan begitu rajin membuatkan gambar-gambar para tokoh di Frozen untuk teman-temannya. Bakat menurun yang diperolehnya dari pihak Ayah. Bakat yang akhirnya membuat salah satu adik Ayah mengelana ke luar negeri untuk melukis dinding.
Saya menyimpan semua karya anak-anaknya untuk menghargai setiap jerih payah mereka. Apalagi ketika karya-karya itu memang ditujukan untuk Mama mereka. Anak-anak punya cara tersendiri menyampaikan penghargaan mereka. Ada anak yang mengatakan segala yang ia katakan melalui kata-kata secara langsung, tapi ada yang juga mengatakan apa isi hatinya melalui lukisan atau tulisan.
Tidak mudah membaca isi hati tiga anak, sekalipun mereka saya lahirkan. Mereka tidak sama satu sama lain, walaupun wajah sangat mirip. Mereka berbeda.
Karya mereka, melalui gambar, tulisan, hasil desain grafis, bahkan coret-coretan membantu saya memahami karakter dan isi hati mereka. Ade yang moody, feminim dalam berpakaian, memiliki sifat egois tapi sangat mudah diluluhkan dengan permintaan tolong adalah penyuka karakter-karakter perempuan pintar, cantik dan tangguh. Abang, si pendiam yang sangat suka melukis detail, menyukai segala hal yang berada di langit dan tidak suka diganggu saat melakukan sesuatu yang ia sukai, punya sisi humoris yang tersembunyi seperti Ayah, tokoh yang Abang suka adalah tokoh-tokoh jenaka karena tingkahnya. Sementara Kakak, si penyuka warna pelangi, punya sifat usil, cuek habis tapi sebenarnya dialah yang paling sensitif perasaannya dan karakter film yang ia sukai adalah mereka yang sembrono, tidak pintar apalagi cantik atau tampan tapi punya tekad kuat untuk meraih segalanya.
Saat anak-anak melalui proses kehidupan, perubahan pun terjadi dalam setiap karya mereka. Kakak yang tadinya suka menggambar pemandangan, mulai mempersempit daya khayalnya dengan melukis objek tertentu saja tapi menekankan pada keindahan warna. Abang sebaliknya. Ia jarang mewarnai karyanya, tapi menekankan pada detail objek yang ia lukis. Ade lebih suka menggambar tokoh atau orang daripada benda dan bercerita melalui gambar-gambar itu.
Proses yang mereka lalui itu, berdasarkan apa yang kini mereka alami. Membantu saya membaca apa yang terjadi di dalam diri mereka tanpa kehadiran saya, seperti di sekolah atau saat bermain dengan teman-temannya. Sehingga saat berkomunikasi dengan anak-anak, saya tahu harus berbicara tentang apa. Memperbanyak pembahasan bagian yang kurang mereka kuasai.
Mungkin banyak yang heran, bagaimana sebuah lukisan bisa menggambarkan keadaan anak?
Misalkan Kakak yang menyukai berbagai warna pada setiap lukisan, ini menandakan Kakak sedang merasa bosan. Ia sedang bosan pada kehidupan rutinitas di sekolah, tempat les maupun di rumah. Saya mengajaknya berbicara tentang berbagai rencana di luar rutinitas itu, misalnya bagaimana menghadapi tingkah para cowok yang sedang mengejar cinta, membicarakan thriller lagu terbaru grup idolanya atau  membahas soal drama korea yang ia sukai atau bahkan merencanakan nonton atau makan di luar.
Sedangkan Abang, justru perlu diajari untuk lebih sering bersosialisasi. Ia tak suka mewarnai. Ini menandakan ia kurang suka mengubah segala hal secara drastis, dan cenderung hidup dalam dunianya sendiri. Obrolan yang ia sukai adalah obrolan tentang berbagai objek yang tak berhubungan langsung dengan manusia. Karena itu, saya perlu mengajarinya tentang bagaimana memulai percakapan, bagaimana menghadapi teman atau mengelola perhatian yang ia dapatkan dengan lebih baik. Dari detail lukisannya, Abang adalah pemerhati yang sangat baik sehingga sebagai orangtua, saya juga harus berhati-hati saat bertindak atau akan menjadi kekurangan yang tidak disukai Abang.
Kalau Ade berbeda, ragam tokoh yang ia buat menandakan Ade pandai bersosialisasi, tapi detil warna yang kurang tebal dan tidak penuh menandakan Ade tipe anak yang terburu-buru dan ingin cepat selesai. Dan melatih kesabarannya harus melalui tindakan lain, seperti membuat kue atau melalui permainan.
Mudah kan?
Jadi proses mengenal anak itu tidak hanya melalui obrolan, atau dengan mencatat kebiasaannya, tapi juga melalui apa yang ia hasilkan melalui karya.
Dunia psikologi itu memang luas, sangat luas sekali. Kemampuan membaca kepribadian anak itu juga harus dipelajari dengan seringnya orangtua membaca berbagai artikel dan pengetahuan umum.
Jangan pernah berpikir, bahwa gambar hanya sekedar gambar. Tulisan hanya sekedar tulisan. Kita tak pernah tahu kapan anak kita berubah menjadi orang hebat, kalau proses itu tidak diikuti dengan baik. Dengan proses, kita belajar menjadi orangtua yang baik untuk anak yang kelak menjadi manusia yang lebih baik.

Tidak ada komentar: