“Ma, Ma… Ara iri deh sama teman-teman Ara,” ujar putri kecilku tiba-tiba ketika kami menuruni tangga dari ruang kelasnya. Langkahku terhenti sejenak, gadis kecil itu mendongak padaku dengan mata yang murung. Karena ada orang lain di belakang kami, aku kembali berjalan sambil menggandeng Ara di tangan kiri dan membawa tas sekolahnya yang berat di tangan kanan.
Kata-kata Ara benar-benar mengangguku siang itu. Aku memang tak sempat mengobrol panjang lebar setelah mengantarnya pulang ke rumah. Walaupun selalu bisa menemaninya makan siang dan menjemputnya saat pulang sekolah, tapi seperti biasa aku langsung kembali ke kantor hingga sore hari.
Tak ada seorangpun ibu di dunia yang mau putra-putrinya mempunyai perasaan seburuk itu pada teman-temannya. Tidak juga aku. Susah payah aku menjaga dan mendidiknya menjadi putri yang manis dan baik hati, tapi siapa sangka Ara pun bisa merasa iri pada temannya. Apa yang salah akhir-akhir ini ya? Kepalaku sibuk memutar ulang hal-hal yang terjadi sepanjang minggu ini. Rasanya aku masih mengontrol semua yang putriku tonton, baca bahkan dengar setiap hari seperti biasa. Aku juga masih menemaninya belajar, main bahkan dua hari lalu aku sengaja mengambil cuti di hari kerja supaya bisa menemaninya main di sebuah taman bermain. Lalu apakah ada yang terjadi di sekolah?
Tapi, bertanya pada guru Ara sebelum berbicara pada gadis kecilku itu salah. Lebih baik, nanti saja saat pulang aku mengajaknya bicara. Ara adalah anakku yang paling mudah diajak bicara dan dia tak pernah bisa berbohong padaku. Dia penurut sekali, walaupun tak pernah sekalipun aku memukulnya. Jadi kalau bukan masalah besar, mungkin lebih baik kuselesaikan sendiri. Gurunya punya banyak murid, dan mengurus 30 orang anak itu sangat sulit. Aku tak mau menambah bebannya untuk sesuatu yang mungkin dianggap remeh oleh sebagian orang.
Namanya masalah anak, tentu saja jadi pikiran untuk orangtuanya. Waktu terasa panjang dan aku mulai kehilangan kesabaran. Akhirnya satu setengah jam sebelum waktu pulang, aku memilih keluar dari kantor.
“Ada apa, Bu?” tanya Thessa, staf creative yang berpapasan denganku di pintu keluar ruang kerjaku. Ia melirik tas yang kubawa.
“Saya kerjain di rumah aja deh, Thes. Ga konsen. Ga ada ide juga,” sahutku sambil menyodorkannya kertas kecil. “Memo buat Pak Gani, orderan utilities untuk proyek saya. Tolong ya, Thes!”
Thessa tak menjawab, ia hanya mengangguk dan membiarkanku pergi.
Saat tiba, anak-anakku langsung heboh. Wajah mereka sumringah menyambutku di pintu. Benar kata orang, hal terbaik sepulang kerja itu adalah wajah gembira anak-anak kita. Sesaat aku lupa yang kupikirkan tadi dan sibuk menjawab pertanyaan anak-anak.
“Kenapa pulangnya cepat, Ma?”
“Mama capek. Pengen istirahat lebih cepat.”
“Kok bawa kerjaan?”
“Yaaah, biasanya kalo Mama sudah istirahat sebentar, malah pengen langsung kerja lagi. Kalo nanti malam kalian sibuk, Mama ngapain coba?”
“Yeee, bilang aja Mama lagi pengen bolos. Pake alasan capek.”
“Iya deh, suka-suka kalian aja. Mama naik dulu, Kak… pesan pizza sana. Mama males masak.”
“Asssyiiiik!!”
“Horeeee!!!”
“Yes! Yes! Mama, you are the best!”
Aku hanya tertawa sambil menaiki tangga menuju kamarku sendiri. Mandi dulu, sambil memikirkan apa yang harus kulakukan agar Ara tidak merasa diinterogasi.
Pizza datang, tepat saat aku turun setelah selesai mandi dan berganti pakaian. Tubuh yang bersih, rambut yang baru kucuci dan aroma sabun sungguh menenangkanku. Setidaknya saat aku turun dan melihat anak-anak mengerubungi kotak pizza yang besar berlapis dua, aku sudah tak terlalu kuatir. Apalagi melihat mata besar Ara yang bercanda dengan kedua kakaknya. Ini saatnya.
“Ra, tadi Ara bilang iri sama teman Ara, emangnya iri apa, Neng?” tanyaku santai sambil mencomot satu potongan pizza tuna melt favoritku dan duduk di sofa.
Ara menoleh padaku, mulutnya masih menempel di ujung potongan pizza dan cepat-cepat ia lepaskan. Beberapa saat ia malah sibuk mengunyah, sebelum duduk di sebelahku.
“Itu loh, Ma. Ara iri soalnya di kelas Ara, hanya ayah Ara yang gak punya mobil. Kata teman Ara, Ara orang miskin jadi gak punya mobil. Ara pengen jadi orang kaya, Mah. Biar gak dikatain miskin,” tuturnya sambil sesekali mengunyah pizzanya,
Nada bicara yang begitu polos saat putriku bercerita membuatku sedikit lega. Ah, ternyata hanya karena itu toh. Untunglah…
“Ra, jadi Ara mau punya mobil kan? Biar bisa dianter sekolah dan dilihat teman-teman lalu dibilang orang kaya? Biar bisa dianter sekolah dan dilihat teman-teman lalu dibilang orang kaya?” tanyaku memastikan.
“Iya, Ma! Mama mau beliin?” tanya Ara yakin dengan mata membulat.
Aku hanya terkekeh, kakak-kakaknya mulai ikut mendengarkan. Tapi dari wajah kakak tertuanya, aku tahu ia ingin mengatakan sesuatu. Aku memberinya isyarat untuk tidak mengatakan apapun. Ini tugasku.
“Kalau begitu, Ara mau gak dituker?” tanyaku sambil makan.
“Dituker?” tangan Ara berhenti di udara. Ia menatapku bingung.
“Iya, Ara bisa punya mobil, bisa punya rumah yang besar, bisa punya segala hal yang Ara mau. Tapi Ara gak punya ayah, gak punya Mama?”
Bibir Ara langsung mencibir, “Nggak! Enggak! Enggak!”
“Nah, Ara… orang paling kaya itu bukan mereka yang punya mobil atau harta aja, Nak. Orang kaya itu orang yang merasa punya segalanya. Ara punya ayah, mama, kakak dan abang. Belum nenek, kakek mamang, bibi, mamang, dan sepupu-sepupu Ara. Ara disayang, dijagain bahkan ditemani main kan? Enak mana, jalan-jalan sendiri dengan mobil, tapi gak ada Mama, gak ada kakak, gak ada abang?”
“Jadi Ara itu orang kaya dong, Ma?”
“Nah, itu dia, Ara udah ngerti sekarang kan?”
“Ooh… iya Ma, Mama bener. Ludi kan gak punya ayah, tiap jumat suka dikasih-kasih uang sama bu guru. Emir juga, Sabrina juga. Kalo lagi ada acara, mereka selalu dikasih uang sama sekolah, Ma. Kata bu guru, mereka itu anak yatim, jadi harus disayang,” ujar putriku sambil mengangguk-angguk. Dia paham sekarang.
Aku mengerling. “Jadi menurut Ara, kalo besok ada teman Ara yang bilang Ara miskin karena gak punya mobil. Ara bakal jawab apa?”
Putriku memainkan mulutnya, monyong ke kiri ke kanan dan mengernyitkan dahinya, gaya khasnya kalau sedang berpikir. “Ara bilang Ara punya banyak mobil, Ma!”
“Hah?” Aku terkejut. Lho kok? Malah begini hasilnya?
“Iya, kalau Ara mau naik mobil kan Ara bisa minta Mama pesan taksi online. Kalo Ara lagi jalan sama kakak, abang, ayah, mamang, dan bibi, juga bisa pesan kan? Jadi mobil Ara banyak, tinggal minta tolong aja dipesanin. Iya kan, Ma?”
Buahahahaha… kedua kakak Ara terbahak-bahak dan menyemburkan sebagian pizza mereka keluar dari mulut yang sedang penuh. Aku juga tak sanggup menahan tawa. Ara-ku sudah kembali, Ara yang lucu dan punya banyak akal.
Nak, jangan iri! Kau anak terkaya di dunia karena cintaku untukmu bahkan tak bisa diukur dengan seluruh harta di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar