Dulu… tujuhbelasan hanyalah sebuah peringatan hari nasional yang biasa saja. Lomba memang ada tapi tak semeriah sekarang. Tidak bervariasi dan sekreatif seperti sekarang. Lombanya standar saja, paling-paling lomba lari, makan kerupuk, bawa kelereng dengan sendok, memasukkan pensil/pena dalam botol dan termewah biasanya lomba panjat pinang. Hadiahnya juga sederhana, satu dua pensil atau sebuah buku sudah cukup memberi rasa bangga.
Tapi dulu, anak-anak dan orangtua selalu memberi semangat luar biasa pada para ‘pahlawan’ bangsa yang baru. Mereka yang berjuang di kejuaraan Asia sampai dunia seperti olimpiade selalu didukung dengan luar biasa, walaupun hanya satu-dua medali yang dibawa pulang. Dengan setia, televisi ditongkrongi, dipelototin hingga diteriaki saat kemenangan itu diraih para pahlawan era kemerdekaan. Ketika para pahlawan itu pulang, kemenangan itu dirayakan seluruh Indonesia. Televisi dengan jangkauan terbatas pun tak mematahkan semangat untuk menyalakan nilai-nilai nasionalisme yang bergelora. Dari Sabang sampai Merauke.
Dulu, saat bencana nasional terjadi, dari mulai pesawat jatuh hingga bencana alam, negeri ini bersatu padu menghadapinya. Berita tak putus dari koran dan majalah nasional menggelorakan semangat persaudaraan, saling membantu dan saling mendukung. Jangkauan komunikasi yang sangat terbatas, tak pernah bisa menghalangi keinginan untuk bersatu sebagai rakyat Indonesia.
Dulu, anak-anak negeri ini, yang diasuh dalam lingkaran pengetahuan tentang kesaktian Pancasila dan diajari doktrin P4 setiap awal remajanya, sangat paham mengapa airmata orangtua mereka jatuh saat lagu Mengheningkan Cipta terdengar. Mereka bukanlah anak-anak yang dulu berjuang mendapatkan kemerdekaan, tapi bulu kuduk mereka merinding tiap kali melantunkan Indonesia Raya. Itu sebabnya mereka bersungguh-sungguh melantunkannya. Mereka hanya mendengar kisah sejarah turun temurun, yang diuraikan dengan perasaan dan keyakinan. Karenanya upacara bendera bukanlah kewajiban bagi mereka, tapi itulah penghormatan untuk hadiah dari nenek moyang mereka.
Sekarang… anak-anak itu menjadi orang-orang dewasa yang menahan miris di hati mereka. Anak-anak mereka, keturunan yang mereka harapkan bisa menghormati orang-orang tua yang memperjuangkan kemerdekaan, mulai kehilangan identitas asli bangsa.
Lagu-lagu nasional semakin jarang terdengar saat mereka bermain. Upacara untuk menghormati para pahlawan yang telah berjuang untuk negeri ini, tak lagi rutin apalagi wajib dilaksanakan di sekolah, sekarang justru dianggap sebagai beban. Nama-nama Pahlawan hanyalah sekedar nama-nama untuk fasilitas umum seperti jalan, gedung dan museum. Mereka tak merasa perlu mengenal sejarah mereka, apalagi untuk berterima kasih.
Baru 71 tahun, tak sebanding dengan negara Paman Sam yang sudah ratusan tahun. Tapi rakyat negeri ini sudah seperti kehilangan jati dirinya sendiri. Boro-boro menghargai jasa para pahlawan di masa lalu, para pahlawan saat ini saja mereka tak pedulikan. Boro-boro menjamin kedaulatan negeri ini dengan persatuan, untuk membantu saudara-saudari setanah air yang ditimpa bencana saja, rakyat negeri ini sangat cepat kehilangan simpati. Penghargaan yang diharap, malah cercaan yang didapat. Simpati yang diinginkan, malah prasangka yang diberikan.
Entah bagaimana kalau seandainya di usia 71 tahun, negeri ini masih harus berjuang mendapatkan kemerdekaan sesungguhnya? Negara Korea Selatan misalnya. Usia negara itu kurang lebih sama dengan negara kita, rakyatnya masih harus menjalani wajib militer dan negara itu selalu dalam status waspada karena tak pernah benar-benar merdeka akibat permusuhan dengan ‘saudara’nya sendiri.
Tapi kita tahu mereka masih menjaga dengan baik persatuannya. Lihat saja, saat sebuah kapal tenggelam, bahkan jajaran drama-drama prime time pun mendadak berhenti tayang dan ramai-ramai semua rakyatnya menyampaikan duka. Begitu pun ketika pertandingan olimpiade para pahlawan medali negaranya, banyak tayangan berganti dengan siaran langsung. Bahkan di pertandingan piala dunia, seluruh rakyat negeri itu tumpah dan turun ke jalan bersatu memberi dukungan. Mungkin wajib militer itulah penyebabnya. Cara negara itu menjaga nasionalisme di hati rakyatnya.
Bisakah kita kembali seperti itu?
Masih jelas di ingatan saat Rio, sang pembalap, harus sampai membentuk panitia untuk mengumpulkan dana agar ia bisa berjuang mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional. Sekarang, para pahlawan medali olahraga juga sedang mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional. Sayangnya, beritanya sangat minim sampai ke telinga dan mata rakyat Indonesia. Apalagi para pahlawan medali di bidang lain, seperti seni dan budaya. Mereka terlupakan dan tak tersentuh oleh penghargaan yang sesungguhnya. Penghargaan berupa penghormatan dan terima kasih.
Seandainya media di Indonesia bisa menjadi media dengan nilai-nilai negarawan yang baik, mungkin jiwa luhur rakyat Indonesia itu bisa kembali tertanam perlahan-lahan. Seandainya para ahli sejarah di zaman sekarang bisa menceritakan kembali sejarah perjuangan dengan cita rasa modernitas, mungkin anak-anak kita takkan melupakan orang-orang yang memberi mereka hadiah terbaik sebagai manusia. Seandainya pendidikan untuk rakyat yang berkualitas didukung dengan baik oleh berbagai elemen bangsa, mungkin saja anak-anak kita akan menjadi para pahlawan lain di masa mendatang.
Kita tak bisa bilang bahwa pendidikan zaman dulu semuanya salah, toh terbukti justru dulu mereka banyak yang mendahulukan kepentingan bersama. Gotong royong dinomorsatukan dan peringatan kemerdekaan bukanlah tentang kompetisi tapi tentang berbagi dan bersatu dalam keriangan menikmati rasa ‘merdeka’.
Pendidikan zaman sekarang, juga tak ada yang salah. Tapi… gerusan zaman yang disertai gempuran budaya luar benar-benar harus dihadapi dengan sikap yang bijaksana. Dunia mungkin bertambah sempit karena teknologi, tapi bukan berarti kita harus merelakan tanah air tercinta untuk kehilangan kedaulatan. Negeri ini, diperjuangkan dengan harta, darah dan airmata rakyatnya. Baru 71 tahun kita merasakannya, masih sangat kurang dibandingkan tahun-tahun penuh penderitaan selama lebih dari 350 tahun. Para pahlawan perjuangan kemerdekaan banyak yang kehilangan segalanya, termasuk nyawa, sebelum merasakan arti merdeka. Seandainya mereka bangkit dan tetap hidup sampai hari ini, tangis mereka mungkin berubah jadi darah. Hanya seperti inikah hasilnya?
Kita belum benar-benar merdeka… merdeka dari kebodohan, karena masih banyak yang tak tersentuh pendidikan. Merdeka dari kemiskinan, karena masih banyak yang tak bisa merasakan nikmatnya kesejahteraan. Merdeka dari ketimpangan, karena masih banyak daerah-daerah yang tak menikmati pembangunan yang sesungguhnya. Merdeka dari penjajahan era modern, karena budaya asing, warga negara asing bahkan pemerintah negara asing dengan semena-mena merebut tempat anak bangsa di negeri ini.
Momen 71 tahun, bukan berarti usia kakek-kakek yang tak bisa apa-apa. Usia inilah adalah saat yang tepat belajar dari pengalaman dan sejarah masa lalu.
Tujuhbelasan, bukan sekedar memikirkan lomba paling inovatif dan kreatif, tapi momen untuk memikirkan kembali arti negara dan bangsa ini bagi kita. Mari bersama-sama berpikir inovatif dan kreatif untuk memperjuangkan kemerdekaan yang sesungguhnya bagi Indonesia. Indonesia harus kembali berjaya, merebut kembali dan mempersatukan hati rakyatnya. Merdeka!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar