Sudah lama gak nulis diary untuk
sementara tidak dianggap dulu. Maklum menemani Kakak untuk menghadapi try out
UN yang bertubi-tubi (4x) membuat saya memutuskan untuk rehat dari semua
aktivitas online dan konsentrasi penuh membantu Kakak.
Nah, ceritanya… suatu hari minggu
yang cerah saya mengajak keluarga ke toko buku. Waktu itu saya mencari buku soal
untuk UASBN. UN hanya berlaku untuk tiga
mata pelajaran, sedang UAS lebih dari itu.
Sampai di toko buku, anak-anak
langsung menyebar dengan urusan dan keinginan masing-masing. Abang betah stay
di depan drum yang diimpikannya, sebelum akhirnya memilih untuk mencari buku tentang dunia
serangga. Ayah entah ke mana karena saya tak terlalu perhatikan, meski akhirnya
dia membawa beberapa buku bertema religi. Setelah saya selesai memilih buku
yang saya mau (alhamdulillah gak pernah lama karena selalu searching internet
sebelum mencari), saya mengajak Ade mencari buku untuk kegiatannya di rumah.
Tapi mata Ade terlanjur jatuh
cinta pada pajangan puzzle yang juga tersedia di counter buku anak-anak.
Langsung terbit di kepala saya, waaah…. It
is good timing to introduce her about passionate. Yah, setahu saya puzzle
itu berguna untuk melatih kesabaran dan ketekunan anak. Saya pun memilih puzzle
sederhana yang sesuai dengan usianya. 4x4 dengan gambar hello kitty kesukaan
saya. Walaupun ia lebih menginginkan puzzle lebih besar dengan gambar lebih
rumit, saya tetap membujuknya untuk memilih puzzle jenis sederhana itu, apalagi
dapat 3.
Memang berurusan sama Ade, itu
artinya harus punya kesabaran tiga kali
lebih besar daripada menghadapi Abang atau Kakak. Waktu sampai rumah, Ade sudah
dalam keadaan lelah dan mengantuk, Abang langsung mengajaknya main puzzle.
Ujung-ujung, Ade menangis kencang sekali karena merasa gagal memasang puzzle
dan marah karena dicuekin orang serumahan. Sore-sore begitu, saya lebih sibuk
mengurus makan malam. Sementara Ayah, Kakak dan Abang juga sibuk dengan
kewajiban mereka masing-masing. Maka dengan berpedang ‘sutil’, saya pun
terpaksa menemani Ade main puzzle. Dan tangisnya pun berhenti setelah semua
terpasang.
Namun ternyata masalah kami tak
selesai sampai di situ. Dengan segera Puzzle menjadi mainan kesayangan Ade.
Ohya, anak bungsu saya ini
tergolong anak perfeksionis tapi memiliki tingkat emosi yang tinggi. Jangan
tanya kesabaran, karena kayaknya dia gak kebagian saat lahir. Manja…. Harus diakui,
sangat sulit bagi kami untuk tidak memanjakan si bungsu ini. Perbedaan usianya
dengan Abang saja sekitar 4 tahun. Tapi manjanya Ade masih tergolong biasa
saja, karena kami masih bisa menghukum Ade dengan time out. Dan mungkin karena
berteman dengan anak-anak yang lebih besar, pemikiran Ade juga sedikit lebih
dewasa dari usianya.
Kembali ke puzzle. Tiap hari,
sekarang, puzzle menjadi mainan wajib bagi Ade. Yang jadi masalah, tiap kali
dia bermain puzzle harus ada seseorang yang mendampinginya duduk dan memasang
puzzle. Padahal selama ini kalau ia bermain dengan mainan yang lain, kami bisa
tetap melakukan urusan masing-masing sambil mengawasi dia dari jauh. Apalagi
puzzle bukan mainan favorit Abang atau Kakak, mainan semudah itu dalam sekejap
menjadi mainan membosankan untuk mereka berdua. Maka akhirnya, Ade selalu
berteriak-teriak mencari bantuan untuk menyelesaikan puzzle bahkan pernah satu
kali potongan puzzle sampai digigit oleh Ade karena dia kesal. Abang yang
sebenarnya malas terus menerus dipaksa menemani si Ade, kontan tertawa geli
melihatnya dan mengadukan pada saya sambil tertawa-tawa memegang perutnya
setelah menirukan gaya Ade.
Bukannya tak mau duduk menemani,
tapi tiap kali selesai memasang, Ade langsung membalik lagi puzzle dan
mengulanginya. Benar-benar sangat membosankan. Kalau dicuekin, Ade pasti marah.
Puzzle mulai memakan korban.
Awalnya baru Abang dan Kakak, yang terpaksa menelan kebosanan karena harus
menemani Ade. Lalu saya yang terpaksa lari-lari antara urusan rumah tangga
dengan keinginan Ade agar saya duduk. Dan pada akhirnya Ayah, juga terpaksa
menelan kekesalan saat Ade marah-marah padanya gara-gara puzzle.
Seperti biasa, saya menampung
semua komplin mereka. Mereka juga mencari solusi masing-masing. Ayah bahkan menyembunyikan puzzle di salah satu
lemari bukunya, supaya Ade lupa. Ujung-ujungnya, saya sampai harus menelpon dan
mengganggu meeting Ayah karena Ade terus berteriak mencari puzzle.
Ketika berkumpul, puzzle pun jadi
bahan pembahasan dan ide-ide ‘menggelikan’ pun muncul.
“Diisolasi aja Mom!” kata Abang.
“Disembunyiiin aja, ganti sama
mainan yang lain!” kata Ayah.
“Gimana kalo dilaminating aja,
Ma?” usul Kakak dengan senyum dikulum.
Dan kami semua tertawa mengakak. :)
Dilema puzzle adik masih terjadi
sampai sekarang. Tapi untunglah, sekarang dia sudah lebih mahir. Saya jadi
belajar banyak dari dilema puzzle, bahwa memilih mainan anak pun harus dipikir
baik-baik. Apalagi karakter Ade yang kurang sabaran. Memang sisi positifnya
adalah melatih kesabaran Ade, tapi gak harus menghilangkan kesabaran anggota
keluarga yang lain juga kan? Saya tak kapok membelikan Ade puzzle, tapi ini
menjadi pembelajaran banget kalau nanti Ade mendapat puzzle baru, kami harus
membantunya dengan sabar. Secara langsung, puzzle mungkin melatih kesabaran Ade
tapi secara tak langsung kami sekeluarga pun harus berlatih kesabaran menemani
Ade bermain. Besok apalagi, De?