11 Maret 2013

Dilema Puzzle


Sudah lama gak nulis diary untuk sementara tidak dianggap dulu. Maklum menemani Kakak untuk menghadapi try out UN yang bertubi-tubi (4x) membuat saya memutuskan untuk rehat dari semua aktivitas online dan konsentrasi penuh membantu Kakak.

Nah, ceritanya… suatu hari minggu yang cerah saya mengajak keluarga ke toko buku. Waktu itu saya mencari buku soal  untuk UASBN. UN hanya berlaku untuk tiga mata pelajaran, sedang UAS lebih dari itu.
Sampai di toko buku, anak-anak langsung menyebar dengan urusan dan keinginan masing-masing. Abang betah stay di depan drum yang diimpikannya, sebelum akhirnya  memilih untuk mencari buku tentang dunia serangga. Ayah entah ke mana karena saya tak terlalu perhatikan, meski akhirnya dia membawa beberapa buku bertema religi. Setelah saya selesai memilih buku yang saya mau (alhamdulillah gak pernah lama karena selalu searching internet sebelum mencari), saya mengajak Ade mencari buku untuk kegiatannya di rumah.


Tapi mata Ade terlanjur jatuh cinta pada pajangan puzzle yang juga tersedia di counter buku anak-anak. Langsung terbit di kepala saya, waaah…. It is good timing to introduce her about passionate. Yah, setahu saya puzzle itu berguna untuk melatih kesabaran dan ketekunan anak. Saya pun memilih puzzle sederhana yang sesuai dengan usianya. 4x4 dengan gambar hello kitty kesukaan saya. Walaupun ia lebih menginginkan puzzle lebih besar dengan gambar lebih rumit, saya tetap membujuknya untuk memilih puzzle jenis sederhana itu, apalagi dapat 3.

Memang berurusan sama Ade, itu artinya harus punya kesabaran  tiga kali lebih besar daripada menghadapi Abang atau Kakak. Waktu sampai rumah, Ade sudah dalam keadaan lelah dan mengantuk, Abang langsung mengajaknya main puzzle. Ujung-ujung, Ade menangis kencang sekali karena merasa gagal memasang puzzle dan marah karena dicuekin orang serumahan. Sore-sore begitu, saya lebih sibuk mengurus makan malam. Sementara Ayah, Kakak dan Abang juga sibuk dengan kewajiban mereka masing-masing. Maka dengan berpedang ‘sutil’, saya pun terpaksa menemani Ade main puzzle. Dan tangisnya pun berhenti setelah semua terpasang.

Namun ternyata masalah kami tak selesai sampai di situ. Dengan segera Puzzle menjadi mainan kesayangan Ade.

Ohya, anak bungsu saya ini tergolong anak perfeksionis tapi memiliki tingkat emosi yang tinggi. Jangan tanya kesabaran, karena kayaknya dia gak kebagian saat lahir. Manja…. Harus diakui, sangat sulit bagi kami untuk tidak memanjakan si bungsu ini. Perbedaan usianya dengan Abang saja sekitar 4 tahun. Tapi manjanya Ade masih tergolong biasa saja, karena kami masih bisa menghukum Ade dengan time out.  Dan mungkin karena berteman dengan anak-anak yang lebih besar, pemikiran Ade juga sedikit lebih dewasa dari usianya.

Kembali ke puzzle. Tiap hari, sekarang, puzzle menjadi mainan wajib bagi Ade. Yang jadi masalah, tiap kali dia bermain puzzle harus ada seseorang yang mendampinginya duduk dan memasang puzzle. Padahal selama ini kalau ia bermain dengan mainan yang lain, kami bisa tetap melakukan urusan masing-masing sambil mengawasi dia dari jauh. Apalagi puzzle bukan mainan favorit Abang atau Kakak, mainan semudah itu dalam sekejap menjadi mainan membosankan untuk mereka berdua. Maka akhirnya, Ade selalu berteriak-teriak mencari bantuan untuk menyelesaikan puzzle bahkan pernah satu kali potongan puzzle sampai digigit oleh Ade karena dia kesal. Abang yang sebenarnya malas terus menerus dipaksa menemani si Ade, kontan tertawa geli melihatnya dan mengadukan pada saya sambil tertawa-tawa memegang perutnya setelah menirukan gaya Ade.

Bukannya tak mau duduk menemani, tapi tiap kali selesai memasang, Ade langsung membalik lagi puzzle dan mengulanginya. Benar-benar sangat membosankan. Kalau dicuekin, Ade pasti marah.
Puzzle mulai memakan korban. Awalnya baru Abang dan Kakak, yang terpaksa menelan kebosanan karena harus menemani Ade. Lalu saya yang terpaksa lari-lari antara urusan rumah tangga dengan keinginan Ade agar saya duduk. Dan pada akhirnya Ayah, juga terpaksa menelan kekesalan saat Ade marah-marah padanya gara-gara puzzle.

Seperti biasa, saya menampung semua komplin mereka. Mereka juga mencari solusi masing-masing. Ayah  bahkan menyembunyikan puzzle di salah satu lemari bukunya, supaya Ade lupa. Ujung-ujungnya, saya sampai harus menelpon dan mengganggu meeting Ayah karena Ade terus berteriak mencari puzzle.  
Ketika berkumpul, puzzle pun jadi bahan pembahasan dan ide-ide ‘menggelikan’ pun muncul.

“Diisolasi aja Mom!” kata Abang.
“Disembunyiiin aja, ganti sama mainan yang lain!” kata Ayah.
“Gimana kalo dilaminating aja, Ma?” usul Kakak dengan senyum dikulum.
Dan kami semua tertawa mengakak. :)

Dilema puzzle adik masih terjadi sampai sekarang. Tapi untunglah, sekarang dia sudah lebih mahir. Saya jadi belajar banyak dari dilema puzzle, bahwa memilih mainan anak pun harus dipikir baik-baik. Apalagi karakter Ade yang kurang sabaran. Memang sisi positifnya adalah melatih kesabaran Ade, tapi gak harus menghilangkan kesabaran anggota keluarga yang lain juga kan? Saya tak kapok membelikan Ade puzzle, tapi ini menjadi pembelajaran banget kalau nanti Ade mendapat puzzle baru, kami harus membantunya dengan sabar. Secara langsung, puzzle mungkin melatih kesabaran Ade tapi secara tak langsung kami sekeluarga pun harus berlatih kesabaran menemani Ade bermain. Besok apalagi, De?