18 Desember 2011
Dan Mama Ternyata Bisa Sakit
Selama bertahun-tahun sejak menikah, aku memang mulai merasa jauh dengan Mama. Mungkin karena aku sudah terbiasa hidup dengan keluarga baruku selama tiga belas tahun terakhir ini. Jarak tempat tinggal yang jauh selama sepuluh tahun terakhir antara Balikpapan dan Jakarta membuatku akhirnya tak lagi terlalu dekat dengan Mama.
Lalu ketika Papa pensiun dan Mama pindah bersama beliau ke Cilegon, aku tetap belum bisa sedekat dulu. Tiap kali berkunjung, Papa dan Mama sudah dikuasai tiga anakku terutama si jagoan yang teramat dekat dengan Neneknya. Aku juga malu bermanja seperti dulu kalaupun kulakukan hanya untuk menggoda anak-anaknya. Biarpun demikian, aku tahu akulah tempat curhat Mama selalu. Ada banyak hal yang disimpannya ketika kami tak bertemu, lalu ia tumpahkan semua sekali waktu ketika aku mengunjunginya setiap liburan sekolah anak-anak. Adik-adikku bahkan heran karena Mama bisa begitu terbuka padaku tapi lebih banyak diam pada mereka yang tinggal di kota yang sama. Aku juga bingung, tapi biarlah itu jadi rahasia Mama.
Sampai berita itu datang. Bagi sebagian orang mendengar kata Kanker pasti menakutkan. Dan begitulah semua anggota keluarga kami saat mendengar vonis dokter setelah memeriksa Mama. Namun ketenangan Mama membuatku justru berpikir jernih.
Tanpa menunggu lebih dari satu jam setelah mengetahui berita itu. Aku langsung searching internet, mencari tahu segala hal tentang Kanker Payudara, Rumah Sakit, Biaya sampai pengobatan yang paling cepat dan memungkinkan. Teleponku yang jarang digunakan, hari itu sampai terasa panas karena berkali-kali aku menggunakannya. Menelepon ke sana ke mari mencari tahu.
Untuk menenangkan hati seluruh keluarga, kami memutuskan untuk menunggu senin agar perasaan lebih tenang dan kami bisa menjalankan rencana dengan baik. Terus terang, buat kami ini adalah penyakit yang tak pernah kami sangka. Apalagi pada Mama, perempuan kuat yang jarang sakit dan bergaya hidup sehat. Mama selalu membuang kulit ayam yang hendak dikonsumsinya, suka sekali lalapan, minum rosella, mahkota dewa dan berbagai jamu secara rutin. Dulu Mama juga mengajariku, tapi kebanyakan justru tanaman Mamalah yang merasakan jamu buatannya karenaku. Mama juga kuat olahraga, malah tergolong berjiwa atlit karena ia memang hebat saat bermain tenis dan bola voli. Mama juga jago renang dan kuat jalan kaki. Sungguh ini benar-benar di luar dugaan. Maka tak heran, kami semua shock mendengarnya.
Saat Mama datang di hari minggu, aku melihat Papa benar-benar berubah. Dia tampak masih sangat shock dan terus menangis. Papaku yang dulu selalu gagah dan tegap saat bertugas, luruh dalam lara menangisi penyakit Mama hingga ia pun terkena flu berat. Mama sendiri lebih memikirkan respon adik-adik yang tampak berat menerima, serta Papa yang seperti orang tak bisa bicara. Hanya aku yang menurut Mama bersikap lebih tenang dan bisa diajak bicara. Mama tak tahu, aku menangis di depan komputer malam sebelumnya, mencurahkan isi hatiku melalui tulisan sampai suamiku tak tahan dan menghiburku. Ia memelukku tanpa bicara, tapi aku tahu ia memahami kesedihanku. Tulisan itu kuberikan pada sahabatku, ia mengirimkannya pada lomba penulisan untuk amal bagi penderita Kanker Payudara. Entahlah menang atau tidak, yang jelas aku merasa plong telah mencurahkan isi hatiku.
Kami ke RS. Dharmais, menjalani serangkaian pemeriksaan yang panjang. Dimulai dari Klinik Deteksi Dini, lalu pemeriksaan Mammograf dan USG. Dan saat-saat menemani Mama selama dua minggu, berdua saja itulah aku kembali merasa menjadi putri kecilnya. Kami bercanda, tertawa dan sesekali saling menggoda di sudut ruang pemeriksaan A dan B di basement, kardiologi, patologi dan klinik pemeriksaan onkologi. Ada pula sudut di hati yang merasa diingatkan. Ya Allah, ternyata Mama masih sangat berharga bagiku.
Ya, Mama masih sangat berarti bagiku. Allah mengingatkanku dengan penyakitnya, betapa Mama adalah manusia yang paling kusayangi di dunia. Aku masih sangat mencintainya dan masih sangat ketakutan kehilangannya. Aku berjanji sampai kapanpun aku akan temani Mama berjuang melawan penyakitnya.
Dan kami berjuang, menghiburnya bersama adik-adikku. Menggodanya saat dokter yang memeriksa Mama ternyata lumayan tampan. Dokter tampan itu sempat kaget ketika ia akan menawarkan opsi kemoterapi dulu tapi kami potong dengan meminta operasi secepat mungkin. Semangat empat lima kami bersambut, dokter segera menandatangani surat perintah operasi.
Kondisi kesehatan kami sekeluarga sempat menurun, demi Mama aku memberanikan diri minta disuntik vitamin pada dokter keluargaku, dokter sekaligus sahabatku. Setelah itu akupun berbicara tentang kanker pada dokterku, membuat hatiku bertambah yakin bahwa kami telah melakukan hal terbaik. Dan aku berhasil mengatasi ketakutan pada jarum suntik berkat Mama. Aku harus kuat karena minggu depan ada hari-hari berat yang harus kulalui. Aku juga berhasil memaksa Papa disuntik vitamin karena melihat kondisinya yang terus menurun. Padahal Mama ingin Papa selalu bersamanya setelah operasi. Dan berhasil, walaupun aneh karena Papa disuntik sambil berdiri. Mungkin dia akan langsung lari kalau suntikannya terasa sakit. Suamiku sampai geleng-geleng kepala melihatnya.
Keajaiban berlanjut. Buat dua perempuan yang tak bekerja dan satu anak laki-laki yang baru tiga bulan bekerja, tentu sulit mendapat dana dalam sekejap. Tapi demi Mama, kami bertiga mengumpulkan kartu kredit, menjejerkan kartu ATM, kartu debit di depan kasir hanya agar Mama mendapatkan pelayanan terbaik dan dioperasi. Jam tujuh malam, tentu tak mungkin bagi kami menguangkan dana kontan. Tapi kami berhasil membayar lunas semua biaya deposit untuk Mama. Kami bersyukur tak pernah menggunakan kartu kredit dan tetap mempertahankan untuk biaya darurat seperti itu. Kalau tidak mana mungkin kami bisa menyediakan 42 juta rupiah lebih dalam waktu 10 menit. Walaupun esok paginya kami tetap juga kelabakan membayar pada beberapa kartu kredit karena takut bunga gila-gilaan menimpa tagihan bulan depan.
Dan keesokan paginya, setelah sekian lama aku tak pernah memeluk Mama dengan kuat, hari itu aku mendekapnya erat sekali. Aku kuatkan hatinya sekaligus hatiku agar Mama berjuang untuk dirinya, kami dan cucu-cucunya. Kedua adikku juga sama, tanpa ada setetes airmatapun kami melepas Mama menjalani operasi.
Waktu berjalan lambat di hari Jumat itu. Kami membawa semua anggota keluarga menunggu di depan pintu operasi. Sepanjang operasi berlangsung, sesekali dokter memanggil anggota keluarga masuk. Maka bergantianlah kami masuk, Papa, adik-adikku sampai aku semua diberitahu tentang apa yang terjadi. Hanya satu yang kami minta, lakukan yang terbaik untuk Mama kami. Aku bahkan memotret bagian yang diangkat untuk memperlihatkannya pada Mama, sayangnya ternyata Mama tidak mau, karena ngeri. Lebih dari empat jam kami menunggu Mama dan baru selesai ketika menjelang sore.
Setelah selesai, untuk pertama kalinya aku melihat kemesraan antara Papa dan Mama yang begitu menggetarkan hati. Papa yang selama ini bergantung pada Mama menghapus derai airmata di wajah Mama dengan telaten, menggenggam erat jemari Mama dan berbisik, “sudah, sayang. Sudah selesai, tidurlah, istirahatlah.”
Kini Mama berada dalam proses recovery. Tekanan darahnya masih belum stabil, tapi Mama sudah bisa bergerak lincah bahkan sebelum 24 jam setelah operasinya berlangsung. Aku bahkan setengah berlari mengejarnya keluar dari WC karena harus mengangkat tabung infusnya. Ah mama, perempuan gesit itu ternyata tetap tak bisa menghilangkan kebiasaannya yang bergerak cepat.
Saat aku menulis ini, Mama sedang meminum jus dari tempat tidurnya di kamar 814/2. Ia bertanya, kenapa aku terus menatapnya dari balik laptopku. Aku hanya tersenyum, karena sekali lagi Mama menjadi inspirasiku. Sekali lagi Mama mengajariku tentang arti kekuatan. Mama selalu berkata, “Wanita dicintai karena kekuatannya, maka jadilah kalian perempuan kuat. Bukan dalam arti fisik tetapi kekuatan hati. Kesetiaan dibayar kesetiaan, cinta dibayar dengan cinta.” telah membuktikannya sekali lagi.
Jadi teringat sebentar lagi hari Ibu, semoga Allah memberinya kabar gembira di hari itu. Paling tidak memberikannya kebebasan lagi, karena menurutnya tidur berbaring tanpa melakukan apa-apa adalah penjara. Aku bahkan dipelototi saat berkata pada dokter untuk membiarkan Mama benar-benar sehat baru mengizinkannya pulang. Ketika Mama tanya kenapa aku berkata begitu, aku jawab dengan bercanda, “Yah, biarinlah Ma, biarkan iin setiap hari bisa cuci mata ketemu dokter Mama yang tampan. hehehe..”
I love you, Mama. Happy Mother’s Day! The better way to pleasure us, please be healthy…