Buatku Faizal hanyalah sahabat, buatku dia hanyalah satu dari sekian banyak lelaki yang menawarkan berbagai keindahan tapi aku yakin suatu hari nanti dia akan kembali pada apa yang kusebut dengan sisi hewaninya.
Cinta adalah sesuatu yang terlalu indah dan hanyalah khayalan dengan mata terbuka yang cengeng. Aku belajar bertahun-tahun tentang cinta dan belajar untuk tidak akan pernah jatuh cinta lagi. Satu cinta paling indah di dunia, kasih sayang hakiki dari janji surga pun tak dapat kuraih. Cinta Ibu yang begitu besar pada Ayah, membuatnya bahkan rela menjualku saat bayi pada orang lain.
Papa angkatku ternyata lelaki paling ringan tangan yang kukenal. Ringan tangan karena gampang sekali melayangkan tinju dan menghajar siapapun. Aku, Mama angkatku bahkan adikku semua pernah merasakan bogem mentahnya. Aku mencoba mengerti alasan dia memukulku atau Mama atau adikku. Dan aku akhirnya belajar satu hal lagi darinya, lebih baik diam karena salah atau benar, hanya Papa yang paling benar dan semua selalu diakhiri dengan pemukulan. Jika aku melawan, maka pemukulan itu akan semakin membabi buta.
Menyakitkan di awalnya, tapi bertahun-tahun kemudian aku belajar menahan diri dan menguasai emosiku. Wajah datar, mata kosong dan mulut membisu adalah senjata ampuhku setiap kali Papa mengamuk dan marah padaku. Lama-lama hatiku membatu dan mengeras membuat airmataku kering.
Kulewatkan masa remaja dalam kesendirian lalu mengakhiri masa SMU dengan kesuksesan walaupun jatuh bangun sendiri karena mencari beasiswa dan berbagai pekerjaan yang bisa kujalani. Semua hal berat itu tak berarti dibandingkan tetap hidup bertahan di bawah lindungan lelaki sekejam Papa angkatku. Mama angkatku bahkan tak pernah punya keberanian membela kami, hingga aku memutuskan angkat kaki dari rumah setelah lulus SMU. Target terbesarku sejak kecil akhirnya terwujud, lepas dari bayang kelam Papa angkatku.
Dan begitulah aku kini, semua orang mengenalku sebagai sosok yang pendiam namun memiliki lidah setajam silet. Aku hampir tak memiliki teman, karena menurut mereka aku tak bisa bersosialisasi. Bagiku itu tak masalah, semakin sedikit orang yang memahamiku maka semakin sedikit yang mereka dapatkan dariku. Semua orang suka padaku atau tidak, jika ingin berteman denganku pastilah ada maunya. Begitu yang selalu kupikiran selama ini.
Faizal mungkin satu-satunya temanku yang terus bertahan. Kami bertemu ketika kami mendaftar di universitas yang sama. Dia juga yang mengabariku ketika aku lulus. Dia pula yang membantuku mendapatkan beasiswa. Kami berpisah saat kuliah karena Faizal memilih jurusan berbeda namun persahabatan kami terus berjalan.
Aku juga tak mengerti kenapa Faizal memilihku sebagai sahabatnya. Dari awal aku sudah bicara tentang ketidakinginanku bersahabat terlalu dekat dengannya dan berusaha menghindari sesedikit mungkin kontak. Tapi Faizal, dengan canda dan humornya berhasil meluluhkan hatiku. Setengah tak peduli, ia tetap rajin mengunjungiku, mengajakku keluar, dan menemaniku jika ia sedang tidak ada kuliah. Sama sepertiku, ia juga kuliah sambil bekerja. Tapi itu tak pernah mengurangi waktu kebersamaan kami.Dan mengalirlah semuanya bagai air. Faizal tak pernah banyak bicara, tapi selalu tahu cara menyampaikan pendapatnya. Kami berbagi segala hal. Pernah aku berusaha menyimpan masa laluku serapat mungkin, tapi kebaikan hatinya membuatku akhirnya bercerita tentang masa lalu yang menyedihkan. Ketika aku tak lagi sanggup bercerita, Faizal hanya merangkulku dan memintaku berhenti.
"Itu adalah kenangan buruk, lebih baik kita lupakan saja ya, " ujarnya dengan senyum manis.
Sesekali Faizal juga punya masalah sendiri, kami bicara dan duduk bersama sampai ia selesai menguras habis emosinya. Kadangkala aku tak mengerti dia bicara apa, tapi melihat wajahnya yang tenang setelah bicara membuat perasaanku juga tenang. Entah mengapa setiap kali ia berbicara tentang masalahnya, aku merasa menjadi bagian dari dirinya.
Faizal senang mengabadikan momen sejak ia punya kamera. Anehnya, dia selalu sedih saat menatap fotoku. Aku pernah menebaknya, jangan-jangan karena foto-fotoku selalu tidak tersenyum atau tertawa.
Tapi Faizal mengatakan, "Ingin sekali aku mengetahui bagaimana rupamu saat masih kecil dulu. Seandainya bisa, foto itu pasti menggambarkan seorang malaikat cantik yang tertawa lepas." Kata-katanya membuatku terdiam.
Setitik perasaan asing merasuki hatiku saat itu. Padahal ia tahu, aku bahkan tak tahu siapa orangtuaku. Jangankan foto, kenangan saat kecilku saja sudah terhapus dengan memori buruk yang takkan pernah terlupakan.
Sesekali bahkan terlalu sering aku gemetar saat teringat kejadian-kejadian buruk di masa lalu. Biasanya kala aku melihat seorang ayah memarahi anaknya, Faizal langsung menggenggam erat tanganku. Saat aku memandang wajahnya, hanya kedamaian yang kulihat di sana.
Faizal selalu tahu, saat aku merasa tidak aman, saat aku merasa ada sesuatu yang membayangiku dan dia selalu berkata, "Tenanglah, kau selalu aman bersamaku. Lupakan semua dan ingatlah ada aku di sini."
Persahabatan indah yang Faizal torehkan di hatiku terus berkembang meskipun kesibukan pekerjaan yang kami jalani. Ia tak pernah lupa meneleponku setengah jam sebelum naik ke pesawat. Ada-ada saja yang kami bicarakan. Tapi paling sering karena ia tahu aku malas bangun pagi. Dia membujukku, memastikan aku bangkit dari tempat tidurku.
Dan ketika aku mendengar suara ting tong sayup-sayup di teleponnya, baru ia memberitahuku, "Angel, sudah dulu ya, aku harus masuk pesawat nih! "
Tapi meskipun begitu, walaupun dia harus bertugas ke daerah bahkan ke luar negeri. Faizal tak pernah absen meneleponku, bercanda dan berbicara tentang pekerjaannya. Aku selalu iri padanya karena bisa travelling dengan gratis, dan dia hanya tertawa,
"Bagiku, tak melihatmu beberapa hari itu sudah kerugian sendiri. Tapi kalau aku ingat, aku selalu bisa membuatmu senang dengan oleh-olehku, ya aku mau saja. Hei, kamu mau kubawain apa?"
Aku bekerja sebagai home designer di sebuah perusahaan kontraktor. Pekerjaanku mewujudkan impian dari banyak orang. Membuat tempat ternyaman bagi mereka dan keluarganya. Pekerjaan yang menurut Faizal adalah pekerjaan dengan kesempatan berpahala besar. Tapi bagiku sendiri, sungguh tak semudah itu. Aku harus mengerti keinginan para klienku yang mudah sekali berubah. Aku harus pandai-pandai menerjemahkan keinginan lisan mereka menjadi sebuah kenyataan yang terkadang jauh dari bayangan. Tekanan inilah yang sering menjatuhkan semangatku.
Bersambung ke : Kisah Inspirasi - Ajari Aku Cinta! (2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar