Tepat pukul 02.00 siang, Tutor kami melangkah ke luar. Aneh, mendadak kantuk yang terus menerus kutahan sejak tadi langsung terbang. Aku mendesah. Dasar nih mata... begitu kuliah selesai, ia langsung melek dengan sukses. Karena minggu yang teramat sibuk, kuputuskan untuk segera pulang beristirahat. Saat kakiku baru melangkah di tangga menuju lantai dua, seseorang menepuk bahuku dari belakang. Seraut wajah manis berjilbab kuning cerah dengan senyuman lebar telah berada di dekatku.
Gadis manis bernama Dania itu langsung berkata, "Mba... pulang ttm, kita nobar yuk!"
Masih dengan wajah lelah, aku berusaha melebarkan mata. "Waah tumben... Ada acara apa?" tanyaku sambil terus menuruni tangga
Dania tersipu-sipu malu. Sambil melangkah terus mengimbangi langkahku, ia berbisik pelan. "Anniversary, mba. Yang keempat."
Kakiku berhenti bergerak. Aku menoleh, bingung dan tak percaya. "Lah kamu kapan nikahnya? Tahu-tahu Anniversary aja."
"Bukan nikah, Mbakku sayang. Tapi masa pacaranku udah 4 tahun," sahut Dania cepat.
Aaah... kata itu meluncur dari bibirku tanpa sadar sebelum diam dan kembali melangkah turun.
Sampai di lantai dasar, aku memilih ke mesjid sebentar. Menunaikan sholat dhuhur lebih dulu. Dania juga. Kami tak membahas soal ajakannya lagi sampai dia dan aku sama-sama selesai sholat dan telah memperbaiki letak jilbab. "Mbak... jadi kan nontonnya?" tanya Dania penuh harap, saat aku tengah mengirim sms meminta suamiku menjemput.
Aku mendongak, menatap Dania sebentar dan menghela napas. "Empat tahun ya? Dulu saya anniversary 4 tahun itu sudah ada anak pertama, sudah ngerasain libur ke banyak tempat... "
Dania terkekeh. "Ya beda, Mbak. Pacaran kok disamakan dengan pernikahan?"
Kali ini aku yang terkekeh, mengangguk-angguk setuju. "Loh ternyata kamu tahu kalo dua hal itu berbeda, kenapa mau pacaran? Begitu lama pula. Memang ada untungnya? Kalo orang menikah 4 tahun kan ada ikatannya dan investasinya juga mungkin udah banyak, dapet anak, nyicil rumah, atau bahkan mungkin sudah punya mobil... lah kamu pacaran selama itu dapat apa aja?"
"Ya, dapat cinta dan kasih sayanglah Mbak. Mbak tahu kan duniaku gak seindah Mbak. Kalau gak ada pacarku nih, Mbak... mungkin udah lama aku jadi gila. Tak bisa dinilai dengan rupiah atau harta deh, Mba."
Mataku membulat. "Benarkah? Kalau dia begitu penting bagimu, apa tak takut kalau dia mungkin pergi darimu? Kalau segala hal tak bisa dinilai oleh rupiah atau harta, lalu apa yang terpenting bagimu dong?"
Dania menggeleng-geleng. "Aku percaya banget sama pacarku, Mbak. Lagian buatku yang penting itu kami saling mencintai dan saling menyayangi. Pernikahan hanyalah perjanjian di atas kertas dan karena hukum. Itu tak begitu penting karena yang lebih penting sebenarnya kami saling memiliki."
Aku tak bisa menyembunyikan tawaku lagi. Aku benar-benar tertawa, sampai-sampai jamaah wanita lain melirikku dengan tatapan tak enak. Kontan aku berhenti tertawa. Aku mengangguk meminta maaf sebelum kembali berbisik pada Dania.
"Saling memiliki? Apa buktinya, Nia? Kapanpun dia bisa dengan mudah meninggalkanmu. Menyayangi dan mencintaimu? Buktinya apa? Kalau dia sayang sama kamu, kenapa bertahun-tahun memacarimu tanpa ikatan? Kalau dia cinta kamu, kenapa membiarkanmu tetap pacaran padahal pacaran itu haram?"
Bahu Dania merosot turun. Aku mengusap pelan bahunya. "Adikku yang manis, cinta itu mengajak orang yang kita sayangi menuju kebaikan, sayang itu artinya memberikan kasih sayang tanpa batasan, bukan separuh hati. Katamu, ada hal-hal yang tak bisa dinilai dengan uang. Oke, sekarang tahukah arti sebuah buku nikah? Buku nikah itu kecil, tapi di situ tertera hak dan kewajiban yang jelas. Ada hukum yang melindunginya, melindungi hak kita dan melindungi kita dari berbagai kemungkinan bakal menjadi gila karena cinta yang bodoh. Sebagai perempuan, kita menjadi ratu yang resmi dan bukan hanya ratu sehari untuk lelaki yang penting bagi kita. Buku itu bukan sekedar perjanjian, dia adalah bukti keberanian lelaki untuk membuktikan kalau ia benar-benar ingin melindungi kita, memberi cinta seutuhnya dan menjaga kita selamanya."
Dania menatapku. Nyaris tanpa ekspresi. "Dia mau menikahiku, Mbak. Aku yang belum siap."
"Belum siap? Ooh... jadi kamu lebih siap menghadapi kalau suatu hari dia memilih orang lain setelah empat tahun bersama?"Kali ini, mata Dania berkaca-kaca. "Mbaaaak... kan aku lagi anniversary, kok malah didoain begitu?"
Melihatnya hampir menangis, hatiku trenyuh. "De... saya itu hanya kasihan. Pacaran itu lebih banyak mudhorotnya, sedangkan menikah justru ibadah. Empat tahun kamu sia-siakan, padahal itu kesempatanmu beribadah. Saya mau doain apa? Semoga pacaranmu langgeng?... Saya ga mau ah merayakan anniversary pacaranmu, ah. Masak merayakan kebodohan seperti itu?"
Dania menunduk. "Aku kan tidak ingin salah melangkah, Mbak.""Kalau tak ingin salah melangkah, lalu selama empat tahun ini kamu sedang mempelajari langkah apa? Katamu, kalian sudah sangat saling menyayangi dan memiliki. Itu artinya kamu juga sudah yakin kan padanya? Laaah... sekarang nyari alasan apalagi coba?"
Gadis manis itu tak menjawab. Ia merenung. "Tapi kalau aku langsung bilang aku mau menikah kan jadi gimana gitu kesannya, Mbak. Aku kan pengen juga dilamar dengan cara yang spesial."
Aku mengerling. "Yee... memangnya hanya perempuan yang pengen dilamar dengan cara spesial. Laki-laki juga mau loh."
"Lalu cara apa dong yang paling spesial? Tell me! Tell me!!" sergah Dania.Aku berbisik di telinga Dania. Dan Dania langsung tertawa terbahak-bahak. Kali ini tak hanya satu orang yang langsung ber'ssstttt, ssstttt' Tapi Dania masih tak bisa berhenti tertawa, aku memilih ngacir meninggalkannya. Tawa Dania benar-benar terdengar sampai keluar.
Mungkin karena aku berbisik "Nyanyikan lagu Love is an open door untuknya. Lalu bilang 'can I say something crazier to you' lalu 'marry me now!'
*****
2 komentar:
Iya juga ya, kalau nikah 4 tahun itu mungkin anaknya udah 2. Udah lumayan punya pengalaman hidup sama keluarga kecil ya mbak.
Hehe, betul. Teman-teman yg lain udah nyicil rumah dan motor tuh...
Posting Komentar