16 Juni 2017

Mengapa Aku Menolak Hadir di Acara Bukber Bareng?

Ada tak enak terselip di hatiku belakangan ini. Entah berapa banyak ajakan bukber bareng teman-teman dan sahabat-sahabat terdekat terpaksa kutolak.

Suami bukannya tak mengizinkan, tapi karena aku… aku yang tidak mau …

Tawaran datang dari sahabat-sahabat dekatku, saat aku tanya lokasi bukber pilihan mereka, aku membayangkan yang akan terjadi.

Tempatnya cukup prestisius, sebuah food court di mal yang besar, luar biasa luas, sehari berjalan pun belum tentu semua sudut bisa dijelajahi. Hampir semuanya tersedia di sana. Toko jenis apapun ada di sana. Cari apapun, kau bisa menemukannya. Semua fasilitas kesenangan lengkap tinggal pilih. Tapi… aku kesulitan mencari sudut untuk sholat. Ruang Mushola-nya jauh dan ternyata… sangat sempit. Lalu di mana lagi selain tempat itu? Mengingat luasnya mal itu dan banyaknya orang di dalamnya, ke mana separuh penghuni yang lain saat mereka ingin sholat?

Tanpa sengaja tanyaku terjawab, saat aku pernah berkunjung ke sana, aku melihat para pelayan toko yang hendak sholat, memilih ruang kecil di antara tangga darurat untuk sholat, beralas koran dan sajadah kecil sebisa mungkin mereka menunaikan perintah kewajiban Allah SWT itu. Aku terhenyak. Sebesar ini malnya, hanya ada satu mushola?

Mengingat itu, kuhubungi mereka. Kujawab tidak pada ajakannya. Tidak terima kasih, Sahabatku. Hatiku belum sekuat para pelayan toko itu. Aku tak mau sholat dengan tergesa-gesa hanya karena memikirkan antrian orang yang hendak sholat di tempat sempit itu. Aku juga tak ingin meragukan wudhuku sendiri masih suci atau tidak, hanya karena berdesak-desakan dengan kaum pria yang bukan mahrom. Aku juga tak ingin menghilangkan khusyuk karena kuatir telah menggunakan tempat yang bukan tempat untuk sholat dan dipergunakan untuk keperluan darurat itu.

Lalu, sahabatku yang lain kembali mengundang. Kali ini ia mengajakku ke restoran dengan fasilitas yang lengkap, tempat parkir yang luas dan di bagian belakang tersedia tempat sholat yang lumayan bagus. Tenang hatiku, kali ini kurasa aku bisa menerimanya. Sampai kemudian aku teringat sesuatu…

Berkumpul dengan teman-teman sebanyak itu, artinya aku akan mendengar banyak cerita. Entah cerita itu benar atau tidak. Tapi hal itu takkan pernah hilang. Sepanjang yang kualami, hampir semua membuka mulut, bicara. Dan itulah saat kuatirku datang lagi…

Bisakah aku menjaga lisan dan pikiranku untuk tidak membicarakan keburukan orang lain?

Bisakah aku tidak mencandai kekurangan orang hanya untuk membuat perhatian tertuju padaku?

Bisakah aku terus membisu, tidak merespon ketika mereka tengah bicara tentang keburukan orang lain?

Sedang aku sadar, aku sama sekali bukan orang sempurna. Jauh dari sempurna. Aku penuh cacat dan cela. Aku punya banyak salah dan keburukan. Siapa aku berani menghujat keburukan orang lain?

Tidak, aku terpaksa menolaknya lagi. Sudahlah, kuhindari saja. Aku takut, pahala puasa saja belum tentu sepenuhnya diterima, tak ingin aku membuat dosa meski hanya karena telingaku yang mendengar. Maafkan aku, Sahabatku… aku terpaksa menolak ajakan bukber barengmu.

Beberapa hari kemudian, sebuah email masuk. Kali ini, ajakan bukber bareng adalah acara resmi yang bersangkutan dengan pekerjaanku. Semuanya wajib ikut kecuali izin, termasuk aku. Karena bukber bareng diadakan di kantor, tentu saja semua fasilitas tersedia lengkap dengan mereka yang mengurusnya secara profesional.

Aku tak bisa menolak, itu pikirku… tak ada alasan. Tempat sholat ada, dan karena acara resmi, tentu yang bicara banyak hanyalah pimpinan. Dengan segudang agenda, tentu pengaturannya takkan mengurangi kadar pahala ibadahku.

Lalu tiba-tiba kuingat kejadian tahun kemarin. Aku melihat semua makanan berlimpah ruah di atas meja, aneka macam. Perusahaan juga mengundang para anak yatim piatu dan fakir miskin untuk berbagi. Seluruh karyawan kompak hadir, menyiapkan segalanya dalam kepanitiaan. Tertata rapi.

Sampai aku melihat kenyataan. Di balik kardus-kardus baru berjejer rapi yang katanya akan menjadi sumbangan untuk undangan para fakir dan yatim piatu itu, ternyata isinya sebagian besar hanya barang bekas yang dikumpulkan dari para karyawan. Tapi… ketika aku bertanya jumlah uang dalam amplop yang juga diberikan, aku terhenyak.

Ya Allah, tidakkah mereka berhitung berapa ongkos transportasi orang-orang ini saat pulang dan pergi setelah acara bukber bareng ini? Buat kita, bukber adalah pesta, tapi untuk mereka undangan bukber adalah kesempatan untuk mengumpulkan sedikit rezeki agar bisa berlebaran dengan layak. Entah berapa banyak harapan mereka bisa menikmati makan enak, sekaligus memiliki sesuatu yang layak tak hanya menurut kita pantas untuk ukuran mereka, tapi layak bagi mereka sebagaimana kita mengukur diri sendiri.

Kita yang berlimpah ruah rezeki tiap Ramadan, menikmati THR dari kelipatan gaji, dicukupkan berbagai fasilitas dari perusahaan tapi nyatanya masih banyak yang tak rela mengeluarkan 2,5% dari jumlah itu untuk sekedar berbagi.

Barang bekas, mungkin saja layak menurut kita, tapi apakah semua yang hadir itu kebagian dengan adil dan memang benar-benar sesuai? Bisakah kita menjaga niat kita untuk benar-benar memberi dan bukan sekedar membuang ‘sampah’? Ini bukan tentang orang-orang yang baru saja menerima musibah bencana, ini tentang mereka yang ingin menyambut Lebaran seindah dan sebaik mungkin.

Aku hanya bisa meneguk  sebotol air mineral dan tiga buah kurma, memilih tidak makan dan membungkus bagianku untuk diberikan pada salah satu anak yatim. Biarlah, di rumahku pasti ada sisa makanan. Cukuplah itu. Meski tak banyak, kuselipkan sedikit rezekiku. Maafkan buat yang lain, aku hanya bisa memberi satu.

Tapi aku juga hanya bisa memandang miris pada piring-piring kotor yang dibawa masuk oleh para pelayan. Andaikan, makanan yang berlimpah ruah, dan sebagian akhirnya terbuang percuma di piring-piring para karyawan yang sudah eneq dengan makanan enak itu bisa diganti dengan sedikit rupiah agar anak-anak yatim dan para fakir itu merasakan pakaian baru, menyederhanakan menu dan mengurangi porsi. Bukan main… Aku bisa membayangkan senyum bahagia dan penuh harapan saat para yatim dan fakir itu membuka amplop.

Hfffhh… Aku memilih meminta izin tak bisa hadir saja. Siapalah aku ini. Hanya karyawan biasa, yang masih berharap diangkat menjadi karyawan tetap. Aku tak bisa mengubah peraturan apalagi mengubah segala kebiasaan itu. Aku hanya bisa menghindar agar hatiku tak ikut menjadi beku, dan semoga suatu hari aku punya kuasa serta cara untuk mengubahnya.

Akhirnya, aku lebih suka berbuka puasa di rumah. Bersama keluarga kecilku, aku bisa sholat Magrib, menunaikan sholat Isya dan Taraweh on time, dan dengan tenang mengaji mengingatkan kembali semua tuntunan Allah SWT, lalu merencanakan menu sahur yang sehat untuk keluargaku. Ramadan seperti ini yang penuh makna bagiku, syahdu, khusyu’ dan penuh berkah.

Aku menyayangi sahabat-sahabatku, menghormati rekan-rekan kerjaku, tapi … aku lebih mencintai Allah SWT, Sang Maha Pengasih dan Penyayang. Aku ingin tetap menjaga kemurnian niat puasaku, agar cintaku , tersampaikan langsung padaNya. Belum tentu Ramadan tahun depan, aku masih bisa berbuka puasa lagi…

Tidak ada komentar: