Aku duduk di ruang tamu, menatap ruang tamu yang terasa begitu luas. Jejeran foto-foto yang menempel di dinding menarikku untuk berdiri. Tanpa sadar, sudut bibirku tertarik ke atas saat memandangi foto-foto tersebut. Foto kami sekeluarga. Saat berlibur, saat berulangtahun, saat hari raya dan saat kami berada di rumah ini. Di semua foto itu, selalu ada lelaki itu. Salah satu foto terbaik darinya terpajang sendiri di tengah-tengah foto-foto yang lain. Senyuman lebar yang mirip dengan senyumanku tampak di foto dirinya yang diambil suamiku enam bulan lalu.
Lelaki yang tersenyum di dalam foto itu bernama Andi Rahman. Sebagian teman baiknya memanggilnya Andi, yang lain memanggilnya Pak Rahman. Ibuku, istrinya, lebih sering memakai sebutan “ayahnya Nori” saat bicara dengan orang lain, namun selalu memanggilnya dengan sebutan ‘sayang’. Aku dan adik-adikku memanggilnya Ayah.
Ketika aku menikah, suamiku juga memanggilnya seperti itu. Paman dan bibiku, adik-adik ayah, semua memanggilnya Kak Rahman. Lalu ketika putra-putri mereka lahir, mereka memanggilnya Uwa Rahman. Satu demi satu saat anak-anakku lahir, mereka menyebutnya sebagai Akung Aman. Dia, seorang suami, ayah, kakak, uwa dan akung yang kami cintai.
Saat Arrie dan Raka, adik-adikku mulai bermain sepakbola di sekolah dasar, ayah menjadi pelatih bola mereka. Walaupun ia lebih suka bermain bola dengan adik-adikku, Ayah tak pernah lupa mengantarku les menyanyi dan latihan marching band. Ayah tak malu duduk bersama para ibu-ibu yang juga mengantar anak mereka, karena ayah bilang melihat dan mendengarku menyanyi atau bermain terompet selalu membuat hatinya bahagia.
Ayah juga yang mengajari aku dan adik-adikku bersepeda, naik motor hingga menyetir mobil. Sebagai anak perempuan, ia tak izinkan aku menyetir mobil. Takut sesuatu terjadi padaku. Tapi ibu berhasil membujuknya. Ia mengajariku menyetir ketika aku telah siap berkendara dan ia juga mengajariku untuk selalu menyetir dengan aman. Tak ada tugas yang ringan bagi seorang ayah yang selalu ada untuk putra-putrinya itu!
Dari kecil hingga saat ini, setiap saat kami bertiga selalu meributkan banyak hal. Tapi ayah selalu berada di antara kami. Ia wasit yang adil untuk kami yang sering tidak akur.
Ia adalah ayah yang dengan bangga menyalami dan menyerahkanku pada calon suamiku. Bagiku, Ayah sangat hebat saat menunjukkan pada suami bahwa aku adalah putri dari ayah yang penuh cinta. Diyakinkannya suamiku, bahwa ia tak membesarkan seorang anak, tapi membesarkan seorang putri paling berharga di dunia. Tak hanya aku, tapi pada ketiga adikku yang lain. Satu persatu adik-adikku memberinya menantu, dan ayah selalu berhasil meyakinkan mereka bahwa mereka menjadi bagian dari keluarga yang menerima mereka setulus hati.
Ayah, orang yang selalu tepat waktu. Tapi ia tetap selalu pengertian. Kami tidak dibesarkan sebagai anak nakal yang manja dan bisa selalu memiliki segalanya. Hanya saja, apapun yang kami perlukan selama ini selalu tersedia.
Bersama Ibu, mereka berdua melakukan banyak hal hebat untuk kami bertiga sampai sekarang. Kami bahkan tak mampu menyamai setengahnya. Tiap kali masalah datang pada kami, Ayah memberiku nasihat, entah diterima atau tidak, ia selalu ada saat kami membutuhkannya.
Bersama Ibu, mereka berdua melakukan banyak hal hebat untuk kami bertiga sampai sekarang. Kami bahkan tak mampu menyamai setengahnya. Tiap kali masalah datang pada kami, Ayah memberiku nasihat, entah diterima atau tidak, ia selalu ada saat kami membutuhkannya.
Ia menganggap suamiku seperti anak laki-lakinya sendiri. Kadang-kadang ia justru lebih sering membelanya daripada membelaku ketika kami berdua berselisih paham. Tapi seperti suamiku, ia sangat jarang mengatakan tidak saat aku meminta tolong, mengantarku ke manapun atau membeli sesuatu yang sebenarnya tak terlalu diperlukan.
Aku bisa bayangkan hari-hari yang bakal kurindukan, saat ia menelpon dan bertanya di mana suamiku… karena ia menekan sesuatu yang tidak ia tahu dan membuat sesuatu di laptopnya berubah. Aku akan merindukan hari belanja kami berdua di Sabtu sore ketika ia mencoba untuk bersembunyi di antara lorong rak-rak supermarket namun berusaha mendekat untuk membuatku kaget. Aku pasti rindu gelak tawanya yang terkekeh, ketika kami berbicara tentang kelucuan anak-anakku. Aku akan rindu komentar sarkas ala dirinya, tiap kali menonton berita di televisi. Aku akan ingat semua keluhannya saat mengetahui tim bola kesayangannya kalah.
Egoisnya, aku ingin bersamanya selamanya. Walau sejujurnya, aku sadari betapa beruntungnya aku memilikinya selama ini. Ia punya senyum yang sanggup menghangatkan seluruh ruangan, apalagi saat bercanda tentang sesuatu yang konyol pada dirinya sendiri. Dirinya adalah bagian dari keutuhan keluarga kami.
Saat ini aku benar-benar patah hati. Aku berusaha menerima kepergiannya. Meyakinkan diriku bahwa ayah kini berbahagia bersama ibu di surga dan ia tak lagi sendirian. Aku belum bisa membayangkan hidupku tanpa dirinya. Ia pahlawanku, ia pria pertama dalam hidupku yang kusayangi… ia adalah ayahku. Ia dulu lampu pijar penunjuk arah hidupku dan kini selamanya… ia bintang yang selalu bersinar di langit hatiku.
Ayah, Selamat Jalan!
*****
Foto oleh : tcartermusic.com
Foto oleh : tcartermusic.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar