29 September 2013

PR Itu Tanggung Jawab Anak atau Emak?


Kata teman, saya adalah tipikal Emak cuek terhadap anak. Saya tak pernah bersusah payah duduk bersama anak-anak ngerjain dan mantengin mereka mengerjakan PR setiap malam. Paling saya sekedar mengingatkan dan baru duduk bersama kalau mereka minta tolong. Tapi itu jarang terjadi.
Anak-anak lebih suka bertanya sambil lalu saja. Setelah itu saya pun jarang memeriksanya. Paling sesekali saja, itupun hanya untuk mengecek perkembangan secara sepintas dengan sistem random.

Buat saya, ketika anak sudah duduk di kelas 4 berarti mereka telah memasuki usia di mana kemandirian sudah bukan hal yang harus diajarkan lagi. Masa umur tersebut adalah saat di mana mereka belajar bertanggung jawab untuk apa yang mereka lakukan, baik itu baik ataupun buruk. Memahami arti konsekuensi dan akibatnya. Memahami cara memikirkan solusinya sendiri tanpa bantuan.


Saya justru heran melihat teman-teman saya yang rata-rata termasuk Ibu rumah tangga yang sudah repot dengan berbagai urusan, masih sempat bertanya pada saya tiap malam. 'Mah Reza, Reza ada PR gak?' atau 'Mah, kelas 4x besok ada ulangan gak?'  
Dalam hati saya berpikir begini. Kok nanyanya sama saya, sih? Kenapa bukan anaknya? Lagipula anaknya ngapain di sekolah? Apa dia tidur waktu gurunya memberikan tugas?

Kenapa saya tidak takut menghadapi kenyataan anak tidak mengerjakan PR. Karena tujuan saya menyekolahkan anak bukan sekedar mencari ilmu dan jadi pintar. Tapi menjadi seseorang yang bertanggung jawab sepenuhnya pada dirinya sendiri. Jadi kalau misal dia malas mengerjakan PR, maka dia pasti tertinggal pelajaran, kalau dia tertinggal berarti kemungkinan dia tak naik kelas. Kalau dia tak naik kelas, maka akibatnya ya pada dirinya sendiri bukan saya... benar bukan?

Buat saya, hal-hal seperti bertanya tentang tugas dan PR ke sana ke mari cukup merepotkan dan mengganggu. Juga tidak mendidik anak karena mereka jadi malas. Mereka pasti berpikir gampangnya saja, toh nanti Mamanya akan memastikan kok, jadi buat apa takut ketinggalan?

Andaikan anda seorang Bunda,  mari berpikirlah tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Ayo buka mata dan hati, jangan melihat ke bagian permukaan saja.

Anak takkan belajar menjaga diri, ketika ia tak pernah merasa sakit
Anak takkan belajar mengenal rasa sakit, ketika ia tak pernah jatuh
Anak takkan belajar mengenal apa itu jatuh, ketika kita selalu melindunginya

Anak takkan belajar bagaimana bekerja dengan baik, ketika ia tak tahu apa itu tanggung jawab.
Anak takkan belajar mengenal tanggung jawab, ketika ia tak tahu apa itu tugas sejak dini
Anak takkan belajar mengenal tugas, ketika kita selalu mengatur apa yang harus ia lakukan.

Apa sih yang menjadi konsekuensi terburuk ketika anak tak mengikuti pelajaran dengan baik? Paling-paling hanya tidak naik kelas. Apa dunianya runtuh setelah itu? Saya malah meminta pada bu Guru, waktu ia mengadukan abang yang tak mengerjakan PR (lupa waktu itu kelas berapa) untuk tidak menaikkan kelasnya. Gurunya melongok dan saya malah tersenyum.

Reza itu anak hebat kok. Suaranya lantang ketika Qomat atau adzan, dia sering jadi Imam di Madrasah. Dia juga anak yang paling penurut di antara ketiga anak saya karena ia tahu Emaklah surganya di dunia dan akherat. Satu hal lagi, dia tak pernah berbohong. Dia akan diam kalau takut bicara, tapi tidak pernah berkata bohong. Dia juga paling konsisten dalam menjalani aturan di rumah, cuci piring makannya sendiri sejak setahun terakhir, selalu meletakkan barang-barangnya dengan teratur, mengerjakan tugas-tugasnya seperti menyapu dan mengelap meja dengan baik. Satu hal lagi, Reza sangat pandai menjaga adiknya. 

Semua itu cukup bagi saya. Saya tak perlu anak yang hanya pandai di atas kertas, tapi menjadi sosok anak laki-laki yang tak bertanggung jawab, jorok, malas, cuek dan tahunya hanya games online.

Oh ya... ini pula yang saya lakukan pada Ade Fira. Umurnya baru jalan 5 tahun... Saya tak suka memaksa, maka kalau saya mengajaknya mengerjakan PR adalah ketika kami ingin bersenang-senang bersama. Karena PR anak TK memang tujuannya ya quality time antara ibu atau ayah dengan anak, sangat berbeda dengan tujuan PR anak SD atau SMP. Tapi kalau secara fisik kami sudah melakukan quality time dengan cara lain, ya kadang-kadang saya membiarkan saja Ade melewatkan tugasnya.

Tapi anehnya... setiap pagi sebelum mandi, Ade meniru gaya Abang dan Kakak mengecek buku PRnya. Dan seringkali  ia mengerjakannya sambil mengomeli saya. 'Mamah sih gak ingetin Ade ngeljain Peel, ental kalo Ade gak ngeljain, Ade gak dapat bintang dong.'

Jadi saya tahu... Ade juga sudah tahu artinya tanggung jawab. Tanggung jawab yang dinilai dengan bintang-bintang.. Karena Ade, saya juga belajar, bahwa sebenarnya kita tak perlu takut mengajarkan soal tanggung jawab sedini mungkin. 

Untuk Kakak, dia bahkan punya gelar hebat di sekolah, Bandar PR. Maksudnya? Dialah tempat informasi teman-temannya kalau mereka lupa ada PR atau tidak. Bukan isinya, hanya menanyakan PR apa dsbnya. Padahal, dia itu seorang pelupa. Tapi karena saya selalu membiarkan dia menghadapi masalah, jangan tanya berapa kali ia pulang karena ketinggalan buku atau mengerjakan PR menjelang tengah malam, maka dia pun menemukan solusi untuk masalahnya itu dengan caranya sendiri. Meski dulu saya juga pernah mengajari dengan cara saya ketika berkali-kali ia 'stack' dengan sifat pelupanya itu.

Jadi sekarang sudah paham kan? PR itu tanggung jawab siapa? 
Masih ingin jadi Ibu super yang maha hebat, Mah??
Sudah dulu ya.... saya sendiri lagi banyak tugas kuliah....