Kawan ini terkenal dengan kepelitannya. Bahkan julukan Haji Medit pun akhirnya ia peroleh dengan sukses, setelah berulang kali sesama teman merasakan kepelitannya itu. Ia tak pernah mentraktir teman, juga tak pernah keluar makan siang di luar kantor. Ia tak pernah mau diajak kongkow-kongkow di klub malam, apalagi sekedar nongkrong di kafe. Setiap pulang bekerja, dia selalu pulang ke rumah tepat teng! tidak lebih dan tidak kurang.
Sempat beberapa teman lain mengira, orang ini pasti kaya karena sifatnya itu. Tidak! Dia sama sekali tidak kaya. Rumahnya memang ada, tapi ukurannya sederhana. Anaknya juga berpakaian biasa-biasa saja. Jika setiap pria berkeluarga bangga memamerkan foto-foto liburan ke tempat-tempat mewah atau paling tidak ke restoran bersama keluarga, tidak dengan teman yang satu ini. Akun Facebooknya ‘kering’ dari foto-foto seperti itu. Ya memang ada sih foto anak-anak dan istrinya, tapi tak ada satupun di tempat yang seperti restoran atau mal atau bahkan tempat wisata. Kalaupun ada beberapa foto dengan tempat spesial seperti itu, selidik punya selidik ternyata diambil ketika pihak kantor mengadakan acara karyawan bersama keluarganya.
Sebagian dari kami menganggap pelitnya orang itu benar-benar keterlaluan. Bahkan sampai harus membuat keluarga duh… maaf tampak seperti orang miskin dengan pakaian seadanya.
Suatu hari, teman ini mengajukan pinjaman kantor. Kami mengernyitkan kening ketika sekretaris kami yang sama sekali tidak bisa menjaga secret, mengungkapkannya terang-terangan saat makan siang. Hah? Bukankah rekor yang kami tahu selama ini, Bapak Haji Medit tak pernah berutang sama sekali di kantor? Kenapa sekarang? Setelah kami baru saja menerima bonus tahunan berlipat-lipat gaji…
Sampai usai sholat magrib, ketika ia tergesa-gesa pulang hingga menabrak saya. Bapak ini kelihatan bersalah melihat muka hingga jilbab saya basah kuyup akibat es teh gelas saya tumpah menciprati muka. Padahal saya sudah mau pulang. Yaaah… kan jadi tidak cantik lagi deh….
Bapak ini menawari saya pulang. Dalam mobilnya, bersama tiga orang teman lain, saya beruntung duduk di depan karena sambil mengusap puluhan tisu ke wajah dan jilbab. Tak sengaja saya membuka kotak dekat dasbor Pak Haji Medit itu dan menjatuhkan secarik kertas. Ternyata itu billing kartu kredit. Dan mata saya yang tajam menangkap sebaris tulisan nama sebuah rumah sakit dengan tagihan 5 juta rupiah.
Saat itu saya memilih diam. Berpikir. Apa karena ini si Bapak jadi orang yang pelit begitu ya? Karena harus membayar biaya rumah sakit, hingga ia terpaksa berhemat. Mau tanya langsung jelas tak enaklah… itu kan bukan urusan saya.
Namun, penasaran saya terjawab kemudian. Saya tahu, itu tagihan biaya perawatan untuk dokter gigi. Bapak Haji Medit itu membayar tagihan untuk pemasangan kawat gigi anaknya. Dari Nona sekretaris-yang-tidak-secret itulah saya jadi tahu, karena 20% dari tagihan itu ditagihkan ke kantor sebagai salah satu fasilitas. Bahkan kemudian saya juga tahu, dari seliweran para broker penawar kartu kredit, tabungan dan asuransi kalau mereka merasa kedatangan mereka percuma setelah bertemu si Haji Medit. Bagaimana tidak? Ternyata ia telah menabung untuk anak-anaknya bahkan sebelum mereka lahir dan setiap bulan gajinya hanya pas untuk kebutuhan bulanan.
Dan yang terakhir ini, saya baru saja tahu kalau si Haji Medit juga selalu rutin mengirimkan pada ibu kandungnya karena ketika ibunya berpulang, uang itu ia isikan ke tabungan anak yatim yang kebetulan menjadi tugas saya di kantor. Katanya itu uang hak ibunya, sampai kapanpun, jika ia mampu ia akan terus menyedekahkannya atas nama ibunya.
Jadi apa yang bisa kita ambil dari storylife ini?
Bahwa pelit dan irit adalah dua kata yang hampir mirip, namun prakteknya sangat berbeda. Haji Medit adalah satu dari sekian banyak orang yang berusaha menyikapi kebaikan dan kesulitan dengan sikap yang mungkin tak dapat dimengerti banyak orang dan memang sebenarnya tak perlu.
Bahwa pelit dan irit adalah dua kata yang hampir mirip, namun prakteknya sangat berbeda. Haji Medit adalah satu dari sekian banyak orang yang berusaha menyikapi kebaikan dan kesulitan dengan sikap yang mungkin tak dapat dimengerti banyak orang dan memang sebenarnya tak perlu.
Pandai memanfaatkan waktu dan kesempatan, sama seperti memanfaatkan sebaik-baiknya rezeki yang didapatkan dengan jalan mengatur keuangan dengan baik. Mari menimbang pengeluaran yang penting dan tidak penting, mana yang perlu dihemat dan mana yang dijaga agar tak terlalu boros. Hidup itu tidak sebentar, tapi juga tidak lama. Kapanpun kita harus siap, menghadapi saat-saat ketika roda kehidupan berputar di bawah.
*****
Foto oleh: debt.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar