24 Mei 2017

Hubungan Ibu dan Anak

Belakangan saya baru sadar kalau hubungan saya dengan anak-anak terbilang berbeda dengan hubungan ibu-anak lain. Ini karena banyak orang yang mulai mempertanyakannya.

Awalnya, beberapa orang bertanya saya ini kakaknya atau ibunya dua remaja saya, lalu sorot mata terkejut atau bingung yang saya tangkap saat jawaban diterima.

Semakin ke sini, saya semakin yakin kalau alasan orang-orang menganggap saya 'tak setua' umur seharusnya bukan karena penampilan yang terlihat muda atau wajah awet, tapi karena gaya bicara dan tingkah laku saya saat berinteraksi dengan anak-anak saya.

Sejak belajar ilmu psikologi secara resmi, saya memang memilih metode yang cukup kontroversi sebagai pola pengasuhan ketiga putra-putri di rumah. Pola yg bisa membuat saya bisa lebih dekat dgn anak2 dan membuat anak-anak lebih terbuka pada saya.

Alhamdulillah, pola ini juga disetujui suami. Jadi lima tahun terakhir, pola inilah yang kami pilih.

"Anak adalah pribadi berbeda, ia bukan orangtuanya, tapi ia pribadi utuh sama seperti orangtuanya, punya hak dan kewajiban yang harus diajarkan dan juga dihormati."

Selama ini kami, terutama saya, meminta bahkan mengajari anak-anak cara mengkritisi kalau ada tindakan atau tingkah laku saya atau ayahnya yang salah. Kami meminta mereka juga, bertanya jika tak mengerti alasan kami marah, agar masalah bisa diselesaikan dan bukan sekedar omelan panjang lebar tak berguna.

Kami juga membiarkan anak-anak membalas ejekan atau ledekan yang kami lemparkan. Oh ya, untuk membuat anak-anak terbiasa menghadapi bully atau ejekan mulut, kami memang sengaja sering bercanda dengan gaya ini. Tapi, di saat normal ketika ada berita atau drama tentang bully atau efeknya, saya memberi penjelasan ringan dari sisi psikologi.

Saya ingin anak-anak menganggap bully ejekan hanyalah satu tepukan kecil yang tak menyakiti. Namun, di saat yang sama mereka paham kapan dan pada siapa melakukannya.

Maka, jangan heran ketika dalam perkembangannya, anak-anak sering menyebut nama saya atau ayahnya dengan bebas, mengkritik dan membully dengan ledekan saat becanda tanpa canggung, bahkan berdiskusi serius hingga cenderung berdebat sampai menyebut nama panggilan saya atau ayah mereka. Kami sudah sangat biasa dan kalaupun sedikit berlebihan, biasanya saya langsung menegur. Tapi itu jarang sekali. Bahkan rasanya tak pernah.

Dalam setiap event atau ada masalah keluarga, saya dan ayah mereka selalu bertanya dari sudut pandang mereka. Kadang mereka juga bingung solusinya apa, tapi saya ingin mereka merasa dianggap sebagai bagian penting keluarga walaupun hanya mendengar. Keterbukaan inilah yg menjadi alasan mengapa anak2 juga terbuka pada kami.

Jika suatu ketika mendengar putri saya berkata, "Dirimu salah, Mak..." atau. Putra saya menyebut, "Mbak Iin, hari ini anakmu..." atau ketika si bungsu dengan santai mengucap, "iin itu mamaku yang paling...", anggaplah itu bagian dari cara mereka berekspresi, bukan bentuk ketidakhormatan.

Dulu sekali, ada alm. Nenek yang tak canggung dipanggil nama saja oleh putra yg ia lahirkan yaitu paman saya, seorang wanita yang berkarir politik di separuh usianya, yang mengajarkan tentang makna dihormati dan menghormati yang sesungguhnya pada saya. Dialah awal dari pemikiran bahwa anak seharusnya diasuh menjadi diri mereka sendiri, bukan fotocopy orangtuanya.

Saya ingin selalu dekat dengan anak-anak, mempelajari semua yang mereka suka, memahami yang mereka inginkan dan mengerti cara berbicara yang sesuai dengan keinginan mereka. Karena saya ada untuk mereka, bukan mereka ada untuk saya...

Tidak ada komentar: