Album Foto Kenangan Sahabatku
Suara ponsel tiba-tiba terdengar nyaring memecah keheningan. Aku menatap putriku, dan ia dengan sigap mengambilkan ponsel yang sedang di-charge itu. Begitu ia menyerahkannya, aku langsung melirik nomor yang tertera.
Tak ada nama atau foto yang muncul, hanya sederet nomor yang baru kulihat. Dengan penuh tanda tanya, kutatap lama layar monitor ponsel.
“Kenapa Ma? Gak kenal?” tanya putriku. Aku mengangguk dan menyerahkan kembali ponsel itu padanya.
Kali ini putriku tak menunggu, ia menggeser tombol hijau di layar untuk menerima. Lalu ia berjalan keluar, keluar dari ruang kerjaku sambil bicara. Aku tak lagi peduli, memilih untuk melanjutkan pekerjaan.
Tak sampai lima menit, putriku kembali. Telepon telah ditutup.
“Ma, itu tadi nama Ineke. Katanya putri almarhumah sahabat Mama, Anneke,” kata putriku memberitahu.
Aku menoleh. “Hah? Anneke? Iya Mama kenal. Tapi udah lama banget. Ineke siapa?” tanyaku tak mengerti.
Memang ada salah satu mantan rekan kerjaku yang bernama Anneke. Kami bekerja di kantor yang sama sekitar 16 tahun lalu sebelum putriku lahir. Aku tak mengenal putrinya karena kami berpisah setelah aku memilih mengundurkan diri dan pindah tempat tinggal. Kami tak pernah bertemu lagi, bahkan setelah dunia medsos telah mempertemukan banyak orang di zaman sekarang. Dan sekarang katanya… ia meninggal dunia? Kenapa? Ada apa?
“Mama telepon aja deh!”
Ponselku berpindah ke telapak tanganku. Aku baru akan menelepon ketika sebuah pesan masuk.
Halo, Tante. Aku Ineke. Putri alm. Mama Anneke. Aku tahu Tante dari cerita Mama dan Papa. Katanya dulu Tante kenal baik sama Mama dan kita pernah ketemu waktu aku kecil. Kebetulan aku lagi di Jakarta, kita bisa ketemuan gak, Tan?
Aku termangu. Mengingat kembali saat-saat bersama Anneke. Tidak mudah mengenang semuanya setelah lebih dari sepuluh tahun. Apalagi saat itu aku hanya bekerja tak sampai setahun. Tiba-tiba aku teringat sesuatu.
Bergegas aku naik ke lantai atas, menuju kamar tidur dan mencari di antara deretan album-album foto. Mataku berhenti saat melihat album berwarna putih kekuning-kuningan dengan gambar boneka panda bertaburan. Kuambil album foto itu dan membukanya.
Zaman sekarang mana ada foto-foto jelek seperti ini yang bakal disimpan. Foto dengan gambar tidak fokus, blur di mana-mana, wajah-wajah dengan keringat, polos tanpa kosmetik, pakaian kerja yang kusut dan tawa lebar berlebihan jelas bukan foto yang tergolong fotogenik. Wajah Anneke ada di beberapa foto itu, beragam ekspresinya yang tergolong konyol muncul di sana-sini.
Foto-foto itu dulu kuambil dengan kamera pocket biasa, dan karena dulu memotret bagiku hanya sekedar hobi, aku sering mengambil gambar asal-asalan. Lebih banyak karena ingin bercanda saja.
Ingatanku kembali pada Anneke. Perempuan cantik berkulit kuning dengan mata yang besar itu bekerja di lantai dua kantor kami. Kami hanya bertemu sesekali saat makan siang atau ketika ada pekerjaan yang ada hubungan dengannya. Tapi kami cepat akrab. Sepertiku, Anneke juga suka bercanda dan tertawa.
Kami semakin akrab saat aku hamil putri pertamaku, sementara putri Anneke sudah hampir dua tahun. Ketika itu di antara seluruh karyawati di kantor, hanya kami berdua yang sudah berumah tangga. Maka tak heran, keakraban kami makin intens selama aku bekerja.
Sayangnya, aku terpaksa berhenti bekerja. Walaupun sedih, saat itu aku berjanji sesekali akan tetap menemui Anneke. Tapi itu tak semudah bicara, karena setelah berhenti aku sibuk dengan pekerjaan baruku yang lain.
Kuputuskan untuk menerima ajakan pertemuan Ineke. Aku juga ingin tahu kabar Anneke hingga tahu-tahu kudengar ia tiada. Kuajak juga putriku ikut bersama.
“Tante Indah?” Suara itu membuatku dan putriku sama-sama menoleh.
Seorang gadis tinggi langsing tersenyum ramah padaku. Wajahnya mungil, rambutnya lurus panjang hingga sepinggang. Matanya tidak sebesar ibunya, namun kulitnya kuning seperti Anneke. Aku langsung ingat balita kecil yang dulu pernah diperkenalkan Anneke sebagai putrinya. Tak salah lagi, gadis ini pasti Ineke.
“Halo! Ineke ya?” tanyaku. Ineke mengangguk dan kami saling bersalaman. Kuperkenalkan pula pada putriku.
Kami mengobrol ringan, saling bertanya kabar hingga aku bertanya apa yang terjadi.
“Mama sakit demam berdarah, Tan. Tapi kami terlambat. Tante masih ingat kan Mama kalo sakit suka dicuekin aja,” cerita Ineke. Nada suaranya merendah dan matanya meredup. Tampak sedih.
Aku mengangguk sambil menekan bibirku. Menahan tangis. Tangan kanan putriku bergeser, digenggamnya tanganku erat-erat. Ah ya, tidak boleh… aku tidak boleh menangis. Sambil tetap menggenggam tanganku, putriku mengambil tas kecil berisi album foto dengan tangan kirinya.
“Mbak Ine, ini ada album foto waktu Mama Mbak dan Mamaku kerja bareng.”
“Iya, In. Ini Tante bawain. Dulu Mamamu sering jadi model Tante,” kataku mencoba bercanda. Ineke terkekeh pelan. Aku menoleh pada putriku, memberi isyarat.
Tubuh Ineke tegak tiba-tiba saat melihat putriku mulai membuka tas. Matanya tampak penuh harap saat putriku mengeluarkan album foto dari tas itu. Setelah diserahkan putriku, ia mulai membuka-bukanya.
Tak ada kata-kata yang terdengar dari bibirnya. Ia malah menggigit bibirnya, menahan tangis. Tangannya meraba setiap foto yang memperlihatkan foto Mamanya berkali-kali. Lalu bibirnya mulai bergetar, perlahan-lahan sebelum akhirnya dua tetes airmata jatuh di tangannya.
Kali ini bahkan mata putriku juga mulai berkaca-kaca. Kami bertiga sama-sama diam, tapi tahu ada cerita yang terbuka lebar di hadapan kami. Cerita tentang kehidupan seorang Anneke, ibu muda yang cantik. Hidup yang penuh tawa dan bahagia yang nyata. Bagian dari hidup seorang anak yang mungkin kembali mengenang sosok wanita terpenting baginya.
“Terima kasih, Tante. Terima kasih sudah membolehkan saya melihat ini! Mama jarang mau difoto seperti ini,” bisiknya di antara tangis yang berusaha ditahan-tahan.
Aku hanya bisa mengangguk dan tetap membiarkan tangan putriku terus menggenggam tanganku. Kutekan tangan putriku, ia pun mengangguk mengerti.
“Mbak Ine ambil saja album foto itu. Aku sudah men-scan-nya untuk Mama. Jadi Mbak bisa bawa pulang.”
“Benarkah? Boleh aku bawa ini, Tan?” tanya Ineke tak percaya. Aku hanya mengangguk. Mataku sendiri sudah banjir. Mana tahan melihat tangisan anak yang merindukan ibunya seperti itu tanpa ikut menangis.
Dalam perjalanan pulang, aku bersyukur dalam hati ribuan kali. Siapa sangka hobi memotretku ternyata membuat seorang anak bisa begitu bahagia. Memang hasilnya tak selalu bagus, tapi aku senang menyimpan foto orang-orang yang kusayangi, termasuk sahabat-sahabatku. Mengenang saat-saat indah ketika kami bersama. Sungguh aku bahagia, bisa memberikan kenangan indah yang sama untuk putrinya. Di sana… jauh di atas sana, kuharap sahabatku kembali tersenyum bahagia karena kini putrinya tak lagi sendiri. Ada aku dan putriku…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar