Setelah seminggu, akhirnya ruang keluarga ini kembali dipenuhi seluruh anggota keluarga. Suami, aku dan ketiga anakku duduk bersama menikmati sepiring pisang goreng bersalut coklat dan keju. Abang berbaring di sofa bed dengan wajah yang masih belum sepenuhnya segar seperti biasa, Kakak duduk menonton sambil memainkan rambut ikal mayangnya. Sementara Ade bergelayutan di pundak Ayahnya.
Pemandangan ini hilang selama seminggu. Kami harus bergantian menjaga Abang yang sakit keras dan harus dirawat. Hanya berdua tanpa ingin merepotkan saudara yang lain, kami menjalani ujian itu dengan ikhlas.
Tapi… ada segelintir rasa kesal menyelimuti kalbuku sejak putra kami pulang. Bukan karena amburadulnya agenda kerjaku atau bergunungnya pekerjaan di rumah karena kami harus meminggirkan semua urusan demi Abang. Ini hal lain dan bagiku sulit sekali dilupakan.
“Mak, bbm tuh… tadi juga ada yang nelpon pas Mama di dapur,” kata Ade memberitahuku.
Aku hanya tersenyum sekilas, mengambil bbm, membalas dengan satu kata pendek lalu mematikan ponselku.
“Kok dimatikan?” tanya suamiku heran.
“Males! Orang-orang yang hanya ada perlunya saja. Males ngejawabnya!” kataku sambil memandang ke arah televisi. Lebih baik menonton pertandingan bola yang entah siapa pemenangnya, daripada membahas hal itu.
Suamiku diam, tapi aku tahu dia memandangiku dari belakang. Ada sesuatu di hatinya, tapi ia tak mau menyampaikan. Mungkin karena anak-anak sedang berada di dekat kami. Sudahlah, aku tahu yang ia mau katakan. Hanya saja kekesalanku terlalu dalam saat ini.
***
Malam hari, saat aku tengah menyiapkan materi untuk karya ilmiah, suamiku menyentuh pundakku.
“Mak, kenapa menghindari telepon temanmu?” tanyanya lembut sambil duduk di tepi tempat tidur.
Tanpa mengangkat kepala dari materi yang sedang kuperiksa, aku menjawab, “Males ah! Mereka nelepon paling juga nanya soal ujian atau urusan kerja aja. Cuma kalau ada perlu aja. Gak penting!”
“Tuh, tuh! Ngomongnya gitu lagi!” kata Ayah sembari tersenyum tipis.
Aku jadi tak enak mendengar tegurannya itu. Yah, ini bukan salahnya. Tapi aku memang tak suka membahas soal mereka.
“Ayah nyuruh Mak kuliah bukan hanya untuk belajar dan jadi sarjana. Tapi belajar jadi seseorang yang berkarakter, termasuk belajar memahami orang lain, belajar membantu orang lain.”
Kuputar tubuhku. Kutatap wajah lelaki yang selalu tersenyum dengan sabar itu. “Mas… selama tiga tahun ini, apa yang tidak kulakukan untuk mereka? Aku membuat mereka saling mengenal dan saling membantu, aku ajari mereka ribuan cara untuk belajar di tengah kesibukan mereka, aku pinjemkan buku-bukuku, aku sisihkan waktu mengajari mereka, aku jelaskan berkali-kali sampai mereka mengerti, aku pinjami catatanku, aku temani mereka saat sedih, aku bujuk saat mereka mau berhenti, aku berusaha selalu ada untuk mereka. Begitu juga teman-teman di kantor. Aku yang pilih mereka, aku yang ngajarin mereka, aku juga yang rela gantiin mereka jagain anak-anaknya waktu mereka kesulitan. Mas ingat kan waktu istrinya Darryl dirawat? Atau waktu Nia operasi usus buntu? Mas gak lupa kan waktu Mbak Titi pergi naik haji dan ibunya udah terlalu tua buat ngurus anak-anaknya? Aku bahkan gak pernah absen jenguk mereka kalau ada yang sakit atau dirawat. Padahal jadwalku lebih padat dari mereka.” Airmataku mulai menggantung di pelupuk mata. Teringat saat-saat aku berusaha membantu teman-temanku. Sama sekali tak ada keinginan lain selain tulus membantu mereka. Aku tahu mereka jauh dari keluarga, sepertiku.
“Tapi… kemarin anak kita di rumah sakit selama seminggu, bahkan lewat bbm atau telepon saja mereka tidak bisa mengucapkan doa untuknya. Sekarang setelah mereka perlu bantuan, baru aku ditelpon. Aku masih bisa maafin waktu mereka ngeledek aku di belakang aku dan memilih diam. Mungkin itu salahku, mungkin aku memang bersalah sama mereka. Beda kalau ini menyangkut keluarga. Mas tahu kan keluarga adalah segalanya buatku. Cukup ya Mas, jangan bahas lagi! Aku pengen konsen ngurus kuliahku dan kerjaanku sendiri aja, tidak ada lagi bantu-bantu orang lain!” ujarku panjang lebar. Kalau aku sudah menggunakan panggilan ‘Mas’ pada Ayah, berarti itu saatnya aku benar-benar sedang kesal.
Aku kembali memandangi tulisan yang baru kucetak dan berusaha mengembalikan konsentrasiku pada kertas-kertas itu. Tapi, aku kehilangan fokus. Aku langsung teringat hari-hari berat yang kulalui bulan-bulan ini. Ayah mertuaku baru berpulang ke Rahmatullah, setelahnya aku dirawat dan tak sampai seminggu, putraku dan adik iparku yang masuk rumah sakit bersamaan. Berat sekali menghadapi minggu-minggu ini, apalagi di tengah kesibukanku menjelang tahun terakhir di kampus. Airmataku kembali mengalir, Lepas sudah, ini benar-benar tak tertahankan. Terkenang kembali perasaanku yang tak karuan saat melalui ujian berat ini.
“Tapi… mereka mungkin tidak tahu. Mereka itu kan masih muda. Usianya saja kurang lebih dengan anak kita. Wajar kalau mereka belum terlalu paham etika sopan santun.”
Aku kembali berbalik, “Halllooo, Ayah! Mereka ini sudah kuliah dan bekerja loh! Sudah lewat dari angka 17, sudah dewasa, sudah tahu etika pergaulan, sudah bekerja dan bahkan punya anak. Bagaimana bisa Ayah bilang mereka itu anak-anak? Seusia mereka, aku sudah kerja dan sudah hidup sendiri!”
Suami tersenyum lagi. “Sudah kerja, siap menikah atau sudah punya anak belum tentu dewasa pikirannya, Mak. Berada di usia yang sama pun tidak sama bagi setiap orang. Lagian, umur 19 tahun saat Mama ketemu Ayah rasanya tidak sedewasa itu deh…”
Lagi-lagi Ayah memang benar. Sampai sekarangpun aku sendiri merasa belum sedewasa usiaku yang hampir menjelang empat puluh tahun. Dan ketidakdewasaanku itulah yang membuatku tak mau kalah saat berdebat seperti sekarang.
“Tapi, Ayah sendiri gimana? Ada dari orang-orang yang katanya sama seperti adik-adikmu itu menelepon atau mengirim doa? Waktu Bapak meninggal, ada dia datang? Waktu anak kita sakit keras, ada nelepon? Padahal waktu dia datang ke sini minta bantuan buru-buru Ayah sampe ngorbanin uang belanja untuk rumah supaya bisa bantuin. Sekarang apa dia inget barang sekilas?”
“Cukuplah adik-adik kita saja yang menelpon dan datang…” canda suamiku.
Aku tertawa miris. “Maksudku bukan adik kandung Mas, Bukan mereka. Jujur ya yah, selama lima tahun ini, aku tak pernah share sekalipun berita duka keluarga kita. Kenapa? Karena memang belum waktunya. Aku sakit, Ayah sakit, anak-anak sakit. Tak pernah sekalipun aku infoin. Tapi sekali ini… karena aku ingin tahu aslinya teman-temanku dan keluarga jauh kita. Buat setiap orangtua, anaknya adalah segalanya. Aku ingat Ayah bilang, ujian inilah yang bisa membuat kita memfilter keluarga dan teman terbaik. Dan aku memang merasakannya yah… ujian yang begitu banyak belakangan ini benar-benar kasih sayang Allah buatku.”
Aku menghela nafas. Berusaha menahan diri. Kuhembuskan napas perlahan sekali lagi. Sesak di dadaku mulai mereda. “Andaikan mereka datang, atau setidaknya bertanya saja kabar anak kita, aku pasti akan bantu. Ayah tahu kan kalo aku tetap kerja dan masih belajar saat nungguin Abang, mungkin kalo mereka datang saat itu, aku langsung bantu mereka. Trus kalo saja orang yang butuh kerja itu datang, aku sudah siapin kartu nama temenku yang sudah berulang kali memintaku merekomendasi orang. Andaikan mereka menjaga silaturahmi, apalagi di saat kita lagi begini, pasti mereka dapet rezeki kok. Rasain deh sekarang! Bodo amat dah! Malah kalo bisa tuh tagih cepet utangnya, Yah! Biar kapok!”
Kali ini suamiku mendekat dan menekan kepalaku dengan sayang. Tanda kalau ia ingin aku mendengarkannya baik-baik. “Tapi ujian sesungguhnya bukan saat anak kita sakit, Mak. Saat inilah ujianmu dan saya yang sebenarnya.”
Aku mendongak. Memandangi mata sipitnya yang selalu penuh cinta itu. “Kok sekarang ujiannya?”
“Kalau anak sakit, sudah otomatis orangtuanya akan melakukan segalanya. Apalagi Mak, yang Ayah tahu pasti sangat sayang sama anak-anak. Lihat aja selama seminggu ini, adakah Mama mengeluh cape atau lelah harus mengurus anak remaja yang seperti bayi lagi itu? Enggak kan. Tidur hanya 2-3 jam, Mak tetap segar dan semangat ngurus anak kita. Ayah sendiri saja ngerasa cape banget, tapi malah Mak yang nyuruh Ayah sabar sabar terus.”
Suamiku kembali menepuk bahuku. "Waktu kita muter-muter nyari rumah sakit untuk Bapak. Emak juga yang berusaha keras menyabarkan Ayah, dan adik-adik. Emak gak keliatan sedang diuji. Emak justru ikhlas biarin Ayah ngurus Bapak tanpa minta ini itu. Jadi justru saat-saat itu, buat Ayah dan Emak bukanlah ujian yang sesungguhnya."
Tentu saja, aku sangat sayang pada putraku satu-satunya itu. Tentu aku ikhlas memberikan apapun asal dia kembali sehat. Tak ada pengorbanan dalam kamusku sebagai ibu, hanya ada kewajiban untuk memberikan yang terbaik baginya. Begitupun saat mertuaku sakit keras. Tak mungkin aku protes melihat suamiku mengurusnya. Ia putranya dan mungkin ini kesempatan langka untuknya. Aku malah ingin Ayah bisa mengurus bapaknya lebih lama andaikan waktu tak memutuskannya.
“Justru saat inilah, kita harus benar-benar ikhlas memaafkan mereka sekalipun mereka tidak pernah minta maaf. Caranya yah tetap lakukan seperti yang biasa Mak lakukan. Tetaplah jadi teman yang baik untuk mereka, atau saudari yang baik, apapun balasan yang mereka lakukan pada Mak. Tak perlu berharap mereka akan melakukan hal yang sama pada kita atau anak-anak. Biar Allah yang balas perbuatan baik kita. Allah SWT itu selalu ada di dekat orang-orang yang bersabar loh, Mak. Lagian apa Mak melakukan semuanya karena pamrih?”
Kali ini aku tidak menjawab dan hanya bisa diam. Mencerna ucapan suamiku yang kini sudah naik ke atas mengecek anak-anak di kamarnya. Membiarkanku berpikir sendiri, memahami setiap kata yang tadi diucapkannya.
Hanya saja, aku masih merasa sangat sulit melakukannya. Suamiku benar, ini memang ujian yang berat. Tapi aku sedang berusaha dan aku berharap waktu membantuku menyelesaikan ujian ini.
Kuambil ponselku, kunyalakan kembali. Tak lama, suara denting pesan-pesan masuk mulai terdengar. Kulihat satu persatu… benar, ada pertanyaan tentang kampus, tentang kantor bahkan tentang sekolah, tapi juga ada yang bertanya tentang putraku. Satu-satu mulai aku baca dan jawab dengan singkat. Aku belum sepenuhnya bisa menghilangkan rasa kesal itu dari hatiku. Tapi aku berusaha… meski sakit itu tetap sangat terasa sampai kini.
Aku memang memilih untuk mengikuti kata Ayah. Dia benar. Ketika membantu, ikhlaskan dan anggap tak pernah terjadi. Kalau mereka ingat, aku bersyukur, tapi kalau tidak biarlah. Itu bukan lagi urusanku. Itu urusannya. Hanya saja aku bukanlah orang yang sempurna. Pelajaran besar ini menjadikanku lebih berhati-hati memilih orang-orang yang kubantu. Bukan karena tak bisa seikhlas dulu, aku hanya ingin menjaga hati dan tingkahku sendiri. Jangan sampai justru nanti memancing marah dan kesalku seperti sekarang. Aku belum bisa seperti Ayah, yang dengan ringan melupakan perlakuan buruk orang padanya. Mungkin nanti… perlahan-lahan… Ini memang benar-benar ujian sesungguhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar