Beberapa hari lalu, di hari kelima awal tahun ini, saya menemui teman-teman di kantor mereka. Sebenarnya tujuan utama datang ke kantor adalah meeting dua mingguan yang rutin diadakan untuk seluruh freelancer. Tapi setelah beberapa bulan, saya jadi akrab dengan para karyawan tetap di kantor ini. Maka tiap ke kantor ini, saya selalu menyapa mereka. Mereka telah banyak membantu saya, tak hanya urusan pekerjaan tapi juga beberapa urusan pribadi.
Saat mengobrol dengan Mbak Riana di boothnya, salah satu karyawan di bagian Marketing, tak sengaja saya melihat lembaran kertas tertempel di dinding tepat di depan meja kerjanya itu. Kertas itu bertulis “Resolusi 2017 Riana” lengkap dengan daftar singkat.
Segera saya menemukan cara menggoda Mbak Riana, dengan daftar singkat itu. Ia hanya tersenyum-senyum dan membiarkan saya membaca sambil sesekali bercanda ringan.
Tapi ada satu resolusinya yang menarik buat saya berbunyi, “Melunasi semua kartu kreditku!”
Katanya, Resolusi itu memang sangat sederhana, tapi sangat sulit melakukannya hingga tuntas. Jadi menurut Mbak Riana, ia sengaja menjadikannya salah satu resolusinya. Agar ia ingat selalu dan ia bisa terbebas dari semua kebiasaan berhutang dengan kartu kredit itu.
“Saya pengen kayak Mbak Iin, santai banget. Di antara freelancer di sini, Mbak yg paling gak neko-neko. Insentif mau ditunda ampe kapan juga gak pernah repot nagih. Santai banget deh. Aku jadi iri.”
Padahal, saya selalu lupa tanggal. Suami juga sama. Karena ini pekerjaan hanya hobi dan tak ada beban hutang, saya santai saja membiarkan insentif yang kadang-kadang baru terbayar setelah beberapa bulan.
Waktu itu saya mengangguk-angguk setuju saja. Benar. Ketika kau tak punya hutang. Tak ada yang kau takuti.
Sebenarnya, ini akan jadi berbeda kalau dilihat dari apa yang terjadi beberapa tahun sebelumnya. Sebagai mantan pekerja, tentu sejak awal bekerja saya sudah mengenal berbagai macam fasilitas pinjaman. Entah itu tawaran dari Bank berbentuk pinjaman reguler biasa untuk karyawan, pinjaman dengan agunan bahkan sampai pemberian aneka macam kartu kredit. Hampir tiap bulan, saya menerima banyak sekali penawaran menggiurkan untuk memiliki berbagai item yang mungkin baru bisa saya beli jika menabung. Sementara untuk menabung rasanya sangat sulit dengan berbagai kebutuhan yang makin meningkat.
Tapi, dengan suami yang begitu ketat mengatur segalanya, keinginan itu selalu dimentahkan.
“Enggak boleh! Nanti dikejar setan kredit loh!” Itu kata-katanya tiap kali saya merengek minta barang baru dengan cara kredit. Ia tak pernah satu kalipun mengizinkan saya membeli barang dengan cara kredit. Tidak satu kalipun.
Meski rasanya menderita banget tiap kali melihat penawaran cicilan berbunga rendah itu tiap bulan, atau karena ejekan teman-teman yang melihat barang-barang milik saya selalu ketinggalan dari mereka, saya tak berani melakukannya tanpa izin suami. Bukannya takut tak bisa membayar, tapi saya tahu kalau suami melarang pasti ada sesuatu yang tak mungkin dijelaskan dengan detail. Saya pun memilih untuk mengikuti saja. Biarlah, tahan tahan saja... pasti ada jawabannya suatu hari nanti.
Satu demi satu memang akhirnya kami bisa membeli barang-barang yang saya mau. Bukan dengan cicilan, tapi dengan tabungan. Ya, saya dan suami akhirnya belajar menabung sedikit demi sedikit. Tidak banyak, tapi akhirnya mampu terkumpul dan barang yang kami mau pun bisa terbeli. Lama kelamaan saya pun terbiasa. Apalagi, kemudian saya menemukan banyak peluang tambahan untuk menghasilkan pendapatan baru bagi keluarga. Semakin lama, semakin mudah bagi saya untuk menabung. Tak hanya itu, anak-anak juga jadi ikut terbiasa melakukannya. Menabung dulu, belanja kemudian.
Dan pada akhirnya, saya paham maksud perkataan suami, 'dikejar setan kredit'...
Suatu hari, bel pintu di rumah digedor orang. Yah, digedor-gedor dengan keras hingga nyaris merontokkan pagar besi tinggi rumah kami. Saya yang terkadang bekerja dengan menutup telinga dengan headset, jadi terkejut dan sedikit kesal. Siapa sih tamu pagi-pagi tidak sopan begitu?
Saat itu di depan rumah, ada tiga orang bertampang seram menanti. Melihat gelagap tidak baik itu saya urung membuka pagar dan memilih berbicara melalui pagar saja. Belum apa-apa, mereka sudah menunjukkan ketidaksopanan dengan meminta seseorang bernama S untuk keluar dan membayar hutang. Dengan santai saya jawab kalau mereka salah alamat dan ini bukanlah rumah orang tersebut. Sebenarnya saya kenal nama orang itu, dia tetangga saya. Tapi saya tak mau ikut campur. Tapi orang-orang itu tak percaya, mereka tetap mendesak saya membuka pagar. Saya tak mau dan menelpon Pak RT. Tak lama para tetangga termasuk Pak RT berdatangan dan kali ini saya baru berani membuka pintu. Barulah, setelah diberi penjelasan dan kesaksian, orang-orang itu baru paham dan meminta maaf pada saya. Para tetangga juga yang memberitahu alamat sebenarnya dari orang yang mereka cari. Setelah itu, saya tak tahu lagi apa yang terjadi karena tak ingin tahu.
Namun, beberapa hari setelah itu, orang-orang itu terus bolak-balik mendatangi tetangga saya itu. Malah kadang-kadang sangat pagi, sebelum suami saya kerja. Karena mereka pernah salah sama saya, maka mereka pun bersikap ramah pada saya dan suami. Dari sapaan hingga akhirnya menjadi obrolan, suami pun jadi tahu kalau tetangga kami berhutang sangat banyak untuk membeli beraneka barang.
Saya jadi kasihan melihat istri tetangga yang berhutang itu karena setiap hari harus kucing-kucingan dengan para penagih. Anak-anak mereka dikurung di dalam rumah, bahkan ada yang dititipkan ke neneknya. Entah bagaimana akhirnya para penagih itu berhenti datang. Tapi mereka kini berganti tempat tinggal. Rumah yang tadinya mereka tempati kini disewa orang lain dan mereka tinggal di kamar sempit dengan tiga anak yang dua diantaranya seumur dengan Abang.
Itu hanya sekian dari cerita lain yang saya lihat beberapa tahun belakangan. Dari anggota keluarga sendiri yang hidup dengan mentereng, tiba-tiba berkeluh dengan jeratan hutang dan memaksa seluruh keluarga besar yang tidak tahu apa-apa ikut menanggung akibatnya. Hal itu membuatnya dijauhi perlahan-lahan oleh keluarganya sendiri. Bahkan hampir semua saudaranya tak lagi percaya padanya.
Dari teman sendiri, yang tiba-tiba harus kehilangan suami tercinta dalam kecelakaan motor dan ditinggalkan dengan hutang tak sedikit hingga harus merelakan rumah dan mobilnya untuk membayar semuanya. Bahkan beberapa bulan lalu, saya mendengar sendiri tangisan seorang ibu yang bercerita tentang pernikahan putrinya yang berakhir dengan perceraian akibat suami yang tahu hanya berhutang tapi tak tahu cara mengembalikannya. Semua harta kekayaan semu yang dimiliki dengan hutang, habis terjual atau disita pihak lain.
Setan kredit itu benar-benar ada. Percayalah, ia akan membuat kita terlena dengan berbagai godaan hawa nafsu untuk memiliki barang-barang mewah. Setelah kita terjerat dalam kredit, ia akan mendatangi kita dengan membuat kita takut, kuatir dan bingung setiap saat.
Pelajaran inilah yang membuat saya kini mengerti mengapa suami selalu ketat menjaga saya. Sebagai salah satu karyawan yang khusus mengurus masalah keuangan, suami sangat paham bahwa fasilitas cicilan tak selalu salah. Kalau bisa memanfaatkan dengan baik, ada hal-hal baik yang kita terima. Apalagi beberapa hal yang dibeli dengan sistem cicilan, seiring waktu berlalu justru semakin meningkat nilai jualnya. Rumah, dan tanah misalnya. Tapi, tidak berlaku untuk hal lain yang sifatnya sekedar untuk gaya hidup belaka.
Karena itulah, saya ingin mengingatkan kembali agar kita semua terhindar dari si setan kredit. Saat ini kondisi perekonomian mulai tidak stabil lagi. Awal tahun ini saja, sudah mulai memperlihatkan banyak berita buruk. Kalau tidak saling menjaga dan mengingatkan, bangsa ini bisa terpuruk kembali seperti dulu. Sesuatu yang baik memang sedikit sulit dilakukan, tapi setelah terbiasa, ada perasaan tenang yang akan selalu bersama kita. Sesuatu yang kemudian dipandang dengan iri oleh mereka yang sedang hidup dibayang-bayangi oleh para setan kredit.
Just remind again... be careful guys! There is so many new kind of Setan Kredit right now!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar