Belakangan saya melihat kepanikan para orangtua muncul, takut anak-anak mereka mengalami hal-hal mengerikan seperti yang diberitakan di televisi. Beberapa sahabat bahkan meminta tips pada saya bagaimana mengatasi agar mereka bisa melindungi anak-anak mereka. Mereka bahkan meminta diajari caranya dengan detail.
Satu yang saya tahu... sekolah menjadi orangtua itu tak ada. Tapi setiap hari, sejak kita menjadi ibu atau ayah, kita sedang belajar sebagai orangtua. Kita akan belajar dari pengalaman pribadi bahkan mungkin dari teman-teman. Tapi pengalaman itu tak selalu sama, dan tak selalu harus kita alami.
Pentingnya belajar dari pengalaman itulah, yang membuat saya jarang menulis tentang anak-anak secara ilmiah meski basic pendidikan saya adalah psikologi. Saya lebih suka menuangkan pengalaman pribadi sebagai ibu dari tiga anak dan setahu saya, bahkan ketika masih kuliah, pengalaman itu terkadang menjadi bahan diskusi penting di kelas-kelas kuliah.
Saat membahas tentang SARA, saya menceritakan pengalaman Kakak saat masih berumur tiga tahun ketika bermain di sebuah mall di kawasan Kelapa Gading. Ada anak seusianya sudah bisa mengucapkan sesuatu yang rasis hingga membuat saya marah dan memperingatkan orangtuanya pada peristiwa '98 ketika bangsa mayoritas mereka teraniaya kalau mereka tidak mengajari anaknya dengan benar. Harap dimaklum, usia saya masih sangat muda saat itu hingga emosi langsung meledak.
Bullying sendiri pernah dialami Abang, dan saat itu ayah si pelaku malah tertawa-tawa dan menganggap Abang bukan 'laki-laki' karena mengadu pada saya. Padahal saya menemukan 'sisa-sisa' aniaya itu di tubuh Abang karena dia berkulit terang. Tapi kemudian, Ibu si anak yang pekerjaannya adalah kepala sekolah TK sampai menangis ketika saya memaparkan pentingnya pengaruh orangtua terhadap pembentukan karakter anak. Saat itu juga, saya 'membalas' kata-kata guru Abang yang mengatakan bahwa ibu si pelaku adalah guru jadi pasti tahu apa yang harus diajarkan pada anaknya, dengan mengatakan bahwa tahu teori tidak cukup tanpa praktek dan kalau sudah dilakukan tak mungkin putra saya dianiaya seperti itu. Saya bilang saya hanya ibu rumah tangga, anak saya dan dunianya adalah sesuatu yang wajib saya lindungi, bahkan dari guru-guru yang tak bisa melindungi. Saya tak merasa perlu mengajari dunia lain sebagai guru atau psikolog, kalau saya belum bisa memenuhi dunia anak saya sendiri dengan hal-hal baik.
Lalu tentang pelecehan... rasanya baru kemarin saya berbagi pengalaman tentang Ade, yang di-kiss teman cowok sekelasnya. Ade memang sangat terbuka pada saya, dan ia menceritakannya hanya beberapa jam setelah kejadian. Untunglah orangtuanya memahami dan meminta maaf, saya juga memutuskan bicara pada guru agar lebih intens melindungi anak-anak. Saya juga menebalkan antisipasi pada Ade, dengan memberinya pengetahuan lebih banyak soal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan anak seusianya pada lawan jenis.
Itu dari sepersekian pengalaman yang saya alami. Bahkan lebih banyak ketika menjadi ibu full time... saya sangat terlibat pada anak-anak. Bahkan hingga mengenali teman-temannya satu kelas, lengkap dengan orangtuanya. Semua demi anak dan dunia yang ingin saya lindungi.
Hampir semua orangtua yang 'berhasil' mengantar anak-anaknya menjadi sukses mengatakan hal yang sama pada saya, awasi teman-temannya dan lingkungan anak-anak. Televisi penuh dengan tayangan sampah, dan berhati-hatilah, Anak belajar dari orangtuanya bukan dari kata-kata orangtuanya. Tekanan akan membuat anak tertekan, tapi semangat akan membuat anak terangkat. dan banyak lagi motto yang mereka bagi.
Tapi untuk saya adalah... anak adalah dunia yang ingin saya lindungi... perlindungan itulah yang membuat saya mengikuti dengan baik saran-saran para orangtua senior saya. Guru-guru sejati dari sekolah orangtua sesungguhnya. Tak ada kata teori, kecuali langsung dilakukan.
Bahkan saat orang-orang belum sepanas sekarang membahas tayangan sampah. Saya dan suami sudah lama meniadakan televisi tanpa saringan tayangan. Kami mengatur setiap menit apa yang boleh dan tidak ditonton. Saya bahkan meletakkan televisi di dekat meja kerja saya agar selalu bisa mengawasi apa yang mereka tonton. Tayangan yang ada pun harus didampingi dengan sesekali memberikan penjelasan.
Ketika orang-orang bercerita tentang tempat pengajian malah jadi arena bermain dan pelecehan, saya dan suami sudah lama mengamatinya dan memutuskan mengajari anak-anak kami mengaji sendiri. Hasilnya tak hanya melindungi mereka, tapi membuat kami lebih dekat satu sama lain karena sholat berjamaah bersama setiap hari.
Ketika orang-orang ribut membahas tentang sekolah yang tidak aman, saya dan suami bergantian mengawasi putra-putri kami dengan tidak langsung. Saya memilih jadi wakil orangtua agar bisa leluasa datang ke sekolah tanpa kuatir Kakak dianggap anak mami, atau makan siang bersama Abang dan Ade di sekolah mereka. Sementara suami lebih memilih mengenali dan berbicara dengan orang-orang di sekitar sekolah, mulai dari kepala sekolah, sampai penjaga pintunya.
Tak ada games, kecuali yang saya perbolehkan. Bahkan Abang, anak laki-laki saya tak suka bermain games. Menurutnya, ia melihat teman-temannya berubah menjadi 'robot-robot' seperti tak punya perasaan, cuek dan tidak peduli pada orang lain.
Mungkin karena pilihan saya menyaring tontonan. Anak-anak lebih suka menonton tayangan realitas, atau keilmuan termasuk berita umum. Maka ketika mereka memilih cita-cita, semua adalah cita-cita yang mengejutkan. Kakak ingin menjadi dokter anak, yang bisa main drum, Ade ingin jadi dokter hewan, yang bisa main sulap dan Abang... ingin jadi dokter bedah forensik, yang bisa menyetir... pesawat. Alasan dan tujuannya di balik dua pilihan aneh mereka itu tentu saja ada, tapi saya ingin menyimpannya untuk artikel yang lain. Yang jelas semuanya masih berhubungan.
Sampai sekarang saya masih belajar setiap hari. Saya belajar menabung, karena tahu cita-cita anak-anak memerlukan biaya. Saya harus melindungi dunia mereka degan kestabilan ekonomi, agar saat mereka berusaha mencapai cita-cita takkan ada kendala biaya. Saya belajar berbicara dan mendengarkan, karena anak-anak harus tahu kapan bicara dan kapan mendengarkan. Saya belajar ilmu kesehatan agar tahu apa yang harus dilakukan saat terjadi hal-hal darurat. Semua itulah yang saya gunakan untuk anak dan dunia yang ingin saya lindungi.
Tips sebagai orangtua... tidak ada. Ada banyak artikel saya sebelumnya yang membahas soal itu. Kali ini saya hanya ingin bilang, belajarlah dari kesalahan atau pengalaman sendiri. Kalau anak mengalami, cepat perbaiki dan jangan sampai terjadi lagi. Kalau kita tahu anak akan sakit saat memakan sesuatu, kita pasti tidak akan memberinya kan? Itulah tugas orangtua, melindungi anak dan dunia mereka.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar