Suatu kali saat saya mendampingi anak-anak SMP mengunjungi sebuah studio televisi berskala nasional, ada peristiwa menarik perhatian saya. Dari sekitar 100 lebih anak-anak sekolah yang ikut bersama saya, hanya beberapa orang yang mengenal tamu acara dalam program televisi tersebut. Saat mereka bernyanyi pun, anak-anak malah terdiam dan bingung.
Yang makin menarik, ketika jeda iklan, salah satu produser televisi mengadakan kuis dadakan seputar acara-acara mereka. Tak satupun anak-anak tersebut bisa menjawabnya. Baru setelah beberapa penonton dari umum lain membisikkannya, mereka pun akhirnya bisa menjawab. Ketika itu, mereka malah tertawa geli sendiri karena menjawabnya dengan acara-acara yang ditayangkan di stasiun televisi luar negeri.
Rasa ingin tahu membuat saya pun bertanya pada anak-anak, mengapa mereka tak tahu acara-acara televisi Indonesia.
"Gak sempat, Mak! Kita aja pulang sekolah jam berapa? Udah gitu sibuk ngerjain PR. Malam yaah paling cape doang. Males nonton."
"Nonton sih, tapi mending nonton A***** atau Car****. Aku kan sukanya manga, Tan!"
"Kata Mami, sinetron itu adegannya banyak yang gak bagus, jadi gak diizinin nonton. Lagian, lebay, Mak!! Hahaha!"
"Iiih, gak menarik. Terlalu dibuat-buat. Males banget nonton. Mending nonton film aja."
"Aku sukanya variety show, yang jalan dan makan gitu deh, Mak."
Ternyata kesadaran untuk memilih tontonan berkualitas sudah semakin meningkat. Apalagi didukung oleh kurikulum padat ala pendidikan Indonesia, semakin memperkuat alasan untuk lebih baik dalam memilih tontonan yang paling sesuai dengan keinginan pemirsa. Apalagi yang tidak punya banyak waktu santai.
Kalau seperti ini terus, saya yakin tak lama lagi para produser pun akan mulai menghasilkan produk-produk yang lebih bermutu untuk mengembalikan pemirsanya. Memang satu-satunya alasan yang paling bagus untuk mengubah mutu dan kualitas tontonan adalah dengan tidak menonton tayangan yang tidak baik.
Anak-anak sekarang lebih dewasa dan lebih matang daripada di zaman kita dulu. Tontonan mereka bukan lagi si Unyil atau Pokemon saja. Anak-anak remaja sudah sangat tertarik pada dunia astronomi atau kedokteran justru di masa remaja awal. Kecanggihan teknologi terutama internet, membuat mereka dengan mudah menemukan banyak tayangan menarik di luar televisi, yang kalau tak hati-hati juga tak lagi berfilter akhlak.
Tak jarang anak-anak remaja yang seharusnya mengkonsumsi tayangan sinetron yang ditujukan untuk mereka, malah menertawai para pemainnya yang menurutnya lebay, overacting dan sama sekali tidak punya skill akting yang berkualitas. Mereka, yang rata-rata 'dipaksa' untuk memahami bahasa Inggris di usia muda, akan memilih menonton dan menyerap apa yang ditayangkan dalam bahasa Inggris tanpa teks dibandingkan menonton tayangan di televisi Indonesia.
Miris sekali melihat televisi Indonesia justru tak menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Betapa banyak tayangan tv luar disadur dalam bahasa Indonesia justru laku keras, karena ketidakmampuan produser memberikan tayangan yang berkualitas. Padahal ada banyak tempat indah di sekitar kita, tempat yang hanya perlu sedikit sentuhan yang bisa menjadi tempat-tempat seindah tayangan drama di luar negeri. Apalagi kota-kota besar di Indonesia banyak yang berbenah diri, termasuk Jakarta. Tak perlu biaya besar kalau para produser itu cerdas dan cerdik memahami keinginan penontonnya.
Sekarang zaman di mana penonton yang memilih tontonan, bukan zaman penonton yang diam saja dicekoki tontonan lebay.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar