Beberapa hari ini berseliweran broadcast message berupa statement bernada keluhan tentang piknik untuk ibu rumah tangga. Kebetulan saya pernah menulis salah satu pengalaman pribadi seputar masalah tersebut, yang mudah-mudahan bisa diambil manfaatnya.
Jadi Ibu rumah tangga atau ibu bekerja, dua-duanya sudah pernah saya alami. Ya jadi emak sambil kerja, ya jadi emak tak bekerja sama sekali pun pernah. Lalu apa untung ruginya? Sebenarnya sudah berkali-kali saya membahasnya, dua-duanya tentu saja ada untung ruginya.
Pekerjaan apapun di dunia ini, selama itu halal, maka semuanya baik. Sebagai ibu rumah tangga, pekerjaan kita hampir tak ada kata berhenti karena jam kerja yang tak pasti dan pekerjaan yang takkan pernah habis. Tapi sebagai ibu bekerja, meski ada jam kerja dan job description yang pasti, tetap saja ada beban tanggung jawab yang berbeda dengan ibu rumah tangga biasa. Jika ibu rumah tangga tidak memikirkan harus mempertanggungjawabkan pekerjaannya hari ini sesuai target atau tidak, berbeda dengan ibu bekerja yang pekerjaannya harus dipertanggungjawabkan sesuai target.
Saat tidak bekerja, saya selalu iri dengan para ibu bekerja yang bisa berdandan cantik, pergi ke kantor bersama suami dan makan-makan di restoran dengan teman-temannya. Tapi saya lupa memperhitungkan kalau mereka juga harus merelakan jam bermain dengan anak, menghadapi persaingan kerja yang kadang tidak sehat, menghadapi setumpuk pekerjaan bahkan dimarahi orang yang bukan keluarga. Yang paling menyakitkan ketika anak sakit justru kitalah yang tahu paling terakhir atau saat anak justru lebih dekat dengan pengasuh atau anggota keluarga lain selain ibunya.
Saat bekerja, saya selalu iri pada para ibu rumah tangga yang bisa menikmati paginya dengan berdaster dan bisa membiarkan wajahnya polos tanpa riasan, bernyanyi di dapur sambil membahas drama korea terbaru dengan putrinya. Kapanpun ketika ingin, mereka bisa berkumpul bersama dan bercengkerama dengan sesama ibu-ibu. Yang paling menyenangkan mereka bisa kapanpun bermain dan bercanda dengan putra-putrinya. Tapi saya tidak memperhitungkan, betapa inginnya mereka menjadi ‘seseorang’. Seseorang yang tak hanya diakui di dalam keluarga, tapi seseorang yang diakui dalam masyarakatnya. Menjadi seseorang yang memiliki prestasi dan impian atas nama diri pribadi, bukan sebagai istri si A atau Emak si B. Sungguh menyakitkan ketika diri yang ibaratnya sudah mengabdikan diri untuk keluarga dianggap tidak bermanfaat sama sekali bahkan seringkali dianggap... seperti pembantu.
Selama menikah, tentu saya dan suami melewati periode untuk belajar saling menghargai pekerjaan apapun yang saya dan dia pegang. Setinggi apapun pendidikan yang saya atau suami dapatkan, pekerjaan rumah tangga tetaplah pekerjaan yang hanya bisa dipelajari sambil dikerjakan dengan kemungkinan besar error di tengah prosesnya. Lelah, bosan, stress dan ingin berhenti tentu terjadi di tengah proses pembelajaran itu. Apalagi ketika saya positif mengalami gangguan hormonal yang sudah pasti sangat mempengaruhi emosi dan kondisi rumah tangga. Tapi haruskah berhenti melangkah setelah kita menentukan pilihan untuk berumahtangga? Proses yang kami lalui itu akhirnya bermuara pada kesimpulan penting, bahwa berbagi tanggung jawab, saling menghargai dan akhirnya tak lupa mentransfer satu demi satu tanggung jawab pada anggota keluarga lain yaitu anak-anak ketika mereka telah lebih besar agar beban kami berkurang seiring bertambah usia adalah solusi terbaik yang kami sepakati bersama.
Tentu melalui saat-saat itu tidak ada yang mudah. Sekarang ketika anak-anak semakin besar, saya justru merindukan hari-hari sibuk dan kurang tidur itu. Begitu pula suami. Tanpa sadar ternyata... setelah bertahun-tahun terbiasa mengerjakan segalanya berdua dengan suami, tak hanya menumbuhkan rasa tanggung jawab, tapi juga membangun keikhlasan, kasih sayang yang tulus dan kebutuhan akan kehadiran anak-anak. Kegiatan mengurus mereka, tak lagi terasa sebagai pekerjaan, tapi lebih sebagai kesempatan mencurahkan kasih sayang selagi sempat.
Setelah mereka semakin besar, saya justru semakin kesepian. Itulah mengapa akhirnya saya memutuskan kembali kuliah dan bekerja. Tapi tetap saja rasa kehilangan itu tak bisa hilang. Pernah suami mendapat kesempatan ke Jepang seorang diri, tapi setelah tiga hari, saat pulang beliau justru terlihat kurang tidur dan hanya bilang tak ingin pergi sendiri lagi. Tanpa kami, istri dan anak-anaknya, ia takkan pernah mau ke luar negeri lagi kecuali naik haji. Saat itu saya tak mengerti maksudnya. Sampai saya pun mendapat kesempatan ke Korea Selatan. Ternyata, seperti suami, saya pun berjanji takkan pernah ke luar negeri lagi tanpa keluarga. Bagaimana bisa saya menikmati hari-hari di negeri dingin itu saat airmata saya jatuh terus karena kangen dengan anak-anak?
Ketika teman-teman sesama ibu bertanya soal piknik ala saya, saya hanya menjawab dengan singkat. Piknik, liburan atau cuti sekedar istirahat di rumah, adalah bersama anak-anak dan suami tercinta. Makan siang bersama dengan suami di restoran dekat kantornya, atau makan siang bersama salah satu anak di sekolah mereka adalah piknik buat saya yang sedang bekerja. Kalau saya bosan memasak atau membersihkan rumah sendirian, maka saya ‘berpiknik’ dengan anak-anak atau suami dengan menyiapkan masakan atau bekerja membersihkan rumah bersama.
Ketika ada yang bilang kalau setiap orang butuh ‘Me Time’, saya punya banyak Me Time yang terkadang terlalu banyak. Apalagi pekerjaan yang saya jalani saat ini hanya perlu beberapa jam praktek saja dengan begitu banyak keringanan, begitu pula kegiatan kuliah yang semuanya serba online. Sekarang juga sudah zaman digital dan internet, saya bisa bekerja dan belajar di rumah kalau diperlukan. Hanya saja anak-anak juga semakin dewasa, dan semakin jarang di rumah karena berbagai kegiatan mereka. Yang remaja lebih suka menghabiskan waktu bersama teman-teman remajanya, yang tengah lebih suka olahraga sampai menganggap lapangan futsal dan gelanggang olahraga itu rumahnya dan yang paling bungsu pun lebih suka main dengan teman-teman seusianya. Kalau sudah sendirian begini dan bingung mau ngapain, akhirnya saya malahan sibuk gangguin suami atau rekan kerja dengan menelepon mereka, atau sibuk meminjam bayi atau anak tetangga sekedar menghilangkan rindu menggendong bayi. Ibu seperti ini apa masih perlu ‘Me Time’?
Ada saatnya nanti kita akan merindukan kesibukan sebagai ibu rumah tangga. Ada saat di mana kita akan membuntuti anak-anak meminta mereka bermain dengan kita dan mereka memandang ibunya dengan aneh. Ada saat di mana kita bosan liburan yang dulunya hanya impian. Ada saat di mana akhirnya kita bekerja bukan sebagai kebutuhan, tapi sebagai pengisi waktu. Sampai waktu itu tiba, maka jalani fungsi kita sebagai istri dan ibu dengan ikhlas dan setulus hati. Saya pernah menulis beberapa pengalaman dalam blog ini untuk memanajemen waktu dan pekerjaan rumah tangga, untuk membantu para Ibu pandai memanfaatkan waktu.
Ingatlah bahwa ada pahala dan berkah luar biasa sedang menanti setiap ibu yang ikhlas dan tulus menjalani tugasnya. Seorang ibu hanya perlu bekerja sebagai ibu rumah tangga kurang lebih duapuluh tahunan usia anak-anaknya, tapi kasih sayangnya itu takkan pernah terlupakan seumur hidupnya putra-putrinya nanti, yang mungkin akan ditularkan pada anak cucunya nanti. Tak inginkah kita dikenang sebagai ibu luar biasa bagi putra-putri tercinta? Ibu yang ikhlas, dan tulus menjalani tugasnya tanpa mengeluh tentang piknik dan Me Time. Piknik atau Me Time bukanlah tentang kuantitas tapi kualitas, apakah sanggup menghilangkan kelelahan atau hanya sekedar pelarian sementara.
Salam sayang.
Bunda Iin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar