Kali ini ada pertanyaan menarik dari salah satu sahabat saya. Ia bertanya, “Mba, ada seseorang berhutang uang pada saya. Sudah berulang kali saya sindir-sindir kalau lagi ketemu, tapi tuh orang kayaknya gak sadar berhutang sama saya. Boro-boro mengembalikan, giliran saya meminjam uang saat saya perlu dia malah marah. Terus saya ingatkan kalau hutangnya belum lunas, eh... dia ngotot bilang sudah pernah mengembalikan. Gimana caranya ya Mbak?”
Waktu menjawab pertama, saya sedikit bercanda untuk mengurangi ketegangannya. “Yaaah, saya juga gak tahu, Mba Mil. Saya kan bukan debt collector. Jadi gak tahu caranya.”
Benar saja, ia tersenyum juga. Ketegangan di wajahnya memudar. “Bukan itu maksud saya, Mba In. Tapi gimana caranya mengatasi orang kayak gitu? Biar dia inget utangnya! Tau kan berhutang terus gak bayar itu berat loh hukumannya.”
Ditanya seperti itu, saya jadi kuatir juga. “Orang itu saya ya, Mba Mil? Saya punya hutang berapa?” tanya saya to the point.
Buru-buru Mila, sahabat saya itu langsung mengelak. “Ya Allah, bukan Mba Iin. Sungguh! Saya benar-benar nanya aja. Saya ini udah kehabisan cara untuk mengingatkan orang itu. Tapi kalau Mbak Iin tetap curiga, orang itu adalah... ” dan Mila menyebutkan sebuah nama.
Tahu mengapa saya bertanya seperti itu? Pertama, karena sebelumnya dia bilang sering menyindir orang tersebut yang saya artikan dengan mencoba membicarakannya seperti yang ia lakukan saat itu ke saya. Kedua, karena saya ingin memperlihatkan respon bahwa menyindir itu bukanlah sesuatu yang baik. Kalau tak berhati-hati, bisa-bisa salah sasaran. Ketiga, yah... sekedar memeriksa saja, siapa tahu saya memang punya hutang. Tak ada salahnya kan bertanya?
Saya tak memberinya cara bagaimana agar hutang orang itu terbayar, karena saya memang benar-benar bukan debt collector (Uhuk!) Tapi kalau andaikan Anda berada di posisi Mila, inilah yang saya katakan.
Tak perlulah kita jadi Tuhan mengatakan ini dosa itu dosa. Biarlah itu jadi hak Allah SWT sepenuhnya. Semuanya tergantung niat masing-masing, dan satu-satunya yang bisa membaca niat dengan baik ya cuma Allah SWT... sedangkan kita ini siapa? Mungkin saja kita tahu mana yang benar dan mana yang salah, tentu mengingatkan seseorang memang dianjurkan, tapi mengatakan seseorang berdosa padahal kita tak tahu duduk masalahnya, menurut saya tidaklah adil.
Ketika seseorang berhutang namun belum juga membayar, berikanlah keleluasaan karena mungkin dia berada dalam kesulitan dan kesempitan. Tak ada yang tahu di balik wajah ceria seseorang, mungkin tersimpan kebingungan atau kesusahan yang tak ingin dia bagi dengan orang lain.
Dulu ada dongeng si penebang kayu yang diceritakan almarhumah Nenek ketika saya kelas 6 SD. Saya ceritakan singkat saja.
Ada seorang penebang kayu. Penebang kayu itu tak pernah mau menebang pohon di depan rumahnya. Padahal saat itu ia kesulitan memperoleh kayu untuk dijual, sedangkan ia tak lagi berani ke hutan, ada seekor beruang lapar yang akan siap menerkamnya. Akhirnya, si penebang kayu itu bekerja apa saja demi menyambungkan hidup keluarganya. Sayang sekali, tetap saja itu tak mudah baginya. Ia tak punya keahlian apapun selain menebang kayu. Namun, ia tetap tak mau menebang pohon besar di rumahnya.
Ternyata pohon besar itu adalah tempat si Penebang kayu ‘menitipkan’ seluruh kesulitan dan kesusahan yang ia rasakan sepanjang hari. Setiap kali pulang ke rumah setelah mencari uang seharian, ia berdiri sebentar di bawah pohon itu, terdiam sebelum menangis sedih. Saat ia masuk rumah, ia hanya akan tersenyum dan tertawa untuk keluarganya. Sampai esok hari saatnya ia kembali bekerja, ia akan singgah ke pohon besar itu untuk mengambil ‘titipannya’.
Tadinya saya tak pernah memahami maksud Nenek menceritakan dongeng rakyat Jepang itu berkali-kali pada saya, sampai usia dewasa. Banyak maksudnya. Tapi salah satunya ada banyak orang yang pandai menyimpan isi hatinya, sehingga kita tak bisa menilai dari luarnya saja. Apalagi untuk banyak orang, hutang itu bagai aib yang harus ditutupi serapat mungkin. Malu adalah hukuman sosial yang tidak langsung dan banyak orang yang tak mau merasakannya.
Karena itu, ketika uang tak juga kembali, ada baiknya kembalikan ke diri sendiri saja. Mulailah berpikir ulang menganggap uang itu sebagai hutang. Mulailah berpikir untuk ‘membeli surga’ dengan uang tersebut. Itu kata-kata yang saya doktrin tiap kali ingin mencoba menjadi orang yang sabar dan ikhlas. Mungkin saja, justrulah kitalah yang lupa dan orang itu memang benar-benar telah membayar. Atau mulailah dengan menganggapnya sebagai kesempatan untuk bersedekah. Mungkin juga, di masa lalu kita pernah berhutang pada seseorang dan lupa membayarnya sehingga ini cara lain Allah SWT mengingatkan kita. Intinya, tak perlu menjadi hakim orang lain, jadilah hakim buat diri sendiri agar tahu artinya adil.
Yang jelas, memelihara silaturahim dengan manusia lebih penting dibandingkan dengan harta benda termasuk uang. Bukan tak mungkin, suatu hari kitalah yang memerlukan bantuannya. Bantuan yang tak harus selalu berbentuk uang.
Minggu ini adalah peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, semoga dengan memperbaiki niat dan tetap menjaga silaturahim, momentum peringatan itu menjadi penguat hati untuk terus berusaha memperbaiki diri dengan menjaga hati, membina silaturahim dan membangun keikhlasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar