18 November 2015

Finding My Soul


Perempuan itu berlari ke sana ke mari, sebentar ia ke arah depan, sebentar ia berlari agak ke belakang. Sesekali ia menyelip di antara barisan berwarna merah putih dan merah hitam itu, menyodorkan air mineral, memberikan tisu bahkan mengusap keringat anak-anak berseragam marching band itu.


Ia tetap tersenyum, tampak gembira dan menikmati perannya sebagai manajer lapangan. Tak ia pedulikan kulitnya yang dulu putih bersih sekarang menjadi coklat tua karena terpanggang matahari, tak ia pedulikan keringat yang juga membasahi tubuhnya sendiri dan ia bahkan tak peduli dengan berat tas punggung di belakangnya. Tubuhnya yang mungil namun sedikit gemuk itu nampak lincah bergerak-gerak. Matanya yang tersembunyi di balik kacamata hitam, sepertinya terlalu sibuk memperhatikan anak-anak dalam barisan itu dibandingkan mempedulikan tatapan para penonton yang asyik memandangi mereka. Para penonton itu salah satunya aku.


Aku tahu, ia tak sadar akan kehadiranku. Seperti aku, ia pasti tak menyangka kami akan bertemu di tempat seperti ini, di tengah jalan raya yang sedang ditutup karena pesta rakyat ulang tahun kota. Apalagi di tengah ratusan orang yang tumpah ruah seperti sekarang. Perempuan berlesung pipit itu takkan tahu kalau sahabat lamanya sedang berdiri memperhatikan dia, bukan barisan itu. Barisan pemain Marching Band yang sedang menampilkan lagu-lagu bergantian tanpa henti sebagai bagian dari karnaval pesta rakyat.


Ia tak banyak berubah. Pakaiannya memang lebih santai, namun aku tahu itu dari dulu begitulah seleranya. Dulu di kantor kami harus mengenakan pakaian seragam, namun setiap kali ia punya kesempatan berpakaian santai, ia akan memakai baju model seperti itu, kaos oblong bertangan panjang dengan celana jins longgar. Sekarang kulitnya memang lebih gelap, tapi ia masih semanis dulu. Bedanya senyum simpul yang dulu hanya menampilkan dua lesung di pipinya, sekarang dihiasi pula deretan gigi-gigi putih yang terbuka lebar. Gayanya yang dulu selalu berjalan tegak, pelan namun anggun sekarang nampak tergesa-gesa dan sedikit goyah karena berat tas di punggungnya yang tak proporsional dengan tubuh mungilnya. Ingatanku kembali ke masa lalu kami.


I want to find my soul!” ucapnya saat aku bertanya mengapa ia ingin berhenti begitu tiba-tiba.


Soul? What soul?” tanyaku dengan senyum tawar. Skeptis. Lita terkadang terlalu sensitif. Kupikir kali ini pun sama.


Sorot matanya begitu murung.  Ia menghela napas berat. Dadanya seperti dipenuhi beban. “Something that will make you happy.”


Jawaban itu membuatku mengerutkan kening. Tapi perempuan itu lagi-lagi hanya menghela napas. Ia tak ingin menjelaskan lebih lanjut. Ia berdiri dan menepuk kedua pahanya. “I have to go now, Sascha!” dan ia menatapku, menyodorkan tangan. “I hope success be with you. Good luck, my friend!”


Dan usai berpamitan, ia melangkah dengan tegak, pelan namun anggun seperti biasa. Aku hanya mengantarnya dengan tatapan lesu. Saat ia melangkah keluar dari gedung, airmataku jatuh tanpa terasa. Aku kehilangan rekan kerja yang paling kompeten. Salah satu anggota yang membuat tim kerjaku selalu solid. Terlebih lagi, aku kehilangan sahabat yang selama ini bersamaku sejak sekolah menengah saat di Indonesia.


Aku tak pernah bisa melupakan malam-malam penuh rasa penasaran yang berputar-putar di kepalaku. Bagaimana mungkin seseorang yang sudah mendapatkan semua keinginannya sejak masih kecil, lalu melepaskannya begitu saja? Kami mendapatkan pekerjaan yang diimpikan banyak orang, bergaji mata uang asing, tidak kekurangan fasilitas bahkan kami tinggal di luar Indonesia. Semua yang dulu kami tulis dalam kolom cita-cita, mimpi dan keinginan telah terwujud, tapi mengapa ia membuangnya begitu saja setelah tujuh tahun lebih kami berusaha mencapainya?


Aku memang melihat perubahannya setahun terakhir sebelum ia berhenti. Matanya yang jarang memperlihatkan emosi, semakin lama semakin terlihat murung. Tiap kali ia berkutat dengan pekerjaannya, aku sering memergokinya melamun tanpa sebab. Kukira itu karena ia sedang bermasalah dengan kekasih bulenya. Tapi ternyata justru dari Ralph-lah aku tahu kalau hubungan mereka sudah lama berakhir. Jauh sebelum tanda-tanda aneh itu mulai terlihat. Lita yang memutuskan hubungan, Ralph. Justru Ralph bingung dan memohon bantuanku untuk bisa menyatukan kembali dirinya dengan Lita. Aku tak bisa berkata apa-apa, karena aku sendiri tak tahu apa yang terjadi. Lidahku gatal ingin berucap kalau alasan Lita adalah ‘finding her soul’, tapi aku mengenal Ralph dengan baik. Bukannya percaya, laki-laki bule itu pasti menganggapku mengada-ada.


Setelah kepergiannya, aku berusaha mencarinya setiap masa cuti tiba. Tapi perempuan itu menghilang. Ia menikah saat aku tengah bekerja dan undangannya kuterima setelah tujuh minggu berlalu. Ia pindah mengikuti suaminya ke sebuah kota yang aku pun tak tahu persisnya di mana alamatnya.


Setahun, dua tahun, hingga nyaris delapan tahun kami tak bertemu kembali. Kehilangan sahabat terbaik membuat hidupku ikut berubah. Aku memutuskan kembali ke negara Papaku, sekaligus menghindari kedua orangtuaku sendiri. Di negara kelahiranku, aku bertemu suamiku dan menikah. Empat tahun lalu, aku memutuskan melahirkan putriku di Indonesia. Aku ingin memperbaiki hubunganku dengan Mami, dan melepaskan kerinduan pada negara keduaku.


Aku tahu Lita punya anak dari teman-teman saat reuni sekolah beberapa bulan lalu, aku juga tahu ia sudah kembali ke kota kami bersama keluarganya. Tapi kami tak bertemu saat itu karena ia pulang lebih dulu sebelum aku hadir. Waktu telah memperlebar jarak di antara kami membuat aku terlalu sungkan mengunjunginya. Kesibukanku sejak kembali ke Indonesia, dengan bekerja kembali di sebuah perusahaan swasta membuatku melupakan keinginan menemuinya. Sampai saat ini...


Mom? Mom! She is calling you!” ucap putriku yang bermata biru sambil menarik-narik tanganku.


Aku tergagap dan mengedarkan pandangan. Di kejauhan seseorang melambaikan tangannya penuh semangat padaku sambil berlari mendekat. Itu dia. Lita juga melihatku. Ia tampak begitu gembira dan terlihat tidak sabar untuk segera tiba di depanku.


Keriuhan suara penonton ditambah suara musik Marching Band yang nyaring, membuatku hanya bisa mengerut-ngerutkan kening karena tak bisa mendengar suara perempuan itu saat ia mengatakan sesuatu sebelum akhirnya benar-benar tiba di dekatku.


Hi, Sascha!! How are you?” sapanya sambil memelukku.


How are you? You?” balik aku bertanya. Dia memandangiku, begitu lekat. Dari ujung kepala hingga ke kaki. Sekali lagi memelukku. Aku mencium aroma keringat yang tak biasa. Tapi hanya sejenak, karena aku juga merindukannya. Merindukan sahabatku.


Ia tertawa lebar. “Great! When did you come?” tanyanya sambil mendekatkan wajah ke telingaku, agar tak hilang ditelan suara berisik di jalan raya itu.


About four years!” pekikku mengalahkan suara drum besar yang lewat di dekatku.


What!! Why don’t you call me, hah?” balasnya lagi.


Because I dont know you are here, Lita,” jawabku sekenanya. Perempuan itu tertawa lagi. Lalu kepalanya berputar cepat. Barisan Marching Band itu hampir meninggalkannya.


She is your child, isn’t she?” Aku mengangguk. Perempuan itu menunduk menyalami putriku, sebelum kembali menatapku. “I am sorry, Sasc. I have to go. My kids need me. Call me... “ dengan cepat ia mengeluarkan sesuatu dari kantung bajunya, selembar kartu nama. “Call me here, this is my number. This is my new house. You have to find me, ok?” ujarnya sambil melangkah mundur. Aku segera mengangguk.


Satu pertanyaan yang selama ini selalu menjadi penasaran di hatiku kembali muncul. Buru-buru aku melangkah maju menyusulnya sambil berteriak, “Litaa!!”


Perempuan itu menoleh kembali. Langkahnya terhenti.


Did you find your soul?” teriakku sambil membuat lingkaran di mulut dengan kedua tanganku.


Perempuan itu tercengang, lalu ia mengangguk. “Yes, I found it!!” Lalu ia menunjuk ke arah barisan yang baru saja berlalu. “They are my soul!”


Then are you happy now??” Aku masih ingin tahu itu.


Yes, I am!!” jawabnya dengan senyum lebar sebelum melambaikan tangan dan berbalik, berlari tergopoh-gopoh membawa tas berat itu lagi.


Aku menghela napas. Semuanya terjawab. Matanya yang berbinar-binar, aroma keringat yang khas namun terasa hidup, gerakan tubuh yang begitu dinamis. Dia bukan Lita yang bekerja bersamaku dulu. Aku teringat seorang Lita yang lain. Lita remaja yang begitu antusias mengejar cita-citanya, yang selalu berdiskusi dengan berapi-api saat berada di ruang kuliah dan selalu paling dulu menunjukkan kepedulian pada teman-temannya. Inilah Lita yang sesungguhnya.


Aku pun berbalik, tersenyum pada putriku yang berdiri menunggu dengan wajah bingung. Nanti, aku benar-benar akan menghubunginya. Aku akan menceritakan tahun-tahun tanpa dirinya. Tahun di mana aku mencoba memahami sebaris kalimatnya yang penuh misteri. Tahun aku mulai memahami artinya, setelah aku sendiri berusaha keluar dari cangkang impian ideal yang selama ini dipatri oleh orangtuaku sendiri.


Aku juga ingin tahu ceritanya, bagaimana ia bisa mengubah tatapan murung di wajahnya itu menjadi tatapan dengan sinar mata penuh binar bahagia seperti itu. Aku ingin tahu apa yang ia rasakan setelah berhenti mengelus keyboard dan menggantinya dengan mengusap keringat anak-anak itu. Aku ingin tahu apa yang ia pikirkan seandainya ia kembali ke delapan tahun lalu... tidak, ke lima belas tahun lalu saat ia harus memilih antara jurusan teknik komputer yang disarankan guru dan orangtua kami atau akankah ia memilih jurusan yang dianggap ‘buangan’ di psikologi sosial yang dulu sempat diliriknya kalau saja ia bisa membalik waktu lagi?


“Ketika kau melakukan apa yang kau suka, apa yang kau rasakan membuat hatimu menjadi ringan, dan seberat apapun yang harus dilakukan tidaklah berarti dibandingkan kehilangan kesempatan melakukannya, di situlah jiwamu. Itulah kebahagiaan yang kau cari.”


Aku melangkah pulang sambil menggenggam jemari putriku dengan kuat. Aku menoleh padanya. Putriku juga. Tatapan kami bertemu. Putriku mungkin tak mengerti saat ini. Tapi nanti, ketika ia sudah harus memilih jalannya, aku ingin memberinya dukungan. Aku dan Lita harus berjuang keras untuk mendapatkan yang kami inginkan, dan aku tak ingin anakku mengalaminya. Aku ingin ia bahagia, sepertiku, seperti Lita... ketika kami bisa menemukan apa yang menjadi jiwa kami.

Tidak ada komentar: