Masih seperti dulu. Tak ada yang berubah bahkan setelah lebih dari sepuluh tahun berlalu. Sedikit lebih padat, tapi lebih bersih dan lebih ramai dari yang kuingat saat itu. Terakhir aku ke tempat ini adalah ketika menemani suamiku bertugas. Sekarang kami terpaksa berpisah sementara, karena jadwal kerjanya tak bisa disela dengan cuti lagi. Sudah terlalu sering ia menemaniku.
“Ini bagus untuk adegan-adegan awal. Kita tinggal minta pengelolanya ngosongin sekitar lima jam di pagi hari. Gimana? Mbak oke kan sama lokasi ini? Kalau oke, Mbak take dulu deh. Saya tunggu di situ!”
Aku mengangguk. Lalu refleks aku meraih kamera di leherku dan mulai mengarahkan lensa mengambil sudut-sudut yang akan kupilih untuk proyek iklan ini.
Siang hari itu sangat menyengat. Buat kulit rekan-rekan kerjaku yang tak terbiasa dengan sinar matahari Kalimantan yang panas tentu membuat mereka sibuk melindungi diri dengan payung. Berbeda dengan aku. Kulitku malah sangat merindukannya. Rindu merasakan mandi matahari saat menikmati masa-masa remaja yang indah.
Ini bukanlah kebiasaanku menerima proyek iklan daerah. Tapi, kerinduan membuatku menerimanya. Bukan jumlah rupiah yang kuinginkan, tapi aku ingin melepaskan kerinduan pada tanah yang pernah menjadi tempatku menghabiskan masa remaja dan mengenal rasanya jatuh cinta untuk pertama kalinya.
Aku menghela nafas, menatap ke sekelilingku yang lengang. Hanya aku dan Delima yang berdiri sibuk mengambil gambar. Di beberapa gazebo kecil, rombongan rekan kerjaku sedang berteduh. Sebagian sibuk berkipas-kipas, sebagian lagi sibuk memasang kacamata dan memakai sunblock. Aku tersenyum sedikit mengejek. Dasar orang kota...
Kembali tanganku mengarahkan kamera ke sana ke mari. Mengumpulkan sebanyak mungkin gambar agar nanti malam aku bisa menentukan rencana. Makin cepat aku selesai, makin cepat aku bertemu anak-anak. Sudah seminggu, dan aku hampir mati merindukan mereka. Kalau saja tidak sedang ulangan, pasti kuminta mereka untuk menemaniku bekerja.
“Rim? Rima? Anda Rima kan?”
Aku menoleh. Seorang wanita berjilbab coklat muda menatapku dari balik kacamata. Delima yang sedang asyik mengambil foto langsung mendekatinya. Dengan sigap, ia berdiri di depanku menghalangi wanita itu mendekat. Aku terpaku. Itu nama kecilku. Tak seorangpun mengetahuinya, kecuali...
“Maaf Bu, kami sedang bekerja. Bisakah...”
“Nia? Kamu Nia?” bisikku sedikit ragu. Delima menoleh ke belakang. Ia langsung bergeser.
Senyum lebar merekah di pipi wanita itu dan ia melangkah makin dekat. “Ya Allah, Rim... sampai pangling aku lihat kamu. Apa kabar? Wah, waah, suburnya kamu sekarang!”
Sesaat aku mengingat Nia Ramadhani yang kuingat. Gadis ringkih kurus yang mungil. Rambutnya lurus pendek berkacamata dengan senyuman yang nyaris tak pernah terlihat. Tapi sekarang, di hadapanku ada wanita dengan pipi yang tembem, tubuhnya pun sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda pernah sangat kurus. Semuanya tampak berbeda. Kecuali wajahnya yang masih begitu lekat dalam ingatanku yang sangat terbatas.
Sambil menyerahkan kameraku pada Delima, aku menggamit lengan Nia, mengajaknya berteduh di salah satu gazebo yang memang disediakan untukku.
****
Aku tak tahu mengapa aku hanya bisa diam mendengarkan Nia bercerita. Bercerita tentang apa yang terjadi setelah aku menghilang begitu saja. Seperti angin, Rima, gadis ceria yang pintar datang dan pergi tanpa berpamitan pada siapapun. Semua teman kehilangan, tapi Rima seperti hilang ditelan bumi.
“Setelah kau menikah, kami ingin sekali bertemu denganmu seperti dulu. Tapi, teman-teman yang lain melarang karena ada suamimu. Kami kira, suatu hari kau akan datang untuk menjenguk sahabat-sahabatmu. Tapi siapa sangka, kau pindah begitu saja tanpa berpamitan.”
“Kami?” tanyaku sambil menyodorkan sekaleng minuman dingin pada Nia.
Tatapan Nia penuh tanda tanya. Tapi kemudian ia menjawab pelan. “Siapa lagi? Aku dan Andra.”
Aku menunduk. Masa lalu. Lalu kembali mengangkat wajah yang kupasang semanis mungkin. “Jadi kalian menikah?” tanyaku.
Nia tertawa kecil. Ia menggeleng dan itu membuat senyumku lenyap seketika. “Kami juga berpisah tak lama setelah itu. Andra juga pindah ke kota lain. Katanya, ia sudah lama ditawari untuk mutasi. Tapi ia menahannya karena...”
“Kau punya anak berapa sekarang?” potongku cepat. Ada Delima mendekati kami sambil membawa sekotak kue. Mungkin kue yang tadi pagi kupesan. Kue bingka kesukaanku.
Nia terdiam sejenak. Sepertinya ia sadar aku tak ingin membicarakannya. “Aku punya dua. Perempuan semua. Kau? Ah... aku lupa... kemarin aku lihat di blogmu ada tiga ya. Sudah besar-besar semua.”
Aku mengangguk dengan senyum lebar. Tiga cinta yang sanggup membuatku mengalahkan rasa ingin tahu. Semua sudah berakhir, lama sekali... sudah sejak belasan tahun lalu.
***
Maret 1998
Aku tengah mengetik surat yang diminta boss ketika Nia mendekat. Tiba-tiba, kepalanya bergerak melindungi pandanganku ke layar. Ia asyik memperhatikan sesuatu di jemariku.
“Cincin apa itu, Rim?”selidik Nia sambil menunjuk cincin di jari manisku.
“Apalagi... cincin tunanganlah.”
“Hah?” Mata Nia membelalak tak percaya. “Siapaaa? Siaaaapaaaa? Kasih tahu pang...”
Jariku menempel ke bibir. “Sssttt! Nanti yang lain dengar!” kataku sambil mengedarkan tatapan ke sekeliling kantor. Semua kepala rekan-rekan kerja kami yang lain masih menunduk, tak ada yang merasa terganggu dengan pekikan kecil Nia tadi. Mungkin mereka terlalu sering mendengarnya jadi menganggap pekikan Nia adalah hal yang biasa.
Nia langsung menutup mulutnya. Tapi dengan sigap ia mengambil kursinya dan mendorongnya mendekati kursiku sendiri. Lalu mulutnya berkomat-kamit membentuk kata ‘siapa?’ tanpa suara.
Aku menunjuk dadaku dengan jari. Wajah Nia terlihat tak mengerti.
“Aku membelinya sendiri. Mengharapkan dari orang yang kuharapkan.... terlalu lama,” bisikku.
Nia menatapku tak percaya. “Tapi untuk apa, Ri?”
Aku menghela nafas. “Aku harus, Nia. Mama dan Papa sudah mendesakku. Cowok-cowok yang mengejarku tak pernah menyerah. Aku lelah. Kalau aku ingin tenang bekerja, ini jalan satu-satunya. Aku sekarang gadis yang bertunangan.”
“Tapi... memangnya kamu menunggu siapa? Bertingkah sebodoh ini... Kau tahu apa artinya cincin ini kan?” gumam Nia dengan mata tak lepas memandangi cincinku.
Aku mengangguk. Lalu pelan-pelan kudorong cincin itu keluar dari jemariku dan memperlihatkannya pada Nia. “Ada namanya di situ. Orang yang kuharapkan memberikan cincin padaku.”
Mata Nia menunduk, menelusuri inisial nama yang kuukir di cincin itu. Raut wajahnya penuh keterkejutan, lalu ia menatapku dengan tatapan aneh sebelum mengembalikan cincin padaku.
Nia tak berkata apa-apa setelah itu. Ia hanya mengelus kepalaku seperti seorang kakak, sebelum kembali ke meja kerjanya sendiri sambil mendorong kursinya. Aku menghela napas, kembali memasukkan cincin itu ke jari manisku sendiri sebelum tenggelam dalam pekerjaanku lagi.
***
April 1998
“Kau mengundangnya?” tanyaku tak percaya. Nia mengangguk.
“Dia tahu dari teman-teman kalau kau ulang tahun hari ini dan ada pesta barbeque.... Maaf... tapi... “
“Tapi aku mengundang Andra, Nia! Kalau dia lihat aku bersama... Aaaah, kenapa kau tidak berbohong? Aku bermaksud menjelaskan semuanya pada Andra dulu. Baru setelah itu, aku bisa mengatakan semuanya pada Yosha. Masalah antara aku sama Andra harus clear dulu. Andra salah paham. Dia pikir Yosha yang ngasih cincin itu. Kalau dia lihat aku sama Yosha, pasti dia pikir itu benar. Kalau aku nyuekin Yosha tanpa penjelasan, dia pasti ngomong ke Andra soal cincin itu. Aduh, Nia... kamu bikin semuanya kacau. Aku gak mau Andra tahu kalau namanya yang kupakai di cincin itu!”
Nia tampak gugup. “Jadi kita harus bagaimana sekarang?”
Aku duduk di kursi. Di depanku tergeletak kue ulang tahun buatan Nia yang sedikit bantat. “Semuanya salahku, Nia. Harusnya aku bilang kalau cincin itu hanya caraku memancing Andra untuk mengungkapkan perasaannya padaku. Aku tidak tahu kalau dia justru menyerah dan mengira aku benar-benar sedang bertunangan.”
Dalam beberapa minggu, semuanya kacau dan tidak sesuai dengan rencanaku. Hanya lelaki yang bermaksud main-main padaku yang tahu diri dan pergi. Tapi Andra juga menghindariku begitu melihat jariku bercincin. Sebaliknya Yosha mendesakku ingin tahu siapa pemberinya. Tanpa sengaja, saat aku tengah melepas cincin itu, Yosha berhasil melihat nama yang kuukir di situ. Aku ingin meng-clearkan masalahku dengan mereka berdua.
Pertama aku ingin memberitahu Andra, lalu aku akan menjelaskan pada Yosha. Tapi tidak sekarang. Tidak di hari ulang tahunku yang sudah kurencanakan sedemikian rupa khusus untuk Andra.
“Kalian sudah siap?” tanya Yosha yang tiba-tiba muncul di dapur. Aku cepat-cepat berdiri dan mengangguk. Sudahlah, itu nanti saja. Semua telanjur terjadi. Ini pesta ulangtahunku dan aku tak ingin mengacaukannya.
Aku tak bisa membagi dua diriku. Saat aku tengah menjelaskan semuanya pada Yosha di dalam mobil, Andra melihatnya dari kejauhan. Entah apa yang dipikirkannya. Aku melihat Nia malah sibuk dengan teman-teman yang lain. Ketika keluar dari mobil Yosha, Andra sudah pergi. Esoknya aku dengar ia cuti selama dua minggu. Setelah itu, semua yang terjadi terlalu cepat, sangat sangat cepat.
***
2015
“Kau pernah bertemu Andra?” tanyaku ingin tahu sambil menatap ke arah lain. Nia dulu dekat denganku. Walaupun kami terpisah cukup lama, aku kuatir ia mengetahui perasaanku dari ekspresi wajahku saat ini. Lebih baik aku menghindarinya.
Terdengar suara helaan napas. “Ya, beberapa kali. Kami berpapasan. Dia bersama... istrinya dan aku bersama suami atau putri-putriku.”
Aku mengangguk-angguk, menyesap minuman dingin itu lagi. “Baguslah, berarti dia bahagia.”
“Maafkan aku, Ri. Semuanya karena aku.”
“Hm...” Aku memainkan kaleng minuman di tanganku yang mulai terasa hangat. Hawa panas di luar ternyata menyerap di tanganku. Hatiku terasa kosong sesaat.
“Semua itu kulakukan karena aku juga menyimpan perasaan padanya, aku sengaja mengatakan kalau kau bertunangan dengan seseorang, aku juga mengundangnya ke pesta ulang tahunmu dan sengaja bilang kalau tunanganmu adalah Yosha,” ujar Nia dengan nada penuh sesal.
“Sudahlah...” ujarku tanpa menoleh.
“Tapi, aku akan mengatakan semua padanya saat kami menerima undangan pernikahan itu, Ri. Sungguh! Tapi teman-teman yang lain bilang Andra bisa melakukan hal gila kalau sampai ia tahu. Waktu itu Andra datang padaku dan bertanya mengapa bukan nama Yosha dalam undangan itu, dia meminta penjelasan. Tapi... sudah terlambat.”
Aku menunduk. Setengah dari kenangan masa lalu itu kembali lagi. Rasa sakit itu kembali lagi. Hatiku seperti tercabik-cabik lagi. Perlu satu tahun lebih untukku mengobatinya saat itu. Tanpa kehadiran suamiku, aku takkan mungkin melewatkan masa terpahit itu dengan mudah. Patah hati tak sebanding rasanya dengan pengkhianatan dari sahabat yang paling kusayangi.
“Kukira, kau main-main saat bilang kalau harus menikah secepatnya. Aku kira... “
Aku mendongak, menatap Nia dengan serius. “Aku... tak ingin kehilangan pekerjaanku, aku tak ingin kehilangan teman-temanku, terutama kamu. Orangtuaku membolehkanku tetap bekerja di kota ini kalau aku menikah. Mereka terlalu takut meninggalkanku sendiri tanpa seseorang yang mendampingiku. Karena itulah aku menerima pinangan pertama yang kuterima. Tapi... “
Kenangan itu kembali lagi. Hari-hari yang kuhabiskan dengan airmata penyesalan. Menyesali keputusanku yang terburu-buru, yang membuat hati orang-orang yang kusayangi patah. Lalu, suamiku mengajakku pindah, memulai segalanya dari awal. Dia akan menunggu sampai aku benar-benar mencintainya. Dan aku melewati saat-saat itu dengan tangis dan perjuangan yang tidak mudah. Tanpa kesabarannya, tak mungkin aku menjadi Rima yang sekarang.
Aku berdiri. “Sudah ah, sudah cukup sama masa lalu. Terima kasih, Nia. Tanpa kamu, aku tak mungkin punya keluargaku yang sekarang. Semoga Andra juga sebahagia aku ya Nia. Anak-anakku dan suamiku lebih berharga dari kenangan apapun.”
Nia juga berdiri, menatapku dengan kagum. Kami kembali berjalan keluar, karena salah satu staf memanggilku, mengingatkan kalau kami harus segera mulai bekerja lagi. Sudah saatnya aku kembali melanjutkan pekerjaan. Nia memandangku penuh pengertian. Kami berpelukan, bertukar nomor telepon dan kemudian aku menyaksikan punggung Nia yang menjauh dan menghilang di antara kerumunan orang-orang. Setelah itu aku menatap ponselku sejenak, mengetik nama Nia dan nomornya yang baru ia berikan pun terlihat. Jariku bergerak-gerak menekan ponsel. Tulisan menanyakan ‘apa Anda yakin?’ terlihat. Tentu saja aku yakin. Aku tak ingin berhubungan dengan masa lalu, sehingga aku merasa tak perlu menerima telepon dan pilihanku adalah menghapus nomor telepon Nia.
Jika Nia mengira masih bisa berdusta untukku sekali lagi, dia salah. Aku juga tahu apa yang harus kulakukan setelah belasan tahun berlalu. Aku belajar melindungi apa yang kumiliki, dan memahami apa yang memang harus kulepaskan. Aku tak mungkin tidak berusaha mencari apa yang ingin kuketahui. Aku tahu semua hal yang hilang dalam ceritanya tadi. Dia tak menceritakan siapa suaminya. Dan sayangnya ia terlalu ceroboh membiarkan nama suaminya terpampang jelas di akun jejaring sosial miliknya yang ia share public. Ia juga tidak tahu kalau setelah aku menikah, Andra pernah menemuiku satu kali. Menangis menyesal karena telah percaya pada dusta Nia. Sementara saat itu, aku menyadari kalau lelaki yang kucintai tak cukup kuat untuk menjadi seseorang yang pantas mendampingiku. Aku melupakan segalanya sejak itu. Seperti cincin bertulis namanya yang kubuang di hari pernikahanku, seperti itulah masa lalu tentang Andra dan Nia di hatiku.
“Mbak, kita pindah lokasi ya?” ajakan itu kujawab dengan anggukan yakin. Ya, mari selesaikan segalanya sampai di sini. Aku harus pulang malam ini. Ada seseorang yang ingin kupeluk dan ingin kubisikkan kata-kata betapa aku sangat mencintainya.
***
EPILOG
Nia berjalan terburu-buru, melihat ke sana ke mari sebelum masuk ke dalam mobil. Seorang laki-laki tersenyum padanya.
“Dia ada?” tanya laki-laki di belakang kemudi itu.
Nia mengangguk. “Iya, Mas. Rima memang di situ. Tadi kami bicara banyak. Tapi... “
“Dia berubah,” tebak Andra, lelaki yang menunggu di dalam mobil itu.
Nia kembali mengangguk. “Dia benar-benar berbeda. Kau yakin tak ingin menemuinya?”
Andra menggeleng. “Tidak usah. Melihat dia sudah begitu bahagia saja sudah cukup. Lagipula, kau yang ingin ketemu, bukan aku kan?”
Nia menghela nafas. “Iya, aku kangen sama Rima. Aku ingin bilang kalau aku dan kau menikah, tapi aku takut. Aku takut dia menyalahkan aku. Aku merasa bersalah, aku ingin kembali jadi sahabatnya.”
Senyuman datar terlihat di bibir Andra. “Untuk apa? Kami memang tak berjodoh. Semuanya sudah berlalu. Saya tahu soal cincin itu atau tidak, seharusnya saya berani mengatakan perasaan padanya. Kalau perasaan saya memang cukup kuat, saat itu seharusnya saya terus berusaha. Tapi cinta saya terlalu lemah sampai tak berani melakukan apapun.” Tangannya bergerak menarik rem tangan. “Sudahlah, kita pulang saja. Kasihan Ibu kalau disuruh menunggui anak-anak terlalu lama.”
“Cintamu terlalu lemah? Aku menunggumu lima tahun lebih, Mas. Menunggu belas kasihanmu untuk menerima cintaku. Kau selalu menonton semua film dan drama yang ia tulis. Kau selalu membaca blognya, membaca seluruh karyanya, bahkan kau juga yang memberitahuku soal proyeknya di sini karena kau followernya. Kau masih mencintainya, Mas. Setelah sepuluh tahun bersamamu, aku terlalu mengenalmu untuk tidak tahu itu.” Nia menunduk. Dua titik air jatuh di tangannya yang saling menggenggam.
“Hidup dengan rasa bersalah seperti ini benar-benar membuatku tak pernah bisa memaafkan diriku sendiri, Rima begitu baik padaku,” bisik Nia lagi. Tapi ia tak berani mengangkat wajahnya.
“Kau ini... apa tadi Rima menyalahkanmu? Kalau dia marah, manalah dia mau mengajakmu bicara tadi. Kau tahu siapa dia kan sekarang? Bisa saja dia bilang tak kenal kita.”
Nia mengangguk. “Iya, dia tadi bilang terima kasih karena membantunya bertemu suaminya. Tapi... Mas Andra...”
“Nia, saya memang tak bisa menulis sebaik Rima untuk mengungkapkan apa yang saya rasakan. Tapi saya juga bahagia sama kamu. Saya hanya murni mengagumi karya-karya Rima. Untuk seseorang yang kita kenal dulu, Rima yang sekarang benar-benar jauh berbeda. Itu saja. Jangan menganggapnya sebagai sesuatu yang membuat saya ingin kembali bersamanya. Kami juga tak pernah benar-benar bersama, Nia. Kami saling suka, tapi terlalu bodoh untuk mengungkapkan perasaan kami. Sekarang ada suaminya, dan ada kamu. Kalianlah yang menjadi jodoh yang dipilih Tuhan untuk saya dan Rima. Perasaan kami hanya masa lalu. Sesekali diingat sekedar untuk mengenang dan belajar dari pengalaman itu agar kami menghargai apa yang kami miliki sekarang,” Andra menunjuk cincin di jari manis. “Cincin ini. Cincin yang bertuliskan namamu.”
Nia menatap Andra dengan sayang. Lalu pelan ia mengangguk. Ya, semuanya kini telah berakhir. Lalu Nia mengambil ponselnya. Ia akan menghapus nomor telepon Rima dan mulai menunduk mencari nomor itu. Saat itu Andra mulai menstater mobil dan keluar dari parkiran, di jalan tanpa sengaja matanya menangkap bayangan Rima yang sedang menyetir mobil lain di belakangnya melalui kaca spion. Andra menurunkan kecepatan mobil. Tepat saat itu lampu merah menyala. Mobilnya berhenti. Andra terus memperhatikan mobil Rima.
Mobil yang dikemudikan Rima menyusul dari belakang, mengambil tempat tepat di sisi mobil Andra. Tiba-tiba kaca samping mobil Rima turun, tampak wajah asistennya yang sumringah tengah bertanya pada seorang anak jalanan yang menawarkan koran. Rima menoleh, mengatakan sesuatu. Lalu keduanya sama-sama tertawa lepas. Andra juga tersenyum melihatnya. Rima memang terlihat bahagia.
Mungkin bisikan hati Andra yang memanggil tanpa sadar membuat Rima memutar kepalanya sedikit dan mereka bertemu pandang. Mereka saling menatap untuk beberapa saat lalu saling melemparkan senyum sebelum kembali sama-sama melihat ke depan. Kaca jendela mobil Rima kembali tertutup tepat saat Nia mengangkat wajahnya. Andra melirik istrinya dan tersenyum.
Masa lalu adalah masa lalu. Mereka telah keluar dari lingkaran cincin masa lalu itu.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar