02 Juli 2015

Aroma Masakan, Aroma Kerinduan

Suara takbir terus bergema di tengah kesunyian malam. Mesjid, musholla bahkan di keramaian anak-anak yang sedang berkumpul di depan rumah. Bunyi kaleng, galon air kosong bahkan beduk dadakan yang mereka buat dibunyikan serentak mengiringi takbir. Cahaya kelap-kelip kembang api juga menyinari kegelapan malam lebaran.


Aroma masakan dari dapur tercium hingga ke kamar tidur. Aku tersenyum dalam hati. Tanpa melihatpun aku tahu wangi apa ini. Ini wangi opor ayam andalan ibu mertuaku. Sayup-sayup aku mendengar adik iparku bertanya sesuatu pada Ibu. Ibu menjawab dengan nada singkat, dan adik iparku itu pun tertawa kecil. Apapun yang mereka bicarakan aku tak bisa mendengar. Tapi aku tahu, mereka selalu bercanda. Ciri khas dalam keluarga suamiku, bekerja namun tidak melupakan humor sebagai pelepas lelah.


Setiap malam lebaran, inilah yang mereka lakukan tiap tahun. Menyiapkan menu kegemaranku dan anak-anak. Opor ayam, sambal goreng dan rendang. Menu yang menjadi ciri khas penanda kalau menantunya sedang pulang kampung. Setiap kali pulang kampung, suamiku selalu meminta ibunya menyiapkan tiga masakan itu untuk kami. Tapi ibu tak pernah mau kubantu.


“Kau sudah cukup lelah mengurus tiga anakmu. Selama di sini, bersantailah. Ibu dan adik-adikmu yang akan mengurusmu.” Itu kata Ibu beralasan tiap aku bergerak berniat membantunya.


Hanya saja, duduk diam membuatku jadi lebih banyak melamun dibanding beristirahat. Lebaran justru mengingatkanku pada banyak hal. Kerinduanku meluap. Apalagi tiap mencium aroma masakan itu.


Aroma bumbu khas opor yang bercampur santan menyapu lembut hidungku. Mengingatkanku akan masa kecil saat aku menggerutu ketika diminta Mama untuk memarut kelapa selama berjam-jam. Tangan berminyak, serabut kelapa yang berserakan di sekitarku dan ledekan adik-adikku yang terbebas dari tugas wajib itu. Aku hanya bisa menatap iri pada mereka berdua sambil memarut secepat mungkin. Anehnya, meski aku merasa sangat cepat, tapi Mama selalu merasa waktu memarutku selalu terlalu lama.


Lalu setelah tugas itu selesai, lagi-lagi Mama memintaku memotong hati ayam kecil-kecil. Kalau tugas yang satu ini, aku senang sekali. Sesekali satu dua potong masuk ke dalam mulutku dengan bebas. Karena itu aku selalu ingin melakukan tugas besar itu hanya setelah berbuka puasa.


Tapi semua rasa lelah karena tugas itu mendadak menguap tak tersisa ketika Mama menyajikannya di atas meja. Walaupun semua orang memuji kelezatan masakan Mama, aku juga merasa bangga karena telah berkontribusi.


Menikah membuatku memahami beratnya tugas Mama. Untungnya aku mengalaminya ketika banyak mesin-mesin canggih yang membantuku. Sayangnya, bumbu khas masakan Mama tak bisa mengalahkan bumbu masakan buatan instan yang tersebar di mana-mana. Berbagai merek kucoba tapi aroma dan rasa masakan yang kuidamkan itu tak pernah bisa kutemukan. Akhirnya, aku memilih mengintip Mama saat ia menyiapkan bumbu khas masakannya. Kali ini, aku sengaja membantunya memarut kelapa dan memotong sayuran pelengkap agar ada alasanku mencatat setiap detil bumbu-bumbu yang ia gunakan dalam kepalaku.


Tapi, mungkin tangan pembuatnyalah yang akhirnya menjadi alasan mengapa aku masih belum bisa menemukan aroma dan rasa idamanku itu. Bertahun-tahun setelah Mama tiada, aku masih belum bisa membuat rasa yang sama. Sampai akhirnya tradisi lebaranku selalu memasak tiga menu spesial itu. Walaupun tak sama, setidaknya aku ingin mencoba menikmati aroma masakan yang bisa melepaskan kerinduanku. Akibatnya suamiku mengira tiga menu itu adalah menu wajib dalam kebiasaan berlebaranku.


Aku tahu, suamiku dan keluarganya ingin aku merasakan lebaran seakan-akan berada di tengah-tengah keluargaku sendiri. Tapi, bukan itu yang menjadi alasan. Aku rindu pada aroma itu, bukan karena ingin menghilangkan laparku. Aku rindu karena aroma itu mengingatkanku pada saat aku menyiapkannya bersama Mama. Kami saling bercerita, membahas tingkah adik-adik, bercanda tentang kelakuan anak-anakku dan terakhir Mama selalu menitip bermacam pesan untukku. Aku rindu pada rasa masakan itu, karena mengingatkanku pada Papa dan adik-adikku yang selalu menaburkan pujian pada Mama dan aku. Aku rindu pada rasa lelah di kakiku karena berdiri terlalu lama, rasa pegal di tanganku karena bekerja sampai tengah malam dan rasa kantuk di mataku karena tidur hingga larut malam.


Esok pagi, aroma dan rasa masakan itu akan kembali mengingatkanku pada Mama. Walaupun kini aku juga mulai merindukannya karena kini aroma dan rasa masakan itu mengingatkanku tak hanya pada Mama, tapi juga kebiasaanku menyantapnya bersama anak-anak. Memang rasanya tak sama, tapi hidupku juga berubah. Karena rinduku, aku membawa tradisi itu pada anak-anak. Kelak suatu hari, anak-anak juga akan mengenang aroma dan rasa yang sama, mengingatkan mereka pada Emak mereka. Emak yang selalu menahan tangis tiap kali makan di pagi lebaran, dan senyuman yang selalu terukir dengan mata berkaca-kaca. Semoga setiap kali aroma tiga masakan itu menguar di udara, tiap kali lidah kami merasakan kelezatannya, maka saat itu kami selalu bersama. Melepas rasa rindu, melepas semua rasa bersalah dan saling memaafkan. 


 ******


 


ngaBLOGburit 2015

Tidak ada komentar: